NovelToon NovelToon

Seni Seviyorum (Aku Mencintaimu)

01. »Permintaan«

***

    Seorang wanita tampak duduk dibalik meja kerjanya. Wajahnya terlihat kelelahan, beberapa tumpuk berkas ada di atas meja. Memenuhi setiap sudut, hanya menyisakan ruang untuk sebuah figura dengan gambar dirinya dan dua bocah kecil yang mengapitnya.

"Bunda ...," wanita itu menoleh, lalu tersenyum kearah seorang bocah laki-laki yang sekiranya berumur 7 tahun, "apa Bunda masih kerja?" wanita yang disapa Bunda itu menatap arloji ditangannya, lalu mengusap wajah kasar.

"Ahh, Ezha maafkan Bunda, tidak bisa menjemputmu siang tadi. Bunda banyak kerjaan sayang," sesal wanita itu. "Kenapa kamu bangun, tengah malam begini?" wanita itu berjalan mendekati anak laki-lakinya yang bernama Ezha, lalu mensejajarkan tubuhnya dengan bocah kecil itu.

"Ezha haus." jelas Ezha seraya mengucek kedua matanya. Tampaknya dia masih mengantuk, wanita itu menghela nafasnya.

"Bunda ambilkan ya, kembalilah tidur Ezha, besok kamu harus sekolah!"

"Bunda, kapan Ayah pulang?" pertanyaan bocah kecil itu sontak membuat sang wanita diam seribu bahasa. Pasalnya akibat pria itulah ia harus menunda pekerjaannya, dan kini pekerjaannya menggunung.

"Ayah banyak pekerjaan, jadi dia belum bisa pulang," jelasnya.

"Tapi kapan? Ezha dan Asha sudah ingin bertemu!" Ezha merengek.

"Ezha. Mengertilah ...," mata wanita itu berkaca-kaca, membuat Ezha langsung menunduk dan diam.

"Maaf Bunda, Ezha akan menunggu di kamar." putus Ezha lalu pergi begitu saja.

***

Seminggu sebelumnya...

   Alisa Humaira. Seorang Desainer yang sudah sangat sukses dalam bidangnya, memiliki perusahaan sendiri dan juga memiliki kantor dibeberapa cabang daerah, semua itu hasil kerja kerasnya yang ia bangun dari nol.

   Disetiap kesempatan dan peluang yang ada, Lisa selalu berusaha untuk mengambil peluang itu, hingga kini Lisa berada dipuncak kejayaannya.

    Siang ini, Lisa tengah duduk diam di balik meja kebesarannya, saat sebuah ketukan membuatnya sadar dari lamunan panjangnya, "ya, masuk!" pinta Lisa dengan tenang.

"Maaf Bu. Di luar ada Bu Zara, beliau ingin bertemu dengan anda," dia adalah Nara, sekertaris andalan Lisa. Lisa segera membereskan tumpukan desain yang ada di atas mejanya.

"Ya, biarkan dia masuk!"

"Baik Bu." sekertaris Lisa itu kembali keluar, dan beberapa saat setelah kepergian Nara, seorang wanita cantik masuk ke dalam ruangannya. Wajahnya menampilkan mimik tegang.

"Aku masih sedikit sibuk duduklah ...."

"Lisa! Menikahlah dengan suamiku!" Lisa menghentikan kegiatannya, lalu menatap Zara dengan pandangan bertanya, "aku tau semuanya Lisa. Siapa yang sudah meninggalkanmu di hotel hari itu, pria itu adalah suamiku, Lisa!" Lisa terdiam cukup lama, hingga keheningan tercipta di ruangan itu.

"Maaf ...," setelah seperkian menit terjadi keheningan, Lisa angkat bicara. Berdiri dari duduknya lalu menarik Zara untuk duduk di sofa ruangan itu, "Zara ... kamu tau bagaimana aku hidup, kamu tau bagaimana aku menjalani Visi dan Misiku selama ini, kamu juga tau apa Motto hidupku." Zara menggeleng dengan air mata yang mengalir tanpa bisa di cegah.

