NovelToon NovelToon

Cinta Adalah Sebuah Perjalanan Yang Indah

New Chapter

Di kasurku yang nyaman, mataku terpejam, tetapi pikiranku terus melayang entah kemana. Aku baru saja menyelesaikan satu babak dalam hidupku, hmmph sidang sarjana yang tak terasa telah berlalu tiga bulan yang lalu. Seluruh euforia kebahagiaan terkait masa-masa itu sudah hilang, hingga kebosanan menunggu wisuda mulai melanda hidupku.

Aku menyusuri seluruh akun sosial mediaku yang selama ini tidak tersentuh, baru kusadari ternyata hampir semua temanku sedang menjalin hubungan dan sibuk memamerkan cerita mereka masing-masing.

Andai saja aku punya pacar, tiba-tiba pikiran itu terngiang dalam pikiranku sambil memandang langit-langit kamarku yang gelap. Aku memang sudah terlalu lama sendiri, sudah sangat lama waktu berlalu saat aku merasakan masa-masa itu.

Aku teringat seluruh kekesalan yang selalu muncul dalam hatiku kala diundang ke acara apapun, hampir semuanya menanyakan terkait gandengan ku.

“Baiklah mari kita keluarkan senjata.” ucapku dengan semangat.

Aku duduk di atas tempat tidurku dan mulai beraksi dengan senjataku, ga salah deh pilih handphone ini, pas banget buat selfie, jepret kiri jepret kanan.

“Selesai!” ucapku dengan penuh semangat, sambil berpikir sebentar, pakai editan, atau pakai yang asli ya? hmm sungguh sebuah dilema.

Bolehlah di edit tipis, pikirku. Hari gini siapa sih yang ga edit fotonya sebelum pasang di media sosial? pikirku sambil terkikik sendiri.

Ada iklan aplikasi mencari jodoh yang berulang kali muncul dalam feed Instagram-ku, sudah beberapa hari ini aku abaikan, tapi entah kenapa rasa penasaran itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku lagi.

Submit…., tombol itu sudah ku tekan, tentunya pakai nama samaran yang telah melalui berbagai pemikiran dan perenungan.

Lusia? Lulu? Angela? Keira? semuanya bagus, aku ingin orang akan membayangkan gadis manis, lugu, cantik dan pintar. Aku berpikir keras nama apa yang sebaiknya aku gunakan.

Keira Angela! akhirnya aku berhasil memutuskannya.

….

“Bella, cepat turun! Sarapan!” sepertinya aku mendengar sayup-sayup suara mama dari bawah. Ah mama ini, ga bisa membiarkan anaknya menikmati tidur lebih lama, pikirku dalam tidur.

“Bella!” teriak mama lagi, astaga mama, bisa-bisa tetangga juga ikut bangun, pikirku kesal. Aku menutup kepalaku dengan bantal. Terdengar langkah kaki di tangga. Waduh sebentar lagi AC dimatikan, gorden terbuka dan selimut ditarik, dalam 5…4…3…2...1.

Dalam sekejap semua yang aku bayangkan terjadi. Tetapi aku sudah siap, aku berbalik tidur tengkurap dengan mata tetap terpejam.

“Eh, anak gadis tuh ga boleh bangun siang!” omel Mama sambil mengangkat perisai bantal ku. Dengan enggan aku membuka mataku. aku melihat mamaku yang cantik walau terlihat lelah, ada halo di kepalanya karena dia membelakangi sinar matahari.

“Halo mama cantik, good morning.” ucapku sambil menyipitkan mata, tetapi dia tidak terpengaruh karena sekarang mama menarik bantal ku yang satu lagi yang sedang aku tiduri.

“Cepat turun, mama mau pergi, mama mau cuci piring kamu nanti kalau sudah selesai makan.” ujarnya lalu berdiri dan bergegas turun. Mamaku walau sudah berumur tetap aktif selain masih mengajar piano, dia masih jualan kue-kue dan masakannya.

Aku duduk di tepian tempat tidurku dengan mata terpejam. Kakiku turun mencari sendal bulu-bulu butut ku. Aku langsung menemukan yang sebelah kiri, tetapi yang sebelah kanan menghilang entah dimana. Dengan malas aku jongkok mencari-cari di bawah kasur, tidak ada. Walau sudah butut, sendal bulu-bulu itu sangat berarti untukku.

