NovelToon NovelToon

DENDAM KESUMAT

Dendam : 01

“Tolong! Tolong!” Wanita itu menjerit sembari menahan sakit pada bagian perut, sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari para pria bejat yang sedang menggagahinya.

“Aku mohon! Tolong lepaskan aku!” rintihnya lirih dengan napas pendek-pendek, wajah memerah penuh keringat dan kotor.

Ha ha ha

“Bagaimana mungkin kami melepaskan mu, disaat lobang mu sangat sempit dan menggigit, Ah!” Pria memiliki bekas luka di alis dan pipi mencengkram erat kedua paha si wanita agar terbuka lebar, tanpa belas kasih ia terus menggerakkan badan dengan brutal.

“Cepatlah kau! Aku sudah tak tahan ingin merasai lagi!” titah si pemuda pincang seraya menghisap rokok, ia memainkan benda keramat nya yang kembali menegang.

“Ku mohon jangan lakukan lagi! Aku sedang mengandung!” pintanya dengan suara serak, wajah bersimbah air mata bercampur tanah, bukti dirinya sekuat tenaga mencoba meloloskan diri berakhir terkapar tidak berdaya setelah beberapa kali ditampar, ditendang, sampai rambutnya dipotong serampangan.

“Pantas saja rasamu begitu legit, ternyata kau tengah berbadan dua. Baiklah, akan ku buat cepat kali ini!” Ia menambah ritme sambil meremas kasar kedua buah dada.

Hentakan demi hentakan begitu terasa menyakitkan, si wanita muda itu meringis, menjerit, menangis, memohon dikasihani. Bukannya iba, pria berwajah cacat terus saja menggempur nya sampai cairan lengket tumpah-ruah membasahi liang di bawah sana.

“Akan aku adukan kalian pada suamiku!” tatapan lemahnya terlihat nyalang, meskipun badannya remuk redam, sudut bibir berdarah, dia tetap berusaha memberontak kendatipun tidak berarti apa-apa.

Ha ha ha

“Kau mau mengadukan kami kepada pria yang selalu bersembunyi dibalik punggung bapaknya, tak salah kah pilihanmu itu? Hardi bahkan begitu takut membantah apalagi melawan Juragan Bahri!” Ia tarik kuat pucuk dada si wanita, lalu beranjak dari badan yang bagian perut terdapat kerak putih bekas bukti persetubuhan.

“Abang! Tolong Witri!” Sawitri kembali berteriak, matanya menatap takut pada laki-laki yang tadi begitu kasar memperlakukannya, menyamakan dirinya layaknya binatang, tanpa perasaan menggunduli rambut dan memukul pipi kala dia melawan.

Laki-laki berambut gondrong, berkumis tebal, badan besar dan penampilan sangar itu meludahi pusakanya, ia melangkah pelan, tersenyum mengerikan saat melihat mangsanya berusaha melarikan diri.

“Jangan … hiks hiks … aku mohon kasihani diriku dan anak ku!” Sawitri menekan tumitnya pada tanah liat, berusaha mundur kebelakang, tidak dirasakannya perih kulit punggung dikarenakan tergores ranting dan dedaunan kering.

Namun, pergerakannya terbatas, kedua lengannya diikat tali tak seberapa panjang yang ditautkan pada pohon kopi.

Si pria kedua langsung berlutut, menarik kaki sang korban, kemudian membalikkan badannya hingga menungging. Tanpa aba-aba langsung memasukkan benda tumpul tidak bertulang melalui jalur yang tidak lazim.

Argghh

“Sakit!” Sawitri memekik, menangis tanpa ada lagi air mata yang terjatuh. Jemarinya mencakar tanah hingga kukunya menghitam, urat di kening dan lehernya sampai menonjol dikarenakan menahan perih luar biasa.

“Berteriak lah! Ayo menjerit sekuat-kuatnya!” perintahnya sambil terus menunggangi, menjambak rambut sebagian panjang dan sisi satunya pendek.

Napasnya memburu, dia begitu menikmati penyatuan dengan cara tidak manusiawi. Sampai pelepasan didapat baru dilepaskan.

‘Sakit, ini teramat sakit!’ wanita yang tidak lagi memiliki tenaga itu ambruk, hatinya hancur lebur. Dapat dia rasakan sesuatu berbau amis mengalir membasahi paha.