"Tidak Lisa! Walaupun aku tau kamu tidak ingin. Tapi aku juga tau. Jika bukan dengan pria yang telah merenggut kehormatanmu, maka kamu tidak akan pernah menikah!" Lisa memijit pangkal hidungnya.

"Zara dengarkan aku, aku hidup hanya sekali ..."

"Mencintai sekali, menikah sekali dan matipun sekali! Aku tau Lisa. Aku tau!" ucap Zara menggebu, "Tapi ku mohon, demi aku, demi suamiku!" Lisa menggeleng tak mengerti, "aku sudah tau apa yang terjadi di hari itu. Sehari sebelum pernikahanku dengan suamiku terjadi, dia menceritakan kehilafannya padaku. Dia sangat menyesal telah melakukan itu padamu dan ...," ucapan Zara terpotong karena remasan di sebelah tangannya, Lisa yang melakukannya.

"Zara, dengarkan aku." kata Lisa serius, "aku sudah hidup seperti biasa setelah 8 tahun lalu kejadian itu. aku tidak membutuhkan siapapun lagi!" tegas Lisa. Zara semakin menangis di buatnya.

"Lisa, sejujurnya ... umurku tidak panjang lagi." Lisa sontak melepas genggaman tangannya, lalu menatap Zara menuntut penjelasan.

"Apa yang terjadi?" raut khawatir jelas tercetak di wajah Lisa kala mendengar sahabat yang sangat dekat dengannya itu pemberi penuturan seperti itu.

"Aku tidak akan hidup lebih lama dari ini Lisa. Sebenarnya, satu bulan lalu dokter memfonis diriku terkena kanker rahim dan sudah stadium akhir." Lisa membekap mulutnya sendiri, matanya berkaca-kaca lalu memeluk sang sahabat.

"Hentikan Zara, aku akan marah jika kamu melanjutkan ceritamu!" Lisa tak sanggup mendengar penuturan sang sahabat. Namun, lain dengan Lisa. Zara justru segera mengurai pelukan itu, lalu menggenggam kedua tangan Lisa dengan sangat erat.

"Maka dari itu ... menikahlah dengan suamiku, jaga dia seperti kamu menjagaku dulu, kasihi dia seperti kamu mengasihi aku. Aku percaya padamu Lisa!" Lisa kembali menggeleng, melepaskan genggaman tangan Zara di tangannya.

"Zara! Aku sudah mengatakannya sekali, jangan sampai aku mengulangi perkataanku, aku tidak suka di paksa! Kamu tau itu."

"Demi aku Lisa! Demi aku!" Zara semakin menangis, Lisa menggeleng.

"Aku akan menghubungi suamimu, agar dia menjemputmu sekarang ..." Lisa tiba-tiba ingat sesuatu, "apa dia sudah tau kondisimu?" Zara diam, menandakan bahwa wanita itu belum memberi tau suaminya atas apa yang di alaminya.

   Lisa mengusap keningnya yang sedikit berkeringat, padahal suhu AC sudah cukup dingin. Namun, hawa panas malah terasa di tubuh Lisa. "Aku akan menghubunginya sekarang!" Zara hanya diam kala Lisa mengambil buku telfon di atas mejanya, dan mulai menghubungi seseorang yang sejak tadi mereka bicarakan.

   Zara hanya mampu menangis dalam diam, menunduk sambil menautkan jari-jemarinya diatas pangkuan. Dia benar-benar tulus mengatakan bahwa Lisa harus menikah dengan suaminya, apa sulit bagi seorang Lisa menikah dengan suaminya?

"Dia akan datang sebentar lagi." Zara menatap aneh Lisa, suaranya berbeda dari Lisa yang biasanya. Zara berinisiatif menarik tangan sahabatnya agar kembali duduk di sofa.

"Apa kamu ada masalah?" Zara menatap Lisa yang tampak ragu.

"Aku tau, aku egois Zara. Tapi, ceritaku satu minggu lalu, bukan berarti aku ingin merebut suamimu! Aku ..."

"Kamu tidak merebutnya, aku yang mengizinkanmu menikah dengannya." Lisa ragu. Jujur dalam hati kecilnya, Lisa memang ingin tau, siapa Ayah kandung dari kedua anaknya, tapi saat tiga hari lalu Zara berkata bahwa suaminya adalah orang yang telah merenggut kehormatannya dulu. Lisa sekan menyesal telah mencurahkan isi hatinya pada Zara.