Aku duduk di lantai bersandarkan kasur. Sinar matahari bersinar dengan cerahnya masuk lewat jendela kamarku. Aku mengamati kamarku yang tidak terlalu besar tetapi amat berantakan itu dengan seksama, mencari sendalku itu? Akhirnya aku menemukannya di bawah meja belajar, aku berjalan merangkak menuju sendal merah mudaku itu.

“Bella!!!” teriak mama dari bawah. Teriakannya kali ini naik beberapa desibel, sepertinya kali ini satu komplek bangun karena Mama. Aku tersentak kaget, kepalaku tak sengaja terantuk meja belajar, sakit sekali. Mama sepertinya sangat terburu-buru.

“Iyah maaah, sabaaaar.” teriakku sambil mengusap belakang kepalaku yang terantuk keras tadi. Rasa sakitnya agak membuatku pusing, tapi anehnya agak menenangkan ku seperti hadiah yang pantas atas kenakalanku.

Aku separuh menyeret tubuhku turun, sambil terus mengusap-usap belakang kepalaku yang sakit, sepertinya bentuk kepalaku telah berubah.

“Morning Tuyul” sapa kakakku riang, piringnya sudah kosong, dia pasti sudah mau berangkat kerja. Matanya menyeringai kearahku, sebenarnya Ia terlihat tampan dengan kemeja putih dan dasinya. Tetapi raut iseng dan kekanak-kanakan membuatnya tampak seperti anak kecil.

Aku baru hendak membalasnya, tapi mataku menangkap sesosok baru di meja makan. Rambutnya hitam legam dengan poni panjang hampir menutupi wajahnya yang tirus. Dia menatapku seperti aku menatapnya, aku terkesiap kaget. Dia tersenyum tipis menganggukkan kepalanya lalu aku tersenyum kaku membalasnya. Kakakku sepertinya menyadari kecanggungan diriku, lalu dia berdiri menghampiriku, menjepit kepalaku di bawah ketiaknya karena dia bertubuh tinggi.

“Kenalkan ini adikku, Tuyul.“ ucapnya sambil menjepit kepalaku. Kakakku ini selalu iseng, aku sudah sangat malu dengan teriakan mama yang berkali-kali tadi.

Aku segera mencoba melepaskan kepalaku dengan sekuat tenaga, tetapi dia malah dengan sengaja melepaskan jepitannya sehingga aku menjadi terhuyung dan menyenggol pria tadi. Aku mencubit pinggang kakakku dengan kesal. Dia kurang cepat menghindar sehingga jadi aku bisa membalasnya dengan bahagia. Dia menjerit kesakitan lalu lari kebelakang meja.

Pria itu berdiri dan mengangkat tangannya. Jari-jarinya panjang dan ramping.

“Aji,” ucapnya singkat. Suaranya dalam dan agak tertahan. Aku membalas salamnya.

“Bella,” jawabku pelan. Kakakku kembali berulah.

“Halaah, Tuyul aja, Bella kebagusan buat dia!” serunya jahil terkikik sendiri.

Tiba-tiba kepala kakak didorong ke depan oleh Mama.

“Pagi-pagi sudah ngajak bertengkar saja kamu Ron!” omel mama sambil lalu. Mama lalu berjalan melewati kakakku yang jangkung itu.

“Nak Aji, Tante tinggal ya, tante ada keperluan penting,” Mama menggunakan nada manisnya ke Aji. Aji mengangguk pelan.

“Baik bu, hati-hati di jalan.“ jawab Aji sopan. Keperluan penting mama pasti pergi ke pasar beli bahan-bahan kue, besok pasti ada pesanan baru.

“Bella, nanti piringnya jangan lupa di bawa kebelakang ya! Roni, piring mu bawa ke belakang, sekalian handuk mu itu jangan taruh di atas tempat tidur terus, nanti mama jadikan kain pel saja ya!” ancam mama dengan suaranya yang langsung naik beberapa desibel kembali.

Kakakku tersentak lalu segera membawa piringnya ke dapur, dan menuju kamarnya.

Mata Aji mengikuti kemana kakakku berjalan, lalu tatapan kami bertemu, aku merasa malu sekali dengan semua teriakan mamaku dan kakakku.

“Maaf, mama dan kakak memang selalu begini setiap pagi.“ kataku pelan sambil mengambil nasi. Aji hanya tersenyum dan kembali menyendokkan nasi ke mulutnya. Ada keheningan sesaat yang membuatku canggung.

