Angin itu membawa kita kepadang rumput yang luas, menyajikan simponi indah membalut kebersamaan kita, tapi tak sangka angin kita berbeda haluan, kita kembali terpisahkan oleh takdir kita.
Apakah pilihanku sia-sia? Tapi takdir tak akan pernah salah bukan?
***
Tahun demi tahun telah berlalu perang di masalalu kini menjadi sebuah cerita yang diturunkan dari generasi kegenerasi, revolusi terjadi seiring berjalannya waktu. Para pemimpin terdahulu telah berganti.
Dahulu, perempuan hanya sebagai pajangan kini ikut peperangan, kecantikan tetap mereka pertahankan, keangguan dan kesopanan selalu mereka terapkan disetiap pertemuan, tapi saat ayunan pedang mereka arahkan, keganasanlah yang mereka tunjukan.
Tapi para saingan terus berdatangan, ketidak puasan terus terngiang, kesombongan dan keserakahan mulai bertebaran, kerakusan dan hawa nafsu tumbuh mekar dihati mereka.
Dulu mereka bersatu, menyatukan kekuatan, cita dan cinta demi mencapai tujuan bersama, membasmi iblis demi kedamian abadi. Tapi kini mereka semua berbeda. Iblislah yang hidup dihati mereka, bersemayam dan mengendalikan rasa.
Disebuah kawah gunung berapi, tumbuh sebuah pohon plum yang besar, dengan bunga merah jambu yang selalu segar dan mekar, tak ada kehidupan disana kecuali seekor Kupu-kupu emas yang terus mengepakan sayapnya, mengelilingi bunga plum yang mekar bertebaran, walau kini bukanlah musim semi.
Sudah seribu tahun yang lalu, Kupu-kupu itu tinggal menyaksikan semua kejadian revolusi alam, ia hanya diam dan mengenang. Tak ada tubuh untuk ia hinggapi, karena ia sang jiwa abadi dan murni.
"Hmm, kau disana rupanya?" ucap seorang pria tua, dengan janggut dan rambut putih panjangnya juga tongkat yang tak pernah lepas dari tangannya.
Kupu-kupu itu diam, menikmati semilir angin, yang menerpa sayapnya, tak terganggu dengan seseorang asing yang masuk wilayahnya. "Apa kau tak bosan terus seperti itu gadis kecil?" lanjut pria tua, tersenyum penuh arti menatap sang Kupu-kupu yang tak peduli.
"Huh, apa kau bicara padaku? Tapi itu tak mungkin bukan? Pria tua yang aneh!" ucap Kupu-kupu itu malas, sambil terbang menjauh.
"Tentu saja, selain kau siapa lagi hidup disini? Sepertinya kau sudah melupakan ku, hmm?" ucap pria tua, ia duduk bersandar dibawah pohon plum.
"Eh, kau mengerti bahasaku?" ucap sang kupu-kupu kaget. "Apa maksudmu? Apa benar kau mengenalku?" lanjutnya.
"Aku mengerti bahasamu, tentu saja aku mengenalmu. Jiwamu sudah terikat pada pohon plum, memang agak sulit melupakan masa lalu, tapi sepertinya kau kehilangan sebagian ingatanmu gadis kecil," ucapnya, yang membuat kupu-kupu itu kembali kehadapan pria tua.
"Kau tau tentangku?"
"Tentu, apa kau bosan?"
"Bosan? tentu saja, selama seribu tahun aku menghabiskan waktu disini, hanya pohon ini yang menerimaku, hingga mempertahankan bunganya untukku."
"Kau bisa kembali kewujud manusia, jika dia pun kembali."
"Dia? Siapa yang kau maksud?"
"Seseorang yang jiwanya terikat padamu, jika kau menginginkan hidup seperti dulu, maka aku akan bisa membantumu tapi dengan syarat, ingatanmu yang tersisa akan pergi dan kembali dengan sendirinya."
