Altar merapikan setelan jas warna silver di depan cermin. Hari ini akan menjadi peristiwa penting dalam hidupnya. Status lajang yang disandang selama 27 tahun akan ia lepaskan. Jantungnya berdegub kencang meski ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Altar tak pernah menyangka momen ini akan terjadi begitu cepat. Setelah semua hal yang terjadi memporak-porandakan hatinya tanpa jeda.
“Bang, udah selesai?” tanya seorang lelaki yang lebih muda tujuh tahun darinya. Lelaki muda itu yang kelak akan menjadi saudara iparnya.
Altar tersenyum. Ia melangkah menuju pintu. Menghampiri lelaki yang mengenakan setelan jas warna krem itu.
“Udah. Gimana, aku kelihatan ganteng nggak, Rel?”
Farel, lelaki muda itu menepuk pundak Altar. Katanya,”Abangku kapan sih nggak kelihatan ganteng? Lagian mana mau Mbak Jani sama Abang kalau nggak ganteng.
“Haha... Emang Kakak kamu itu Rel, pemilih banget orangnya.”
“Gitu-gitu Abang juga cinta. Udah yuk, Mbak Jani bentar lagi juga udah siap.”
Didampingi Farel, Altar menuju ruang yang sudah disiapkan untuk akad nikah. Ia berusaha tersenyum, meski yakin hasilnya akan tetap sekaku kanebo kering. Mengingat ia tak bisa mengendalikan degub keras dalam jantungnya.
“Bang, santai aja. Ntar kalau salah tiga kali bakal ngulang di hari lain loh,” goda Farel membuat muka Altar berubah pucat. Jelas Altar tak sanggup menekan rasa gugup.
Saat itu, pandangannya bertemu dengan tatapan perempuan yang duduk di kursi tamu. Perempuan itu tersenyum. Meski raut wajahnya tak bisa menyembunyikan luka.
“Rel, aku ketemu teman dulu ya,” pamit Altar sebelum Farel sempat mencegahnya.
Ia tahu telah melakukan hal bodoh dengan menghampiri perempuan berwajah luka itu. Tapi ia tak sanggup menahan perasaan yang tiba-tiba bergejolak di dadanya. Rasa bersalah, menyesal, juga iba bercampur menjadi satu. Paling tidak jika ia harus menggapai bahagianya, orang lain tak boleh merasakan kesal dan kecawa. Apalagi terluka.
“Terima kasih sudah mau datang, Jani. Kamu apa kabar?” sapa Altar kepada perempuan yang masih saja terlihat tegar meski berparas luka. Perempuan itu hanya mengangguk pelan. Senyum tak lepas dari bibirnya yang berhias warna maroon. Warna yang menjadi ciri khasnya.
“Jangan pernah beranggapan aku akan selamanya berkabung karena kamu tinggal nikah, Bang! Sialan!” Tawanya masih terdengar renyah di telinga Altar. Meyakinkan lelaki itu jika perempuan di depannya sudah mulai membaik dibanding terakhir kali mereka bertemu.
“Makasih, aku lega mendengarnya.”
“Sial, kok aku kesal ya dengarnya. Memangnya cowok di dunia ini cuma sisa kamu doang apa!” Nada bicara yang sewot itu juga menjadi ciri khasnya. Altar tertawa pelan. Membawa serta beban yang menganggu hatinya. “Udah gih sana, nanti yang ada dikira aku lagi calon mempelai perempuannya. Tuh, Jani juga udah keluar.”
Altar menoleh ke arah yang ditunjukkan perempuan itu. Benar saja, dari tempatnya berdiri Altar bisa melihat calon mempelai perempuannya berbalut kebaya dengan warna senada.
“Makasih ya. Aku ke sana dulu,” pamit Altar dibalas tepukan pelan di pundaknya.
“Nanti aku bakal teriak tidak sah paling keras. Tungguin ya, Bang,” goda perempuan itu membuat punggung Altar menegang.
Saat ia menoleh, perempuan itu justru tertawa lebar. Membawa pergi sebagian gundah yang masih tertinggal di hati Altar. Kini ia sepenuhnya merasa lega. Dengan tegap, ia melangkah menuju tempat seorang perempuan yang berdiri menunggunya. Lelaki itu telah siap menyambut lembar kehidupan baru.