“Ga apa-apa, Aku malah senang mereka seperti itu, alami.” jawabnya sambil terus makan.

Aku duduk dengan kaku dan tidak nyaman tapi Aji masih dengan tenang makan sarapannya. Kakak lama sekali sih jemur handuknya. Pikirku sambil memandang kearah kamar kakak. Sebenarnya siapa sih Aji ini?

Mama sudah berada di pintu depan saat dia berbalik dan menatapku.

“Bella, nanti kamu di rumah saja kan?" aku menganggukkan kepalaku.

" Tolong lihatin jemuran mama ya, baju kotor mu dari atas sudah dibawa turun belum buat dicuci? jangan ditumpuk semua di atas!” seru mama tanpa disaring.

Aku segera berdiri mau menghampiri mama agar dia tidak teriak-teriak lagi.

“Bawa turun aja sekalian yah, BH nya juga, jangan digantung-gantung begitu!” Sambungnya lalu keluar lewat pintu depan.

Meninggalkanku yang berdiri mematung dengan muka yg memerah.

Mamaaaaaaah!!

Melarikan diri atau diselamatkan?

Pagi itu Aku terbangun dengan kaget. Aku dimana? Mataku terbelalak memandangi ke langit-langit rumah. Ingatanku sekonyong-konyong kembali, aku berada di rumah Roni, semalam aku tidur di rumah Roni yang menolongnya tanpa banyak tanya.

Roni, temanku itu mengajakku tinggal di rumahnya, katanya rumahnya ada kamar yang kosong.

Matahari bersinar terang, masuk dengan lugas melalui sela-sela jendela kecil dikamar ini, aku belum bisa menyebut kamar ini kamarku aku masih merasa asing. Kepunyaan ku di kamar ini hanya sebuah tas punggung hitam ku yang terbuka tergeletak di lantai, selain itu semua asing.

Aku duduk sambil mengambil napas panjang, terdengar denting piring dan bau makanan baru matang yang harum.

Perutku berbunyi, bergetar tidak tahu malu. Aku menyentuh perutku yang cekung lalu duduk di kasur membuatku sadar kalau aku lapar.

Terdengar pintu kamar ini diketuk, sudah lama tidak mendengar pintu yang diketuk sopan.

“Pagi, Sudah bangun kah nak Aji? aku mendengar suara perempuan, suaranya lembut, dan penuh kehangatan.

Aku segera berdiri, dinginnya lantai membuatku merasa segar, sudah lama aku tidak tidur pulas. Aku membuka pintu kamar dan tampaklah seorang wanita paruh baya yang cantik walaupun terlihat lelah. Wanita itu kaget waktu aku membuka pintu tiba-tiba, ia tersentak kebelakang.

“Pagi bu.“ aku berkata pelan, lalu melangkah keluar kamar. Roni sudah duduk manis menyantap makanannya dengan lahap.

“Eh iya,... pagi, kamu pasti lapar kan? hayuk dimakan mumpung masih hangat.Tante belum tau kesukaanmu apa, sekarang sarapan yang ada dulu ya, nanti kapan-kapan kamu kasi tau tante kesukaanmu apa, nanti Tante coba buatkan, semoga sesuai sama selera mu yah.” serunya dengan penuh semangat, sambil menggiringku ke meja makan.

Ia mengambil piring dan langsung menyendokkan nasi banyak-banyak. Aku terpana atas apa yang dilakukan oleh mamanya Roni, dia ramah sekali. Aku hanya terpaku  berdiri di dekat meja makan.

“Wah, Ji, makan-makan, ga usah malu-malu, dah piring kedua nih.” sambut Roni dengan cengiran khasnya, menunjukan piringnya yang tinggal setengah terisi. Aku terperangah akan keramahan keluarga ini.

“Ada sayur bayam, bakwan jagung, telor cabe, sama sambal terasi, beugh mantap dah nih.” ucap Roni lagi sambil mencomot bakwan jagung satu lagi. Tiba-tiba kepalanya ditoyor dari belakang.

“Sisain buat Aji dan Bella.” sentak mamanya dari belakang sambil lewat. Kaget dan malu Roni tersenyum lebar. Aku hampir saja tertawa tapi untung bisa ditahan. Aku menerima piring yang berisi nasi panas dari tangan mama.