"Bu, ada tamu, katanya sudah buat janji dengan anda." Nara muncul dari balik pintu.

"Siapa?" tanya Lisa bingung.

"Dia bilang namanya Revan Sanjaya." Lisa mengangguk.

"Biarkan dia masuk." perintah Lisa.

"Baik Bu." Nara kembali keluar. Beberapa saat berlalu, Nara kembali dengan seorang pria di belakangnya. Ketika pria itu masuk ke ruangan itu, Lisa masih acuh tak acuh, dan mempersilahkan Revan untuk duduk di samping Zara.

"Tuan Sanjaya, silahkan duduk," pinta Lisa sopan.

"Maaf?" Revan terdiam saat menatap Lisa, dia ingat betul wanita ini, wanita yang 8 tahun lalu dia tinggalkan di kamar hotel sehari sebelum pernikahannya dengan Zara.

"Apa yang terjadi?" Revan mendekati Zara yang masih menangis. Lisa duduk di sofa tunggal, sebenarnya tak ingin mengganggu. Tetapi, masalah ini harus segera diluruskan.

"Mas ...," bisik Zara. Revan merengkuh tubuh istrinya, dan membuat Lisa mengerti, bahwa Revan begitu sangat menyayangi Zara.

"Tenanglah, katakan apa yang terjadi," pinta Revan penuh sayang.

"Aku ... aku ingin kamu menikahi Lisa!" putus Zara, membuat Revan spontan menatap Lisa.

"Tunggu sebentar!" Lisa menginteruksi ucapan Zara. "Zara, aku tidak ingin merusak rumah tangga kalian, aku akui dulu aku juga salah. Memasuki kamar orang tanpa tau itu kamar siapa, tapi itu semua sudah terjadi, toh aku masih baik-baik saja sampai sekarang." Lisa mengangguk meyakinkan.

"Apa maksudnya ini?" Revan sama sekali tidak mengerti.

"Mas ... aku mohon, bertanggung jawablah terhadap Lisa. Aku tau betul, seumur hidupnya, Lisa tidak akan menikah jika kamu tidak bertanggung jawab!" Revan tertegun, lalu menatap Lisa yang menatap Zara dengan wajah tenangnya.

"Zara! Aku sudah sering mengatakan hal itu padamu!" Lisa tak mengerti jalan fikiran Zara saat ini.

"Tapi ini satu-satunya cara Lisa! Agar Mas Revan bisa bertanggung jawab atas perilakunya padamu kala dulu." Revan menggeleng.

"Aku tidak akan menikahi siapapun selain dirimu!" ungkap Revan menggenggam tangan Zara erat. Zara semakin terisak, dia tau Revan sangat menyayangi dan juga mencintainya, tapi semua itu akan musnah beberapa hari lagi.

knock knock

Suara ketukan pintu kembali terdengar. "Permisi ...." Nara kembali masuk. Kali ini ekspresi wajahnya tampak panik.

"Ada apa?" tanya Lisa bingung.

"Adik Asha menangis, dia ingin bertemu anda sekarang Bu." Lisa menegang. Ada Revan di ruangan itu, apa Revan akan mengenali Asha sebagai putrinya?

Chapter 01 end.

02. »Kecurigaan«

***

   Lisa menggendong putrinya masuk ke ruangannya, sedangkan Ezha berjalan di belakang Lisa sambil membaca buku.

"Ezha, Bunda sudah ingatkan jangan membaca sambil berjalan!" peringat Lisa. Namun, yang namanya Arezha Zakki itu tak mau mendengarkan perkataan sang Bunda. "Maaf menunggu lama." Revan tampak masih mengusap bahu Zara untuk menenangkannya, sedangkan fokus Zara kini ada pada dua bocah yang berada disisi Lisa.

"Siapa mereka Lis?" tanya Zara. dia sudah tak menangis. Entah pembicaraan apa yang terjadi saat Lisa menemui Ashakira dan Arezha tadi. Yang jelas Zara, sepertinya sudah lebih tenang.