Ia selalu bisa memancing tawa. Bersamanya, aku lupa jika sudah tinggal terlalu lama bersama sepi. – Altar –
"Altar, lo dengerin gue nggak sih?" suara cempreng di depannya merusak kosentrasi Altar yang sibuk menggambar di buku sketsanya.
Mereka sedang duduk di sebuah kafe tak jauh dari kampus Dandelion. Cewek semester tujuh itu mengeluhkan bagaimana pembimbing perencanaan skripsinya susah sekali ditemui. Sekali pun sudah membuat janji, telat satu menit pun tak ada toleransi. Dan begitulah nasib Dandelion. Menjadi korban harapan palsu sang dosen. PHP kalau anak gaul bilang.
"Altar, dengerin nggak?"
"Hmm..."
"Bang Altar ih, dengerin gue dong!"
"Hmm..."
"Ih, dengerin juga nggak 'kan. Kayak ngomong sama patung gue," protes Dandelion saat Altar tak juga bereaksi pada ceritanya. Padahal ia sedang kesal. Butuh tempat untuk memulangkan segala keresahan, tapi lelaki yang menjadi tempatnya pulang dan berkeluh kesah justru asyik berkencan dengan kertas dan pensilnya.
Altar mengalah saat Dandelion merebut pensil yang digunakan untuk menggambar. Kini seluruh perhatian cowok itu terpusat pada Dandelion. Meski kesal dengan curhatan yang sama setiap hari, Altar akan mencoba menjadi tempat pulang bagi segala resah milik Dandelion. Lelaki itu mengambil karet gelang dari lengannya yang menguncir rambut ikal sebahunya. Matanya yang tajam kecoklatan tapi terkesan teduh itu menatap Dandelion tanpa berpaling. Garis-garis tegas di wajahnya melunak. Senyum tipis membuat siapa pun terpikat. Namun, semua itu hanya dilakukan di depan Dandelion. Di hadapan cewek itu selalu berhasil menyita seluruh perhatiannya. Apa lagi jika sudah menuntut untuk didengarkan.
"Jadi?"
"Ish kan, lo nggak dengerin gue dari tadi?" Dandelion memberengut mendapati Altar tak menyimak ceritanya yang berapi-api sejak awal.
Hal itu tentu membuat cewek berambut lurus sebahu di depan Altar semakin kesal. Ia menyendok ice cream di depannya. Bermaksud meredam amarah yang mencoba menguasinya. Namun perilaku Dandelion membuat bibir Altar semakin tersenyum lebar. Cowok itu mengambil selembar tisu dan mengelap ujung bibir Dandelion dari noda cemong ice cream.
"Makan pelan-pelan. Jadi cemong 'kan. Aku tadi dengerin kok. Kamu aja masih pengen marah-marah, makanya aku gambar dulu. Toh itu mulut nggak bakal berhenti sekali pun disela toh?" kata dan sikap Altar berhasil membuat Dandelion kikuk. Meski sudah kenal sejak lama dan melewatkan momen-momen manis berdua, tak biasa bagi Dandelion diperlakukan halus oleh Altar. Apa lagi jika di depan umum. "Biasa aja Buk, nggak usah tegang gitu," goda Altar saat Dandelion tersadar dan merebut tisu dari tangannya.
"Lo itu biasa aja, nggak usah sok romantis," balas Dandelion sambil menjulurkan lidah. Altar membalasnya dengan tawa serta acakan gemas di pucuk kepala cewek itu.
Sebenarnya Dandelion selalu suka diperlakukan manis oleh Altar. Tapi jangan salah, itu semua hanyalah semacam kamuflase untuk melindungi sifat yang sebenarnya. Aslinya Altar lebih suka menjahilinya. Bahkan tak jarang ia menyampaikan kalimat-kalimat pedas yang sering membuat Dandelion tertohok.
"Jadi, maunya aku gimana nanggepin cerita kamu tadi? Kayaknya kukasih saran juga nggak guna dari kemarin-kemarin. Kebanyakan pacaran sih."
