Langit Desa P sore itu memerah, seperti mencerminkan isi hati Ratri yang terbakar resah. Ia duduk di tepi bale bambu belakang rumah, memandangi selembar kain batik tua yang akan dikenakannya dalam acara seleksi penari Reog malam nanti. Tangannya gemetar saat meraba motif parang rusak di kain itu. Warna merah kehitaman pada batik itu mengingatkannya pada darah—dan pada semua hal yang tak ingin ia hadapi.
“Aku nggak mau, Pak…” bisik Ratri, nyaris tak terdengar.
Tapi tentu saja, ayahnya, Sugondo, tak akan mendengar bisikan selemah itu. Ia datang dengan langkah berat dan suara seperti dentum kentongan ronda. “Kamu tahu apa artinya jadi penari utama Reog, Ratri? Itu kehormatan tertinggi di desa ini. Kamu satu-satunya yang pantas.”
Ratri mendongak, menatap mata ayahnya yang penuh ambisi. “Tapi kenapa harus aku? Aku bahkan nggak suka menari.”
“Kamu nggak perlu suka. Kamu cuma perlu jadi yang terbaik,” tegas Sugondo. “Semua sudah aku siapkan. Rajiman dan para sesepuh sudah memberi restu. Bahkan kain batik ini—bukan kain biasa. Ini milik penari utama dulu. Kamu hanya tinggal menjalani ritual, dan semuanya selesai.”
“Ritual? Lagi-lagi ritual…” gumam Ratri.
Ia masih ingat malam-malam aneh di mana ia dipaksa mandi kembang jam 2 dini hari, berpuasa tiga hari tiga malam tanpa tahu alasannya, atau bermeditasi di makam tua nenek moyangnya dengan mata ditutup kain hitam. Semua itu demi menjadi "penari utama" seperti yang diidamkan Sugondo.
Ratri tahu benar, menjadi penari Reog di Desa P bukanlah sekadar tampil di panggung. Ia akan diikat oleh sumpah gaib, pantangan dan ritual yang menyertainya. Tidak boleh berpacaran, tidak boleh memotong rambut, tidak boleh makan makanan tertentu, dan—yang paling menyeramkan—tidak boleh menolak ketika dipanggil oleh para sesepuh untuk menjalani “ritual pemanggilan roh leluhur.”
Dan kini, semua itu datang lagi. Bahkan lebih intens.
“Kalau kamu nggak mau nurut, jangan panggil aku bapakmu!” ancam Sugondo, sebelum berbalik meninggalkannya.
Ratri menunduk. Air matanya menetes ke ujung kain batik di pangkuannya. Ia merasa seperti boneka. Hidupnya bukan miliknya. Keputusannya tak dianggap.
Dari balik dinding, ibunya, Aminah, mengintip. Wajahnya tirus, penuh kecemasan. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya memeluk tubuhnya sendiri, seakan ingin ikut menyerap duka Ratri tanpa bisa berbuat apa pun.
Malam menjelang, dan langit gelap tanpa bintang. Ratri mengenakan kain batik pusaka itu dan berjalan menuju pendopo desa. Angin bertiup dingin, daun-daun pisang berisik bergesekan seperti bisikan arwah. Di pendopo, Rajiman dan beberapa sesepuh sudah menunggu.
“Ratri Pratiwi,” panggil Rajiman dengan suara berat. “Kau siap menerima warisan yang dijaga sejak tujuh turunan?”
Ratri diam. Tangannya mengepal.
“Kau harus menjawab,” bisik Sugondo yang berdiri di sampingnya.
“…Siap,” jawab Ratri lirih.
Rajiman tersenyum. Namun senyum itu tak menghangatkan. Justru membuat bulu kuduk Ratri meremang.
“Baik. Malam ini, kita mulai dengan ritual penjagaan jiwa. Sebuah langkah awal agar kau tak mudah diganggu mahluk halus saat pentas nanti. Tapi ingat, setiap ritual ada bayarannya,” ujar Rajiman sambil membuka gulungan kain putih berisi benda-benda aneh: rambut, kemenyan, cakar ayam, dan segenggam tanah makam.
Ratri menahan napas.
