Langit malam menggantung rendah di atas kawasan elit Menteng. Di balik gerbang besi tempa yang diukir dengan lambang singa bersayap keluarga Suthajningrat, cahaya lampu-lampu taman menyebar lembut ke halaman luas, menyorot bangunan kolonial yang dipugar dengan megah. Malam ini, keluarga besar berkumpul—dan seperti biasa, Andre Suthajningrat datang bukan sebagai tamu utama, melainkan pengamat yang tak pernah dianggap penuh.
Cahaya lampu kristal menjuntai dari langit-langit ruang makan keluarga Suthajningrat, memantul di atas meja panjang yang dilapisi linen putih dan peralatan makan perak tua. Aroma masakan khas Nusantara bercampur dengan wewangian mawar dari vas-vas kristal di sudut ruangan. Tapi suasana meja makan tetap dingin.
Ia memasuki ruang makan utama dengan langkah tenang. Jas abu-abu yang membalut tubuh tingginya membuatnya tampak berwibawa, meski ekspresi wajahnya tetap tak berubah. Matanya tajam, alis tebal mengerut sedikit saat melihat siapa saja yang sudah duduk di sana.
Sultan Munier Suthajningrat, ayahnya, duduk di kursi utama. Usianya sudah 68 tahun, rambutnya memutih sempurna, namun aura kekuasaan dari sorot matanya tak pernah pudar. Di sampingnya, duduk Bowo Suthajningrat, adik tiri Andre, pewaris sah dari istri pertama. Wajah Bowo yang tampan terlihat tegang malam ini—tak seperti biasanya yang santai dan pamer senyum.
Di sisi lain meja, duduk Andrea Suthajningrat, kakak kandung Bowo, anak sulung keluarga, tampil elegan dengan blouse putih dan anting mutiara kecil. Di sampingnya, duduk Heru, suaminya, laki-laki tampan namun dengan tatapan malas dan bibir yang sesekali mengulas senyum sinis.
Andre menunduk sopan pada semua orang sebelum duduk di kursinya.
“Kamu telat, Dre,” kata Heru sembari meneguk anggur. “Biasanya anak tengah justru lebih cepat.”
“Saya bukan anak tengah,” jawab Andre pelan, “Saya cuma anak dari istri kedua.”
Ruangan sunyi sesaat. Sultan Munier hanya menatap anaknya itu dengan ekspresi seperti sedang mengamati sebuah furnitur yang berguna namun tak bernilai warisan.
“Cukup,” ucap Sultan. “Malam ini kita bicara soal masa depan keluarga. Terutama soal perjodohan Bowo.”
Bowo langsung menarik napas panjang. “Ayah, aku pikir kita sudah bahas ini minggu lalu. Aku tidak keberatan bertemu Lily, tapi perjodohan formal? Ini bukan abad 18.”
“Lily Halimansyah itu bukan sekadar perempuan, Bowo,” potong Sultan cepat. “Dia cucu mantan Presiden Sondarto. Meskipun nama kakeknya kontroversial, itu tetap nama besar. Dan ayahnya, Herianto, masih punya cengkeraman di dunia politik.”
Tante Laksmi Wulandari, adik mendiang istri pertama Sultan, menyahut dengan nada menusuk, “Kalau kau tak mau menikah dengan Lily, mungkin ada yang lain yang lebih bersedia.”
Bowo menyipitkan mata. “Aku sudah punya pasangan, Bu Laksmi. Dan dia bukan perempuan sembarangan.”
Nyi Roro Anjani Wulansyah, istri dari R. Bambang Sudiro Wulansyah, bersuara sambil mengaduk sup-nya, “Pacar bule itu? Perempuan luar negeri yang tak tahu adat?”
Bowo menggebrak meja ringan. “Namanya bukan perempuan luar negeri. Namanya Sophie. Dan dia mencintaiku, bukan warisanku.”
“Tapi sayangnya,” sela Sultan tajam, “keluarga ini tidak hanya diatur oleh cinta. Tapi oleh warisan, kehormatan, dan kesinambungan.”