'Kan, baru saja Dandelion memikirkan sikap Altar, sudah muncul wujud aslinya. Jelas cewek itu cemberut mendengar penuturan Altar. Tak bisa mengelak. Mau bagaimanapun perkataan Altar tak ada yang keliru.
"Ei, masa muda itu harus dinikmati dengan baik, Bang. Kalau ada kesempatan pacaran, ya pacaran lah. Jangan kayak elo, gaulnya sama cewek cuma gue doang!"
"Habisnya cewek-cewek yang mau dekat sama aku bakal mundur duluan karna kamu ngikutin aku mulu. Dikira kamu anakku tahu."
"Astaga, Abang satu ini mulutnya kalau udah ngomong lupa dipasang filter ya. Asal mangap aja. Eh yang ada, wajah Abang tuh yang perlu dikondisikan. Tampang om-om banget sih. Brewok aja dipiara. Yang ada cewek nggak mau dekat karna nyangka lo *******, Bang."
Altar tertawa menanggapi pernyataan Dandelion. Cewek yang lebih muda tiga tahun darinya itu, memang selalu punya cara untuk memancing tawa. Bersama Dandelion mode kaku yang dipasang ketika bertemu orang-orang di sekitarnya, lebur tanpa diminta. Cewek itu selalu punya cara membuatnya bahagia. Meski terkadang lewat cara yang menyakitinya. Cerita soal pacar misalnya.
"Tapi ya Bang, yang gue heran nih elo 'kan artis ya. Lukisan lo udah mentereng di mana-mana. Hampir tiap tiga bulan sekali pameran. Nggak jarang juga diundang pameran ke luar negeri, tapi kok nggak ada satu pun cewek yang kepincut sih?"
"Banyak, kamu aja yang over pede, seolah-olah jadi satu-satunya yang bisa menguasiku."
"Masa, gih kasih liat gue?" tantang Dandelion membuat Altar tesenyum kecut.
"Besok kalau dia main ke rumah," jawab Altar tanpa minat. Yang cewek itu tak pernah tahu, Altar sengaja membangun tembok tinggi di sekitarnya hanya untuk melindungi satu nama di hatinya. Dandelion Sastra Senjani.
***
Lampu teras maupun ruang tamu belum menyala saat Altar sampai di rumah. Pasti Mbok Pariyem lupa menyalakan lampu saat pulang tadi. Harusnya perempuan tua itu tidak lagi mengurusnya maupun pekerjaan di rumah ini. Ingatannya mulai pikun dan sering melupakan sesuatu yang penting dilakukan. Namun saat Altar memintanya untuk berhenti mengurusnya, perempuan tua itu justru menangis. Menganggapnya sudah tidak sayang lagi. Padahal Mbok Yem lah yang merawatnya sejak bayi merah. Mana mungkin perasaan sayang pada perempuan tua itu luntur. Ia memintanya berhenti justru karena sayang pada Mbok Yem dan tak ingin melihatnya melakukan pekerjaan berat. Apalagi jika Altar sudah membuat ulah dengan memberantakkan seluruh ruangan sebab kepenatan pikirannya.
Altar menekan saklar. Nyala lampu menghiasi ruangan yang sudah tertata rapi. Sebelum ia pergi tadi pagi, tak bisa digambarkan bagaimana berantakannya ruang tamu hingga dapur. Botol bir yang diteguknya semalaman tergeletak di sembarang tempat. Sedang abu rokok bertebaran memenuhi ruangan. Entah kemana asbak yang sebelumnya ia gunakan untuk membuang abu rokok. Mungkin kakinya tak sengaja menendangnya saat ia berjalan sempoyongan menuju kamar.
Di meja makan tersaji semangkuk sayur asem lengkap dengan lauk tahu-tempe goreng, ikan asin, telur dadar dan sambal terasi kesukaan Altar. Meski sudah dilarang memasak pun, Mbok Yem tak akan pernah mau mendengar permintaannya. Perempuan itu akan tetap menyediakan makanan di atas meja meski entah akan dimakan Altar atau tidak.