Bila tahu seperti ini kejadiannya, tidak mau dia pergi seorang diri melewati jalan pintas demi menemui sang suami untuk mengabari kehamilannya.

“Biadab kalian!!” Akibat rasa amarah yang membuncah, ia memiliki tenaga lebih, membalik badan hingga terlentang, lalu menendang tepat di benda keramat si pria psikopat.

Bugh!

Brengsek! Dasar pelacur murahan!” Sambil menahan sakit, dirinya menjadi kalap. Lututnya menekan kuat area perut, sementara tangannya mencekik leher Sawitri.

“Uhk_ uhk. Le_pas!” Tangan lemahnya mencoba melepaskan cekikan menyakitkan itu yang nyaris membuatnya tidak bisa bernapas.

Semburat di wajah Sawitri sirna, matanya terbelalak, kakinya tidak lagi menendang angin, berakhir dirinya pingsan.

Ketika mendapati si wanita lemas, dia baru beranjak, menatap puas pada cairan merah pekat yang mengalir membasahi paha dan terjatuh di tanah liat.

“Kau apakan dia?!” Pria pincang tidak terima, dikarenakan dirinya belum puas merasai.

“Sudahlah! Lebih kita perkampungan, cari makan siang. Setelahnya kembali ke sini, lalu bersenang-senang,” si wajah codet mencoba menengahi, membuang puntung rokok, kemudian berdiri mendekati sosok yang tidak sadarkan diri.

“Akupun belum puas menikmati tubuhnya.” Kakinya menyusuri paha berkulit kuning langsat, bercampur noda tanah.

“Sepertinya dia benar-benar keguguran!” raut wajah pria pincang terlihat sedikit pucat, memperhatikan darah segar mengalir di sela-sela paha si wanita.

“Aku tak peduli. Yang terpenting dia masih bisa ditunggangi,” kekeh si pria muka codet dengan senyum bengis.

Mereka kembali memakai baju, lalu menaiki kendaraan roda dua, keluar dari area perkebunan kopi milik juragan kaya raya, ayah mertua Sawitri, wanita yang barusan saja di rudapaksa.

Sosok yang baru saja diperlakukan layaknya hewan di tempat penjagalan itu masih tetap bergeming layaknya benda mati dengan posisi telentang, dalam keadaan tak berbusana, kedua tangan terentang, hanya deru napas pelan sebagai tanda dia makhluk bernyawa.

.

.

Sore hari

“Pak, mengapa Sawitri belum pulang juga?” tanya wanita paruh baya dengan mimik cemas, netranya menatap pintu rumah kayu, berharap melihat sosok putrinya.

Jedder

Suara petir saling menyambar, di luar sana sedang hujan badai, langit pun menggelap.

“Ibuk dirumah saja ya, biar Bapak pergi mencari Sawitri.” Kasman, ayah dari Sawitri beranjak, bergegas mengambil mantel plastik, dan menyambar senter.

“Hati-hati, Pak!” ucapnya lirih, tubuh ringkih nya bergetar hebat, rasa cemas menghantam ulu hati.

Pak Kasman mengangguk, membuka pintu depan rumah panggung mereka, menuruni undakan tangga, seketika tubuhnya langsung terkena hujan.

.

.

“Sawitri! Witri! Engkau dimana Nak?” Langkah kakinya tetap tergesa-gesa, tidak menghiraukan kilat halilintar dan derasnya air hujan, jas hujan yang dikenakannya tidak mampu memberikan perlindungan, tubuh kurus itu terlihat bergetar kedinginan.

Sosok bergelar Ayah tersebut terus saja berjalan tanpa arah, mengetuk setiap rumah tetangga yang saling berjarak sekitar 15 meter, menanyakan apakah putrinya ada di sana, ia mendapati jawaban sama. Sawitri tidak ada di rumah mereka.

***

“Gara-gara hujan sialan, jadi tertunda menikmati tubuh istrinya Hardi! Harusnya sudah dua ronde burung ku berenang di gua nikmatnya itu!” Pemuda pincang terus menggerutu, menyeret kakinya agar lebih cepat melangkah.

Sementara kedua temannya terlihat santai, mereka berjalan menuju tempat di mana tadi mengeksekusi Sawitri. Istri dari anak pemilik perkebunan kopi terbesar di wilayah transmigrasi, juragan Bahri.