"Mereka anak-anakku." jelas Lisa tanpa ragu,

"Anak? Kamu sudah menikah?" Zara tidak tau itu. Yang dia tau, Lisa tinggal bersama Tantenya selama hampir 15 tahun setelah kedua orang tua Lisa meninggal akibat kecelakaan pesawat.

"Tidak!" Lisa duduk di sofa tunggal. Sambil memangku Ica yang mulai terlelap dalam dekapannya.

"Tapi kenapa ...?" Zara bingung. Revan menegang, di lihat dari manapun, Ezha sangat mirip dengannya. Walaupun gadis kecil yang ada dalam gendongan Lisa masih belum memperlihatkan wajahnya, "apa mungkin kamu mengadopsi anak agar menemanimu?" Zara masih belum sadar kemiripan diantara Bian dan Revan.

"Itu tidak penting sekarang Zara. Yang harus kalian bahas bukan aku, melainkan rumah tangga kalian, dan aku tidak ingin dengar kalian bertengkar!" Lisa mengusap punggung Asha saat gadis kecil itu menggeliat dalam tidurnya, sepertinya dia kelelahan setelah menangis.

"Kami memutuskan untuk tidak memaksamu!" Lisa tersenyum lega. Revan menunduk, dia ingin bertanya. Tetapi, ada Zara disana, yang statusnya adalah Istrinya, dia tak ingin menyakiti hati Zara. Terlebih, sudah 8 tahun mereka menikah, tetapi tidak juga dikaruniai momongan.

"Bagus, aku senang mendengarnya." Lisa tersenyum singkat. "Ezha kemari sayang!" Ezha mendekat, anak itu sejak tadi duduk di kursi kerja Lisa.

"Ya Bunda ...." Ezha menatap Revan dan Zara secara bergantian.

"Kenalkan, ini anaku, mereka kembar, Arezha dan Ashakira!" jelas Lisa. Bian menyalami Zara dan Revan.

"Berapa usianya?" tanya Zara,

"7 tahun, mereka baru masuk SD tahun ini," kekeh Lisa.

"Bunda ...." Suara parau Asha terdengar. Lisa tersenyum lalu mengecup kening putrinya sayang.

"Princess Bunda sudah bangun ternyata, humm. Cuci wajahmu sana!" perintah Lisa. Asha mengangguk lalu turun dari pangkuan Lisa, membuat Revan sangat penasaran dengan wajah Asha karena bocah kecil itu membelakanginya.

"Sebaiknya kalian kembali, lagi pula aku yakin kalian masih ada pekerjaan." Lisa tersenyum lalu menggenggam tangan Zara erat, "kamu lihat 'kan Zara. Aku bisa hidup normal, bahkan aku juga sudah memiliki Fabian dan Felisha."

"Bunda ...." Asha berlari dan langsung memeluk Lisa.

"Keringkan dulu wajahmu!" peringat Ezha. Lisa mengambil tisu lalu mengelap bekas air yang ada diwajah putri kecilnya.

"Salim sama Om dan Tante ...," perintah Lisa. Asha mengangguk semangat, lalu mendekati Zara dan mencium tangannya. Setelah itu Asha berhadapan dengan Revan, keduanya saling diam, sampai Asha berkata.

"Om ini kok, mirip Kak Ezha," ucapnya spontan membuat Zara memperhatikan keduanya. Lisa menegang, semoga Zara tak curiga.

"Asha tidak boleh begitu," peringat Lisa.

"Bener kok Mom, kak Ezha sini." Asha menarik Ezha agar duduk di samping Revan, lalu memperhatikan keduanya, "miripkan!" ujarnya. Zara mengerjapkan matanya.

"Zara sebaiknya kamu istirahat, udara di luar tidak baik untuk kesehatanmu." Lisa mengalihkan fokus semuanya.

"Benar apa kata Lisa, sebaiknya kita pulang!" Revan membenarkan. Zara mengangguk lalu berpamitan pada Lisa.