Demi menghormati jerih payah Mbok Yem yang sudah memasak untuknya, Altar duduk di kursi ruang makan. Menyendokkan secentong nasi dan menuangkan kuah asem ke piringnya. Tak lupa lengkap dengan lauk-pauk yang sudah disiapkan Mbok Yem. Meski perutnya sudah kenyang karena habis makan di kafe bersama Dandelion. Bagaimanapun Altar tak ingin Mbok Yem kecewa saat menyadari ia tidak menyentuh hasil masakannya saat datang esok pagi.
Hampir pukul sepuluh saat Altar menyelesaikan makannya. Cowok itu bergegas ke studio lukisnya dan menyelesaikan sebuah lukisan yang sengaja ditinggal tadi pagi karena mendadak kehilangan mood. Meski begitu ia tetap tak semangat menyentuh kuas. Altar memilih mengeluarkan rokok dari saku jeans-nya. Mulutnya terasa kecut karena mencoba menahan tidak merokok saat bersama Dandelion. Cewek itu paling anti dengan asap rokok. Sedikit saja asap yang masuk ke paru-parunya akan membuat Dandelion terbatuk hingga aroma pekat itu hilang dari udara. Terlebih daya penciuman cewek itu lebih tajam dari kebanyakan orang di sekitarnya.
Altar tersenyum membayangkan sosok Dandelion yang entah sejak kapan telah berhasil merebut seluruh perhatiannya. Cowok itu tenggelam dalam lamunannya beberapa tahun lalu.
“Bang, kalau mau ngerokok jangan dekat-dekat gue kenapa sih?”
Suatu hari mereka duduk di taman selepas Altar menjemputnya pulang sekolah. Dandelion masih berseragam putih abu-abu. Sedang ia baru saja masuk jurusaan seni murni di salah satu universitas di Surabaya. Lingkungan yang membuatnya mencoba untuk merokok. Alhasil, ia ketagihan dan menjadi gaya hidupnya hingga kini.
“Kenapa, emang?” tanya Altar tak peka jika Dandelion sudah terbatuk-batuk sejak menghirup asap dari rokoknya. Bukannya menjawab, Dandelion justru merebut rokok yang baru saja disulutnya dan melemparkan ke tanah. Dengan gemas cewek itu menginjak-injak putung rokoknya.
“Nggak sehat tahu, Abang tuh menyumbang polusi udara kalau ngerokok gitu. Apalagi di tempat umum. Bukan Abang aja yang bakal nggak sehat, yang ikut menghirup asap rokok Abang juga. Malah lebih bahaya tahu,” jelas Dandelion justru membuat Altar tertawa.
“Dih, kalau gitu jawabannya anak SMP juga udah tahu kali Non,” goda Altar. Dandelion memberengut. Ia tak suka disamakan kayak anak SMP. Bagaimanapun statusnya sudah menjadi anak SMA. Tapi Altar selalu menganggapnya seperti anak kecil.
“Abang ih, dibilang nggak sehat ngerokok tuh.”
Dandelion merebut rokok dari tangan Altar saat cowok itu berusaha mengambil satu batang lagi dan akan menyulutnya.
“Yaelah, nih bocah bawel banget sih.”
“Iya makanya jangan ngerokok di depan gue.”
Saat itu, Altar tidak tahu jika Dandelion akan merasa sesak nafas setiap kali menghirup asap rokok. Baru beberapa hari setelahnya ia menyadari hal itu.
Mereka sedang berada di sebuah kafe bersama kakak Dandelion dan teman-temannya yang lain. Kakak lelaki sekaligus saudara paling tua Dandelion itu memang berteman sejak SMP. Putra, kakak Dandelion, menjadi murid pindahan di kelas Altar. Gayanya yang songong waktu itu karena merasa anak paling gaul dan pintar di sekolah sebab pidahan dari ibu kota, membuat Putra tidak disukai teman-teman yang lain. Altar menjadi satu-satunya teman paling baik sekaligus setia. Apalagi saat menyadari jika Altar lebih pandai darinya. Putra seperti menaruh hormat kepadanya dan mengikuti kemana pun cowok itu pergi. Begitu tahu orang tua mereka berteman sejak lama, menjadikan mereka semakin sulit terpisahkan hingga selepas SMA.