“Silahkan makan nak, disini makan harus cepat, kalau tidak nanti dimakan semua sama si ikan sapu-sapu tuh.” kata mama sambil melirik tajam ke anak laki-lakinya. Roni hanya terkekeh memandangi mamanya yang berjalan ke dapur.

Suasana pagi ini terasa hangat, Aku tidak biasa dengan keakraban seperti ini. Aku lalu duduk di kursi meja makan di hadapan Roni yang masih seru makan, lalu mengambil sesendok sayur, dan sepotong bakwan. Roni mengambil sendok dan garpu lalu menyerahkannya kepadaku

“Air minum ambil sendiri ya, gelas di sana.” ucapnya sambil menunjuk ke lemari di dapur secara sekilas. Mataku otomatis mengikuti arah tunjukan Roni, sambil mengangguk.

“Galonnya disitu dekat tangga.“ ucapnya santai menunjuk ke tangga. Aku memandang tangga yg memutar naik ke atas.

“Ambilkan donk Ron, Aji kan ga tau dimana!” teriak mamanya dari belakang. Roni kembali terkekeh lalu berdiri untuk menunjukan lemari piring dan gelas, galon air dimana. Aku mengangguk-anggukan kembali kepalaku tanda aku mengerti. Roni langsung menyendokkan sebutir telur cabe kepiringku sebelum duduk kembali ia .

“Cobain deh telur cabenya, maknyus lho rasanya.” ujarnya girang.

Aku menggangguk kaku dengan senyum berterima kasih dan mulai makan, tiba-tiba perutku berbunyi. Aku langsung membatu, Roni pasti dengar, tidak mungkin dia tidak dengar.

Aku langsung melirik ke arah Roni, tapi dia tidak bereaksi apa-apa, malah kembali menyendok sambal seolah tadi tidak ada apa-apa. Aku baru ingat kalau seharian kemarin aku belum makan, perutku agak terasa perih

“Sambalnya seger banget lho, mama emang top markotop deh klo lagi buat sambal ga ada lawannya! pedasnya pas, ga buat sakit perut!” ujarnya lagi bersemangat. Aku memegang perutku, mudah-mudahan tidak berbunyi lagi.

Dalam sekejap makanan di piring Roni bersih. Dia berdiri mengambil air minum. Mama masuk kembali dari dapur sambil teriak-teriak memanggil anaknya yang satu lagi.

Ternyata ada kamar lagi di atas, sepertinya kamar adiknya Roni. Tak lama Mama naik keatas juga karena tidak ada tanggapan dari anak perempuannya.

“Itu anak gadis, heran susah banget bangun pagi,  makanannya kan nanti dingin.” ucap mama dengan tidak sabaran.

Ia naik dengan cepat, sesampainya di atas dia juga masih teriak-teriak memarahi adiknya Roni, suaranya terdengar sama kerasnya seakan-akan mama berteriak disebelahku

Walau penuh teriakan, suasananya rumah ini terasa hangat, Aku merasa hangat dan nyaman. Aku hanya duduk diam, mengamati kejadian tadi seperti sedang menonton TV, bukan sebagai kenyataan, aku duduk disitu hanya sebagai penonton.

Lalu turunlah dia, pertama aku hanya melihat kakinya yang mungil tapi jenjang. Ia memakai sendal bulu-bulu merah muda yang sudah kumal. Kausnya yang kebesaran hampir menutupi celana pendeknya yang bewarna hijau botol. Ia melangkah pelan seperti masih mengantuk.

Roni memang pernah cerita ia memiliki adik perempuan yang berbeda 4 tahun dengan dia, tapi setiap cerita ia seolah menyiratkan adiknya masih kecil, sehingga aku tidak pernah membayangkan kalau adiknya seperti ini. Adiknya bukanlah gadis kecil, tetapi wanita dewasa yang sangat rupawan.

Ia berkulit putih bersih, Rambutnya lurus panjang sepinggang bewarna kecoklatan tergerai hampir menutupi wajahnya yang mungil, rambutnya awut-awutan, ia terus menggosokan tangannya kebelakang kepalanya.

“Morning Tuyul” sapa kakaknya iseng sambil tersenyum lebar. Roni kembali ke meja makan sambil membuka buah jeruk. Gadis itu seperti mau membalas tapi kaget akan kehadiranku.

Aku tersenyum terpaksa, tidak tau harus bagaimana. Gadis itu membalasnya dengan tersenyum kaku juga. Roni meletakkan jeruknya lalu memiting kepala gadis itu.

