Alina tertegun menyaksikan pemandangan di depannya. Lima tahun telah berlalu, mereka telah menjadi keluarga kecil bahagia. Tapi mengapa masih ada sakit di sudut hatinya.
"Miss, rapat dimulai 30 menit lagi, anda mau kembali ke kantor sekarang?" Pertanyaan Andri, sang sekretaris sekaligus asisten membuyarkan lamunan Alina
"Kita kembali sekarang, An" jawab Alina. Andri hanya mengangguk dan segera membayar pesanan mereka.
Alina keluar dari restoran diikuti Andri. Mereka segera masuk ke dalam mobil dan meluncur menuju kantor Alina.
Alina Hendrawan. Putri tunggal seorang pengusaha sukses, Hendrawan. Di usianya yang baru 25 tahun, Alina sudah menjadi CEO di perusahaan ayahnya. Tentu saja karena dia pewaris tunggal semua kekayaan ayahnya. Sebelum bertemu sang ayah dan menjadi putri konglomerat, siapa yang menyangka kalo hidup Alina. penuh lika liku.
Alina dibesarkan oleh bundanya seorang diri. Hidup dalam kesederhanaan di kota Bandung .
Alina sejak kecil tak pernah mengenal sosok ayahnya. Bundanya selalu berkata ayahnya tinggal jauh di luar kota dan belum bisa menjenguk mereka berdua. Tahun demi tahun berlalu, Alina sudah jenuh menanyakan perihal ayahnya ke sang bunda. Hingga akhirnya Alina menganggap ayahnya sudah tiada atau mungkin memang dia sudah gak menginginkan Alina dan bundanya.
Hingga akhirnya saat Alina berusia 17 tahun dan hampir lulus SMA, sang bunda jatuh sakit. Makin hari kondisi bundanya semakin melemah.
Disitulah Alina baru tahu kalo selama ini bundanya menyembunyikan sakitnya dari Alina.
Saat kondisinya semakin memburuk, sang bunda menceritakan semua rahasia itu.
Rahasia yang selama ini ia tutup rapat.
Rahasia yang membuatnya harus mengganti semua identitas dirinya, pergi dan tinggal di kota ini, melahirkan sekaligus membesarkan putrinya seorang diri.
Menjadi orang tua tunggal untuk Alina.
*****
Pernikahan tanpa restu.
Nungki adalah sekretaris dari Hendra. Sebenarnya sudah lama keduanya menjalin hubungan lebih dari seorang sekretaris dan bos.
Sudah lama Hendra ingin mempersunting Nungki menjadi istri nya. Tapi kedua orang tuanya tak pernah memberikan restu. Tak sederajat. Itulah alasan kedua orangtua Hendra.
Tapi Hendra tak putus asa. Ia nekat menikahi Nungki meski tidak mendapat restu dari orang tuanya.
Sejak awal pernikahan, Nungki selalu mendapat teror dan ancaman dari keluarga Hendra.
Nungki mencoba bertahan dan mengabaikan semua ancaman itu.
Hingga malam itu, tepatnya setahun setelah mereka menikah. Hendra mengalami kecelakaan parah. Hampir sebulan Hendra mengalami koma.
Tekanan demi tekanan dari keluarga Hendra semakin menyudutkan Nungki.
Nungki merasa kalut dan terpuruk. Ia seperti kehilangan tempat bersandar.
Apalagi saat keluarga Hendra tahu kalo Nungki hamil. Mereka mengancam akan melenyapkan Nungki beserta bayinya. Tentu saja itu membuat Nungki ketakutan. Akhirnya malam itu Nungki pergi meninggalkan Hendra yang masih terbaring koma.
Nungki pergi dengan segala sakit dan kekecewaan.
Nungki hanya tidak mau orang orang itu menyakiti bayinya. Nungki pergi tanpa arah dan tujuan. Ia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin agar Hendra dan keluarganya tak bisa menemukannya.
Hingga sampailah Nungki di kota ini.
Dengan sisa sisa tabungannya, Nungki menyewa sebuah rumah, mencari pekerjaan untuk menyambung hidup dan melanjutkan hidup tentu saja. Mencoba lepas dari bayang bayang Hendra. Nungki mengubah identitas dan nama panggilannya. Menghapus semua data dan informasi tentang dirinya. Tujuh bulan setelah kejadian itu lahirlah Alina, putri kecil yang memberikan secercah harapan dan semangat hidup untuk Nungki. Sejak saat itu, Nungki fokus membesarkan Alina. Ia tak lagi memikirkan masa lalunya. Meski kadang hati kecilnya menangis saat Alina menanyakan tentang sosok sang ayah.
