NovelToon NovelToon

Mahabbah Rindu

BAB 1 : Pulang

Sore itu Nur menepati janjinya untuk pulang.

Memenuhi keinginan bapak dan ibu Farhan. Meski tak tahu apa tujuannya

Keluarga Farhan adalah orang yang sudah merawatnya sejak masih bayi hingga sampai dia sebesar ini. Tak ada alasan untuk tidak mempercayai mereka.

Perlakuan mereka terhadap dirinya, tak beda dengan sikap mereka kepada kakaknya, yang merupakan anak kandung mereka berdua. Tak pernah membeda-bedakan. Semua sama dalam kasih sayang, perlakuan, bahkan benda-benda yang ingin mereka miliki.

Terlihat senyuman menghias wajah cerianya. Ketika langkah kakinya memasuki pelataran rumah. Seakan ingin memberi kabar, bahwa lembayung senja tak semuram dengan cerita yang pernah didengarnya.

Whuuuaaaalah ...

Maaf, dapat contekan kata-kata romantis kakak.

"Assalamu'alaikum ..., Kak Nadya." Kusapa

Kakakku yang selalu ceria dan penuh cerita. siapa lagi kalau bukan kak Nadya Aminatus Shoffa.

Aku melihat mbak Nadya sedang bersih-bersih ruang tamu, yang penuh dengan tanah. Perbuatan siapa lagi, kalau bukan perbuatan keponakanku tersayang. Si kembar, Novi Auliyaur Rohimah dan Noval Auliyaur Rohman

"Wa'alaikum salam ..., Nur."

Ritual teletabies. Berpelukan ....

Kehangatan yang biasa kami lakukan ketika berjumpa.

"Mana keponakanku?"

"Lagi bersenang-senang sama abinya. Lebih tepatnya ngerjain abinya ...."

"*Kok?!"

"Ya ... tuch lihat!"

Tak berselang lama melintas di depan rumah, kakak ipar Hamdan As Syauki, yang sedang menarik 'gledegan' dengan susah payah. Sedangkan, Novi dan Noval naik di atas 'gledekan' dengan tertawa, sambil memberi semangat.

"Jauh-jauh dari kota, yang dicari cuma 'gledegan' ". kataku sambil berlalu.

Rasanya punya keluarga seperti kakak, pasti akan menyenangkan dan senantiasa bahagia.

Teringat kata ustadzah TPQ dulu, kalau sedang tanya kabar pada kita. Pasti ada kata, senantiasa bahagia. He ... he ... he ....

"Ibu sama ayah di mana, Kak?"

"Ayah ke rumah haji Shodikin. Ibu di dapur."

"Udah, Kak. Aku ke ibu dulu."

"Ya, sudah. Sana!"

Aku meninggalkan kakak yang sudah hampir selesai membereskan kamar tamu. Tumben kursi-kursinya kok dikeluarkan. Dan itu karpet untuk apa?

Ah tak tahulah ....

Aku teruskan jalanku menuju dapur, untuk menemuai orang yang kurindu. Kata-katanya ... kelembutannya ... perhatiannya ... serta paket komplit lainnya.

"Assalamu'alaikum wr.wb." Aku hampiri ibu yang sibuk memasak.

"Eh ... Nur. Alhamdulillah kamu sudah pulang."

"Ya, Bu."

Kulihat ibu memasak tak seperti biasanya. Dan itu kenapa ada kue-kue pesanan dan tambahan masakan pesanan.

"Bu, mau ada acara ya ..., kok masak banyak banget."

"Ya ... Nur. Ini untuk acaramu."

"Acara Nur, Bu?!"

"Ada yang menginginkanmu."

"Maksud ibu?!"

Aku benar-benar tak tahu dengan semua ini. Apa yang dimaksud mereka ....

"Ba'da isya' teman ayahmu datang, keluarga besar ...."

"Ibu ... aku benar-benar nggak ngerti."

"Jangan dipikirkan. Mandilah dulu. Agar kamu segar."