***

   Lisa sedang sibuk siang itu, saat seorang tamu datang tanpa di undang. Membuatnya bingung dan juga takut. Entah apa yang dia takutkan, yang jelas Lisa benar-benar tidak menyangka bahwa orang itu akan datang menemuinya.

Şuara ketukan pintu terdengar. "Masuk!" titahnya masih serius mengecek hasil disainnya.

"Maaf Bu, ada yang ingin bertemu." ucap Nara.

"Katakan aku sibuk!" jawab Lisa.

"Tapi, beliau memaksa masuk Bu, dia juga tidak ingin pergi sebelum bertemu dengan Ibu." Lisa mengernyit. Siapa orang yang begitu kekeh ingin menemui dirinya?

"Siapa dia?" Lisa meletakkan kertas-kertas begitu saja di atas meja, lalu menatap Sekretarisnya.

"Pak Sanjaya, dari Sanjaya Grup." Lisa langsung menegang mendengar nama suami dari sahabatnya itu.

"Ada jadwal apa hari ini?" tanya Lisa kemudian.

"Hari ini kosong Bu." Lisa mengangguk.

"Baiklah, katakan pada Pak Sanjaya, saya akan menemuinya." Nara mengangguk.

"Baik Bu, akan saya sampaikan, saya permisi." Nara melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja Lisa. Lisa memijit prlipisnya yang mendadak terasa sakit. Ini adalah hari ketiga, setelah dengan tiba-tiba Zara datang dan memintanya untuk menikah dengan Revan, dan kenapa sekarang Revan datang kesini? Untuk apa?

***

   Lisa menatap secangkir teh hangat yang ada di atas meja, menghembuskan nafas, Lisa mendongak menatap Revan yang juga tengah menatapnya, "katakan yang sejujurnya!" Lisa hanya diam. Apa dia harus memberi tahu Revan bahwa Ezha dan Asha adalah darah dagingnya? Untuk apa? Sementara Revan sudah memiliki istri dan yang membuat Lisa tak ingin memberitahukan kebenaran itu adalah, karena istri dari Revan adalah sahabatnya sendiri. Zara Musthafa.

"Katakan sesuatu Mrs. Callista!" Revan mulai tak sabaran.

"Apa Zara tahu bahwa anda mendatangi saya?" bukan menjawab, Lisa malah melempar pertanyaan yang membuat Revan diam.

"Jawab saja pertanyaan ku! Apa benar anak-anak yang kemarin ada di kantormu itu adalah anakku?" Lisa mengepalkan tangannya, seharusnya Lisa tak membawa Ezha dan Asha masuk waktu itu.

"Itu bukan urusan anda!" jawab Lisa mencoba setenang mungkin.

"Jika mereka benar adalah putra-putriku, maka itu adalah urusanku juga!" Lisa menggeleng. Dia mencoba biasa saja walaupun degupan jantungnya tak bisa ia sembunyikan, dia takut Revan akan mengambil kedua anaknya dari sisinya.

"Anda pasti salah sangka. Dari mana anda meyakini bahwa mereka adalah anak-anak anda?" Lisa mulai gugup.

"Arezha. Anak itu begitu mirip denganku, anda tidak bisa membohongi itu." Lisa terkekeh.

"Tahukah anda Pak Sanjaya. Didunia ini, ada 7 orang yang memiliki wajah yang begitu mirip, anda tidak bisa mengklaim bahwa mereka adalah anak anda dengan hanya bermodal kata mirip!" Revan terdiam.

"Lalu bagaimana dengan Asha! Apa dia juga kebetulan memiliki warna mata yang sama dengan saya?" Lisa semakin terlihat gugup, dan Revan menangkap gerak-gerik itu.

"Anda tidak bisa mengakui mereka hanya karena hal sepele seperti itu." Revan menggeleng,

"Aku sangat yakin bahwa mereka adalah anak-anakku!" Revan bersikeras.

"Kalaupun mereka adalah anak-anak anda, memangnya apa yang akan anda lakukan? mengambil mereka dari saya? Maaf saya tidak akan menyerahkan mereka pada siapapun. walaupun orang itu adalah Ayah kandung mereka!" tegas Lisa, dan hal itu semakin meyakinkan Revan, bahwa Ezha dan Asha adalah anak-anaknya.