“Kenalkan ini adikku Tuyul.“ ucapnya sambil menjepit kepala adiknya yang merana. Gadis itu mencoba melepaskan kepalanya dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba Roni malah dengan sengaja melepaskan jepitannya sehingga adiknya menjadi terhuyung dan menyenggolku.

Aku memperhatikan dengan terpesona dengan keakraban kakak beradik itu. Gadis itu mencubit pinggang Roni dengan kesal. Dia menjerit kesakitan lalu lari ke bangkunya lalu mulai memakan jeruknya kembali sambil tertawa puas karena sudah membuat adiknya kesal. Aku berdiri untuk memperkenalkan diri dan mengangkat tanganku.

“Aji” seruku singkat. Entah kenapa suaraku tercekat . Gadis itu membalas salamnya.

“Bella” jawabnya pelan. Ia menjabat tanganku pelan, aneh biasanya tangan gadis halus, tapi  dia tidak, tangannya kasar. Lalu Kakaknya mengejeknya kembali.

“Halaah Tuyul aja, Bella kebagusan buat dia!” serunya jahil lalu tertawa senang.

Tiba-tiba kepalanya didorong ke depan oleh ibu yang muncul tiba-tiba dari dapur.

“Pagi-pagi sudah ngajak bertengkar kamu Ron.” Mama memukul kepala anaknya sambil lalu. Mama lalu menatapku dengan tersenyum

“Nak Aji, tante tinggal ya, tante ada keperluan penting.” suaranya berubah, kembali halus. Aku mengangguk-anggukan kepala.

“Baik bu, hati-hati di jalan.“ jawabku sesopan mungkin karena mama seperti menungguku berkata sesuatu. Mama lalu tersenyum dan bergegas mengambil tasnya lalu mengenakan sepatu datarnya tapi tidak lama bejalan ia segera memutar badan kembali.

“Bella, nanti piringnya jangan lupa dibawa kebelakang ya, kalo ga nanti disemutin! Roni, piring mu bawa ke belakang, sekalian handuk mu itu jangan taruh di atas tempat tidur terus, nanti Mama jadikan kain pel saja ya!” ancam Mama dengan suaranya tajam.

Roni tersentak pura-pura kaget lalu segera membawa piringnya kedapur tanpa bicara tetapi sempat cengengesan dulu ke Aji, dan menuju kamarnya untuk menggambil handuknya.

Mataku mengikuti kemana Roni berjalan, lalu tanpa sengaja bertemu mata sesaat dengan Bella. Dia tersenyum malu. Pipinya bersemu merah. Dia cantik sekali. Roni selalu menceritakan seakan adiknya itu gadis kecil yang lucu. Sehingga dibayanganku adiknya itu berumur 6 tahun, tetapi tidak, umur Roni bukan 10 tahun, mereka sebaya, sehingga gadis ini berarti berumur 23 tahun.

“Maaf mama dan kakak memang selalu begitu tiap pagi.“ katanya pelan tertunduk malu sambil mengambil nasi. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya tersenyum tipis, lalu kembali menyendokkan nasi ke mulutnya.

Memang benar masakan mama enak sekali, walau sederhana, tapi masakan rumah adalah makanan yang amat dia rindukan. Ia tidak pernah keberatan dengan suasana pagi seperti ini, suasananya ini sangat nyaman.

Entah kenapa ia merasa bisa jujur kepada Bella. Gadis itu duduk di hadapannya, tempat duduk bekas Roni tadi.

“Ga apa-apa, Aku malah jadi senang mereka seperti itu, alami.“ kata- kataku meluncur cepat tanpa bisa aku ditahan setelah beberapa lama.

Aku kaget karena tiba-tiba bisa mengutarakan pikiranku seperti itu, cepat-cepat aku minum air untuk menenangkan diri. Bella juga seperti kaget dengan jawabanku. Ia mengikat rambutnya menjadi satu cepolan dan mulai makan dengan pelan.

Mama keluar dari kamarnya, sudah berganti baju dengan baju yang lebih rapih, ia berjalan menuju pintu depan untuk mengambil kunci mobil lalu tiba-tiba berhenti.

“Bella, nanti kamu di rumah saja kan, tolong lihatin jemuran mama ya, bajumu dari atas sudah di bawa turun belum, semuanya menumpuk kayak apa itu di atas?” serunya cepat.