"Seratus tahun yang lalu, aku kembali kewujudku. Tapi, hanya saat peristiwa Blue Blood Moon terjadi, aku sudah mengalaminya sebanyak sembilan kali, selama aku disini. Aku berubah pertamakali saat seratus lima puluh tahun tinggal disini," tutur kupu-kupu tersebut.
Pria tua itu tersenyum, ada kepuasan diwajahnya. "Itu artinya dia sudah kembali?"
Mereka berbincang hingga mentari sudah terganti oleh sang kegelapan yang kini menguasai. Pria tua itu pergi, menyisakan sepi yang kembali menerpa sang kupu-kupu emas sendiri. Semua karena keputusannya, langit tak menerimanya, karena alasan ia tak bisa melakukan tugasnya dengan baik.
Dimalam yang sepi dan sang bulan pun tak terpatri dilangit yang melambung tinggi, suara langkah kaki bersahutan dari arah luar gunung, tak lama tampaklah segerombolan pria dengan tandu yang diangkat oleh empat orang pria berbaju sama seperti seorang prajurit suatu kerajaan.
"Benar-benar melelahkan, jika tak sesuai dengan imbalannya, aku sudah membuangnya kesungai," ucap salah satu dari mereka kesal, saat sampai ditebing yang dibawahnya berpijar lava panas yang siap membakar apapun.
"Huh, bukankah seharusnya kita membuangnya kehutan? Tapi mengapa kita membawanya kekawah?" ucap salah satu diantara mereka.
"Benar juga. Tapi sudahlah, lebih baik selesaikan tugasmu! Sebelum kita mati terpanggang disini."
"Cepatlah! Kita harus kembali, sebelum keluarga kekaisaran menyadari kejadian ini."
Tanpa pikir panjang mereka menjatuhkan tandu itu dari atas tebing, tampaklah seorang wanita dengan perut buncitnya. Kupu-kupu itu hanya diam menyaksikan hal tersebut. Tapi saat sang kupu-kupu mencoba tak peduli, detak jantung yang seirama terdengar oleh pendengaran penembusnya.
Sang kupu-kupu bergegas terbang menyelamatkan sang wanita, tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi seorang gadis dengan surai hitam juga mata coklat emasnya yang bersinar dan sepasang sayap kupu-kupu berwarna emas dipunggungnya.
"Se...la..mat..kan ba.. yi.. ku ku..mo...hon." Pinta sang wanita hamil dengan suara parau dan mata berkaca-kaca, tubuhnya lemah, Saat gadis kupu-kupu itu membawanya kebawah pohon plum.
Tak ada penerang selain semburan lava yang bergolak dikawah gunung, juga cahaya dari sepasang sayap sang gadis. Pada malam itu lahirlah seorang putri yang diramalkan akan menghancurkan kenistaan.
Tapi sayang tak ada tangisan yang mengiringi kehadiran bayi tersebut, tubuh sang bayi sedingin es, tanpa detak juga tanpa gerak. Gadis kupu-kupu ia mengernyit bingung, "Bayimu...." Aneh lanjutmya dalam hati.
"A.. apa yang terjadi pada bayiku?" gumam ibu sang bayi, kekhawatiran jelas terlukis diwajah pucatnya.
"Maafkan aku, tapi sepertinya bayimu tak bisa aku selamatkan," ucap sang gadis, sambil menggendong bayi yang baru lahir tersebut, dengan darah dan plasenta yang masih menempel ditubuhnya.
Wanita itu tersenyum sendu, "Sang kuasa menitipkannya padaku, kau yang tentukan bagaimana nasib putriku selanjutnya," ucapnya setengah berbisik, lalu memberikan sebuah kantung yang terbuat dari sutra yang bersulamkan benang emas dengan simbol naga dan petir yang saling menggulung.
"Ambilah! Itu akan berguna saat kau menentukan jalan dimasa depan, semoga kau berhasil putriku," ucapnya, ia memegang tangan mungil sang bayi yang sedingin es.