Ia tahu, malam ini hidupnya akan berubah. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia akan menjadi milik sesuatu yang lebih tua… lebih gelap… lebih lapar dari yang bisa ia bayangkan.
Dan penolakan kecilnya tadi, hanyalah bisikan sia-sia yang tenggelam dalam kebisingan ambisi orang tuanya.
Aroma kemenyan menyengat sejak Ratri melangkah ke tengah pendopo. Api dari obor di keempat sudut ruangan menari, membentuk bayangan liar di dinding kayu. Di tengah ruangan, Rajiman duduk bersila di atas tikar pandan, dengan wajah penuh konsentrasi. Para sesepuh lainnya melingkar, membaca mantra dalam bahasa Jawa kuno yang nyaris tak bisa dimengerti Ratri.
Jantung Ratri berdegup keras. Kakinya seolah menolak maju, tapi tangan ayahnya menuntunnya dengan paksa ke tengah lingkaran.
"Jangan bergerak sampai aku selesai," bisik Sugondo tajam.
Ratri hanya mengangguk. Ia berdiri di tengah lingkaran garam, bunga tujuh rupa, dan keris tua yang menancap di tanah. Udara di sekitar terasa menekan, seperti ada ribuan mata yang memandangnya dari balik gelap.
Rajiman membuka matanya perlahan. "Kau tahu makna ritual ini, Ratri?"
Ratri menggeleng.
"Ini adalah ritual penjagaan jiwa, atau disebut tulak sukma. Fungsinya adalah memisahkan bagian tubuh halusmu dari tubuh kasar, lalu memberi pelindung pada bagian halus itu agar tak mudah dirasuki atau dicuri mahluk gaib. Tapi ada syaratnya… kau harus rela melepas sebagian kehendak bebasmu."
"Artinya…?" suara Ratri nyaris tak terdengar.
"Mulai malam ini, kamu akan jadi bagian dari warisan gaib desa ini. Kamu tidak akan bisa mencintai siapa pun. Tidak akan bisa menjalani kehidupan biasa. Jika melanggar, perlindungan ini akan runtuh. Dan mahluk-mahluk yang selama ini tertahan… akan datang."
Ratri menelan ludah. Matanya menatap satu per satu wajah para sesepuh. Tak ada yang menyuarakan keberatan. Tak ada yang menunjukkan keraguan. Semua setuju bahwa ini jalannya.
Rajiman memulai dengan membakar dupa hitam yang mengeluarkan asap pekat. Ia mencelupkan ujung jari ke darah ayam hitam yang baru disembelih, lalu membuat simbol di kening Ratri.
“Tutupi matamu,” perintah Rajiman.
Ratri menutup mata.
Mantra-mantra kembali terdengar. Tapi kali ini, ada suara lain yang menyusup di sela-selanya. Suara-suara yang tidak berasal dari manusia—seperti bisikan dari dasar sumur. Lirih… panjang… menusuk hati.
Tubuh Ratri tiba-tiba menggigil. Udara di sekitar terasa beku. Kaki dan tangannya berat, seolah tertarik sesuatu dari dalam bumi.
Lalu ia melihatnya.
Meski matanya tertutup, dalam gelap ia melihat sosok bayangan tinggi besar dengan wajah tertutup topeng Reog. Sosok itu berdiri di hadapannya, dengan mata merah menyala dari balik topeng. Nafasnya panas dan bau amis menyentuh wajah Ratri.
“Ratri…” suara itu berat dan bergema, “aku penunggu pusaka. Kau harus tunduk. Jika tidak… aku akan mengambil tubuhmu.”
Ratri ingin menjerit, tapi suaranya lenyap.
“Aku… aku tidak mau…!”
“Tidak ada pilihan.”
Bayangan itu mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya, muncullah benang-benang hitam yang mengikat tubuh Ratri. Ia merasa tubuhnya ditarik ke dalam kegelapan yang dalam, tanpa dasar. Ia menendang, berontak, tapi semakin bergerak, semakin erat ikatan itu.
Tiba-tiba suara Rajiman menggelegar, “Sadar, Ratri! Tarik kembali sukmamu!”