Nungki sadar, cepat atau lambat dirinya harus menceritakan semuanya ke Alina.
Alina harus tahu siapa ayahnya, siapa dirinya sebenarnya, tak selamanya Nungki bisa menutupi ini semua.
Hingga tibalah saat itu. Nungki merasa hidupnya tak akan lama lagi. Penyakit kanker yang terus menggerogoti tubuhnya membuat ia sesegera mungkin memberitahu Alina identitas mereka sebenarnya
"Alina, pergilah ke kota itu. Kejarlah mimpimu dan temui ayahmu. Bunda yakin ayahmu merindukanmu" ucap Nungki dengan susah payah.
Alina masih menangis sesenggukan
"Alina akan tetap disini nemenin bunda, Alina gak akan kemana mana" terbata-bata Alina menjawab
"Maafin bunda ya nak, karena baru sekarang bunda menceritakan semuanya. Maafkan bunda juga karena gak akan bisa menemani kamu saat wisuda nanti saat menikah nanti. Jadilah anak yang kuat" Nungki memberikan wejangan terakhir untuk putri semata wayangnya.
Alina tak sanggup berkata kata lagi. Ia hanya bisa menangis dan menangis.
Malam itu bundanya pergi untuk selama-lamanya.
Meninggalkan Alina sebatang kara di kota ini.
Alina menatap cincin dan sebuah alamat yang diberikan oleh bundanya.
Ia telusuri perlahan cincin itu. "HENDRA" itulah sebuah nama yang terukir di bagian dalam cincin emas itu.
Bundanya berpesan agar Alina memberikan cincin itu saat nanti bertemu sang ayah.
*****
Tok tok tok
suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Alina.
Mendadak ia rindu bundanya. Sudah lama ia tak berkunjung ke makam bundanya. Mungkin ia harus menyempatkan waktu dan pergi kesana.
Andri masuk membawa setumpuk dokumen
"Melamun lagi" tebak Andri
"Apa jadwalku akhir pekan ini, An?" Alina mengalihkan pembicaraan. Menatap serius pada Andri
Andri segera memeriksa tablet yang ia bawa mengotak atiknya sebentar dan segera menjawab pertanyaan dari boss nya
"Ada pesta ulang tahun perusahaan Lukito yang harus anda hadiri miss" jawab Andri
"Ayolah, berapa kali kubilang, Berhenti memanggilku miss. Namaku Alina." Alina berdecak kesal
"Dan Mister Hendra akan langsung memecatku jika ia tahu aku memanggilmu Alina" Andri mencari alasan
"Ayah tak akan segila itu. Bahkan kau adalah pegawai kesayangannya. Mana mungkin ia memecatmu" Ucap Alina sinis
"Ya... ya ...ya. Terserah kau saja tuan putri..." Andri memutar bola matanya.
"... Ini! Mister Hendra menyuruhku untuk menyerahkan ini kepadamu" Andri mengangsurkan map ke tangan Alina
"Apa ini?" Tanya Alina penasaran. Ia membuka map yang diberikan sekretarisnya itu. Tak lama Alina membuang nafas kesal.
"Aku tak mengerti kenapa ayah selalu melakukan hal ini setiap ada pesta ulang tahun perusahaan lain" ucap Alina berapi api sambil melempar map tadi ke atas meja kerjanya . Tampak sekali kekesalan di wajahnya
"Mungkin beliau sudah tak sabar dan ingin segera menimang cucu" ucap Andri asal.
Tak ayal hal itu semakin membuat Alina kesal dan memukul pundak Andri.
Andri meringis saja saat pundaknya dipukul Alina.
"Aku bisa mencari calon suamiku sendiri" Alina membela diri
"Kau yakin? Aku lihat kau belum jalan dengan laki laki manapun selain diriku. Hahaha" Andri tertawa puas
"Terus saja menertawakan diriku. Kau memang bukan sahabat yang baik" Alina memasang wajah cemberut
"Ayolah, Al. Kau lihat pria ini... dia tampan, apa salahnya kau menerima perjodohan ini" Andri menunjukkan foto didalam map yang tadi dilempar Alina.
Alina masih diam. Dia menatap foto yang ditunjukkan oleh Andri.
Laki laki berwajah tampan, putih, garis rahang yang tegas, tubuh atletis. Impian para gadis.