"Jika mereka benar adalah anak-anakku, maka izinkan mereka tau keberadaanku!" Lisa menggeleng cepat, lalu terkekeh.

"Siapa anda ingin di akui dalam keluarga kecil kami!" Lisa tak terima. Rasa marah dan benci berbaur menjadi satu kala itu, sifat tenang dan berwibawa Lisa menguap begitu saja.

"Tolong mengertilah ...." Revan menatap memohon pada Lisa. Namun, Lisa membutakan pandangannya, menepis jauh-jauh tentang fikiran bahwa Ezha dan Asha akan senang mengetahui mereka mempunyai Ayah yang selama ini mereka cari.

"Maaf Pak Sanjaya, saya ...."

    Dering ponsel membuat Lisa menghentikan ucapannya, itu dari wali kelas Ezha.

"Halo." sapa Lisa.

"Bu Alisa, saya Yunita. Wali kelas Arezha, apa anda bisa datang ke sekolah sekarang?"

"Ada apa Bu?"

'Arezha terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya, dan sekarang dia ....'

"Ezha! Bagaimana mungkin. Bu, saya akan kesana sekarang!" panggilan berakhir, Lisa meletakkan ponselnya ke dalam tas, "Pak Sanjaya, sepertinya percakapan kita sampai di sini, dan semoga kedepannya kita tidak bertemu lagi!" Lisa hampir meninggalkan meja, tapi Revan mencegahnya.

"Anda akan pergi kemana?" Lisa melepas genggaman tangan Revan dari pergelangan tangannya.

"Maaf, itu bukan urusan anda!" Lisa segera bergegas meninggalkan cafe. Revan penasaran, apalagi tadi saat Lisa menyebut nama Ezha, wajahnya tampak khawatir. Dia harus tau kemana Lisa akan pergi.

Chapter 02 end.

03. Tragedy.

***

   Lisa memarkirkan mobilnya disebuah parkiran sekolah yang cukup luas. Wanita itu keluar dengan terburu-buru dan segera menuju ke ruang Bimbingan Konseling atau yang biasa di sebut BK. Dengan cepat Lisa segera masuk ke ruangan itu, di sana sudah ada Ezha yang duduk di sofa, di sampingnya Asha yang tengah menangis, dua orang guru dan kepala sekolah, juga sepasang suami istri yang sedang menatap Ezha marah.

"Maaf saya terlambat." Lisa menyapa.

"Bunda ...." Asha berlari dan berhambur memeluk Lisa.

"Iya sayang, Bunda disini!" Lisa segera menggendong Asha.

"Silahkan duduk Bu!" Lisa mengangguk, lalu duduk di samping Ezha yang tengah menunduk. Namun, sejak kedatangan Lisa, Ezha melirik ke arah Bundanya.

"Bunda, maafin Azha." kata Ezha pelan, "tapi Ezha nggak salah Bunda. Denis bilang Ezha sama Asha nggak punya Ayah, dia bilang kita anak haram!" jelas Ezha menggebu, Lisa terdiam kaku, sebenarnya apa yang terjadi?

"Maaf Bu Alisa, saya sebagai wali kelas Ezha ingin mengatakan bahwa putra anda berkelahi dengan putra dari Pak Bambang, beliau tidak terima anaknya dipukul." jelas Yunita.

"Maaf Bu. Tapi saya tau, Ezha bukan anak yang suka berkelahi seperti itu!" Lisa tidak mengerti mengapa perkelahian seperti ini bisa terjadi.

"Lihat dong Bu, anak saya benjol gara-gara anak Ibu!" tutur Bu Bambang.

"Bu, dari yang saya lihat, anak Ibu baik-baik saja!" Lisa tidak melihat kejanggalan yang terjadi pada anak dari keluarga Bambang itu. "Bahkan saya malah melihat anak saya terluka, apa itu perbuatan anak Ibu?" Lisa balas bertanya, dia memang selalu terlihat tenang menghadapi segala situasi.

"Anak saya, nggak salah!" seru Bu Bambang.