Ratri membuka mata. Napasnya terengah. Tubuhnya basah oleh keringat. Ia kembali berada di tengah pendopo, dikelilingi para sesepuh yang kini memandanginya dengan serius.
“Ritual selesai,” kata Rajiman.
“Dia berhasil?” tanya Sugondo.
Rajiman mengangguk pelan. “Ya… tapi ini baru permulaan. Ia terlalu kuat… aku belum pernah melihat seorang penari muda memiliki aura sekuat ini.”
Sugondo tersenyum puas. Tapi Ratri justru memeluk tubuhnya sendiri. Kakinya gemetar. Ia masih bisa merasakan benang hitam itu membelit di balik kulitnya, meski tak terlihat.
Ia tahu… ada sesuatu yang sudah masuk ke dalam dirinya malam ini.
Sesuatu yang tidak akan mudah keluar.
Saat malam semakin larut dan ritual usai, Ratri pulang ke rumah dengan tubuh lemas. Di kamarnya, ia duduk di depan cermin. Wajahnya tampak pucat. Matanya memerah. Namun yang paling aneh, di lehernya muncul garis hitam melingkar—seperti bekas tali yang membekas di kulit.
Ia mengelus lehernya. Garis itu terasa dingin… dan denyutnya mengikuti detak jantungnya.
Di luar kamar, angin bertiup lirih, dan terdengar bisikan samar dari halaman belakang.
“Ratri… Ratri…”
Ia memejamkan mata, berharap semua itu hanya bayangan.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu malam ini ia bukan lagi Ratri yang sama.
Hari-hari setelah ritual pertama berlalu dalam keheningan yang aneh. Tubuh Ratri masih terasa berat, seperti ada yang terus membuntutinya. Di siang hari, ia mencoba hidup seperti biasa—berlatih menari, membantu ibu di dapur, dan menyapa tetangga yang melintas. Tapi di malam hari, suara-suara itu kembali: bisikan di sudut kamar, langkah kaki tanpa wujud, dan bayangan hitam di cermin yang tersenyum padanya.
Pagi itu, Rajiman datang ke rumah dengan membawa dua buah kendi tanah liat. Di dalamnya berisi air dari tujuh sumber mata air yang dianggap suci. “Ratri, kita akan memulai ritual pengasingan laki-laki,” ujarnya sambil menatap mata Ratri dengan tajam.
“Pengasingan… apa maksudnya?” Ratri duduk di beranda rumah, sementara ibunya menyeduh teh tanpa suara di dapur.
“Ini syarat utama. Agar kamu tetap suci, tidak terganggu hawa nafsu, dan tetap menjadi penari utama sampai waktu pensiun. Mulai malam ini, kamu tidak boleh disentuh, apalagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Jika dilanggar, penjaga sukma dalam tubuhmu akan murka,” jelas Rajiman.
Ratri menggigit bibir. Ia ingin bertanya: mengapa perempuan harus menanggung beban sebesar ini untuk sebuah kehormatan desa? Tapi pertanyaan itu hanya menggantung di tenggorokannya, tak pernah terucap.
Ritual dilakukan di pemakaman tua di pinggir desa. Tempat yang tak pernah dikunjungi orang kecuali saat ada kematian. Di bawah pohon beringin besar, Rajiman menggambar lingkaran besar dari tanah liat dan abu mayat yang dicampur dengan darah ayam jantan. Ratri duduk di tengah lingkaran, mengenakan kain putih tanpa pola. Rambutnya dibiarkan tergerai panjang hingga menyentuh tanah.
“Katakan sumpahmu,” perintah Rajiman.
Ratri mengatupkan kedua tangan di dada, lalu mengucapkan dengan suara pelan namun mantap, “Aku, Ratri Pratiwi, bersumpah tidak akan menjalin hubungan dengan laki-laki, tidak akan disentuh, dicium, atau diikat dalam ikatan duniawi oleh pria mana pun, hingga waktuku sebagai penari utama selesai, atau hingga para leluhur membebaskanku.”
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Daun-daun beterbangan. Udara menjadi dingin, sangat dingin, hingga uap keluar dari mulut mereka meski matahari bersinar terang.