Bella terkesiap akan ucapan mamanya, gadis itu cepat-cepat menelan makanan yang ada dimulutnya. Dia berdiri dan berjalan kearah mamanya. Aku ikut berdiri memandang ke arah mama, maksudku untuk mengantarnya pergi.

“Bawa turun sekalian ya, BH juga, jangan digantung-gantung begitu.” sambung Mama santai lalu menutup pintu.

Bella berdiri terpaku menatap pintu yang tertutup.

Aku juga terpaku kaget harus bagaimana, Akhirnya aku duduk kembali pura-pura sibuk memotong telur.

Roni kemana sih? lama sekali jemur handuk.

Kakak yang jahil

Roni segera mengangkat piringnya setelah mamanya menyuruhnya. Mamanya itu walau badannya kecil tapi suaranya sungguh menggelegar, dan kalau sampai kena cubit mamanya, rasanya sakit sekali. Ia menaruh piringnya pelan-pelan di pinggir bak cucian piring.

Bella dan Aji mulai berbicara. Ia merasa mereka berdua sangat cocok berdua, walau kaku setidaknya mereka sudah bertegur sapa.

Ia berjalan pelan-pelan ke kamarnya yang tidak jauh dari ruang makan. Sebenarnya kamarnya selalu rapih, tetapi dia memang selalu lupa untuk menaruh handuknya kembali ke jemuran belakang. Biasanya tiap pagi mamanya yang melakukan itu dengan omelan panjang, tapi mungkin hari ini mama sedang terburu-buru sekali.

Roni mengangkat handuknya dari kasur, bagian yang tertutup handuk tadi jadi agak basah dan lembab. Ia membuka gorden dan jendela kamarnya lebar-lebar agar seprainya segera kering. Komplek perumahan terlihat sepi, bau matahari dan rumput memenuhi kamarnya, sepertinya pak Joko tetangga sebelah mulai memotong rumput, Roni mengambil napas dalam-dalam. Ia sangat suka bau rumput yang baru dipotong.

Ia melakukan itu semua dengan sengaja berlambat-lambat, setelah puas menghirup udara pagi, ia kembali mendengarkan pembicaraan dua orang itu ketika dia tak ada.

Suara mereka terdengar sayup-sayup, sepertinya Bella malu dengan kebiasaan mereka berbicara tiap pagi. Kalau ada orang lain baru merasa malu, biasanya suara dia yang paling keras, pikirnya sambil mendengus geli.

Bella meminta maaf dengan suara yang dibuat-buat, hahahaha, sepertinya Bella merasa risih sendiri dengan kelakuan mama dan kakaknya.

Setiap pagi mereka selalu ramai seperti itu, berteriak sana sini. Tidak ada hari tanpa mereka saling berteriak, tapi hari ini ia memang sengaja super iseng, maksudnya agar suasana tidak terlalu kaku. Roni menantikan untuk melihat wajah Bella yang malu-malu, adiknya itu lucu sekali.

Aji, temannya itu sangat pendiam, sedangkan adiknya itu super cerewet, Roni penasaran dengan interaksi kedua orang itu.

Aji, yang dia kenal tidak pernah mengajak bicara duluan, bahkan jika ditanya dulu kebanyakan dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, menggeleng atau hanya tersenyum tipis. Aji hanya berbicara jika terpaksa. Dia selalu berkesan menarik diri, dan menutup perasaannya.

Roni mengenal Aji saat SMA dulu, mereka teman sekelas di tahun kedua SMA. Aji adalah anak pindahan yang sangat tertutup, pendiam dan cenderung dilupakan oleh orang lain, bahkan oleh guru, tapi Aji sepertinya tidak pernah keberatan untuk dilupakan, malah sebisa mungkin dia tidak menarik perhatian orang lain.

Kemarin, Roni hampir tidak percaya saat bertemu dengan Aji. Ia memperhatikan Aji yang duduk di lantai depan minimart dekat rumahnya. Aji duduk diam dan melamun. Tas punggung hitam kumalnya yang penuh barang yang dipaksa tertutup ada disebelahnya. Pandangannya kosong, seperti berada di dunia lain.

Roni memanggilnya berkali-kali tapi dia masih tidak sadar. Sampai akhirnya Roni mengguncang-guncangkan tubuhnya baru dia tersadar. Roni tak banyak tanya, hanya mengajaknya ikut, dan anehnya Aji juga langsung ikut tanpa bertanya-tanya lagi.