Kemudian Ibu sang bayi memudar bersama dengan darah dan plasenta yang menghilang juga kejadian alam yang menggemparkan. "Ini tidak mungkin! Apa yang terjadi?" gumam sang gadis kupu-kupu, bayi itu bersih seperti kertas kosong tanpa noda.
"Apa yang harus aku lakukan pada bayi ini? Dia ada tanpa jiwa, sedangkan aku jiwa masalalu yang berkelana, apa itu artinya..?" gadis itu menyatukan keningnya dengan sang bayi, simbol dikeningnya bersinar
Jiwa sang gadis kupu-kupu terserap kedalam tubuh sang bayi, bersamaan dengan itu alam seperti menyambut kebangkitannya.
Guntur bersahutan, angin pun tak kalah kencang, bunga plum berguguran, sinar merah memancar dari puncak gunung, terlihat sampai kekaisaran tapi hanya beberpa detik saja dan kembali menghilang.
Rasa khawatiran bergemuruh dihati para pendekar, juga tetua perguruan. Seakan membuka kembali sejarah seribu tahun lalu, yang ditulis dengan tinta emas diperguruan Long, yang didirikan oleh sang naga juga lima gadis perkasa.
*tbc
Sedangkan pria tua yang baru saja akan meninggalkan gunung tersebut, ia kembali kekawah dengan jurus peringan tubuhnya. Pria tua itu sampai dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya, saat melihat sang bayi dengan simbol elemen yang terlukis dikeningnya, kemudian ia menggendonnya.
"Akhirnya kau kembali, untuk menebus dosamu juga melanjutkan harapanmu yang telah kau kubur bersama kepergianmu," gumam pria tua. Sreettt... Ia menggores jari telunjuk sang bayi, Craatt...darah mengucur dari lukanya, pria tua itu meneteskannya pada lava yang bergolak, sinar merah dan semua elemen alam masuk ketubuh sang bayi.
Kehebohan alam tersebut terhenti saat mata bayi itu terbuka untuk pertama kalinya, menampilkan warna coklat emas yang indah penuh dengan kepolosan, juga harapan.
"Hey gadis kecil, aku tak akan mengubah namamu. Ingat namamu Annchi," ucap sang pria tua, mengambil kantong sutra kemudian berlalu. Meninggalkan pohon plum yang kini memudar seiring langkah pria tua yang membawa sang tuan rumah, lalu menghilang tanpa sisa, hanya menyisakan kolam lava yang berubah menjadi kolam air panas yang jernih juga kental dengan kandungan sulfurnya.
Setelah kepergiannya, ada dua pria yang datang kekawah tersebut, mata birunya menelisik setiap sudut tempat tanpa terlewati. "Tidak ada siapapun disini Master," ucap pria disampingnya.
"Hmm, ada aura kehidupan yang tersisa disini, sepertinya mereka baru saja meninggalkan tempat ini," ucap pria bermata biru yang disebut master itu tersenyum samar.
'Sebenarnya apa yang kucari? Sejak dulu aku selalu ingin datang ketempat ini, entah mengapa aku merasa kecewa saat tak menemukan siapapun disini,' benak pria bermata biru.
***
Diujung desa kekaisaran, ada sebuah gubuk kecil yang didalamnya penuh dengan kehangatan juga keharmonisan saat mereka bersama, yang dihuni oleh sepasang suami istri beserta dua putrinya, mereka bekerja sebagai seorang tabib.
Tujuh tahun yang lalu saat sang fajar belum menyingsing, mereka hendak pergi kegunung untuk mencari tanaman-tanaman herbal, mereka terkejut saat menemukan kotak kayu didepan gubuknya, berisi bayi, surat, koin emas serta kantong sutra yang tak bisa mereka buka.