Ingin diriku bertanya lebih jauh , tapi ku urungkan. Karena ibu ku lihat lelah. Biarlah semua pertanyaan ini, aku simpan dulu.

"Nur mandi, Bu."

"Ya, Nak."

Aku berlalu dari hadapannya dengan pertanyaan yang menyesakkan. Benarkah aku akan dijodohkan. Kenapa mereka tak memberitahuku terlebih dahulu.

Apa mereka begitu percaya padaku, bahwa aku bisa menerima semua keputusan mereka.

Aku balik lagi ke depan, ingin menemui mbak Nadya. Mungkin dia bisa memberi penjelasan.

Begitu melihat diriku, mbak Nadya mengibaskan tangan.

"Mandilah dulu, nanti kakak tunggu di kamarmu. Oke!"

Ah semuanya tiba-tiba membuatku bertanya. Tak ada penjelasan apa-apa, sekedar untuk mengurangi gelisahku terhadap peristiwa yang sedang mereka siapkan untukku.

Ku turuti saja saran mereka, untuk segera mandi, membersihkan diri. Agar tubuh ini segar. Sebagai haknya yang telah kugunakan lama dalam perjalanan, antara Bandung sampai Klaten sini.

Segarnya air pegunungan yang mengguyur tubuhku, terasa benar di kulitku. Lelah sesaat lalu, kini hilang bersama perginya air yang mengalir, meninggalkan diriku lari ke dalam got-got di bawah sana.

Kini dengan pikiran yang mulai terang dan siap untuk menerima penjelasan, aku memasuki kamarku.

Ternyata Mbak Nadya tidak mengingkari janjinya. Menunggu diriku dengan santai duduk di depan meja belajarku.

Meja belajar yang ku gunakan sejak ku SMP hingga SMA di kotaku tercinta ini. Sebelum melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negri di kota Bandung.

"Mbak. Sebenarnya ada apa?"

"Maafkan kami, Nur. Kami belum sempat memberitahumu."

"Aku tak mengerti maksud semua ini, Kak?"

"Sebenarnya sejak lebaran kemarin, mereka ingin menjalin kekeluargaan dengan ayah.

Tapi ayah tak mau mengganggumu. Ayah hanya diam, tak menerima maupun menolak.

2 minggu yang lalu, mereka meminta agar kalian dipertemukan. Siapa tahu berjodoh."

"Apakah selama ini kamu pernah dihubungi seseorang, untuk sekedar ta'arufan denganmu?"

"Seingatku semenjak lebaran hingga sekarang, aku tak pernah dihubungi ikhwan."

"Masak! ... tapi mengapa mereka begitu cepat memutuskan itu."

"Maksud kakak?"

"Mereka ingin melamarmu hari ini."

Mungkin ini yang namanya mendengar petir di siang bolong. Tak terasa aku seperti tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Hingga membuat diriku terdiam seketika.

Nadya pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Nur dengan kasih sayang.

"Apakah dia bernama Bahrul?"

"Iya,"

"Ibu pernah bicara ke aku, tapi kukira saat itu hanya main-main. Aku tak mempedulikannya."

"Mengapa?"

"Karena aku ingin melanjutkan kuliah dulu. Dan kukira sudah berhenti sampai di situ saja. Karena tak ada lagi kabar tentang hal itu, sampai hari ini."

"Lalu menurutmu, bagaimana?"

"Maaf Kak, kapan mereka akan datang?

"Ba'da isya'."

"Izinkan aku sholat dua rekaat dulu. sehabis maghrib ini. Maaf kalau aku tak bisa bantu ibu dan kakak, untuk mempersiapkannya."

"Ya, Nur. Sabarlah, siapa tahu ini jodohmu."

"Ya, Kak."

"Ini ada hadiah dari kakak, bisa kau pakai malam ini."

"Terima kasih, Kak."

Tak lama kemudian suara adzan maghrib terdengar dari masjid yang ada di kampungku. Aku melihat ibu dan bapak serta kakak ipar berangkat ke masjid. Noval dan Novi juga ikut bersama mereka.