Tapi tadi pagi sungguh menarik, Roni memperhatikan dari jauh kalau dia mengangkat tangannya duluan untuk berkenalan dengan Bella, aneh rasanya, seperti bukan Aji yang biasanya.

Roni merasakan entah bagaimana, dia tidak bisa menjelaskan tapi ia merasa dekat dengan Aji, walaupun Aji pendiam dan misterius, dia yakin kalau Aji adalah seorang yang baik hati.

Mereka masih makan dengan diam, mama sepertinya sudah berangkat. Roni mengintip dari balik pintu. Bella sibuk merapikan rambutnya yang panjang, ia membuat cepolan dari rambutnya seperti biasa. Sedangkan Aji, yah, seperti biasanya dia makan dengan diam.

Tapi tiba-tiba Aji seperti mengatakan sesuatu, apa itu? Roni mencoba mendengarkan, Roni mendekatkan telinganya ke pintu kamarnya yang terbuka sedikit, tapi dia tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan, suara Aji terlalu lirih, lebih seperti berbicara pada diri sendiri. Ia melihat Bella seperti agak kaget tapi tidak berkata apa-apa lagi, malah suara mama yang kembali terdengar, ternyata mama belum berangkat.

Seperti biasa mama berbicara separuh berteriak. Roni separuh prihatin dengan adiknya separuh geli membayangkan wajah adiknya sekarang.

Dia harus segera menyelamatkan adiknya, ia lalu membuka pintu kamarnya dan berjalan cepat menuju meja makan. Pura-pura tidak tahu, Roni mengambil air dalam botol lalu siap-siap berangkat kerja.

“Tuyul, jangan lupa angkat jemuran ya, ntar mama marah loh” ucapnya sambil minum air, matanya melirik Aji yang sedang sibuk dengan telur cabe nya.

Bella memutar badannya yang tadi mematung, mukanya memerah karena malu, mama memang paling bisa membuat anak malu.

Pasti Bella berharap segera ditelan bumi. Kasian adikku malang. Tapi, Bella ternyata bersikap tegar, dia kembali duduk dan melanjutkan makannya seperti tidak ada apa-apa. Padahal Roni berpikir gadis itu akan segera naik ke kamarnya karena malu.

Roni berjalan mengambil tasnya di sofa, memasukan botol di samping tas, masih sengaja berlambat-lambat. Mereka berdua hanya diam, tidak berbicara makan dengan kaku.

“Tuyul, kakak berangkat dulu ya!" ia berpamitan dengan adiknya. Bella hanya diam, masih memandangi piringnya.

"Ji, lo mo ikut gw atau mau di rumah dulu?” Roni berusaha membuka pembicaraan. Dua orang ini terlalu tegang. Bella memalingkan wajahnya dari piring, akhirnya menatap Roni.

“Kak Roni, ...” ia berhenti. Wajahnya memelas meminta pertolongan.

“Apa?” jawab Roni pura-pura santai, sambil menutup tas punggungnya

"Aku ikut dong, aku mau ke toko buku, penting nih." ucapnya pelan setelah beberapa lama.

Ia menatap matanya penuh harap, berharap kakaknya mengerti, Bella pasti mau kabur dari rumah karena malu.

"Oh tidak bisa, anda telah dimandatkan oleh baginda ratu untuk menunggu jemuran, kakak mendengar dengan jelas tadi, adinda putri tidak boleh beranjak dari rumah. " jawab Roni dengan nada berat sengaja di berat - beratkan. Adiknya segera mencibir dengan kesal.

"Hemph" dia menghembuskan napasnya keras-keras, lalu cepat-cepat menghabiskan sarapannya.

Aji melihat sekilas kearah Bella, memang adiknya itu agak menggemaskan kalau lagi marah, hanya sekilas tapi Roni menyadarinya, Aji memandang Roni sambil berdiri.

"Gw sepertinya ga dulu, mau merapihkan barang-barang gw." jawab Aji, dia juga sudah menyelesaikan sarapannya.

Roni mengambil jaketnya yang tadi sudah dia siapkan di sofa. Dalam waktu sebentar juga, Bella selesai dan langsung naik tangga menuju kamarnya lagi. Sedangkan Aji membawa piringnya dan piring Bella ke dapur. Sepertinya Roni harus mencari kesempatan dilain hari lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!