Andrea menoleh ke Bowo, mencoba meredakan. “Wo… aku mengerti perasaanmu. Tapi Ayah juga punya alasan. Lily punya reputasi baik, restoran sukses, lulusan Harvard…”
“Dan cucu diktator,” potong Bowo.
“Seperti kamu anak sultan,” sahut Andre tiba-tiba.
Semua kepala menoleh. Andre mengangkat gelas air putihnya dan meminumnya tenang. Bowo mengernyit.
“Apaan maksudmu?” tanya Bowo.
“Tak ada,” ujar Andre sambil menatap lurus. “Cuma pengingat bahwa kita semua hidup di bawah bayang-bayang nama besar. Kamu keberatan dengan sejarah kakeknya? Aku pun hidup dengan stigma ‘anak selir’. Tapi kita tak pernah punya pilihan, kan?”
Sultan menatap Andre sejenak. “Kamu bicara seperti korban, Dre.”
“Saya bukan korban, Pak,” jawab Andre tenang. “Saya cuma realistis.”
Heru terkekeh. “Realistis tapi masih ikut makan malam keluarga yang tak pernah mengakui kamu?”
Andrea melirik tajam pada suaminya, memberi isyarat diam.
Bowo berdiri. “Aku gak akan menikahi Lily hanya karena kalian ingin menyatukan dua nama besar. Hidupku bukan alat negosiasi.”
Sultan memicingkan mata. “Duduk.”
“Aku serius.”
“Duduk, Bowo.” Nada Sultan merendah, tapi bergetar seperti ombak tenang yang menyimpan badai.
Bowo duduk kembali, dengan napas tak teratur.
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Suara jam tua berdetak pelan di sudut ruangan.
Lalu Sultan berbicara, pelan tapi menggetarkan:
“Kalau kamu tetap bersikeras menolak, maka kita akan cari jalan lain. Kita selalu punya cadangan.”
Andre merasa tubuhnya kaku seketika. Tatapan ayahnya beralih perlahan kepadanya.
“Dan kamu, Dre, harus siap-siap menjadi cadangan.”
Kalimat itu menghujam seperti palu yang tenang tapi menghancurkan. Ruangan mendadak dingin, lebih dingin dari AC yang bekerja keras malam itu.
Andrea menunduk, wajahnya muram. Heru tersenyum seperti menikmati permainan kekuasaan kecil di meja makan.
Sementara Andre hanya duduk diam, menatap lurus ke piring makan yang kini terasa kosong.
...****************...
Sementara itu, di Studio televisi SCBD.
“Jadi, Lily… sebagai cucu dari presiden paling keras di sejarah negeri ini, bagaimana Anda melihat warisan itu?” tanya host talkshow Women in Power.
Lily Halimansyah duduk anggun di kursi beludru, rambut bergelombang panjang ditata rapi, mata hazel-nya menatap tajam ke arah pembawa acara.
“Warisan adalah beban dan kehormatan. Tapi saya tidak hidup untuk melanjutkan sejarah orang lain,” jawabnya kalem.
“Ada kabar Anda akan dijodohkan dengan keluarga Suthajningrat?”
Lily tersenyum tipis. “Saya belum bisa komentar. Tapi satu hal yang pasti… saya tidak akan menikah demi nama.”
...****************...
Makan malam usai. Andre berdiri, berjalan ke taman belakang. Di bawah pohon kamboja, tempat ibunya dulu sering duduk, ia memandangi langit gelap Jakarta.
Di ponselnya, sebuah artikel media baru saja terbit:
“Bowo Suthajningrat Akan Dijodohkan dengan Lily Halimansyah: Pernikahan Dua Dinasti?”
Andre menatap layar itu lama. Lalu menutupnya pelan.
Di belakangnya, dari balik jendela makan malam yang belum ditutup tirainya, mata sang ayah masih menatapnya dari kejauhan.
Seolah berkata:
Kau bukan pilihan utama. Tapi jangan lupa—cadangan tetap bagian dari permainan.
...----------------...
Gedung milik keluarga Halimansyah berdiri megah di kawasan Darmawangsa, sebuah rumah besar bergaya modern kolonial dengan fasad berbalut batu alam dan jendela-jendela tinggi dari kayu jati asli. Halamannya rapi, dihiasi pohon-pohon ketapang kencana dan air mancur kecil yang terdengar gemericik halus—damai di luar, namun penuh tekanan di dalam.
