NovelToon NovelToon

Hantu Nenek Bisu

Misteri Hantu Nenek Bisu BAB 1 — Rumah di Ujung Kebun

Di sebuah desa kecil yang terpencil, terletak di pinggiran area perkebunan teh yang luas, berdirilah sebuah rumah tua yang tampak rapuh dimakan usia. Dinding kayunya berderit tertiup angin, dan cat kusam yang mengelupas menyisakan guratan waktu yang tak bisa disembunyikan. Rumah itu milik seorang perempuan tua yang dikenal oleh penduduk sebagai Nenek Sanem.

Nenek Sanem tinggal sendiri di rumah itu sejak suaminya meninggal bertahun-tahun lalu. Anak-anaknya? Tak ada yang tahu pasti apakah ia pernah punya. Hidupnya sederhana, setiap pagi ia berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju kebun teh, bekerja sebagai buruh pemetik daun teh bersama beberapa warga desa lainnya. Tapi meski sering terlihat di kebun, ia bukanlah sosok yang mudah didekati.

Nenek Sanem tak pernah bicara. Tak sepatah kata pun pernah keluar dari mulutnya. Orang-orang menyebutnya “Nenek Bisu”.

"Aku pernah lihat dia senyum," ujar Pak Naryo, pemilik warung dekat masjid desa, suatu siang. "Tapi senyumnya… entah kenapa bikin bulu kuduk merinding."

Gosip-gosip bertebaran dari bibir ke bibir. Ada yang bilang nenek itu memang lahir bisu. Ada juga yang berkata, dia kehilangan suaranya setelah melihat suaminya dibunuh dengan kejam oleh penjajah puluhan tahun silam. Ada pula desas-desus yang lebih menyeramkan—bahwa nenek itu sengaja membungkam suaranya sendiri karena telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.

Namun tak ada yang benar-benar tahu. Dan, seperti umumnya kehidupan di desa kecil, misteri semacam itu hanya menjadi bahan obrolan sore sembari menyeruput kopi panas.

Malam itu, langit tampak gelap pekat. Awan menutupi bulan dan bintang, seolah langit pun menolak menyaksikan apa yang terjadi.

Di dalam rumah tua itu, Nenek Sanem sedang duduk di pojokan, ditemani cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip. Sejak sore, ia merasa tak enak. Perutnya mual. Kepalanya berdenyut. Dan untuk alasan yang tak ia mengerti, rasa dingin menjalari tulang punggungnya.

Tiba-tiba… "BRUK!"

Sesuatu menghantam pintu depan. Suara gesekan keras dan suara kayu retak menggetarkan rumah mungil itu.

Nenek Sanem bangkit dengan tangan gemetar. Ia tahu, itu bukan angin.

Pintu terbuka paksa.

Dua lelaki bertopeng kain masuk dengan langkah kasar. Mereka tak berbicara, hanya menatap sang nenek dengan mata liar yang penuh niat jahat.

Sanem berusaha mundur, mencoba lari ke dapur. Tapi usia membuatnya lambat. Salah satu pria itu menarik rambutnya dengan kasar dan membantingnya ke lantai.

“Nggak usah banyak gerak, Nek!” hardik si perampok, walau ia tahu wanita tua itu takkan menjawab.

Mereka mengacak-acak isi rumah, mencari sesuatu yang berharga. Tapi… apa yang bisa dimiliki seorang nenek miskin selain kenangan?

Kesal karena tak menemukan apa-apa, salah satu dari mereka mengangkat golok pendek dari pinggangnya.

“Dia pasti nyembunyiin sesuatu,” ucap pria itu sambil mendekat. “Mana tahu dia punya emas nenek-nenek dulu itu…”

Sanem menatap mereka. Matanya tak berkedip, tapi penuh amarah dan… keputusasaan.

Si pria itu marah. “Ngapain ngeliat begitu?!”

Tanpa pikir panjang, golok itu dihujamkan… bukan ke tubuh, tapi ke wajah Sanem. Ke mulutnya.

Jeritan tak terdengar melengking di udara malam. Golok itu merobek daging mulutnya, menghancurkan lidahnya yang bisu—seolah mereka ingin menghukum keheningan itu.

Sanem tergeletak di lantai. Nafasnya tinggal sisa. Mata tuanya menyimpan teror dan duka yang dalam.

Tak lama kemudian… hening. Hanya suara angin malam dan burung hantu yang bernyanyi dari kejauhan.