“Kalian enak betul telah berulang kali memompa dengan gaya berbeda-beda, sementara aku baru dua kali,” sungutnya sembari mengusak rambut berpotongan cepak.

“Baiklah, sekarang kami mengalah. Cepat sana kau tunggangi dia!” titah pria berwajah codet.

Akibat hujan deras yang mengguyur wilayah perkebunan transmigrasi, mereka terjebak di warung makan.

Wajah si pincang begitu berseri-seri, tangannya meremas bagian sensitif sambil membayangkan berbagai macam gaya. Begitu tiba dilokasi, ekspresinya berubah pias.

“Dia_ kemana dia?!”

.

.

Bersambung.

Setting tahun 1990-an.

Dendam : 02

“Dia_ kemana dia?!”

Bugh!

Kaki pincangnya tidak bisa menahan keseimbangan, berakhir terjengkang.

"Kemana perginya dia?" kedua pria lainnya tidak kalah terkejut.

"CEPAT CARI! JANGAN SAMPAI SI SUNDAL ITU MENGADU PADA WARGA!!!" Pria kejam yang tadi berlaku sangat kasar, berteriak nyaring, ia bergegas mengeluarkan parang yang terikat pada pinggang.

Ketiga sosok itu mengamati tempat dimana tadi sang korban mereka ikat. Hanya ada tali tambang, sandal jepit, bra yang tali depannya putus, celana dalam robek, baju terusan tak berbentuk lagi.

“Hujan Bedebah!” pemuda berwajah codet terlihat murka, mulutnya terus mengumpat, berjalan sembari memicing dan melotot kan mata, mencari jejak Sawitri.

Namun, seberapa jauh mereka melangkah, secuil pun tak ditemui jejak apalagi sosok wanita yang tadi mereka tinggalkan dalam keadaan pingsan.

“Jahannam! Kemana perginya Lonte itu?!” Ia mengelap keringat di pelipis, kaki nya terasa berdenyut dikarenakan terlalu lama berjalan tak tentu arah.

Hari sudah mulai gelap, langit pun tampak menghitam, ketiga manusia tanpa perasaan itu masih tetap berjalan bersisian mencari Sawitri. Namun, akibat hujan deras tadi, mereka kehilangan jejak, tak ada telapak kaki, ataupun tetesan darah.

Sawitri seolah menghilang bak ditelan bumi.

Sampai dimana para pria layaknya preman itu tiba di pinggir sungai.

“Apa mungkin dia menyeberangi sungai besar itu dan memasuki hutan terlarang?”

“Bodohnya kau! Mana mungkin dia bisa berenang, sedangkan untuk bangun saja tak mampu. Tak nya kau lihat tadi, tubuhnya habis babak belur kita buat, bisa jadi pun kewanitaannya robek!” ketus pria sangar rambut gondrong.

Si pincang menghela napas kasar, dia nyaris putus asa, lelah, lapar, kesal, nafsu tak tersalurkan, semua rasa itu menjadi satu.

Tiba-tiba suasana menjadi senyap, sunyi, udara segar tadi berubah pengap, hampa. Binatang hutan seketika berhenti berbunyi, burung-burung walet tidak lagi berterbangan di atas permukaan air sungai yang berwarna keruh.

Sepersekian detik kemudian, hewan Gareng berbunyi saling bersahutan.

“Ada Gareng! Sebaiknya kita pergi dari sini!” si pria codet berbalik badan, tengkuknya merinding, ia dapat merasakan aura mistis yang pekat.

Kedua temannya mengikuti dari belakang, mereka melangkah tergesa-gesa.

Para warga mempercayai bila ada Gareng berbunyi, berarti ditempat yang sama ada pula sosok ghaib.

Suara motor yang tidak ber plat itu terdengar bising, sang pengendara memutar habis gas tangan.

Bertepatan dengan itu, dibalik pohon keramat, muncul sosok berjubah putih, rambut panjang menutupi wajah, terlihat membuka kepalan tangannya berkuku runcing, memanggil hewan peliharaan, Gareng hijau.

Seketika suasana kembali hangat, burung hantu berbunyi, dan jangkrik mengerik.

.

.

“Bagaimana Pak? Apa Witri sudah ketemu?” tanya Mina, wajahnya terlihat cemas, sembab.