Rajiman membuka kendi dan menyiramkan air ke sekeliling lingkaran. “Dengan ini, kamu dilindungi. Tapi ingat, perlindungan ini bukan berkat. Ini penjagaan yang akan membalas jika kau melanggar.”
Ratri memejamkan mata.
Ia merasa seperti dikurung dalam sangkar tak terlihat. Sejak saat itu, para lelaki di desa mulai menjaga jarak. Bahkan Herman, adiknya sendiri, tak lagi berani masuk kamar atau duduk terlalu dekat dengannya. Sugondo tak lagi berbicara banyak, hanya memberi perintah seperti komandan pada prajuritnya.
Yang paling terasa, adalah kesunyian.
Tak ada lagi candaan dari pemuda desa. Tak ada lirikan mata kekaguman. Bahkan jika ia berjalan di jalan utama desa, para lelaki akan menunduk atau berbalik arah. Mereka bukan takut pada Ratri, tapi pada sesuatu yang tak terlihat—yang mengikuti, yang menjaga, dan siap menghukum.
Suatu malam, seorang pemuda desa bernama Wicaksono nekat mencoba mendekati Ratri. Ia terpikat pada kecantikannya sejak lama. Wicak, begitu panggilannya, mengirimkan sepucuk surat lewat adik Ratri. Isinya sederhana:
"Jika kau ingin hidup biasa, aku akan pergi bersamamu malam ini. Kita lari dari desa ini. Menari bukan takdirmu, tapi pilihan yang dipaksakan."
Ratri membacanya dengan hati berdebar. Kata-kata itu seperti lilin di tengah gelap—menawarkan harapan. Tapi hanya sesaat.
Malam itu juga, Wicak ditemukan di belakang rumah, tubuhnya menggigil, matanya kosong, dan mulutnya terus menggumam, “Dia bukan manusia… matanya merah… tangannya dingin…”
Warga membawa Wicak ke dukun desa. Tapi tubuhnya tetap lemas. Selama tiga hari, ia tidak mengenali siapa pun, bahkan ibunya sendiri.
Desa kembali gempar. Dan Ratri kembali jadi bahan gunjingan.
“Aku tak melakukan apa-apa,” ucap Ratri pada Ustadz Subhan yang datang menemuinya diam-diam di surau kecil.
“Aku tahu,” jawab Ustadz Subhan. “Tapi sesuatu di dalam dirimu yang melakukannya. Kau sudah terikat, Rat.”
“Lalu bagaimana aku bisa lepas?”
“Dengan memutus semua ikatan. Tapi tidak sekarang. Tubuhmu belum siap. Jiwamu masih setengah terbelah.”
Ratri menangis di malam itu, di sudut surau, di hadapan Tuhan yang lama tak ia sapa. Ia merasa sendirian di dunia yang tak lagi berpihak padanya.
Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang tertawa… pelan… penuh kemenangan.
Tari Reog bagi warga Desa P bukan sekadar hiburan, melainkan warisan sakral yang mengikat manusia dengan alam gaib. Ratri telah menjadi poros dalam pusaran itu. Tapi setelah ritual pengasingan, ia merasa bukan lagi dirinya yang menari. Ada sesuatu yang menggerakkan tubuhnya. Seperti boneka yang dikendalikan oleh tali tak kasatmata.
Suatu malam, saat latihan di sanggar, Ratri menari dengan sangat memukau. Gerakannya halus, matanya tajam, dan setiap langkahnya seperti memanggil kekuatan dari dimensi lain. Para penonton diam terpukau. Beberapa bahkan mengaku melihat bayangan lain menari di belakangnya. Bayangan seorang perempuan dengan rambut lebih panjang dan wajah yang kabur, seolah terbuat dari asap.
Rajiman yang duduk di sudut sanggar hanya mengangguk pelan. “Ia sudah menyatu,” gumamnya.
Sepulang dari latihan, Ratri merasa tubuhnya berat. Langkahnya lambat. Ketika ia melewati cermin besar di ruang tengah rumahnya, ia berhenti sejenak.
Bayangan di cermin tidak mengikutinya secara normal.
Ketika ia mengangguk, bayangannya diam. Ketika ia mengangkat tangan, bayangan itu menatapnya lurus—tidak mengikuti, tapi… memperhatikan.