Seminggu berlalu.

Bau busuk mulai menyebar dari arah rumah tua itu. Seekor anjing kampung terus menggonggong dari kejauhan setiap malam. Para warga mengira itu hanya bangkai tikus atau ayam mati.

Hingga pada hari ketujuh, Pak Kumis, seorang pemuda desa yang kebetulan hendak mencari rumput untuk kambingnya, melintas di dekat rumah itu.

"Apa itu… bau apa…?" gumamnya.

Penasaran, ia mendekat. Semakin dekat, semakin tajam bau itu. Ia menutup hidung, lalu mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia panggil beberapa kali. Sunyi.

Akhirnya ia mendorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Perlahan, ia masuk… dan tubuhnya langsung membeku.

Di tengah ruangan, di lantai yang dipenuhi noda gelap yang telah mengering… terbujur tubuh tua yang mulai membusuk.

Wajahnya rusak, membengkak. Tapi yang paling mengerikan adalah mulutnya yang tak lagi ada. Hancur. Robek seperti bekas binatang buas. Namun tak ada cakaran di tempat lain. Lidahnya… raib.

Pak Kumis mundur sambil teriak histeris, lalu lari terbirit-birit keluar rumah.

Warga pun geger. Polisi datang. Tapi jejaknya sudah kabur. Tak ada saksi. Tak ada petunjuk.

Malam demi malam setelah itu, rumah tua itu dibiarkan kosong.

Namun, tak berarti sepi.

Sebab, sejak malam setelah pemakaman Sanem, warga mulai mendengar sesuatu dari rumah itu.

Suara-suara aneh.

Terkadang suara isak tangis yang lirih. Kadang suara geraman… atau dentingan benda jatuh, meski tak ada yang masuk ke sana.

Dan yang paling menyeramkan adalah suara yang tak berbentuk suara.

Suara yang tak bisa didefinisikan. Hanya getaran… seperti bisikan lidah yang tak bisa berkata.

Warga pun mulai menyebutnya dengan satu nama yang dingin dan menggetarkan:

"Hantu Nenek Bisu."

Dan malam-malam panjang di desa kecil itu… tak pernah lagi sama.

Bau busuk itu muncul di hari ketujuh. Awalnya samar, seperti bau tanah basah yang terlalu lama mengendap di sudut bangunan tua. Tapi setiap hari, aroma itu semakin kuat, menyusup masuk ke pori-pori udara desa Tirnawati. Anjing-anjing menggonggong malam-malam, menolak mendekat ke rumah paling ujung, tempat di mana Nenek Sanem dulu tinggal. Ayam-ayam pun enggan berkeliaran ke arah sana.

Namun tak seorang pun warga yang benar-benar menaruh curiga—setidaknya hingga pagi itu.

Pak Kumis, lelaki paruh baya yang lebih dikenal sebagai pencari rumput dan penjaja kayu bakar keliling, sedang berjalan menuju kebun ketika ia mencium bau itu. Ada rasa aneh yang menjalar di tengkuknya, semacam firasat yang membuat bulu kuduk berdiri.

Ia menghentikan langkahnya di depan pagar kayu rumah tua itu. Pagar itu setengah roboh, dan rerumputan tinggi menyembunyikan jejak-jejak ke jalan masuk. Sinar matahari yang menembus celah pohon teh tak mampu mengusir bayang-bayang yang terasa seperti menyergap dari rumah itu.

Pak Kumis menelan ludah.

“Sanem?” panggilnya pelan, walau tahu tak mungkin ada jawaban.

Ia mengetuk pintu. Satu ketukan. Dua. Tiga.

Tak ada suara. Tak ada gerakan. Bahkan angin pun seperti menolak menyentuh rumah itu.

Dengan ragu, ia menyentuh gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Ketika dorongan kecil diberikan, pintu itu membuka dengan derit menyayat. Bau busuk langsung menyergapnya, lebih pekat, lebih menusuk. Campuran antara darah mengering, daging busuk, dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata.

Pak Kumis memegangi hidungnya. Tapi apa yang dilihatnya di lantai ruang utama membuat tangan itu jatuh.

Tubuh itu… terbujur di lantai, setengah kaku, namun mulai membengkak. Wajahnya nyaris tak dikenali, namun pakaian itu—kain batik kumal dan baju lusuh dengan motif bunga pudar—tak salah lagi. Itu Sanem.