"Kakak nggak ke masjid?"

"Kakak nemenin kamu saja sholat di rumah."

Setelah keduanya sholat, Nadya melanjutkan pekerjaannya, mempersiapkan acara penyambutan keluarga yang akan melamar Nur Aini, adiknya. Sebentar lagi akan datang.

Sedangkan Nur Aini sendiri masih melanjutkan sholatnya. Bermunajat pada yang kuasa. Mengadukan segala resah yang kini dirasakannya.

Bukankah telah diajarkan padaku,

Maka mohon pertolonganlah kalian semua dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya hal itu sesuatu yang sangat luar biasa besar (berat) kecuali bagi orang-orang yang khusyu'

Qs. 2: 45

Dengan bersimpuh di atas sajadah, Nur Aini menunduk. Berseru lirih pada yang maha Pendengar dan Penuh Kasih.

"Wahai Robbku yang Maha Tahu dan senantiasa kurindu.

Aku tak tahu apa yang engkau tetapkan untukku, tentang rizkiku, tentang usiaku, tentang jodohku, tentang bahagia dan sedihku. Semua masih rahasia untukku.

Maka ampuni aku bila meminta sesuatu,yang aku tak tahu baik-buruknya bagiku. Yang kadang sering aku salah sangka pada takdirmu. Sungguh wahai Robbku ....ampuni aku.

Jika yang kau datangkan padaku hari ini, jodoh yang engkau pasangan diriku dengannya sudah tertulis di lahful mahfud maka itu suatu kebaikan bagi hambamu ini.

Jika bukan dia, aku berpasrah diri padamu. Karena engkau yang maha tahu.

Akan Engkau titipkan pada siapa ,kasih yang Engkau beri padaku. Karena Engkau Maha Kasih.

Salam shalawat atas nabi pilihanmu. aamiiin.."

BAB 2 : Lamaran.

Seandainya aku bisa mengulur waktu, tak ingin ku berada di situasi saat ini. Kami belum pernah bertemu, tahu-tahu sudah lamaran.

Bagaimana mungkin, bapak dan ibu seakan tak berdaya, dengan kemauan calon besannya.

Meski hati bimbang, Nur keluar kamar juga. Dengan memakai baju yang diberi oleh Nadya. Ikut membantu Nadya mempersiapkan segala keperluan, dalam menyambut tamu yang akan datang.

Tapi kegelisahannnya, membimbing Nur Aini menghampiri ibu Farhan. Mungkin dia akan mendapatkan penjelasan, agar resah yang dia rasakan, bisa terkurangi.

Belum sempat dia ungkapkan apa yang dia pendam di dadanya. Ibu Farhan telah mendahului.

"Nur, maafkan ibu."

Nur memeluk bu Farhan, keinginan untuk bertanya dia urungkan. Rupanya itu juga menjadi beban bagi bu Farhan. Gerangan apa yang disembunyikan oleh bapak/ibu Farhan dariku.

"Tak apa-apa, ibu. Aku rela."

"Terima kasih, Nak. Semoga kelak engkau dapatkan kebahagiaan."

"Ibu tak bisa menceritakan siapa dia yang menginginkanmu. Yang ibu tahu mereka teman ayahmu. Yang telah lama di kerja di Oman."

"Apakah Nur harus ikut mereka ke Oman."

"Bukann begitu, Nak. Putranya yang akan menikah denganmu. Dia tidak ikut orang tuanya. Dia tinggal di Indonesia."

Kemudian ibu Farhan menyibukkan diri kembali. Mempersiapkan semuanya hingga rapi hingga deteil-deteilnya. Terkadang diselingi oleh keusilan keponakanku.

"Nek, ini boleh dicicipi?"

"Boleh."

Ternyata mencicipinya tidak cukup satu. Habis satu dimakan, ambil lagi. Hingga tak terasa kue satu toples tinggal separuh.

Kayaknya, waktu aku masih kecil, juga seperti itu dech ....