“Siapa kamu?” tanya Ratri pelan.
Bayangan itu perlahan tersenyum. Bibirnya retak, matanya hitam legam, dan tubuhnya mulai bergetar seperti kabut yang tertiup angin. Tiba-tiba, bayangan itu menari. Gerakannya seperti Reog, tapi lebih liar, lebih gelap. Tidak ada keanggunan, hanya kegilaan.
Ratri mundur. Ia terjatuh ke lantai.
Dari lantai tempatnya rebah, ia melihat sesuatu menjalar dari balik lemari—rambut panjang, hitam, dan basah. Seolah menjulur ingin menyentuhnya. Ia berteriak.
Aminah, ibunya, datang tergopoh-gopoh. “Rat! Ada apa?”
Ratri memeluk ibunya erat-erat. “Ibu… aku… aku tidak sendiri di rumah ini.”
Aminah menatap anak perempuannya dengan mata berkaca. Ia tahu. Ia tahu sejak dulu. Tapi sebagai seorang ibu, ia tak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah diputuskan oleh Sugondo. Semua sudah ditakdirkan oleh leluhur. Dan melawan takdir di desa ini... berarti melawan kutukan.
Keesokan harinya, Rajiman datang membawa sebuah kotak kayu hitam. “Kamu akan mendapat ‘pemandu jiwa’, Rat,” katanya.
“Apa maksudnya?” tanya Ratri waspada.
“Penari sepertimu, setelah melewati tahapan pengasingan, akan didampingi oleh arwah leluhur yang pernah menjadi penari utama. Dia akan masuk dalam tubuhmu saat kamu menari. Tapi jangan takut, dia hanya mengambil alih saat kamu di atas panggung.”
“Tapi aku tidak ingin dibimbing oleh arwah. Aku ingin menari karena kemampuanku sendiri.”
Rajiman tersenyum tipis. “Bakatmu tidak cukup. Ini dunia lain, Rat. Penari terpilih bukan manusia biasa.”
Ratri ingin menolak. Tapi ia tahu, menolak sama saja dengan menantang kekuatan yang tak bisa dilawan.
Saat malam tiba, Rajiman menggelar ritual kecil di halaman rumah. Api unggun dinyalakan, dupa dinyalakan, dan kotak kayu dibuka. Di dalamnya ada seikat rambut, serpihan tulang kecil, dan jepit sanggul dari emas kuno.
“Ini milik Sulastri. Penari utama dari tahun 1890. Ia mati muda. Tapi arwahnya masih haus pentas.”
Rajiman mulai membaca mantra dalam bahasa Jawa Kuno. Udara tiba-tiba menjadi dingin, aroma kemenyan bercampur bau tanah basah.
Ratri duduk bersila, mengenakan kebaya merah darah. Ketika Rajiman menaruh jepit rambut itu di sanggulnya, tubuh Ratri bergetar. Matanya membelalak. Bibirnya mengucap mantra yang tak pernah ia pelajari.
Tubuhnya bergerak. Menari sendiri.
Tapi ini bukan tari Reog biasa. Gerakannya patah-patah. Jari-jarinya mencakar udara. Ia menari seperti sedang kerasukan. Matanya kosong. Nafasnya berat.
Aminah berteriak, “Pak Rajiman! Berhenti! Itu bukan tari!”
Tapi Rajiman justru tersenyum puas. “Itu Sulastri. Dia kembali.”
Ketika tarian berhenti, tubuh Ratri jatuh tak sadarkan diri. Ia baru bangun menjelang subuh, dengan seluruh tubuh basah oleh keringat.
“Apa yang terjadi?” tanyanya lirih.
Rajiman menatapnya tajam. “Kamu sudah disatujikan. Sekarang kamu adalah wadah. Sulastri akan membantumu menang setiap kompetisi. Tapi ingat, jangan pernah menari tanpa ijin. Jangan pernah menolak jika dia ingin menari. Kalau kamu melawan… kamu sendiri yang akan tersiksa.”
Ratri tak menjawab.
Di dalam dirinya, ada sesuatu yang tertawa pelan. Suara perempuan tua. Penuh rindu. Penuh dendam.
Dan malam itu, mimpi buruk pun dimulai
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!