Pak Kasman menggeleng lemah, meluruhkan bokong pada undakan tangga teras, perutnya terasa perih, pakaian basah, tapi tidak dirasa.

“Lantas kita harus apa, Pak?” bu Mina kembali histeris, dia turun dari pembatas rumah, duduk tepat di belakang sang suami. Tangan tua nya mengguncang bahu pak Kasman.

“Ayo kita ke rumah Juragan Bahri, Pak! Siapa tahu Witri ada di sana bersama suaminya,” ajaknya.

“Tak mungkin, Buk. Kita tahu betul bila pernikahan Sawitri dan nak Hardi, tersembunyi dan hanya secara siri.” Pak Kasman meraup wajahnya seraya menghembuskan napas letih.

“Beberapa kali kita dapati saat Nak Hardi mewanti-wanti Sawitri, agar jangan sampai membeberkan pernikahan mereka, tak boleh juga berkunjung ke hunian mertuanya. Semua itu telah membuktikan kalau menantu kita belum siap jujur dihadapan orang tuanya,” sambungnya terdapat nada sesal.

Bu Mina tergugu, ingin bertindak lebih tapi terhalang status tersembunyi sang putri.

Ya, tiga bulan yang lalu, Sawitri dinikahi oleh Hardi. Namun pernikahan itu hanya dihadiri Hardi seorang diri, dan kedua orang tua Sawitri serta pak penghulu, ada juga seorang saksi bayaran dari pihak Hardi.

Sebenarnya kedua orang tua Sawitri tidak setuju, mereka sadar diri akan kesenjangan ekonomi. Keluarga sang menantu bukan orang sembarangan, melainkan sosok ditakuti, pemilik perkebunan kopi terbesar di wilayah transmigrasi.

Sementara keluarga Sawitri, hanya pekerja serabutan, tak jarang pula menjadi pemetik buah kopi di perkebunan milik juragan Bahri.

Namun, putri mereka sudah terlanjur jatuh cinta kepada Hardi, pemuda baik budi, begitu menyayangi, dan berkelakuan baik, bertutur kata sopan. Sehingga tidak ada cara lain, selain merestui hubungan mereka, daripada berbuat zinah.

"Witri kau dimana Nak? Apa tak kasihan lihat Mamak dan Bapak yang mencemaskan mu ini," lirih bu Mina.

***

Malam semakin larut, kedua orang tua Sawitri duduk di lantai ruang tamu, hanya ditemani lampu teplok yang kacanya menghitam sebagian dikarenakan nyala api terlalu besar.

Tidak ada yang bersuara hanya terdengar suara sesenggukan tangis Bu Mina. Pintu rumah masih dibuka, mereka menunggu kepulangan putri semata wayang.

“Kalau sampai besok pagi Witri belum pulang juga, kita harus ke rumah juragan Bahri, Pak! Ibuk tak peduli lagi pada permintaan Hardi, bila nanti pun kita kehilangan mata pencaharian, tak mengapa asal Sawitri pulang,” lirih bu Mina, suaranya terdengar serak.

“Semoga saja Sawitri bersama dengan suaminya, Buk. Sebelumnya juga dia pernah pergi dua hari dibawa oleh Hardi ke kota, siapa tahu sekarang pun sama seperti itu,” katanya penuh harap, matanya tidak berkedip menatap suasana gelap diluar sana.

.

.

Pagi hari, kabut tebal masih menyelimuti, embun membasahi dedaunan. Pada undakan tangga rumah panggung sederhana, seorang pria bertubuh gagah tengah mengetuk pintu, wajahnya dipenuhi binar bahagia, merasa senang bisa bertemu kembali dengan sang pujaan hati.

Tok

Tok

“Ibuk, Pak, Sayang!” ia terlihat tak sabaran, sebelah tangannya menjinjing plastik kresek.

Daun pintu yang terlihat keropos dimakan rayap itu dibuka setengah, terlihat sosok wanita paruh baya berwajah kuyuh, kantung mata menghitam, rambut putihnya keluar dari gelungan.

“Ibuk, kenapa?”

“Mana Sawitri, Hardi?!” pertanyaan dibalas tanya, seraya kepalanya bergerak ke kanan-kiri mencari sang putri.

“Maksudnya apa, Buk? Saya kemari ingin bertemu Witri. Ini saya bawakan buah anggur kesukaannya,” rautnya kebingungan hingga keningnya mengernyit dalam.