Sejujurnya dia bingung harus bagaimana.
"Pesankan tiket ke Bandung untuk akhir pekan. Aku ingin mengunjungi makam bunda" akhirnya Alina mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana dengan pestanya? Kau mau kabur? Mister bisa marah besar" Andri tampak ragu
"Sore aku langsung kembali dan datang ke pesta sialan itu. Kau siapkan saja semuanya" ucap Alina acuh
"Baiklah terserah kau saja" Andri menjawab sambil berlalu keluar dari ruangan bosnya.
Alina memandang keluar jendela pesawat. Memandangi awan seputih kapas. Pikirannya terasa kalut. Banyak hal yang memenuhi pikirannya. Ia sendiri tidak tahu kenapa akhir akhir ini ia tidak bisa duduk nyaman tanpa memikirkan apapun selain pekerjaanya.
Kembali ke Bandung kembali mengingatkannya pada Ibnu.
Pria itu, baru kemarin Alina melihatnya di restoran. Ibnu tampak bahagia kini bersama Dena, sahabatnya.
Mantan pacarnya menikah dengan sahabatnya. Sungguh lucu sekali hidup ini.
"Dena hamil anakku" begitu singkat tapi mampu memporak porandakan isi hati Alin.
"Aku minta maaf Lin, ini semua diluar kesadaranku. Harusnya malam itu aku gak mabuk. Jadi ini semua gak perlu terjadi" Ibnu mencoba menjelaskan.
Alin masih bergeming, air mata turun di kedua pipinya.
"Ini gak ada hubungannya dengan perjodohan bodoh itu, Lin...
Ini benar benar kesalahanku dan kebodohanku" Ibnu mulai emosi
Alin ingat beberapa hari yang lalu Dena, sahabatnya pernah curhat kalo dia di jodohkan dengan Ibnu. Tentu saja Dena menolaknya mentah-mentah karena Dena tahu kalo Ibnu itu pacarnya Alin. Dena gak mau nyakitin Alin.
Tapi sekarang?
Cih, tetap saja akhirnya mereka akan menikah. Dan itu sama saja. Sama sama menyakitkan untuk Alin.
"Lin, aku benar benar minta maaf. Aku sungguh gak bermaksud nyakitin hati kamu" Dena ikut ikutan menjelaskan dan minta maaf
"Tidak bermaksud? Tapi sekarang kalian berdua tetap menyakitiku" jawab Alin terisak
"Alin, aku..."
"Cukup, Nu. Semua udah terjadi. Berjanjilah kalian akan hidup bahagia dan gak akan saling menyalahkan lagi. Aku akan pergi" Alin memotong perkataan Ibnu.
"Lin, kita masih temenan kan?" Dena memohon
"Ya, kita tetap teman. Tapi sekarang aku butuh waktu untuk sendiri" Alin berlalu meninggalkan dua temannya itu.
Ibnu, cowok yang Alin kenal saat baru masuk kampus ini. Saat itu Ibnu banyak membantunya. Awalnya mereka berteman. Hingga beberapa bulan setelahnya, Ibnu menyatakan perasaannya pada Alin. Alin sungguh bahagia kala itu karena sesungguhnya dia jatuh cinta pada Ibnu saat pertama kali mereka bertemu.
Dena, sahabat Alin sejak SMA. Dena adalah tempat Alin menumpahkan segala keluh kesah dan masalahnya. Apalagi saat bundanya meninggal, Dena lah yang terus mendampingi dan menguatkan Alin.
Alin menangis semalaman hingga matanya bengkak dan sembab. Menangisi Ibnu, menangisi kisah cintanya. Alin mengambil handphone nya. Mengetikkan nama Ibnu lalu mengirim pesan
Alin: [temui aku di cafe dekat kampus besok jam 8 pagi, aku ingin bicara berdua dan menyelesaikan hubungan kita] Send
Ibnu: [baiklah. Aku benar benar minta maaf. Aku akan datang besok] send
*****
Pagi itu di cafe,
Suasana masih sepi. Hanya satu dua mahasiswa yang mengisi meja meja cafe mungil itu. Alin masih memainkan jarinya di pinggiran cangkir kopinya.
Ibnu memperhatikan Alin yang wajahnya sembab. Sesekali Ibnu menarik nafas panjang mencoba menahan emosinya. Ingin rasanya dia memeluk kekasihnya itu. Tapi sepertinya Alin masih sangat terpukul dan enggan disentuh oleh Ibnu.