Lily Halimansyah duduk sendirian di ruang tengah, mengenakan blouse satin putih berlengan lonceng dan celana kulot berwarna khaki yang jatuh anggun. Rambut panjangnya dikepang longgar ke samping, dan wajahnya yang biasanya tenang kini tampak lelah menahan emosi.
Beberapa jam yang lalu, ayahnya, Herianto Halimansyah, mengamuk hebat di ruang kerjanya. Suara benda-benda dibanting dan makian tidak bisa ditahan meski staf rumah berusaha menjauh.
“Anak itu sudah gila! Menolak perjodohan seperti ini? Apa dia pikir bisa dapat pasangan lebih baik dari cucu Suthajningrat?!” bentaknya kepada sekretarisnya.
Yang dimaksud tentu saja Bowo Suthajningrat, pria muda pewaris sah dinasti properti Suthajningrat, yang beberapa minggu terakhir sedang dijajaki untuk dijodohkan dengan Lily. Hubungan mereka dijembatani bukan hanya oleh nama besar, tetapi juga kebutuhan politis dari dua keluarga yang ingin mempertahankan pengaruh.
Namun Bowo ternyata tidak sepatuh yang dibayangkan. Ia menolak secara terang-terangan. Bahkan dikabarkan mengatakan, “Aku mencintai Sophie, dan aku tidak akan menjual hidupku demi bisnis kotor kalian.”
Itu memalukan.
Lebih dari memalukan. Itu menghancurkan rencana Herianto.
Lily hanya duduk di sofa panjang abu-abu yang membingkai ruangan, menyaksikan ayahnya meluapkan amarah. Di dalam dirinya, ia tidak peduli siapa yang akan menjadi suaminya. Tapi ia peduli pada cara dia diperlakukan. Seperti benda. Seperti jembatan reputasi. Seperti alat tukar.
Satu-satunya hal yang membuatnya tetap duduk di sana pagi ini adalah kesepakatan diam dengan dirinya sendiri: jika memang ia harus menikah demi keluarga, maka ia akan memilih untuk memimpin pernikahan itu. Bukan dijatuhkan ke tangan siapa pun.
Belum selesai ia merenung, suara langkah kaki dari arah pintu utama terdengar cepat.
“Non Lily,” ujar salah satu staf. “Tamu dari pihak Suthajningrat sudah tiba. Bukan Mas Bowo. Tapi… kakaknya.”
Lily mengangkat wajah. “Kakaknya?”
“Namanya Andre, Non. Beliau yang mewakili.”
...****************...
Di luar…
Sebuah mobil hitam Lexus berhenti di pelataran. Dari dalamnya keluar Andre Suthajningrat, mengenakan setelan navy dengan kemeja putih bersih tanpa dasi. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi, wajahnya bersih tanpa banyak ekspresi, tapi sorot matanya menunjukkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Ia tidak merencanakan pertemuan ini. Semalam ayahnya memanggilnya setelah makan malam berakhir kacau. Tak ada ruang untuk diskusi.
“Kamu harus berangkat ke rumah Halimansyah besok pagi. Bowo membuat malu keluarga. Kamu yang harus selamatkan nama kita,” kata Sultan Munier tanpa ampun.
Andre sempat diam. “Saya bahkan belum pernah bicara dengan Lily.”
“Kau tak perlu bicara. Kau hanya perlu menunjukkan bahwa keluarga Suthajningrat tetap punya harga diri.”
Dan kini, di depan rumah Lily, Andre menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dengan ketukan berat. Ia tidak suka pertemuan formal seperti ini, apalagi jika ia tahu ia datang sebagai “cadangan”.
...****************...
Lily berdiri pelan ketika Andre masuk. Kesan pertama: pria itu tinggi, jauh lebih tinggi dari Bowo, dengan bahu tegap dan gerak tubuh penuh kontrol. Wajahnya tidak semuda Bowo, namun jauh lebih matang dan… tenang. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering menghadapi ketidakadilan tanpa pernah protes.
Andre menatap Lily, dan dalam hitungan detik, ia menangkap semuanya.