Putra memilih jurusan teknik sipil demi mengejar cita-citanya yang ingin menjadi arsitek. Bisa membuat gedung-gedung indah dan membagi kebahagiaan dengan orang lain. Sedang Altar memilih seni murni karena merasa di sanalah ia akan menemukan hidup yang sesungguhnya. Meski begitu, mereka tetap menyempatkan bertemu. Dan Dandelion, yang memiliki obsesi untuk dekat dengan salah satu teman kakaknya – Miko – ikut nimbrung geng cowok-cowok yang nongkrong di sebuah kafe.
Bayu, si perokok berat dalam geng Putra mulai menyulut rokoknya sejak pertama sampai di kafe. Wajah Dandelion yang duduk di sebelahnya berubah pucat. Terlebih asap rokok yang dihembuskan Bayu langsung menerpa mukanya. Altar yang menyadari perubahan Dandelion mengajaknya menjauh dari lingkaran itu.
“Sebenarnya ada alasan lain ‘kan kamu nggak suka asap rokok, kenapa?”
“Sesak napas Bang kalau menghirup asapnya. Apalagi baunya aneh banget. Tembakau yang kebakar itu."
Altar tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Telinganya tak salah menangkap saat Dandelion menyebut perihal bau. Bahkan ia tak menyadari jika selama ini rokok yang dihisapnya memiliki bau. Kecuali cengkeh yang sering ia rasakan atau mint saat menghisapnya.
“Cuma sama asap rokok doang?”
Dandelion menggeleng sebagai jawaban.
“Terus apa lagi?”
“Hampir semua bau-bauan. Kayak bau Bang Altar juga. Habis minum bir ‘kan?”
“Eh...”
Altar kehilangan kata. Diperhatikan wajah cewek di depannya itu. Ia tertawa getir karena tak bisa menyembunyikan hal yang selama ini berusaha ditutupinya dari orang lain. Termasuk Dandelion.
“Sejak kapan, Bang?” tanya Dandelion membuat Altar semakin kehilangan kata. “Hehe... gue kepo ya Bang? Ya udahlah nggak usah dijawab. Nanti aja kalau Bang Altar pengen cerita jawabnya. Yuk gabung sama yang lain, ntar gue kehilangan momen buat dekat sama Bang Miko,” ajak Dandelion membawa Altar pada kenangan yang lain.
Bang Altar bukanlah tipe cowok yang ingin kukencani, tapi entah mengapa selalu membuatku terpikat untuk berlama-lama menikmati wajah seksinya. – Dandelion –
Dandelion merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu begitu sampai rumah. Sedang Altar memutuskan untuk langsung pamit saat melihat mobil Putra belum terlihat di garasi. Sudah pukul 09.30 malam. Sebagian lampu sudah dipadamkan. Menyisakan teras rumah dan ruang keluarga yang dibiarkan menyala karena ayah dan bunda masih menonton TV berdua. Menonton acara talk show yang menjadi favorit mereka.
Cewek itu merasa tubuhnya remuk setelah hampir seharian beraktivitas di kampus. Bukan berarti semester tua lantas bisa berleha-leha. Justru semester tua membuatnya semakin sibuk di kampus. Untung ia telah melewati masa-masa KKN. Jadi bisa fokus pada perencanaan skripsinya. Meski kenyataannya Dandelion sering sekali di-PHP oleh dosen pembimbingnya.
Kata Altar sih, itu karena kesalahannya sendiri. Sering menunda-nunda pekerjaan hingga menyebabkan dirinya terseok-seok. Padahal ia sudah berusaha datang tepat waktu sesuai jam janjian dengan dosen pembimbing. Yah, walaupun tak bisa Dandelion pungkiri bahwa sebelumnya ia memilih pergi kencan dengan Kevin – pacarnya.
Huffttt... Altar hanya tidak tahu saja bagaimana usahanya selama ini mengejar ketinggalan.