Sepucuk surat yang berisikan sebuah nama Annchi, itulah yang tertulis disebuah kain dengan darah sebagai tintanya. Mereka senang karena akan memiliki seseorang putri, dan takut jika akan terjadi masalah dimasa depan karena bagi mereka bayi itu bukan bayi biasa. Hingga akhirnya ada bisikan yang memerintah mereka untuk merawatnya.
Disore musim panas yang cerah, dua orang yang berbeda generasi itu, saling mengejar "Ayah kembalikan mainanku! Bukankah kau berjanji akan membuatkan ayunan untukku?" teriak gadis kecil berusia tujuh tahun, berlari mengejar pria paru baya yang mengambil mainan kayu yang gadis itu buat.
"Ambilah jika kau sampai, jika ku bisa membuat mainan kayu kenapa kau tak bisa membuat ayunanmu sendiri?" ucap sang ayah, sambil megacungkan mainannya.
"Huh, tunggu saja! Suatu saat nanti aku akan mengalahkanmu, ayah! Bukan hanya membuat ayuan, aku akan membuat duniaku sendiri dan tak akan aku biarkan siapapun mengambil milikku," ucapnya, melipatkan kedua tangannya didada.
"Hahaha, cepatlah besar Chi'er, agar tak ada siapapun yang akan mengganggumu, dan mengambil milikmu," ucap sang ayah.
"Aku tak perlu besar jika untuk melindungi milikku, aku hanya perlu kuat dan cerdik untuk melindungi milikku," ucap Annchi.
"Haih, jika berbicara denganmu aku selalu kalah, rasanya kau bukan gadis berusia tujuh tahun tapi, seseorang yang sudah dewasa," sang Ayah tertawa, lalu memberikan mainan tersebut.
Kedekatan mereka tak lepas dari sepasang mata coklat yang menatap tajam kearah mereka, raut cemburu menghiasi wajah mungil gadis berusia enam tahun itu. "Ibu...!!" teriaknya.
Sang ibu hanya menoleh, saat putri yang dilahirkannya itu menampilkan wajah kesalnya. "Ada apa Wei'er? Kenapa dengan wajah cantikmu?" ucap sang ibu lembut.
"Ibu mengapa ayah sekarang bermain dengan kakak Annchi, aku tak suka jika ayah lebih perhatian pada kakak," rengek Wei.
"Bukankah Ayah selalu bermain denganmu, hari ini kakakmu sedang berulang tahun, kenapa kau tak bergabung dengan mereka?"
"Aku tak ingin bersama kakak, aku hanya ingin bersama ayah dan ibu."
"Kenapa? Annchi itu Kakamu, ia selalu berbagi apapun denganmu."
"Heh, aku tidak mau! Ibu aku dengar jika kakak bukan putri kandungmu apa itu benar?"
"Siapa yang bicara seperti itu padamu, Wei?" ucap sang ibu dengan nada meninggi.
"Itu.... a.. aku.... " Wei tertunduk takut, baginya ini pertama kalinya sang ibu membentaknya.
Sang ibu menghela nafas kasar, "Maafkan ibu Wei'er. Kau tahu, ibu tak suka jika ada seseorang yang berbicara sembarangan tentang keluarga kita." Sang ibu mengusap lembut kepala sang putri. "Ayo kita bermain dengan mereka, ibu sudah siapkan teh dan Dim sum untuk kita," lanjutnya.
Mereka keluar, dua orang diluar masih sibuk dengan ayunan yang dibuatnya, "Aku akan menghabiskan jatah kalian jika kalian tidak berhenti," ucap sang ibu, dua orang itu menghentikan kesibukannya.
Mereka berbincang, canda dan tawa terus mengalir keluar dari bibir mereka, tak ada lagi kebencian diwajah Wei, sang ibu tersenyum saat melihat keakraban kedua putrinya itu. Kehangatan itu disaksian oleh seorang pria tua yang tersenyum dibalik pohon maple dibelakang rumah mereka.