Kecantikan perempuan itu bukan tipe yang manis atau polos. Tapi dewasa, dengan mata cokelat keemasan yang penuh pertahanan. Wajahnya tampak tidak sedang menunggu siapa pun. Seolah pertemuan ini hanya formalitas belaka.
Mereka bersalaman. Sentuhan jari mereka dingin dan singkat.
“Terima kasih sudah menerima saya,” kata Andre pelan.
Lily mempersilakan duduk, tetap menjaga nada suaranya netral. “Saya sempat terkejut. Saya pikir Bowo yang akan datang.”
“Sayangnya, Bowo menolak. Mendadak,” ujar Andre.
Lily duduk di seberangnya. “Dan Anda datang sebagai…?”
Andre tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan meja di hadapannya, secangkir teh dan camilan kecil disajikan tanpa kesan keramahan. Ia tahu peran yang sedang dimainkannya.
“Sebagai kakaknya yang disuruh menambal malu,” jawabnya akhirnya.
Lily menaikkan alis, lalu tersenyum kecil. “Langsung. Saya suka orang seperti itu.”
“Begitulah saya, Mba Lily. Tidak banyak bisa saya tawarkan selain kejujuran.”
“Lily saja,” ucapnya. “Kalau kita sudah duduk satu sofa, tak perlu embel-embel.”
Andre mengangguk. “Lily.”
“Lalu bagaimana saya memanggil anda? Anda jelas lebih tua dari saya bukan? 31?”
“32, panggil Andre saja. Saya juga tidak suka tambahan apapun didepan nama saya.”
Keheningan jatuh sejenak di antara mereka.
Di luar jendela, suara burung camar dari kolam hias terdengar samar. Aromaterapi melati samar mengisi udara, dan cahaya matahari menyelinap lembut dari tirai linen putih, menyoroti wajah Lily yang diam-diam menatap Andre lebih dalam.
“Mengapa Anda tidak protes?” tanyanya tiba-tiba. “Tiba-tiba disuruh datang untuk melamar perempuan yang bahkan belum Anda kenal?”
Andre menyandarkan punggungnya santai. “Protes saya tidak akan diakui. Di keluarga saya, anak dari istri kedua hanya diberi perintah, bukan pilihan.”
Lily menatapnya lebih lama. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa melihat seseorang yang tak jauh berbeda dari dirinya. Seseorang yang juga tumbuh tanpa cinta, tapi dipaksa menjadi wajah keluarga.
“Jadi kita berdua… tidak ada yang diinginkan, ya?” gumam Lily.
“Sepertinya begitu.”
...****************...
Beberapa menit kemudian. Herianto Halimansyah muncul dari arah tangga, mengenakan batik biru dengan lengan digulung. Wajahnya tampak lelah tapi masih mempertahankan sikap dominan. Senyumnya langsung mengembang ketika melihat Andre.
“Ah, Andre! Saya dengar banyak tentang Anda. Proyek-proyek Anda, khususnya Cikini dan Ubud. Hebat, hebat!”
Andre berdiri dan menjabat tangan Herianto.
“Terima kasih, Pak Herianto.”
Herianto melirik putrinya. “Saya harap Lily tidak terlalu dingin. Dia memang keras kepala. Tapi punya kepala dingin dan selera tinggi.”
Lily hanya menunduk tipis, tanpa menanggapi.
“Jika rencana awal tak berjalan, maka semesta pasti menunjukkan alternatif yang lebih baik.” Herianto menepuk bahu Andre. “Saya percaya Anda dan Lily bisa menjadi pasangan yang… efektif.”
Efektif.
Bukan bahagia. Bukan saling cinta. Tapi efektif.
Dan tak ada satu pun dari mereka yang protes.
......................
Sore itu…
Andre keluar dari rumah Halimansyah, menuruni tangga marmer dengan langkah berat. Saat sampai di halaman, ia menoleh ke belakang.
Lily berdiri di ambang pintu, hanya menatapnya.
Tak ada senyum. Tak ada isyarat.