Suara tawa ayah dan bunda terdengar dari ruang tamu saat Dandelion memutuskan untuk berpindah tempat. Tubuhnya benar-benar butuh diistirahatkan. Besok ia pun harus ke kampus pagi-pagi demi mengikuti kelas Sastra Bandingan. Terlebih kelas yang diikuti sering kali membuat otaknya panas. Apa lagi dosennya – Bu Ambar – selalu memberi tugas esai setelah membandingkan karya sastra yang dibahas di kelas.
“Malam Ayah, Bunda, aku pulang,” sapa Dandelion tak bersemangat saat melewati ruang keluarga. Bunda yang lebih dulu menyadari kehadirannya menengok ke belakang putri semata wayangnya.
“Loh sendirian Mbak, Mas Putra mana?” tanya Bunda saat menyadari Dandelion pulang seorang diri. Padahal tadi bunda berpesan pada anak sulungnya untuk menjemput adiknya sekalian.
“Mas Putra masih sibuk tadi Bun.”
“Terus kamu pulang sama siapa?” kali ini Ayah ikut nimbrung dan melupakan sejenak acara TV yang mereka tonton.
“Om Altar, siapa lagi sih Yah yang bakal dipercaya Mas Putra buat jemput aku. Punya pacar juga nggak diizinin ngantar pulang sama Mas Putra,” protes Dandelion karena selalu dianggap seperti anak kecil di rumah ini. Padahal ia masih punya seorang adik yang kini duduk di bangku SMA. Yah, sekali pun dia tidak tinggal di rumah ini karena diasuh oleh adik ayah sejak kecil sih. Kan tetap saja ia bukan sosok paling kecil di keluarga ini.
“Kok kamu manggilnya om sih, Jani?” Ayah masih memburu Dandelion dengan pertanyaan.
Keluarganya memang memanggil Dandelion dengan nama belakang. Jani, Senjani. Jika dipikir-pikir memang hanya Altar yang memanggil nama depannya. Katanya nama itu cocok dengan karakternya yang ceria dan selalu
ingin bebas tanpa terkekang. Seperti bunga Dandelion yang terbang tertiup angin.
Dan cewek itu tak masalah orang mau memanggilnya apa. Dulu ia juga pernah dipanggil Sastra oleh teman-temannya. Apa lagi saat cewek itu sering mewakili sekolah untuk mengikuti lomba baca puisi maupun penulisan. Sedang bunda memanggilnya mbak untuk menggantikan saudara bungsunya.
“Mbak, kok ngelamun sih. Ditanya Ayah juga,” suara Bunda membuyarkan lamunannya.
“Eh iya Ayah, kenapa?”
“Duh Jani, jangan kebanyakan ngelamun kamu. Bahaya. Jadi kenapa itu, Altar kamu panggil Om?” ulang Ayah karena Dandelion tak mendengar ucapannya.
“Ya habisnya, jambangnya dibiarkan lebat gitu. Kayak om-om kan jadinya.”
“Terus mana sekarang, kok nggak diajak masuk dulu Altarnya?” Kali ini bunda yang menimpalinya dengan pertanyaan lain.
Dandelion membuang napas panjang. Ia capek, ingin segera tidur. Tapi sepertinya kedua orang tuanya itu masih ingin menahannya berlama-lama di ruang keluarga.
“Udah pulang Bunda, Jani capek mau istirahat. Makanya dia langsung pulang.”
“Kamu usir ya?” tanya Bunda membuat mata Dandelion melotot. Bagaimana mungkin ibunya menanyakan pertanyaan ajaib seperti itu.
Memang bunda paling sayang dengan teman Mas Putra yang satu itu. Bukan tanpa alasan. Sosok Altar selalu mengingatkan bunda dengan mediang sahabatnya, Om Baskoro. Makanya bunda selalu senang jika Altar menyempatkan mampir setelah mengantar Dandelion pulang atau sekadar ngumpul bersama Putra dan kawan-kawan lainnya.
“Bunda jangan mulai deh. Mana mungkin sih Jani main usir aja.”
“Terus kenapa tuh kok langsung pulang nggak mampir dulu?”
“Ish, Bunda nih. Mana aku tahu. Udah ah aku mau tidur, capek.” Pamit Dandelion tanpa memedulikan bunda yang memanggilnya.