***
Dilangit malam yang berbintang, suara hewan malam terdengar bersahutan, seorang pria paru baya itu merenung setelah mendapatkan surat dari orang kekaisaran, bahwa akan ada kejadian yang mengerikan terjadi padanya, karena dulu, ia yang membuat resep untuk permaisuri Huo Hua.
Ya, Ayah angkat Annchi seorang tabib khusus keluarga kerajaan, tujuh tahun lalu ia menjadi kepercayaan permaisuri Huo Hua tapi karena ada seseorang yang merubah resepnya ia disalahkan atas keracunan dan hilangnya permaisuri kekaisaran Yun.
Dari arah pintu seorang gadis dengan hanfu putih tersenyum tatkala melihat ayah angkatnya melihat kearahnya, "Kau belum tidur?" Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban, "Duduklah putriku! hari ini adalah hari ulang tahunmu, aku ingin memberi tahumu sesuatu," lanjut sang ayah.
Gadis itu duduk disebelah ayahnya, senyum indahnya tak luntur dari bibir mungilnya, "Aku tahu ayah, aku sangat berterima kasih pada keluargamu karena telah menerimaku berada disekitar kalian," ucapnya.
"Chi'er, kau sudah.... "
Annchi tersenyum, ia memeluk Ayah angkatnya, "Aku sudah tau ayah, aku hanyalah bayi yang kau rawat. Percaya atau tidak, aku mengingat semuanya saat aku menjadi bayi, bagimana kalian memperlakukanku dengan penuh kasih sayang."
"Apa itu mungkin? Apa kau ingat siapa yang membawamu saat itu?"
"Yang aku ingat, hanya saat kalian menggendongku dan memberikan kecupan dikedua pipiku," ucap Annchi senyum sendu.
Mereka berbincang hingga malam semakin larut, sang ayah memberikan sebuah kotak kayu sebagai hadiah ulang tahun putri angkanya itu, ia tak menyangka jika Annchi dapat mengingat semuanya dengan jelas.
Entah mengapa ia tak ingin jauh dari kedua putrinya untuk saat ini, dan pada akhirnya mereka berempat tidur bersama, saling memeluk memberi kehangatan. Begitu pula dengan sang Ibu, ia terus memeluk Wei. Wajahnya penuh kegelisahan meski ia tertidur. Annchi melihat itu ia khawatir dan entah mengapa hatinya pun merasakan seperti akan ada sesuatu yang terjadi pada mereka.
*tbc
Disaat sang fajar belum menyingsing, suara langkah kaki kuda bersahutan membelah jalan pedesaan. Hawa dingin tak mereka pedulikan, kabut sungai masih menyebar disekitar, menghalangi pandangan.
Keributan itu membangunkan para warga dari tidurnya, tapi tak ada yang berani keluar. Mereka takut jika Kerajaan musuh menyerang, atau pun konflik antara kekaisaran dengan perguruan Long pecah kembali.
Sedangkan didalam sebuah gubuk kecil diujung desa, sepasang suami istri membereskan semua barang putrinya tak menyisakan apapun, air mata terus mengalir dari pelupuk mata sang istri, suara isakan yang tertahan terdengar samar-samar oleh salah satu gadis kecil yang tertidur.
"Suamiku, apa mereka akan selamat jika kita mengirim mereka keperguruan Long?" bisik sang istri sendu, kala melirik dua gadis kecil yang sedang tertidur lelap dengan damainya.
"Tenangkan dirimu istriku, sang kuasa pasti melindungi mereka, aku yakin itu. Kita harus menghilangkan semua jejak kedua putri kita, jangan sampai ada yang tersisa, aku tak menyangka jika hari ini telah tiba," ucap sang suami, ia merangkul tubuh bergetar istrinya, ia ingin menangis tapi siapa yang akan menenagkan istrinya?
"Mereka masih terlalu muda untuk kita lepaskan, aku takut jika dimasa depan mereka akan mendapat kesulitan tanpa kita," ucap sang istri, ia merapatkan tubuhnya didada sang suami.