Belum ada yang mencoba memulai pembicaraan. Keduanya masih diam membisu.
"Kau akan membahagiakannya kan?" Alin berbicara tanpa memandang lawan bicaranya
"Dena sahabatku, kau harus membahagiakannya. Kau tidak boleh membuatnya sedih apalagi menangis" lanjut Alin.
Ibnu masih diam mendengarkan.
"Berjanjilah padaku Ibnu" suara Alin mulai bergetar. Sekuat tenaga ia tahan air matanya agar tidak berjatuhan.
"Ia Lin, aku berjanji" jawab Ibnu lemah,
"Kau akan datang?" Tanya Ibnu ragu sambil menyodorkan sebuah undangan
Alin memandang sekilas undangan tersebut lalu tersenyum
"Mungkin..." jawab Alin lirih
"Boleh aku memelukmu untuk tetakhir kalinya sebelum kamu benar benar menjadi milik orang lain?" Alin tak dapat lagi membendung air matanya. Ibnu segera menarik Alin ke pelukannya. Mendekapnya erat. Menumpahkan segala kerinduannya.
"Maafin aku, Lin. Maaf" hanya itu yang bisa Ibnu katakan.
"Terima kasih buat semuanya, Nu. Semoga kau dan Dena berbahagia" Alin mengecup pipi mantan kekasihnya tersebut sebelum pergi meninggalkan cafe.
Alin keluar dan tak menoleh lagi. Ia ingin melepaskan semua. Meninggalkan semua kenangan di cafe itu, di kampus itu, bahkan di kota itu.
Sorenya, Alin langsung terbang ke Surabaya. Ia sudah bertekad untuk mencari ayahnya dan meninggalkan semuanya. Menetap di Bandung hanya akan membuatnya semakin terluka. Ia harus membuka lembaran hidup baru. Tanpa bayang bayang Ibnu maupun Dena.
Pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mendarat membuat Alin menghentikan lamunannya. Ia menghapus air mata di sudut matanya. Sejujurnya ia belum benar benar melupakan Ibnu. Kenangan kenangan indah bersama Ibnu begitu sulit ia lupakan, mengingat Ibnu adalah cinta pertamanya.
Alin bergegas menuju rumah almarhumah bundanya. Ia hanya mampir sebentar melihat rumah tempatnya di besarkan tersebut. Rumah itu kini di huni sepasang suami istri yang sudah tak muda lagi. Dulu Alin terpaksa menjual rumah tersebut untuk biaya kuliah. Tapi sang pembeli berjanji pada Alin untuk tak membongkar ataupun mengubah bentuk rumah tersebut karena di rumah itu banyak kenangan Alin dan bundanya. Kedua orang baik itupun masih mempersilahkan Alin jika sewaktu-waktu Alin ingin berkunjung atau menginap.
Waktu itu ayahnya pernah menawarkan untuk membeli kembali rumah itu. Tapi Alin tak setuju karena rumah itu nantinya hanya kosong dan tak berpenghuni. Biarlah begini saja.
Alin melanjutkan pergi ke pemakaman bundanya. Tak lupa sebuket lily putih kesukaan sang bunda Alin bawa. Berdoa dan berkeluh kesah, itulah yang selalu dilakukan Alin jika mengunjungi makam bundanya. Tak ada jawaban memang, tapi Alin merasa lega dan bahagia bisa berkeluh kesah pada bundanya.
Matahari sudah condong ke barat. Alin ikut penerbangan sore ini karena dia harus menghadiri pesta pak Lukito atau ayahnya pasti marah besar.
Alin menyalakan handphone nya yg sedari tiba di Bandung ia matikan.
Banyak sekali notif pesan dari Andri.
"Dasar sekretaris bawel. Udah macem emak-emak saja ni orang" Alin berdecak kesal.
Ia bergegas pergi ke bandara, dan kembali lagi ke Surabaya.
Alin baru mendarat. Handphonenya tak berhenti bergetar sedari tadi. Andri berkali kali meneleponnya
"Ia An, aku sudah sampe di Surabaya. Jam berapa pestanya?"
"..."
" iya, iya aku segera ke apartemen. Semua sudah kau siapkan?"
"..."
"Baiklah, jangan lupa datang menjemputku"
"..."
Baru saja Alin menutup telponnya tiba tiba
Bugh
"Auww" Alin meringis menahan sakit di badannya. Seperti habis menabrak raksasa rasanya
"Maaf nona, kau tidak apa apa? Mari ku bantu" sebuah tangan kekar membantu Alin berdiri. Suaranya yang serak serak basah terdengar begitu seksi.