Namun yang paling mengerikan adalah mulutnya. Atau apa yang tersisa dari mulutnya. Daging di sekitar bibirnya robek. Rahangnya terdistorsi. Lidahnya… tiada.

Pak Kumis terduduk, mulutnya terbuka tanpa suara. Lalu, jeritan keluar, panjang dan melengking. Ia berlari keluar rumah seperti kesurupan.

Siang itu, kehebohan menyelimuti desa. Warga berdatangan, sebagian berani mengintip dari ambang pintu, sebagian hanya bergidik dari jauh. Tak lama, polisi datang dari kecamatan terdekat. Garis polisi dipasang, dan tubuh Sanem dibawa menggunakan kantong jenazah.

Namun bahkan polisi pun tampak resah.

“Kami akan kirim ini ke kota untuk autopsi,” ujar salah satu petugas, namun ia tak menatap siapa pun.

Desa Tirnawati mendadak sunyi selama beberapa hari setelah itu. Rumah Sanem ditutup rapat. Tapi ketenangan itu hanya tampak di permukaan. Malam hari, bisik-bisik mulai terdengar.

“Aku dengar dia belum sepenuhnya mati saat ditemukan…”

“Lidahnya… katanya dicabut. Atau dimakan?”

“Ada jejak kaki… tapi mengarah ke dalam rumah, bukan keluar.”

“Dan tahu nggak? Ada simbol aneh di lantai…”

Gosip berkembang liar, seperti api kecil di ladang kering.

Tiga hari setelah pemakaman, seorang gadis muda datang ke desa. Namanya Ratna, mahasiswi psikologi tingkat akhir dari universitas di kota. Ia datang membawa proposal penelitian kecil: tentang trauma kolektif masyarakat pedesaan dan kaitannya dengan mitos lokal. Namun kedatangannya bukan kebetulan semata. Ia memiliki alasan pribadi.

Sanem… adalah nenek kandung ibunya. Dulu, ibunya kabur dari desa ini, menikah dengan lelaki dari kota dan tidak pernah kembali. Tapi Ratna selalu merasa ada bagian dari dirinya yang tertinggal di tempat ini. Ia tak pernah bertemu langsung dengan Sanem, tapi selalu melihat wajah tua itu di mimpi—senyum samar, mata cekung, dan… keheningan yang menyesakkan.

Ratna datang tidak hanya untuk penelitian. Ia ingin mengenal asal-usulnya. Dan—tanpa ia sadari—ingin menjawab mimpi-mimpinya yang tak pernah berhenti.

Ia menginap di rumah Bu Sarti, salah satu warga desa yang bersedia menampungnya.

“Jangan mendekat ke rumah ujung kebun itu ya, Nak,” kata Bu Sarti malam itu saat mereka duduk di teras. “Kami semua sudah sepakat, tempat itu… angker sekarang.”

Ratna hanya tersenyum sopan. Tapi pikirannya sudah melayang ke rumah itu. Ke ruang kosong tempat nenek yang tak pernah ia kenal ditemukan membusuk.

Malam itu, ia bermimpi lagi.

Sanem. Duduk di lantai, membelakangi cahaya. Tapi kali ini, ia mencoba bicara. Bibirnya bergerak… lalu sobek… dan sobek lagi. Darah menetes, tapi ia tetap bicara meski tak bersuara. Ratna hanya bisa menatap… dan menangis.

Ketika ia terbangun, seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Di tangannya, ada bekas luka gores seperti cakaran.

Pagi itu, Ratna diam-diam pergi ke rumah tua tersebut. Ia membawa kamera, buku catatan, dan ponsel dengan aplikasi perekam suara. Ia hanya ingin melihat. Hanya itu. Tapi begitu sampai di depan pintu rumah itu, langkahnya terhenti.

Ada seseorang di dalam.

Bayangan lewat di jendela. Sebuah sosok. Tapi ketika ia mengetuk, tak ada jawaban. Ia mencoba pintu. Masih terkunci. Lalu dari balik celah jendela, ia melihatnya…

Seseorang berdiri di pojokan ruangan. Tegak. Tidak bergerak. Wajahnya tidak terlihat. Tapi mata… dua mata menatapnya langsung.

Ratna mundur. Lututnya lemas. Ia berlari kembali ke rumah Bu Sarti.

“Bu… di rumah itu… ada orang…” ucapnya terengah.

Bu Sarti menoleh cepat, wajahnya pucat. “Jangan bohong, Ratna. Kunci rumah itu dipegang kepala dusun. Tak ada yang masuk ke sana.”