Tapi dalam diam mereka seolah berkata:
Kita sama-sama dipaksa. Tapi mungkin—dalam keterpaksaan ini, kita bisa memilih satu hal: jangan saling menyakiti.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk memulai sesuatu yang—meski tak diminta—mungkin akan bertahan lebih lama dari pernikahan yang dimulai karena cinta semata.
...----------------...
Hari ini bukan tentang cinta, bukan tentang perayaan. Tapi tentang kontrak yang dibungkus dengan adat dan harga diri.
Gedung pernikahan itu terletak di kawasan Kebayoran Baru, bangunan tua berarsitektur semi-Eropa yang biasanya digunakan untuk acara kenegaraan kecil atau peluncuran diplomatik. Fasadnya berwarna krem pudar dengan atap mansard abu-abu dan tiang-tiang batu kokoh di beranda.
Halaman depannya lengang. Tak ada karangan bunga, tak ada tenda, tak ada pesta rakyat. Hanya deretan mobil hitam berplat khusus dan penjaga keamanan berseragam batik cokelat berdiri di titik-titik tertentu.
Di dalam aula utama, rangkaian bunga putih dan hijau tua ditata minimalis. Pelaminan hanya berupa kursi emas dengan latar belakang gorden tipis warna ivory. Segalanya formal, steril, dan nyaris tanpa emosi.
...****************...
Andre Suthajningrat berdiri di ruang persiapan pria, mengenakan beskap berwarna abu-biru dengan detail bordir halus di dada, dipadu kain batik parang klasik warna cokelat tua. Blangkon hitam menempel rapi di kepalanya, membuat wajahnya yang sudah tegas terlihat semakin berwibawa.
Wajahnya tak mengenakan banyak riasan, hanya bedak tipis dan sedikit concealer di bawah mata untuk menyamarkan kantuk yang ia rasakan sejak tadi malam.
“Siap, Mas?” tanya Dian, sekretarisnya yang siaga sejak pagi.
Andre mengangguk, menatap bayangannya di cermin. Dalam diam, ia tak bisa menghindari perasaan absurd—ia akan menikah sebentar lagi. Dengan perempuan yang baru dua kali ia temui. Dan semua ini terjadi hanya karena saudaranya menolak.
Bukan cinta. Bukan kemauan sendiri.
Hanya tanggung jawab yang dilemparkan seperti batu ke punggungnya.
...****************...
Di sisi lain gedung, Lily Halimansyah duduk di hadapan meja rias besar yang dipenuhi lampu-lampu kecil. Gaun kebaya putih gading yang ia kenakan sangat sederhana namun elegan, dengan detail renda bordir tangan dan selendang panjang dari tulle yang mengalir di punggung. Kain batiknya bermotif megamendung Cirebon berwarna biru keperakan, mempertegas garis tubuh rampingnya.
Makeup-nya flawless: foundation yang menyatu sempurna, blush tipis di pipi, dan lipstik nude rose yang membuat bibirnya terlihat lembut. Matanya disorot eyeshadow kecokelatan dengan eyeliner tipis yang mengikuti bentuk mata almond-nya.
Rambutnya disanggul rendah, dihias dengan sanggul bunga melati kecil-kecil di sisi kanan, menyisakan beberapa helaian anak rambut yang membingkai wajahnya.
Ia tampak sempurna.
Tapi di dalam, hatinya seperti ruang kosong bergaung.
“Non, ini… untuk masuk sesaat lagi,” kata salah satu panitia pelan.
Lily menarik napas. Ia berdiri.
Di cermin, ia menatap dirinya lama.
Cantik, tapi kosong.
...****************...
Para tamu sudah duduk di kursi berlapis kain putih dengan pita emas. Hanya sekitar 40 orang yang hadir, semuanya dari kalangan inti keluarga dan rekan bisnis pilihan. Tak ada kerabat jauh. Tak ada teman sekolah. Bahkan sahabat Andre maupun Lily tak ada yang diundang.
Yang duduk di barisan depan, keluarga Andre. Sultan Munier, mengenakan baju adat Jawa lengkap dengan keris.R. Bambang Sudiro Wulansyah dan Nyi Roro Anjani, yang tak berhenti menatap Lily seperti sedang menilai barang lelang.Tante Laksmi Wulandari, berbisik-bisik sambil mengomentari siapa yang seharusnya menikah dengan siapa.Andrea, duduk di samping Bowo dan Heru, tampak gelisah.Bowo, dengan wajah datar, menunduk nyaris sepanjang acara.Herianto Halimansyah, berdiri angkuh dengan jas hitam mengilap dan dasi merah darah.