Alin mendongak untuk melihat siapa yang baru saja ia tabrak.
Alin tercengang tak percaya.
Astaga, pria ini. Kenapa aslinya lebih tampan daripada di foto. Alin menelan ludah susah payah
"Nona Alina Hendrawan. Saya tak menyangka berjumpa anda disini" ah, pria itu sudah mengenali Alin ternyata. Pasti karena rencana perjodohan konyol waktu itu
"Tuan Doni Lukito, senang berjumpa dengan anda" Alin mencoba tersenyum ramah.
" sungguh kebetulan yang tak di duga, apa nona akan ke pesta ayah saya" tanya Doni sambil menatap Alin intens
"Panggil saja Alin, ia aku akan ke pesta tapi sepertinya aku harus ke apartemen dulu untuk bersiap siap. Ah semoga saya nanti tidak terlambat" Alin agak cemas
"Bolehkah saya mengantar anda ke apartemen. Nanti kita bisa pergi bersama sama ke pesta. Kalo anda tak keberatan tentu saja. Sebagai tanda permintaan maaf karena saya baru saja menabrak anda" Doni memberi tawaran.
Alin tersipu malu.
Bukankah seharusnya dia
yang minta maaf karena dia yang telah menabrak Doni?
Ah tapi sepertinya tawaran ini tak akan merugikan. Kalopun ia terlambat ke pesta ayahnya tak akan mengomeli dirinya karena ia datang bersama Doni.
Andri POV
Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu.
Saat Mr Hendra menyuruhku pindah dari kantor cabang di Jogja ke kantor pusat di Surabaya.
Aku benar benar tak menyangka Mr Hendra mempercayaiku untuk mengajari putri semata wayangnya itu cara mengelola perusahaan dan menjadi asisten pribadinya selama ia belajar menjadi CEO sebelum benar benar menggantikan Mr Hendra.
Alina, dia gadis yang cerdas dan sedikit bawel. Tapi aku menyukainya. Mungkin aku jatuh cinta padanya saat pertama melihatnya. Ah, perasaan ini sudah lama aku tak merasakannya semenjak kepergian Ayu.
Awal bekerja dengannya aku masih kaku. Tapi makin lama kami layaknya teman. Meskipun dalam hatiku ada perasaan lebih dari teman. Tapi sejujurnya aku memang pengecut. Aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku. Aku terlalu takut atau lebih kepada sadar diri. Ya, statusku yang seorang duda beranak satu membuatku selalu kehilangan nyali saat akan mengungkapkan perasaanku.
Jadi aku memilih mencintainya dalam diam. Mengubur dalam dalam perasaan ini. Aku masih waras dan butuh pekerjaan ini demi putri semata wayangku, Mia.
Mr. Hendra tak akan segan segan menendangku keluar dari perusahaanya kalo dia tahu aku memiliki perasaan terlarang ini.
"Aku ingin Alina menjalin hubungan dengan anak muda ini" Mr. Hendra menyerahkan sebuah map kepadaku.
Aku membuka dan membacanya sedikit. Putra seorang konglomerat lainnya.
Ya tentu saja.
Putri konglomerat pastilah jodohnya putra konglomerat. Sudah hukum alam.
"Andri, kau yang dekat dengan Alina. Tolong bujuklah dia kali ini agar menerima perjodohan ini. Entah sudah berapa banyak anak anak dari kolegaku yang dia tolak. Aku tak mengerti mengapa gadis itu begitu keras kepala" Mr Hendra terlihat emosi
"Saya akan mencoba membujuknya Sir, semoga Miss Alina tidak menolak kali ini" jawaban yang ironis.
Bibir berkata manis tapi hati serasa di iris iris.
Apakah aku egois jika berharap kali ini Alina menolaknya lagi dan seterusnya menolak hingga tinggal aku laki laki di dunia ini yang tersisa untuknya.
"Baiklah. Pastikan dia datang ke pesta Mr. Lukito dan tidak kabur dengan sejuta alasan lagi" ucap Mr Hendra tegas.
"Baik Sir,"
"Ada perusahaan baru yang ingin menjalin kerjasama Sir, mereka perusahaan dari Bandung dan baru mulai berkembang" Aku memberikan beberapa dokumen
"Akan ku periksa. Untuk pertemuan aku ingin Alina yang menanganinya. Aku harus meninjau cabang kita yg di jakarta"
"Baik Sir"
Mr Hendra kembali berkutat dengan dokumen dokumen dan berkas berkas perusahaan. Aku undur diri dan segera meluncur ke kantor untuk menemui Alina.