Hari-hari berikutnya, Ratna mulai menelusuri kisah lama tentang Sanem. Ia menemukan catatan-catatan tua di perpustakaan desa. Tentang keluarga Sanem yang dulu dianggap ‘aneh’. Suaminya hilang misterius. Ada rumor mereka penyimpan pusaka atau… semacam penjaga “penutup”.

Namun cerita yang paling menarik adalah dari seorang lelaki tua yang tinggal dekat ladang.

“Nenekmu itu,” katanya dengan suara serak, “pernah menolong anak kecil kerasukan di tahun 1987. Tapi setelah itu… dia tak bicara lagi. Sejak malam itu. Dia cuma menangis. Tiap malam. Tapi tak bisa keluarkan suara.”

Ratna menatapnya. “Jadi… bisunya karena kejadian itu?”

Lelaki tua itu mengangguk. “Dan anak itu… mati seminggu kemudian. Tapi matanya… tetap terbuka. Seperti masih melihat sesuatu yang tak mau pergi.”

Malam itu, Ratna kembali bermimpi.

Ia berada di tengah hutan. Ada suara-suara dari segala arah. Bukan manusia. Bukan binatang. Seperti desahan… seperti ratapan dari ribuan lidah yang tak bisa bicara. Dan di tengah semua itu, Nenek Sanem berdiri. Lidahnya tumbuh lagi, panjang seperti ular. Dan ia menunjuk… ke arah Ratna.

Ratna terbangun dengan jeritan. Kali ini, bukan hanya bekas cakaran. Tapi hidungnya berdarah. Dan di bawah ranjangnya… ada gulungan kain batik tua milik Sanem. Ia tahu, karena motifnya persis seperti di foto lama ibunya.

Padahal malam sebelumnya… tidak ada apa pun di sana.

Ratna mulai kehilangan konsentrasi. Ia bicara sendiri. Takut melihat cermin. Takut tidur. Tapi ia juga tak bisa berhenti. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk terus menggali. Terus mendekati kebenaran. Seolah neneknya—dalam bentuk yang entah apa—memanggilnya.

Di malam ketujuh ia tinggal di desa, Ratna memutuskan masuk lagi ke rumah tua itu. Kali ini dengan membawa kunci yang ia pinjam diam-diam dari kepala dusun.

Ia masuk perlahan. Lampu senter menari di dinding yang penuh lumut.

Di ruang utama, tak ada apa-apa.

Namun saat ia melangkah ke belakang… ia melihat sesuatu yang tak ada sebelumnya.

Cermin. Tinggi. Tua. Retak. Berdiri menghadap pojokan ruangan.

Ia mendekat. Memandang ke dalam cermin.

Dan saat itulah… ia melihat neneknya berdiri tepat di belakangnya.

Mata Ratna membelalak.

Ia berbalik.

Kosong.

Tapi ketika ia kembali melihat ke cermin, Sanem masih di sana. Tersenyum.

Dan bibirnya mulai bergerak.

Gerakan mulut itu… menyusun kata.

“Maafkan aku. Bukan mereka yang kubunuh. Tapi dia belum selesai.”

Ratna jatuh tersungkur. Nafasnya tersendat. Dari cermin, bayangan Sanem meraih ke luar, dan mulai merambat ke lantai, seperti bayangan yang hidup.

Dalam gelap, Ratna mendengar suara yang sama dari mimpinya.

Desahan. Ratusan. Ribuan. Lidah-lidah tanpa suara.

Dan satu suara paling jelas, langsung di samping telinganya:

“Kau yang terakhir.”

bab 2: Suara dari Dalam Dinding

Malam di Desa Tirnawati tidak pernah benar-benar gelap. Bintang-bintang biasanya bertebaran di langit, seolah menggantungkan cahaya harapan bagi penduduknya yang bersahaja. Tapi malam ini terasa berbeda. Langit berawan, angin berembus dingin dari arah kebun, dan suara jangkrik pun terdengar seperti berbisik, bukannya bernyanyi.

Di pos ronda dekat balai dusun, dua pemuda sedang duduk berdua sambil menyeruput kopi. Yang satu kurus kecil, mengenakan jaket kebesaran dengan wajah penuh ekspresi lucu. Yang satu lagi, tubuhnya lebih kekar, dada dibusungkan, rambut disisir ke belakang pakai minyak kelapa.

Mereka adalah Udin dan Pedot.