"Noval, Novi ... tamunya nanti tak kebagian dong."

"He ... he ... he ...." satu tangkup ada di tangan, baru mereka pergi meninggalkannya.

Sholat Isya sudah selesai dilaksanakan. Tampak orang-orang sudah mulai turun dari tempat sholat. Tak lama kemudian tamu yang ditunggu-tunggu datang juga.

Entah berapa banyak hantaran yang di bawa. Sampai-sampai kak Nadya dan diriku harus bolak-balik. Ditambah dengan Noval dan Novi yang membantu dengan hati riang.

Rupanya mereka keluarga besar, sehingga 2 mobil terlihat penuh terisi. Aku tak tahu ini lamaran atau kunjungan antar keluarga. Kok sebegini banyak orang yang diajak. Untunglah ibu menyiapkan cukup banyak hidangan.

"Nur, sini!" Ibu memanggilku.

Aku berjalan menghampirinya, duduk di sampingnya.

Setelah berbincang-bincang penuh kehangatan, layaknya dua keluarga yang sedang bertemu. Akhirnya acara resminya terutarakan dengan jelas.

Seoranag pria dengan membawa bingkisan yang terbungkus indah, berjalan melewati ruang tamu, tempat para pria bercengkrama menuju ke ruang tengah. Dimana kami, para wanita berkumpul.

"Nur, berdirilah!"

"Mbak Nadya." aku berbisik lirih pada kakak yang duduk di sampingku. Aku benar-benar ragu, tapi tak mampu berbuat apa-apa.

Mbak Nadya hanya menepuk lembut pundakku. Memberiku kekuatan. Meski aku rasakan bahwa dia juga sebenarnya ragu.

"Bismillah, Nur."

Aku memberanikan diri, untuk berdiri. Menghampiri lelaki itu yang telah tiba terlebih dahulu, di tengah-tengah antara ruang tamu dan ruang tengah.

Tak berani aku menatap pria itu. Entah dia tersenyum, entah dia gelisah seperti yang kurasa saat ini. Dengan keringan dingin yang mulai keluar di telapak tangan dan dahiku. Aku tak tahu ....

Sambil menyerahkan bingkisan itu, dia berbisik,

"Nur Aini fil Islam. Harusnya kamu buka cadarmu. Agar aku bisa melihatmu. Bukankah aku ke sini untuk melamarmu?!"

Subhanallah!...

Apa aku tak salah dengar. Ada apa dengan laki-laki ini. Meski yang dikatakannya benar. Tapi apa dia tahu, aku masih bingung dengan keadaanku saat ini. Kenal saja tidak.

Ya kalau bisa lanjut ke pernikahan, kalau tak ....

Rasanya kata-kata itu telah mengintimidasiku.

Untunglah aku memakai cadar, sehingga perubahan raut wajahku, tak ada yaang mengetahui.

"Kalau saatnya tiba." jawabku singkat. Lalu kualihkan pandangan kepada ibu dan mbak Nadya yang tersenyum menatap kami.

Beberapa orang mengabadikan moment itu. Lalu, seorang wanita separuh baya mendekati kami,

"Bahrul, mana cincinnya. Biarlah umi yang menyematkan!"

Dia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak kecil berwarna merah. Lalu membukanya.

Satu cincin dia berikan pada uminya. Yang diterimanya dengan meraih jari manisku. Lalu secara berlahan, cincin itu dia sematkan padaku.

"Terima kasih, Nak.Kamu telah menerima lamaran, untuk putra kami." dia berkata sambil memelukkku.Dari balik cadar, aku tersenyum.

Setelah itu, kami kembali ke tempat masing-masing. Dia kembali ke ruang tamu. Sedangkan diriku meninggalkan mereka semua, kembali ke kamarku. Untuk meletakkan bingkisan itu .

Sambil menenangkan perasaanku yang terbawa gelisah, oleh kata-kata yang baru saja kudengar dari bibirnya.

"Nur ." Suara mbak Nadya memanggilku.