Suasana aula makin sesak bukan oleh jumlah undangan, tapi oleh reputasi dan sejarah yang menyertai setiap tamu yang hadir. Dan di sudut kiri aula, rombongan keluarga besar Halimansyah. Tidak membawa hangatnya keluarga, melainkan label-label yang melekat di punggung mereka seperti warisan tak kasatmata.
Herianto Halimansyah, ayah Lily, tiba dengan istri barunya yang kedelapan, Diana, seorang mantan pramugari yang masih terlihat muda dengan gaun merah menyala dan heels tinggi yang tidak cocok untuk acara adat. Senyumnya dipasang lebar, namun tatapannya tajam saat duduk di samping Herianto.
Dari pernikahan ini, dua adik tiri Lily yang masih kecil, usia sekitar 5 dan 7 tahun, ikut hadir. Mereka berlarian di sekitar kursi, diawasi setengah hati oleh babysitter yang tampak lebih tertarik dengan layar ponselnya. Lily hanya melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya.
Tidak jauh dari mereka, dua adik tiri lain dari istri keempat Herianto, datang dari Singapura. Keyla, 20 tahun, mahasiswi jurusan Desain Komunikasi Visual di NTU, duduk dengan earphone di telinga dan wajah datar. Di sampingnya, Rafi, 17 tahun, siswa SMA International School yang lebih sibuk merekam suasana pakai ponsel dan sesekali mengeluh pelan.
“Aku bisa di rumah aja streaming drakor,” gumam Rafi, yang langsung ditegur pelan oleh tantenya.
Tantenya, salah satu dari keluarga besar garis keturunan Presiden Sondarto, datang berombongan. Pakde Mahfud, kakak tertua mendiang Presiden, duduk paling depan dengan jas tua dan tongkat kayu di tangan. Matanya yang redup tampak tajam saat memandangi prosesi.
“Lily mirip ibunya…” bisiknya pelan ke istrinya, Bu Hajjah Yuyun, wanita berkerudung tua dengan gelang emas menggelantung di pergelangan tangan.
“Iya. Tapi ibunya lebih bersinar. Dulu layar lebar selalu penuh kalau bintang utamanya Alia Ratnasari,” jawab Bu Hajjah sambil menyesap teh.
Alia Ratnasari, ibu Lily, dulu adalah bintang film populer era 90-an. Wajahnya pernah menghiasi layar bioskop se-Indonesia. Tapi hidupnya meredup setelah pernikahannya dengan Herianto berantakan. Alia meninggal lima tahun lalu karena komplikasi jantung, dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Lily tidak banyak bicara selama acara. Tapi dalam hatinya, ia merasa jauh dari siapa pun. Di sekelilingnya ada darah yang sama, nama keluarga yang sama, tapi tidak satu pun membuatnya merasa seperti bagian dari mereka.
Lily melangkah masuk ke aula dengan kepala tegak, langkah pelan tapi penuh kendali. Andre berdiri di sisi penghulu, menatap Lily mendekat.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, Andre merasakan jantungnya berubah ritme.
Lily… lebih cantik dari ingatannya.
Kebaya itu, cara dia berjalan, dan ekspresi tenangnya—seakan menolak tunduk pada siapa pun. Andre mengaguminya dalam diam. Bukan karena cinta, tapi karena kekuatan. Karena keberanian untuk berdiri dengan wajah datar di atas panggung yang dibangun oleh keputusan orang lain.
Lily pun tak bisa tidak menatap Andre dengan rasa penasaran yang tertahan. Di balik beskap dan blangkon, pria itu berdiri seperti tembok: kokoh, dingin, dan tak tergoyahkan. Tapi justru itu yang membuatnya… menarik. Karena di balik semua kontrol itu, Lily tahu ada luka lama yang serupa dengannya.
Saat ijab kabul dibacakan, Andre mengucap dengan suara rendah namun mantap. Suasana hening.