“Dot… lu percaya nggak sih, kalau si Ratna itu nginep di rumah Bu Sarti cuma modus doang biar bisa masuk rumah si Nenek Sanem?” Udin membuka percakapan dengan mata berkedip-kedip curiga.

Pedot melirik sejenak, lalu nyengir sok tahu. “Itu mah jelas. Cewek kota begitu, pura-pura riset, padahal pengin jadi dukun. Mungkin dia turunan Nenek Sanem, Din!”

Udin langsung memeluk tubuh sendiri, wajahnya meringis. “Aduh, Dot. Jangan gitu dong ngomongnya. Gue tidur sendiri di gubuk belakang, tahu nggak? Tadi malam gue denger suara orang garuk-garuk tembok, sumpah!”

Pedot menyemburkan kopi. “Seriusan lu? Halah, paling tikus.”

“Lu pikir tikus suaranya kayak orang nyakar? Terus tiba-tiba gue denger suara bisik-bisik gitu... ‘Udin... Udin...’, sumpah merinding gue!” Udin melebarkan mata. “Lu kan tahu, gue orangnya peka.”

“Peka atau penakut?” ejek Pedot sambil cekikikan.

“Eh jangan salah. Kalau bukan karena gue peka, kita dulu nggak bakal tahu siapa yang ngumpet di kolong jembatan pas maling ayam!” sanggah Udin dengan bangga.

“Tapi lu juga yang kabur duluan waktu liat bayangan putih jalan di tengah jalan. Ternyata cuma kain jemuran!” balas Pedot sambil menepuk paha, tertawa keras.

Meski kerap bertengkar, keduanya tak terpisahkan. Namun, malam itu keduanya sepakat untuk mengikuti Ratna secara diam-diam, yang mereka curigai akan kembali ke rumah Nenek Sanem. Bukan karena keberanian, tentu saja—lebih karena rasa penasaran yang dibalut ketakutan bercampur keberanian pura-pura.

Sekitar pukul sembilan malam, bayangan Ratna terlihat keluar dari rumah Bu Sarti. Ia membawa tas kecil dan senter, melangkah cepat ke arah rumah tua di pinggir kebun. Udin dan Pedot membuntuti dari balik semak-semak.

“Eh Din, lu yakin ini aman?” bisik Pedot.

“Nggak yakin, makanya gue ngajak lu. Kalau yakin mah gue jalan sendiri!” sahut Udin, lalu menambahkan, “Tapi ingat, kalau ada apa-apa, kita kabur bareng ya!”

“Kabur bareng? Lu mah pasti tinggalin gue. Dulu aja pas gue jatuh di sawah, lu tinggalin gue dikejar itik!”

“Lah itu itik-nya galak, bro! Ngejar sampe ke jalan raya!”

Keduanya nyaris tertawa kalau saja suasana tak mencekam. Rumah Nenek Sanem kini tepat di hadapan mereka, gelap dan diam. Ratna sudah masuk ke dalam.

Pedot menelan ludah. “Kita masuk juga nggak?”

Udin menatap rumah itu dengan penuh rasa tak rela. “M-masuk sih masuk, tapi jangan sampe jauh ke dalam ya. Cuma di teras doang. Cek situasi. Kalau berisik, langsung kita kabur.”

Keduanya membuka pintu yang tak dikunci. Deritannya membuat bulu kuduk berdiri. Senter kecil mereka menyorot debu yang menari di udara.

Di ruang utama, tidak ada siapa-siapa.

Namun terdengar suara dari dalam—suara langkah kaki Ratna. Dan… sesuatu lain. Seperti gemerisik kain. Atau… suara tarik napas panjang… yang dalam.

Pedot menepuk pundak Udin. “Din… itu suara apaan?”

“Lu tanya gue? Gue aja udah mau pipis ini!” bisik Udin lirih.

Tiba-tiba, terdengar suara dari balik dinding:

“...aaarrgggghh…”

Suaranya serak. Bukan suara manusia biasa. Seperti… ada yang mencoba berteriak dengan tenggorokan robek.

Udin langsung merosot ke lantai. “Dot, kita pulang aja yuk. Ini bukan tempat buat kita!”

Namun sebelum keduanya bisa kabur, Ratna muncul dari lorong belakang. Wajahnya pucat. Matanya membelalak. Ia menatap mereka berdua seperti tak percaya.

“Kalian ngapain di sini?!”

Pedot cepat berdiri, memasang gaya cool. “Kita… patroli! Ya… patroli ronda. Jaga keamanan kampung!”