Sampai di kantor, aku mengetuk pintu ruangan Alina beberapa kali namun tak ada jawaban.
Ah gadis ini pasti sedang melamun lagi.
Beberapa hari terakhir aku sering memergokinya tengah melamun. Lebih tepatnya sejak kejadian di Restoran itu.
Ya, hari itu dia melihat sebuah keluarga yang sedang makan siang, entah mengapa Alina tak mengalihkan pandangannya dari keluarga itu. Aku tak mengerti.
Apa Alina mengenal mereka?
Atau Alina menginginkan sebuah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis seperti itu?
Sejujurnya masih banyak tanda tanya berputar putar di kepalaku. Tapi aku harus mengabaikannya.
*****
Hari Sabtu,
Aku sebenarnya agak khawatir saat Alina mengatakan akan ke Bandung mengunjungi makam bundanya.
Ingin rasanya menemaninya. Tapi masih banyak berkas berkas penting yang harus ku selesaikan. Akhirnya aku membiarkan dia pergi sendirian. Kusuruh beberapa bodyguard mengawasinya dari jauh.
Ya, Alina tak seperti CEO lain yang kemana mana selalu di kawal bodyguard. Ia merasa risih bila ada yang mengawalnya kemana mana. Maka dari itu aku selalu menyuruh para bodyguard menjaganya dari kejauhan hingga Alina tak menyadarinya.
Dan di pesta malam ini aku terkejut. Alina datang bersama putra Mr. Lukito. Mereka bergandengan mesra. Padahal baru beberapa saat yang lalu dia menyuruhku untuk menyiapkan jemputan agar ia tak terlambat datang ke pesta. Tapi sekarang dia malah datang bergandengan dengan pria itu. Dan sialnya mengapa mereka berdua terlihat begitu serasi.
Ah, aku ingin kabur dari sini.
Ayolah Andri jangan jadi pengecut. Jangan lemah. Aku hanya bisa mendengus kesal.
Andri POV end
*****
Mr Hendra dan Mr Lukito tak henti hentinya tersenyum. Rencana mereka berjalan mulus. Kerjasama perusahaan yang saling menguntungkan sudah tampak di depan mata.
Alina berjalan dengan anggun. Gaun panjang berwarna maroon yang ia kenakan semakin menonjolkan kulitnya yang putih mulus. Senyuman tak pernah hilang dari bibirnya.
Di sampingnya Doni tak kalah tampan. Dengan setelan jas mewah ia tampak gagah dan berkelas. Wajahnya yang tampan semakin terlihat tampan dan mempesona. Membuat semua wanita yang melihatnya terhipnotis.
"Surprize" Mr Hendra berjalan menghampiri keduanya.
"Hai ayah" Alin mendekat dan memeluk ayahnya
"Selamat malam om Hendra. Maaf saya lancang membawa putri anda" Doni memberi salam dengan sopan.
"Rupanya kalian sudah saling mengenal ya. Ayah tak mengira kalian akan akrab secepat ini" Mr Hendra masih tersenyum bahagia
"Sebenarnya baru sore tadi kamu tak sengaja bertemu di bandara" Alina mulai salah tingkah
"Mungkin kita harus secepatnya menentukan tanggal pertunangan. Bukankah tidak baik menunda sesuatu yang baik" ucapan Mr Lukito yang baru datang sontak membuat terkejut semua orang.
Tak terkecuali Andri yang berdiri tak jauh dari situ.
"Apa tidak terlalu cepat om?" Alina bertanya ragu
"Hanya pertunangan Alin, setidaknya sampai kau dan Doni benar benar saling mengenal. Setelah itu barulah kita tentukan tanggal pernikahannya" Mr Lukito menjelaskan panjang lebar.
Mr Hendra dan yang lainnya mengangguk-angguk tanda setuju.
Andri sungguh membenci situasi ini. Atmosphere di sekitarnya menjadi panas. Ia memutuskan untuk keluar dan mencari udara segar. Kenapa terasa begitu menyakitkan.
Alin terlihat bahagia bersama Doni.
Bukankah seharusnya dia ikut bahagia?
Sungguh tak tahu diri kalo ia benar benar menginginkan Alina menjadi miliknya.
"Huh, dasar cinta. Bisanya membuat sakit dan terluka" Andri mendengus frustasi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!