"Tapi Bund, Denis duluan yang ngejek Ezha, dia bilang Ezha anak haram, dia bilang Bunda itu suka pergi malem-malem sama Om-Om!" Lisa menggeleng.

"Bu, saya bukan membela anak saya, tapi perkataan yang dilontarkan anak Ibu sudah keterlaluan. Anak saya sayang pada saya, maka dia membela saya. Dan dari mana anak sekecil itu tau kata-kata kasar seperti itu!" Lisa tak habis fikir.

"Tapi emang benerkan, Rezha nggak punya Papa, kaya Papa Denis!" sela Denis.

"Asha punya Ayah!" Asha menatap Denis tidak suka.

"Asha nggak boleh begitu, ya!" peringat Lisa. Asha masih menangis dalam pangkuan Lisa, "Begini saja Bu, agar masalah ini cepat selesai, lebih baik kita saling memaafkan." lanjutnya. "Ezha, kamu maukan memaafkan teman kamu?" Ezha terdiam sesaat lalu mengangguk.

"Iya Bund."

"Bagus!" Ezha mengulurkan tangannya pada Denis.

"Denis nggak mau minta maaf!" Denis menepis tangan Ezha lalu mengambil buku yang ada di atas meja dan hampir melemparkannya pada Ezha. Namun, Lisa dengan segera menarik Ezha kedalam pelukannya.

"Bu, sebaiknya kedua anak ini di pisahkan!" pinta Lisa. Yunita setuju, kepala sekolah sudah mengatakan keputusannya, Denis mendapat hukuman untuk belajar di rumah selama satu minggu, dan untuk Ezha, dia juga di hukum untuk belajar di rumah selama 3 hari.

***

   Lisa duduk di kursi didepan kedua anaknya, "Ezha sayang, Bunda nggam pernah ngajarin Ezha buat berantem sama temanmu 'kan?" ucap Lisa. Ezha menunduk, merasa menyesal.

"Maaf Bund," lirihnya, "tapi Bund, kapan Ayah pulang?" pertanyaan Ezha yang mendadak itu sontak membuat Lisa diam. Saat ini mereka ada di sebuah restoran yang menjadi tempat untuk makan siang bagi mereka.

"Bund, apa itu anak haram? Denis bilang, kita itu anak haram!" tanya Asha polos. Lisa segera menggeleng.

"Sayang, Denis itu asal bicara, kalian jangan memikirkannya, ya."

"Asha pengen ketemu Ayah!" rengek Asha

"Asha, dengarkan Bunda, ya. Ayah belum bisa pulang, dia sedang sibuk." jelas Lisa mencoba memberi pengertian.

"Bunda selalu bilang Ayah sibuk-Ayah sibuk. Bunda juga sibuk. Jarang jemput Asha sama Kak Ezha, tapi Bunda tetep pulang!" Asha kembali menangis. Ezha hanya diam saja, Lisa mengusap kepala Asha sayang.

"Nanti waktunya kalian pasti mengerti." Lisa mencium kening Asha. Mereka tak menyadari, sesosok pria yang sejak tadi mengikutinya. Dia adalah Revan, pria yang meyakini bahwa kedua anak Lisa adalah anaknya.

***

"Sampai kapan kamu menyembunyikan kebenarannya, Lisa?" Lisa menatap tantenya dalam diam. Nindi adalah sosok pengganti sang Mama yang sudah pergi mendahuluinya 15 tahun lalu.

"Tante, Lisa juga tidak tau siapa pria itu. Yang Lisa tau, Lisa sudah terbangun di sebuah kamar hotel sendirian dan tanpa pakaian." Lisa menutup wajahnya, gurat lelah tercetak jelas di wajahnya.

"Apa kamu tidak berniat untuk menikah? Kasihan Ezha sama Asha, Lis! Mereka terus-terusan tanya soal Ayah mereka."

"Lisa harus bagaimana?" Lisa mulai menangis. Sejujurnya, dia bukanlah wanita sekuat itu untuk diam ketika ada banyak luka yang dia dapatkan di hatinya. Menerima kenyataan bahwa Ezha dan Asha memiliki Ayah, itu berita yang membahagiakan. Tetapi, berita itu di selingi sebuah luka, yang menjadi harapan semu semata. Ternyata Ayah Ezha dan Asha adalah suami dari sahabatnya.