“Patroli ke rumah kosong tengah malam?” Ratna mengangkat alis.

Udin hanya bisa senyum kecut. “Kita khawatir sama mbaknya…”

Ratna menarik napas dalam. “Kalian harus lihat ini. Kalian datang pas banget.”

Pedot dan Udin saling pandang. Wajah mereka berkata ‘ini ide buruk’, tapi mereka tetap mengikuti Ratna ke dalam.

Di kamar belakang, Ratna menunjukkan cermin besar retak yang sebelumnya ia lihat di mimpinya. Cermin itu menghadap tembok, padahal tak ada furnitur lain di ruangan itu.

“Cermin ini muncul setelah malam aku mimpi Nenek Sanem,” jelas Ratna. “Tapi yang aneh, aku rekam tadi waktu lihat cermin ini... dan hasil rekaman suara itu…”

Ia membuka rekaman di ponselnya.

Dari speaker terdengar napas berat… lalu… suara perempuan:

“…Dia belum selesai… dia akan pakai lidahmu… untuk bicara…”

Pedot mundur pelan. Udin sudah nyaris pingsan berdiri.

“Gue pulang! Ini bukan buat anak ronda!” Udin berteriak kecil.

Namun sebelum mereka bisa melangkah keluar, suara ketukan dari dalam dinding terdengar. Pelan. Tapi pasti. Tok... tok... tok...

Ratna menatap tembok di samping cermin.

“Aku pikir… suara itu dari balik sini. Seperti… sesuatu yang dikunci di dalam.”

Udin menutupi telinganya. “Mbak, plis deh, plis. Jangan dibuka! Biarin aja! Kita hidup bahagia tanpa tahu rahasia itu!”

Tapi Ratna, dengan keberanian yang tak bisa dijelaskan, mengambil pahat kecil dari tasnya. Ia mulai mencungkil bagian tembok yang lapuk. Pedot menahan napas. Udin memegang dada.

Setelah beberapa menit—mereka menemukan sebuah rongga. Dan di dalamnya…

Terdapat sebuah kotak kayu tua.

Ratna menariknya keluar. Kotaknya kotor, penuh debu dan ukiran aneh. Ia membuka perlahan.

Isi di dalamnya membuat semua mundur satu langkah.

Lidah.

Lidah manusia. Sudah menghitam. Diawetkan. Disimpan dalam garam dan bunga kering.

Di bawahnya, ada secarik kertas kuno bertuliskan tangan:

“Jangan biarkan dia berbicara. Lidah ini satu-satunya segel.”

Suara tawa pelan terdengar dari dalam cermin.

Pedot langsung panik. “Buang! Bakar! Kubur! Apa aja lah! Jangan dipegang!”

Udin sudah jongkok di sudut ruangan, memeluk lutut. “Gue nggak ikut-ikut... gue anak baik… gue cuma bantu ronda…”

Namun belum sempat mereka bertindak lebih jauh, cermin itu retak seluruhnya. Retakan menjalar cepat, dan dari dalam pantulan, tampak sosok Sanem… menangis, lalu berteriak… tapi tak bersuara.

Cahaya dari cermin menyilaukan. Lalu…

Gelap.

Senter mereka mati. Ponsel Ratna mati. Semua gelap.

Dari kegelapan, terdengar bisikan:

“Satu lidah telah hilang. Tapi yang lainnya… akan bicara menggantikan.”

Ketika cahaya kembali—cermin itu hilang. Kotak kayu kosong. Dan di dinding, tertulis dengan darah:

“Jangan bangunkan yang sudah dibungkam.”

Pedot pingsan. Udin kabur lewat jendela.

Ratna hanya berdiri kaku, menatap tulisan itu dengan tubuh gemetar.

Ia tahu, ini belum selesai.

Dan lebih buruknya, segelnya sudah rusak.

Bab 3: Lidah yang Tidak Bisa Dibohongi

Pagi baru saja menjamah Desa Tirnawati. Embun belum habis dari ujung rumput, tapi berita tentang “anak-anak ronda” yang semalam ketahuan masuk rumah Nenek Sanem bersama si Ratna sudah menyebar ke warung kopi, pos ronda, bahkan sampai ke masjid kecil dekat balai desa.

“Lha, katanya si Udin kabur lewat jendela sambil nangis-nangis, terus pulang ke rumah Pak RW tanpa celana?” tanya salah satu warga di warung sambil cekikikan.