“Gimana sih kok malah kabur?”
Masih terdengar samar suara bunda yang mempertanyakan sikap Dandelion.
***
Ekspektasinya, Dandelion akan segera tidur saat sampai di kamar. Realitanya, cewek itu masih tafakur memainkan layar gawai. Tangannya berselancar di media sosial untuk mengetahui hiruk-pikuknya dunia.
Sebenarnya ada hal lain yang mengusik perasaan Dandelion. Sejak pulang dari kampus, Kevin – cowok yang sedang ia kencani saat ini hingga melalaikan jadwal bimbingan perencanaan skripsinya – belum juga membalas pesan yang ia kirimkan sejak tadi. Padahal status di jendela obrolan mereka menunjukkan jika cowok itu sedang online. Membuat mood Dandelion yang buruk semakin parah saja.
Kevin <3
Kevin, kamu kemana sih?
Hallooo...
Kevin
Kevin
Dandelion mengirim serangan chat agar mendapat perhatian dari cowok itu. Kenyataannya tak satu pun pesannya yang dibalas. Dandelion bisa menduga, Kevin sedang PDKT dengan cewek lain. Sejak awal pun ia tak berharap banyak dengan hubungan mereka. Dandelion hanya penasaran bagaimana rasanya pacaran dengan seorang playboy. Bahkan Nenti – sahabatnya – menganggapnya gila karena suka bermain-main dengan perasaannya sendiri.
Lelah menanti, Dandelion membuka ruang obrolan dengan Altar. Tapi tak ada tanda-tanda cowok itu sedang online. Apa mungkin cowok itu meneruskan lukisannya? Tadi Altar bilang ingin meneruskan lukisannya yang sempat terbengkalai karena ia kehilangan mood.
Iseng, Dandelion membuka photo profile sahabat kakaknya itu. Foto setengah badan yang mengekspos wajah Altar dengan goresan ketegasan di pipinya itu, entah mengapa membuat Dandelion tersipu malu.
Altar bukanlah tipe cowok yang ingin dikencaninya, tapi entah mengapa ia selalu terpikat untuk berlama-lama menikmati wajah seksinya. Apalagi sepasang mata coklat yang dinaungi alis lebat yang tercetak sempurna di wajah Altar. Juga bibir yang entah bagaimana bisa selalu merah meski cowok itu perokok berat. Belum lagi rambut ikalnya yang dibiarkan memanjang. Terkadang Dandelion lupa untuk bernapas jika sudah terlena dengan pahatan Tuhan yang maha indah itu. Bahkan kini pun ia selalu terpikat untuk melihat wajah Altar lebih lama lagi.
Dandelion ingat bagaimana pertemuan pertama kali dengan Altar. Orang tuanya mengundang salah satu teman lama yang tinggal tidak jauh dari rumah mereka – Om Baskoro – saat mereka baru saja pindah ke Surabaya. Lelaki seumuran orang tuanya itu mengajak serta anak lelaki semata wayangnya yang ternyata teman Mas Putra di sekolah. Saat itu Dandelion masih kelas 3 SD.
Sejak pertama kali bertemu Altar, Dandelion selalu terpana melihat ketampanan cowok itu. Bahkan ketika masih SMP sekali pun Altar sudah memiliki garis-garis tegas yang membuatnya terlihat misterius. Membuat imajinasi masa kecil Dandelion ingin menikahinya jika kelak sudah dewasa. Seiring berjalannya waktu dan mengenal istilah cinta, Altar bukan lagi sosok yang ingin dinikahi, tapi tetap tak bisa menolak pesona cowok itu untuk berlama-lama menikmati wajahnya.
Kevin calling...
Perhatian Dandelion teralihkan. Tanpa berminat, Dandelion menekan tombol volume untuk mengubah mode diam gawainya. Setelah telepon dari Kevin berhenti, ia segera mematikan ponsel dan lampu kamarnya. Membiarkan tubuhnya tenggelam oleh rasa kantuk yang diam-diam menguasainya. Tak lagi peduli tentang Kevin dan pesannya yang belum terbalas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!