Kulihat dia telah berdiri di tengah pintu sambil menyingkap tirai.

"Jangan di kamar saja. Temui mereka."

"Ya, Mbak."

Aku mengikuti langkah mbak Nadya. Mempersilahkan para tamu untuk menikmati hidangan yang sudah ibu sediakan.

Kulihat kak Hamdan melambaikan tangan kepada mbak Nadya.

"Mbak Nadya, itu dipanggil sama kakak ipar."

Mbak Nadya menoleh. Lalu kutinggalkan mereka yang bicara memakai bahasa isyarat. Aku melanjutkan menemani para tamu menikmati hidangan dan bercengkrama.

"Nur, sini ikut kakak." Sambil menepuk pundakku.

"Ada apa, Mbak?"

"Sudah, ikut saja."

Mau tak mau, aku mengikuti langkahnya. Tak tahu mau membawaku kemana.

Mbak Nadya mengajakku melangkah, melalui samping rumah menuju beranda. Di sana telah telah menunggu kakak ipar dan Bahrul yang sedang mengobrol santai.

"Nur ... "Panggilnya. Terlihat dia terkejut. Menatap kami berdua datang.

"Ku lihat kalian belum berkenalan. Aku berinisiatif untuk mengajak kalian ngobrol. Nggak keberatan?" kata kak Hamdan.

"Nggak,"jawabnya ringan.

Ternyata ini, maksud mbak Nadya mengajakku kemari. Rasanya canggung, aku berada di tengah-tengah mereka. Apalagi Bahrul sepertinya tak peduli dengan keberadaanku di sisinya. Hanya sesekali dia menyapaku.

"Nur, kamu sekarang masih kuliah."

"Masih Kak. sebentar lagi selesai."

"Oh ..."

Sudah hanya kata itu saja yang kudengar. Habis itu ya ... sudah. Tak ada lagi obrolan.

Nyaris sepi tanpa suara.

Tetapi ketika mbak Nadya dan kakak ipar meninggalkan kami berdua. Baru kami mencoba mengobrol yang tujuan nggak tahu.

"Kenapa kamu tak mau buka cadarmu. Sekarang kita sendiri."

"Haruskah?" aku dibuatnya terkejut dengan permintaan yang aneh itu.

"Sebenarnya aku tak tahu tujuan perjodohan ini. Yang aku tahu, aku tak mau menyakiti abah."

"Apakah kakak merasa tak nyaman?"

"Aku tak tahu harus bagaimana. itu saja."

"Mengapa kakak katakan itu. Dan kakak menyetujui proses lamaran ini?"

"Harus bagaimana, mereka yang menginginkannya."

"Lalu?"

"Aku malas untuk membahas."

Mendengar pengakuannya, aku sendiri juga tak tahu harus bagaimana.

"Kak, bisakah kita batalkan. Kalau kakak nggak nyaman."

"Tak semudah itu."

"Apakah kakak akan mengorbankanku."

"Mengorbankanmu?" terlihat nadanya mengejek.

"Justru kamulah yang diuntungkan dengan perjodohan ini."

"Apa maksudmu, kak Bahrul."

BAB 3 : Nur dan Aku

"Keuntungan buatku?"

Kurasa gemuruh amarahku bergejolah di dada ini, mendengar kata-kata itu.

"Baiklah kalau begitu."

Segera kulepas cincin yang beberapa saat lalu tersemat di jari manisku.

"Gila !?"

"Apa yang kamu lakukan?"

Lèbih baik aku diam. Dari pada aku mengeluarkan amarahku yang sudah memuncak, siap untuk meledak.

Tapi rasa ini sangat menyesakkan. Hingga air mataku tak terasa keluar dengan sendirinya.

"Aku tak mau bermain-main untuk pernikahan."

"Lalu?"

"Aku sendiri tak tahu tujuan perjodohan ini untuk apa. Yang ku tahu Bapak, ibu sepertinya juga tertekan dengan masalah ini."

"Maumu?"

"Kita yang menjalani, kita yang putuskan."

"Kamu terlalu berani."