“Bukan cuma itu, si Pedot katanya pingsan dua jam. Bangunnya sambil meluk tiang listrik!” timpal yang lain.

Namun di balik gelak tawa itu, ketegangan tersembunyi. Rumah tua di pinggiran kebun itu kembali menjadi pusat bisik-bisik. Dan pagi itu juga, dua tokoh yang jarang terlihat dalam satu tempat, berdiri di pelataran rumah Bu Sarti—menunggu kedatangan Ratna.

Yang satu mengenakan baju koko putih dan sarung abu-abu, janggutnya tipis, suaranya tenang namun tegas. Pak Lutfi. Ustaz dan pengajar mengaji, sosok yang disegani namun ramah.

Yang satu lagi, mengenakan kain lurik tua, rambutnya kusut, gigi tinggal empat, matanya sipit tajam penuh rahasia. Ia membawa tongkat dari akar pohon jati. Mbah Tejo. Dukun kampung, teman arwah dan peminum kopi pahit tanpa gula.

“Assalamu’alaikum,” ucap Pak Lutfi saat Ratna membuka pintu.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Ratna kaget, menunduk sopan. “Maaf, saya… belum sempat pamit atau lapor.”

Pak Lutfi menatapnya lekat, matanya menyiratkan kekhawatiran. “Kami dengar semalam kamu dan dua pemuda ronda masuk ke rumah Nenek Sanem. Apa yang kalian temukan, Nak Ratna?”

Sebelum Ratna menjawab, Mbah Tejo bersuara, suaranya parau.

“Kalian telah menyentuh segel yang seharusnya tetap dikunci. Lidah itu bukan sekadar potongan daging. Itu jimat—penyegel suara roh yang tak boleh bicara lagi.”

Ratna menelan ludah. “Saya… saya nggak tahu kalau itu akan membangunkan sesuatu. Tapi saya harus mencari tahu. Semua ini ada kaitannya dengan ibu saya.”

Pak Lutfi menoleh cepat. “Ibumu? Sanem adalah—”

“Bukan,” potong Ratna. “Sanem bukan ibuku. Tapi dia pernah mengasuh ibuku. Mereka sangat dekat. Ibu saya mengidap kelainan... sejak kecil dia sering bicara dalam bahasa aneh. Dokter menyebutnya halusinasi. Tapi semua itu mulai setelah dia datang ke desa ini waktu kecil.”

Pak Lutfi menghela napas panjang. “Mungkin ini waktunya kami ceritakan padamu... tentang malam itu.”

Ratna menatap mereka, serius. “Saya mohon, ceritakan semuanya.”

Mereka duduk di ruang tamu Bu Sarti. Pedot duduk dengan kaki naik ke kursi, masih trauma. Udin, lengkap dengan jaket tebal dan dua sajadah, duduk sambil memegangi cangkir teh yang gemetar.

“Kalau ada suara-suara aneh, kasih tahu gue duluan ya. Gue tuh medium sensitif,” bisik Udin ke Pedot.

“Lu medium penakut, iya!” balas Pedot pelan.

Mbah Tejo melirik mereka sekilas. “Dua bocah ini emang kaya lele nyangkut di ember. Nggak guna, tapi bikin rame.”

Udin membalas lirih, “Lele bisa nyetrum lho, Mbah…”

Pak Lutfi mulai bicara dengan suara tenang. “Dulu, sebelum desa ini terbentuk seperti sekarang, wilayah di sekitar kebun itu adalah tempat orang buangan. Para penderita penyakit, orang-orang dengan kelainan mental, bahkan para dukun yang dianggap sesat.”

Mbah Tejo menyambung, “Nenek Sanem tinggal di sana sejak muda. Ia tidak bisu sejak lahir. Tapi memilih diam setelah satu kejadian di waktu muda.”

Pak Lutfi mengangguk. “Konon, ia melihat sesuatu. Sesuatu yang membuatnya kehilangan keinginan untuk bicara.”

“Mereka bilang ia melihat lelakon,” Mbah Tejo menambahkan. “Penglihatan tentang apa yang akan terjadi. Tapi ia menolak bicara, bahkan untuk memperingatkan. Maka dia dihukum… oleh para leluhur.”

“Hukuman apa?” tanya Ratna.

“Lidahnya diambil secara spiritual. Hanya segel yang bisa menahan suaranya agar tak muncul lewat orang lain,” jelas Mbah Tejo.