Gadis kecil itu diam-diam membuka matanya, awalnya ia akan terbangun tapi ia urungkan, 'Sebenarnya apa yang akan terjadi?' batinnya.
"Mereka tak akan kekurangan apapun dimasa depan. Aku yakin Annchi kita akan menjaga adiknya dengan baik."
"Ayah, ibu? Apa yang terjadi?" gumam gadis berusia tujuh tahun itu terbangun.
"Hah..." Kaget mereka, "Kenapa kau bangun Chi'er?" tanya sang ibu.
"Hmm, apa ayah dan ibu baik-baik saja?"
"Kami baik-baik saja, hanya saja kami akan mengirim kalian ke perguruan Long untuk belajar disana," ucap sang Ibu.
Tok.. Tok.. Tok..
"Tabib Yi cepatlah keluar! Mereka sudah dekat!" teriak seseorang di luar sana.
"Gawat! Masuklah paman Mo, mereka akan siap sebentar lagi," ucap sang ayah, Annchi bingung, Wei pun terbangun kala keributan terdengar, "Chi'er bersiaplah, istriku siapkan semuanya!" lanjutnya.
Paman Mo adalah orang kepercayaan sang ayah mereka sama-sama tabib kekaisaran, ia juga salah satu tangan kanan sang kaisar saat permaisuri masih ada, tapi kini ia memilih menjadi rakyat biasa dan menjalani masa tuanya dengan damai.
Diluar sebuah kereta kuda sudah menunggu, semua barang Annchi dan Wei diangkut dalam satu kereta, dari kejauhan samar-samar terdengar suara langkah kuda yang mendekat.
"Chi'er, kuharap kalian saling menjaga satu sam lain. Paman Mo, dia akan membawa kalian keperguruan Long, belajarlah disana. Mungkin suatu saat nanti ayah dan ibu akan menyusul kalian," ucap sang ayah, dengan jari yang membentuk simpul.
"Jangan membuat sebuah janji jika kau tak yakin untuk menepatinya, Ayah! Sekarang katakan! Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Annchi.
"Aku.... " ucap sang ayah terhenti saat suara ringkikan kuda terdengar dikejauhan, wajahnya memucat, gerak tubuhnya gelisah.
"Cepat bawa mereka pergi!" teriak sang ayah, "Dengar Chi'er apapun yang terjadi kalian harus secepatnya meninggalakan tempat ini! Mo pergilah!" ucapnya, ia berlari menuju istrinya yang menangis.
"Ayah?!" teriak Annchi, ia akan melompat tapi totokan di tubuhnya menghentikan langkahnya. "Tenangkan dirimu Annchi, biarkan Ayahmu menghadapi masalahnya, aku tau kau bisa mengerti semua ini bukan?"
Annchi diam, ingin rasanya ia meberontak. kereta kuda itu melaju sangat kencang, berlawanan arah menuju jalur pegunungan, Annchi menangis saat mendengar teriakan sang ibu tertangkap oleh pendengaran jarak jauhnya.
'Mengapa aku tak bisa melindungi milikku, apa artinya hidupku jika aku tak bisa melindungi orang-orang yang aku sayangi?' Benak Annchi.
Kereta kuda memasuki hutan, saat sang fajar baru menyingsing, tapi keadaan hutan masih gelap karena rimbun pepohonan. Hening itulah suasana disana, tapi sayang tak bertahan lama.
Slapp... Slaap... Blaarr.... Anak panah api menancap dipunggung kuda membuat kuda kesakitan juga kereta tersebut tak seimbang lalu menabrak pohon disisinya, sebagian kereta tersebut hancur dan beberapa barang berhambur keluar.
Slaap..Slaap.. Blaarr... Anak panah lainya menyusul, melahap sebagian tubuh kereta, serta barang yang didalamnya, dua gadis yang berada didalamnya ketakutan.