“Bapak!” Bu Mina berpegangan pada kusen pintu, ia tak sanggup menahan bobot tubuh.

“Apa Buk? Witri pulang kah?” langkahnya tergesa-gesa, sampai kain lap yang tersampir di pundaknya terjatuh, ia sedang menanak nasi di dapur terpisah dari bangunan rumah.

“Nak Hardi, mana putri Bapak?” netra tuanya bergerak liar, mencari sosok yang begitu ia kasihi.

Antara bingung, sedih, Hardi menatap tidak percaya pada kedua mertuanya. “Sebetulnya ini ada apa? Tolong jelaskan!”

Melihat wajah nelangsa sang menantu, pak Kasman menguatkan hati, ia bertutur lirih menceritakan tentang niat Sawitri yang ingin mengabarkan kehamilannya kepada suaminya.

“Ayo kita temui Ayah! Hanya dia yang bisa membantu mencari istriku.” Hardi menghapus kasar air matanya, buah tangan yang ia bawa tadi telah jatuh di tanah.

“Apa kau telah siap menanggung resiko atas terbongkarnya pernikahan siri mu ...?”

.

.

Bersambung.

Dendam: 03

Hardi gamang, berhenti melangkah dan berbalik badan, jelas rautnya kebingungan antara ingin tetap menyembunyikan dan membeberkan, tapi dia menguatkan hati serta tekad demi istri dan calon buah hatinya.

“Tak masalah, dihajar babak belur pun saya terima, mau dibuang dari kartu keluarga juga tak mengapa, asal Sawitri kembali kerumah.”

Jawaban yakin itu menambah semangat orang tua Sawitri, mereka terharu sampai Bu Mina meneteskan air mata.

“Nak, terima kasih telah sudi mencintai Sawitri dengan tulus.” Bu Mina mendekati sang menantu, menepuk pundaknya.

Mata Hardi berkaca-kaca, ia menggenggam tangan ibu mertuanya. “Saya yang semestinya mengucapkan terima kasih Buk, kalian telah mengijinkan saya mempersunting wanita cantik paras serta hatinya.”

“Ayo!” sela pak Kasman setelah menutup pintu rumah.

Bersama mereka melangkah beriringan melewati jalan tak diaspal dan sebagian berkerikil, setengah jam kemudian sudah terlihat atap rumah seng milik juragan Bahri. Hunian paling mewah di kampung Tani.

Bu Mina menarik ujung kemeja lusuh suaminya, mereka jalan di belakang Hardi.

“Niat kita baik Buk, jangan takut selagi tak berbuat salah,” pak Kasman menenangkan istrinya.

“Bapak dan Ibuk tunggu sebentar di sini ya, saya panggil Ayah dulu.” Hardi mempersilahkan kedua mertuanya untuk duduk di kursi kayu teras rumah, lalu dia masuk ke dalam.

Namun, bu Mina dan pak Kasman tahu diri. Mereka duduk di lantai dengan kaki menjejak tanah.

“Eh eh … ada apa ini? Mengapa kalian pagi-pagi sekali sudah berkunjung? Mau minta jatah sembako kah?” sarkas sosok paruh baya yang terlihat masih muda, berpakaian bagus dengan emas berukuran besar menghiasi leher dan tangan.

Bu Mina menunduk, menjawab lirih. “Itu tak benar Nyonya. Kami datang karena ada perlu, ingin meminta pertolongan.”

Nyonya Samini ibunya Hardi, menatap tak suka sembari menelisik tajam penampilan lusuh wanita sebayanya yang mengenakan baju kaos berbahan kasar, dan kain jarik melilit bagian bawah, lalu menoleh ke si pria tua berkemeja berkancing tanggal, celana selutut terdapat robekan kecil.

“Kalian kira rumah kami tempat penanggulangan bencana apa? Minta tolong itu ke aparat ataupun perangkat desa, bukannya disini!” sindirnya sinis, seraya duduk angkuh di bangku.

“Bu, tolong jangan seperti itu ucapannya, mereka kesini bukan mau ngemis, tapi datang dengan cara terhormat,” tegur Hardi lembut, ia berdiri di samping ibunya.

“Halla … ujung-ujungnya minta bantuan gratis,” sungut nyonya Samini.