“Lalu… lidah itu… yang saya temukan…”

“Adalah segel terakhir. Ketika kau buka... maka ia bebas bicara. Tapi bukan lewat suaranya sendiri. Melainkan melalui mulut manusia yang terpilih.”

Semua hening. Kecuali Udin, yang mulai menggigil.

“Lu... lu pikir... yang dimaksud itu gue?” bisiknya panik ke Pedot.

“Kalau iya, gue dukung lu Din. Jangan sampai kesurupan sendirian!”

Ratna menatap kedua tokoh itu serius. “Lalu... apa yang harus saya lakukan sekarang?”

Pak Lutfi menatapnya dalam. “Tutup segelnya kembali. Tapi untuk itu, kamu harus tahu seluruh kisahnya. Dan mungkin… kamu harus menghadapi arwah Sanem.”

Mbah Tejo berdiri. “Tapi jangan lakukan itu tanpa pendamping. Malam ini, kita ke rumah itu. Bawa aku. Bawa Pak Lutfi. Dan anak-anak ronda ini, kalau mereka nggak kabur duluan.”

“Duh!” Udin langsung limbung. “Kenapa harus kita sih? Kan bisa yang lain!”

“Karena kalian sudah melihat. Sudah mendengar. Sudah disentuh oleh roh itu,” ucap Mbah Tejo datar.

Pedot mengangkat tangan, “Saya ikut kalau Udin ikut!”

Udin menoleh, wajahnya panik. “Kenapa harus gue duluan?!”

Malam hari. Angin tak lagi hangat. Rumah Nenek Sanem tampak lebih kelam dari biasanya. Pohon pisang di halaman belakang bergoyang pelan, daunnya bersentuhan seperti bisik-bisik.

Mereka berdelapan: Ratna, Pak Lutfi, Mbah Tejo, Udin, Pedot, Bu Sarti, dan dua warga desa lainnya membawa lampu petromaks. Mereka berdiri di halaman, menatap rumah seperti menatap makam yang belum digali.

“Begitu kita masuk, jangan bicara sembarangan,” perintah Pak Lutfi.

“Jangan sebut nama ‘Sanem’ terlalu sering,” tambah Mbah Tejo. “Dan jangan pernah bertanya ‘siapa di sana?’ Itu undangan bagi roh untuk menampakkan diri.”

Udin menelan ludah. “Gue udah nyesel hidup…”

“Lu baru nyesel sekarang? Gue udah dari kemarin,” timpal Pedot.

Mereka masuk. Langkah pertama serasa menembus kabut dingin tak kasat mata. Ruangan tak berubah, tapi terasa... lain. Udara lebih tebal. Cahaya petromaks menari di dinding seperti bayangan api neraka.

Ratna memimpin ke kamar belakang. Tempat cermin itu pecah.

“Di sini... semua dimulai,” bisiknya.

Pak Lutfi membacakan doa-doa pelindung. Mbah Tejo menggambar simbol di lantai dari bunga kenanga dan darah ayam hitam. Udin dan Pedot berdiri kaku memegang lilin, tangan gemetar.

Tiba-tiba, lampu petromaks berkedip.

Dari dalam dinding, suara ketukan terdengar lagi.

Tok... tok... tok...

Disusul bisikan samar.

“…Dia belum selesai…”

Pak Lutfi terus membaca doa dengan suara yang makin keras. Mbah Tejo mulai membakar dupa dan daun kemenyan.

Ratna menatap dinding, lalu bergumam:

“Ibu… kalau kau di sana… bantu aku mengerti…”

Dinding tiba-tiba memucat. Sebuah bayangan muncul perlahan—siluet perempuan berambut panjang dengan mulut robek... lidahnya menghilang… darah menetes dari rahangnya.

Udin jatuh terduduk.

Pedot langsung berkata, “Gue… gue mendadak pengin masuk pesantren!”

Mbah Tejo menatap roh itu. “Katakan kebenaranmu, tapi jangan masuk ke dalam kami!”

Roh itu menunjuk Ratna… lalu ke lantai. Tepat di bawah tempat mereka berdiri.

Pak Lutfi terdiam sejenak. “Di bawah sini... ada sesuatu.”

Mereka menggali—dan menemukan sebuah kotak kayu besar… penuh ukiran, serupa dengan kotak lidah… namun lebih besar.

Dan di atasnya tertulis dalam aksara kuno:

"Satu mulut untuk seribu lidah yang tak sempat bicara."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!