"Nona kau baik-baik saja?" ucap paman Mo.
"Paman lepaskan totokanmu, aku baik-baik saja, tapi Wei...," ucap Annchi, ia mengkhawatirkan Wei yang terhimpit beberapa barang, sedangkan dibelakang mereka api membesar siap melahap mereka.
"Kakak, huhuhu.. aku takut," ucap Wei, saat api itu menar-nari dibelakang mereka, ia mencoba melepaskan dirinya, paman Mo melepaskan totokannya juga membantu Wei.
"Tenanglah, Wei'er semua akan baik-baik saja." Annchi menenangkan, meski hatinya ingin berteriak dan mengatakan Apanya yang baik-baik saja? Annchi melirik barang yang yang hampir terbakar, ia melihat kotak kayu hadiah dari sang ayah.
Tak lama muncul bandit gunung menghadang mereka, dengan pedang dan panah sebagai senjatanya. "Hahaha jarang sekali kita mendapatkan tangkapan besar sepagi ini, lihatlah sungguh indah koin emas itu," ucap salah satu bandit, pandagannya tertuju pada koin yang berserakan dari kantungnya.
"Hmm, aku lebih tertarik pada dua gadis itu, jika mereka besar sepertinya akan sangat cantik," ucapnya, dengan tatapan penuh nafsu tercetak diwajahnya.
Paman Mo langsung mengeluarkan pedangnya, ia menghalangi kedua tubuh gadis kecil dibelakangnya, "Kalian larilah dari sini, aku akan menghadang mereka," ucapnya, meski tak yakin ia bisa menggunakan pedangnya.
"Tidak paman, ini wilayah mereka, walau pun kami lari tapi kami tak akan berakhir baik," ucap Annchi, ia melihat Wei yang semakin ketakutan.
"Hutan memang wilayahnya, tapi.... "ucap Paman Mo melirik jurang yang tak jauh dari mereka. "Mundurlah perlahan, aku memiliki rencana."
"Hey orang tua, berikan dua bocah itu pada kami, maka kami akan melepaskanmu," ucap salah satu dari mereka, sambil mengacungkan pedangnya.
"Kakak aku.. aku takut, dimana ayah dan ibu aku ingin bersama mereka," bisik Wei, ia menangis.
"Suuttt.. Tenanglah kita pasti akan selamat," bisik Annchi.
Mereka mundur perlahan "Lari" ucap Paman Mo, mereka berbalik dan Clebb.. Craatt... Akhh...Brukk.. Tubuh Wei bergetar, kala darah itu membasahi wajahnya, mereka tak menyadari ada bandit yang bersembunyi didekat mereka dan langsung menebas leher pria paru baya itu dengan kapaknya.
"Paman Mo?!" gumam Annchi, "Wei, sadarlah!" ucap Annchi, ia menggoyangkan tubuh adiknya itu, yang mematung.
"Hahaha, gadis kecil kemarilah! Jika tidak, kami akan melakukan hal yang sama pada kalian," ucap bandit yang membawa kapak.
'Kami tidak boleh tertangkap, pengorbanan mereka akan sia-sia jika kami menyerah.' Annchi melirik kebelakang, tinggal tiga langkah lagi mereka akan sampai diujung tebing.
"Wei, sadarlah!" Gadis berusia enam tahun itu tak bergeming, ia masih memandangi kepala Paman Mo yang terpisah dari tubuhnya. Tapi salah satu anak panah melesat kearah Wei, Annchi langsung menarik paksa Wei dan terjun bebas dari dari tebing tersebut.
"Kalian melakukan ini padaku, kuharap petir menyambar kalian hingga mati," ucap Annchi, matanya bersinar seperti menembakan sesuatu kelangit.
Benar saja, setelah mereka tak terlihat lagi, petir menyambar hutan tersebut, menghanguskan semua makhluk hidup yang tinggal disana.
*tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!