“Ehem … apa tak kurang pagi kalian sampai sini? Matahari saja belum terbit, kalian sudah berharap pertolongan dengan berpenampilan bak gembel.” Sosok tinggi, perut melar, kumis tebal, dan wajah sangar itu keluar dari dalam rumah, duduk disebelah istrinya.

Pak Kasman dan bu Mina menghela napas, kalau saja bukan hal penting, tidak akan mau mereka berkunjung.

Kedua orang tua Hardi memang terkenal sombong, semena-mena, sering sesuka hati memotong upah para pekerja.

“Cepat katakan apa mau nya! Saya tak ada waktu mengurusi hal remeh dari kaum rakyat jelata macam kalian!” titahnya merendahkan.

Pak Kasman merubah posisi duduknya menjadi menghadap sang besan. “Kami ingin memohon pertolongan, Juragan. Dari kemarin pagi putri saya tak pulang, sudah dicari sampai desa sebelah, tapi keberadaannya tidak ada yang mengetahui. Kiranya juragan berbaik hati, mau membantu menurunkan para kroco untuk mencari Sawitri.”

“Palingan anakmu itu minggat bersama laki-laki, lantaran sudah bosan hidup melarat,” sela nyonya Samini.

“Bu!” Hardi memegang pundak ibunya.

“Kau itu jadi orang janganlah terlalu baik ataupun lembek, nanti mereka ngelunjak! Bukan menghargai tapi menginjak!” bentak nyonya Samini, menepis tangan putranya.

Juragan Bahri menatap muak dua orang yang duduk berlutut, terbentang jarak empat langkah dari tempatnya duduk.

“Apa yang bisa kalian tukar sebagai imbalan?”

Pak Kasman bingung, dia tak memiliki barang berharga, selain anting emas setengah gram yang dikenakan istrinya.

Kala tak mendapati jawaban, ia menawarkan kesepakatan. “Berikan Ayam jago mu! Maka saat ini juga anak buah ku bergerak mencari putrimu.”

Netra pak Kasman membulat sempurna, ayam kesayangannya yang sudah lebih dari 5 kali menjadi juara saat di sabung diminta sebagai alat tukar.

“Apa tak ada pilihan lain, Juragan? Saya rela bekerja tak diupah,” tawarnya mencoba keberuntungan.

Juragan Bahri mendengus menatap mengejek. “Siapa pula yang ingin mempekerjakan orang tua berpenyakitan macam kau ini, baru berjalan beberapa meter sudah ngos-ngosan, tubuh ringkih, pandangan kabur, sama sekali tak berguna. Ya … atau tidak?!”

Demi putri kesayangannya, ia rela melepaskan hewan peliharaan yang sudah dirawat sedari piyik. “Baik, juragan.”

“Yah, tolong jangan terlalu kejam! Ayam jago itu termasuk sumber penghasilan keluarga pak Kasman. Bila Ayah ambil, lalu bagaimana mereka bertahan hidup?” Hardi menatap memelas ayahnya.

"Bela terus mertuamu itu Hardi! Rupanya kau sudah siap Ayah depak dari kartu keluarga dan rumah ini. Sudah untung, tak ku hajar kau dan mereka!” Tunjuknya tepat pada kedua orang tua Sawitri.

“Bernyali sekali kalian ingin menipu seorang Bahri, bermain api, sudah siapkah terbakar nyala nya?”

Hardi sangat terkejut, wajahnya pias, ia bergegas bersimpuh, mencium kaki ayahnya. “Maafkan saya, Yah. Saya mencintai Sawitri.”

“Omong kosong! Cinta mu itu tak pakai otak, harusnya kau gunakan logika, mereka begitu melarat, tak berpendidikan dan hanyalah buruh kasar. Sementara kau … Ibuk kuliahkan sampai menjadi seorang sarjana terhormat. Begitu wanita miskin itu ditemukan, segera kau ceraikan!” Nyonya Samini begitu murka, ia berdiri dan menuding putra semata wayangnya.

Hardi menggeleng, ia beralih memegang kaki ibunya, memohon agar jangan dipaksa menceraikan Sawitri.

Juragan Bahri berdiri, bersuara lantang memanggil ketiga orang kepercayaannya. “Herman! Gandi! Pendi!”

“Siap Juragan!”

Muncul lah ketiga sosok sebaya, yang salah satu diantara mereka berjalan pincang, satunya lagi berwajah cacat.

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!