“Saya terima nikahnya Lily Halimansyah binti Herianto Halimansyah dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Tepuk tangan pelan menyusul. Doa dibacakan. Wajah-wajah tersenyum tipis. Tapi tidak ada mata yang benar-benar bersinar bahagia.
Andre dan Lily duduk berdampingan di pelaminan kecil. Tak ada sesi resepsi. Hanya foto bersama keluarga yang terlihat lebih seperti sesi dokumentasi politik daripada perayaan cinta.
Ketika Andre dan Lily duduk di pelaminan untuk sesi foto formal, suasana makin jelas terasa tidak hangat.
Andrea, yang mengenakan kebaya biru pastel dan konde sederhana, berdiri mendekati Andre setelah sesi keluarga inti. “Selamat, Dre,” ucapnya pelan. Ia menatap Lily sejenak, lalu menambahkan, “Kamu beruntung menikahi perempuan seperti dia.”
Andre hanya mengangguk. “Aku tidak yakin siapa yang lebih beruntung. Atau lebih terjebak.”
Andrea tersenyum tipis. “Mungkin keduanya.”
Tak lama kemudian, Heru datang menyodorkan tangan. “Selamat datang di dunia orang menikah, Bro. Kalau butuh tips soal perempuan, bilang saja. Aku udah pengalaman… banget.” Ia terkekeh.
Andrea melotot padanya, tapi Heru sudah berjalan pergi seperti biasa—tanpa rasa bersalah.
...****************...
Setelah acara selesai, Andre dan Lily diantar ke Hotel Raffles oleh rombongan kecil. Tak ada sorak-sorai, tak ada riuh perayaan. Hanya suara kendaraan dan lampu jalan Jakarta yang menyinari diam mereka.
Di dalam mobil, mereka hanya duduk diam.
Lily membuka jendela sedikit, membiarkan angin malam masuk.
“Keluargamu… warna-warni,” ujar Andre akhirnya, setengah bercanda.
Lily menghela napas. “Dan keluarga besar kamu… penuh senjata tajam tak terlihat.”
Mereka tertawa kecil—tawa pertama sejak pagi. Hanya sedetik. Tapi itu cukup untuk menciptakan ruang tipis antara mereka. Ruang yang belum ada cinta, tapi sudah ada pengertian.
“Kadang kita tidak bisa memilih keluarga, tapi kita bisa memilih bagaimana kita bertahan.”
— Kalimat ini melintas di benak Andre, saat mobil mereka berhenti di depan hotel.
......................
Mereka dibawa ke Hotel Raffles Jakarta, menginap di presidential suite lantai 21. Kamar luas, berlapis marmer dan karpet wol Persia, dengan dua kamar tidur berbeda yang dipisahkan ruang tengah bergaya kontemporer.
Lily berjalan lebih dulu ke sisi kamarnya. Gaun pengantin sudah diganti dengan piyama sutra putih yang longgar. Rambutnya diurai, wajahnya sudah dibersihkan dari makeup. Tapi matanya… tetap menyimpan pantulan kosong.
Andre membuka jasnya, menyampirkannya di sofa. Ia hanya mengenakan kaus abu dan celana panjang gelap, berdiri di balkon sambil menatap kota yang bersinar dari jauh.
“Kamu tidak perlu pura-pura nyaman,” ujar Lily dari ambang pintu kamarnya. Suaranya tenang.
Andre menoleh. “Aku juga tak berharap kamu berpura-pura bahagia.”
Mereka saling memandang dalam diam.
Lily bersandar di kusen pintu. “Kita tidur di kamar terpisah, kan?”
“Tentu. Aku tidak akan menyentuhmu tanpa izinmu. Atau tanpa alasan yang masuk akal,” kata Andre, pelan.
Lily tersenyum tipis. “Bagus.”
Ia menutup pintu.
Dan malam itu, mereka berdua tidur… dalam keheningan masing-masing.
Di dua kamar berbeda, di dua kasur besar yang terlalu dingin.
Tapi di dalam hati mereka, satu hal tumbuh pelan: rasa saling menghargai.
Dan kadang, itu lebih berbahaya daripada jatuh cinta.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!