"Apa kamu benar-benar tidak tau siapa Ayah kandung Ezha dan Asha?" Lisa menoleh, menatap Nindi dengan wajah penuh air mata.

"Sebenarnya, kemarin dia menemuiku." jelas Lisa. Nindi menatap Lisa lalu mengusap kepala wanita itu.

"Lalu kenapa sekarang kamu terlihat bingung, katakan saja padanya apa yang terjadi? Aku melihat semuanya, Lisa. Aku yang menyaksikan sendiri perjuanganmu membesarkan mereka." Lisa menggeleng pelan.

"Tapi, pria itu adalah suami Zara, Tante!" jelas Lisa. Nindi langsung memeluk Lisa erat, begitu banyak penderitaan yang Lisa alami selama ini. Dia sudah melihatnya sendiri, bagaimana Lisa membesarkan si kembar, menjaga dan merawat mereka tanpa adanya sosok seorang laki-laki yang menemaninya.

***

    Lisa menatap Ezha yang kembali tertidur. Lisa mengusap kepala Ezga sayang, lalu mencium keningnya sebelum meninggalkan kamar si kembar.

  Lisa menuruni tangga, dan menuju ke kamarnya yang ada di lantai bawah, dia memang sudah membeli rumah untuk dirinya dan kedua anaknya, tentu saja Lisa tak mau terus merepotkan Nindi yang sebenarnya menahan Lisa untuk tidak pergi. Tetapi, Lisa sendiri yang menginginkan pergi. Selama 10 tahun Lisa tinggal dikediaman Nindi, ia tak mau lagi merepotkan sang Tante yang sudah bersuami itu.

   Suara detak jam menggema di kamar Lisa, di sana menunjukkan pukul 2 dini hari, di mana seharusnya orang-orang tidur. Mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan setelah bekerja. Tetapi, Lisa tak bisa memejamkan matanya, ucapan Revan 3 hari lalu masih dia ingat sampai saat ini, Revan ingin di akui sebagai Ayah oleh kedua anaknya, tapi Lisa tidak bisa melihat Zara sedih, cukup dia saja yang menderita selama ini.

   Apa kalian fikir Lisa tak menderita? Saat itu usia Lisa menginjak 25 tahun, dan malam itu adalah malam perayaan ulang tahun pernikahan Nindi dan suaminya. Nindi membuat pesta yang cukup mewah disalah satu Ballroom sebuah hotel berbintang lima. Lisa yang kala itu sedang kelelahan akibat pesta, di minta menginap di salah satu kamar hotel. Diapun setuju, Nindi tidur di kamar yang berbeda dengan Lisa, tentu saja Nindi bersama suaminya, sedangkan Lisa tidur sendiri. Namun, sepertinya kesialan tengah menimpa Lisa kala itu.

   Lisa masuk ke kamar yang salah. Entah bagaimana bisa pintu itu tidak terkunci, dan membuat Lisa langsung masuk dan membersihkan diri, setelah itu tidur. Lisa tak tau apa yang terjadi, tiba-tiba kabut putih menyelimuti kamar itu hingga membuat Lisa tak sadarkan diri. Hingga pagi datang, Lisa terbangun dengan tubuh seakan remuk, dan lebih parahnya lagi, Lisa tak menggunakan pakaian sehelaipun.

   Lisa memeriksa tubuhnya sendiri, dan langsung lemas saat itu juga. Lisa mengambil gaun pestanya yang tetonggok di lantai, membersihkan diri di kamar mandi, lalu segera keluar dari hotel. Setelah hari itu. Lisa tak pernah tau siapa yang telah merenggut kesuciannya di saat dia tak sadarkan diri. Namun, satu minggu lalu, setelah 8 tahun kejadian itu terlewatkan, Lisa mendapat fakta yang begitu mengejutkan. Dimana ia menemukan si pelaku yang telah lama ingin Lisa ketahui. Namun, saat Lisa tau, dia justru menyesal, kenapa harus pria itu? Pria yang sama dengan suami sahabatnya! Kenapa?

Chapter 03 end.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!