"Akankah aku akan mengikuti imam yang hanya maunya sendiri. Tak mungkinlah."

"Aku tak punya keberanian sepertimu."

"Bagaimana mungkin, kamu seorang laki-laki?"

"Kali ini aku mengalah padamu. Pakailah!"

"Tak mungkin. Kamu sama sekali tak bisa menghargaiku. Aku tak bisa."

"Ya, kalau itu maumu. aku tak menghalangi."

"Itu lebih baik."

Aku meninggalkannya seorang diri. Lepas sudah beban yang ada. Meski aku tak tahu akhirnya dimana.

"Hai sudah selesai ngobrolnya?" Kak Nadya menemui kami.

"Nggak ada yang perlu diomongkan lagi." aku berlalu begitu saja tanpa berpamitan dengannya.

"Ada apa denganmu, Nur."

"Ada apa dengan kalian?" Hamdan melihat tajam ke arah Bahrul.

"Nur tak menginginkan pernikahan ini."

"Mengapa?"

"Aku tak tahu."

"Dan kamu?"

"Aku tak perduli dengan ini semua."

"Maksudmu?"

"Sejak awal aku tak punya keinginan sedikitpun atas pernikahan ini."

"Lalu?"

"Maafkan aku."

"Kamu harus bisa jelaskan pada keluarga."

"Tidak saat ini."

"Menunggu kamu bisa menikahi adikku. Dan adikku merasa terhina. Begitu maksudmu."

Hampir saja telapak tangan Hamdan melayang, kalau saja Nadya tidak mencegahnya.

"Sejak pertama, orang tuamu menghendaki untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Kamu hanya diam. Seolah-olah kamu mengiyakan keputusan mereka."

"Maafkan."

Bahrul hanya menunduk, tak punya keberanian mengangkat wajahnya.

"Benar keputusan , Nur."

Lalu Nadya dan Hamdan meninggalkan Bahrul sendiri. Terduduk di kursi beranda.

Tak lama, Bahrul juga beranjak dari tempat itu. Dengan meninggalkan cincin pertunangannya tergeletak di atas meja. Mendekati abahnya. Mengatakan sesuatu dengan berbisik. Terlihat abah Arif mengangguk

Lalu dia berdiri dengan enggan. Memberi salam pada semua. Berjalan menyusuri jalan yang sepi dan gelap. Hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang tersenyum malu. Meninggalkan tempat yang seharusnya jalan untuk kebahagian untuk sebagian besar orang.

Namun tidak untuk dirinya. Seorang hamba yang telah berlumur dosa. Hingga meninggalkan jejak di tubuhnya yang tak mungkin dia ungkap. Bahkan pada orang tuanya sekalipun.

Bulir-bulir air mata tak sanggup lagi untuk dibendung, dalam danau kecil di bening matanya. Tak menghentikan langkahnya, untuk menjauh dari tempat ia menebar dan membakar amarah, dari orang yang ingin dia cinta.

Cukup jauh dia melangkah, hingga tak terasa

mengarah pada sebuah sendang, di dekat sebuah Masjid kecil nan asri. Meski dalam bayangan yang samar.

Terdengar suara gemiricik air yang mengalir, menggoda untuk disentuh dalam damai.

Berlahan dia turun dimana suara gemericik itu ada. Membasuh air matanya hingga menyatu dalam rasa dingin dari embun yang mulai turun. Untuk hilangkan sedikit keresahan yang selama ini dipendamnya.

Setelah itu dia melangkah pada jalan yang sedikit mendaki untuk mencapai gerbang masjid untuk bersujud.

Di kesendiriannya mencoba untuk mengadukan semuanya.

Dalam air matanya, dia mencoba berbisik pada Yang Maha Pendengar. Meski lirih dia ucapkan.

Ampuni hambamu,

Wahai Robbku yang penuh Kasih

Biarlah kemarahan yang kucipta membakar diriku yang tiada arti lagi.

Aku hanya tak ingin menyakitinya lebih jauh lagi.

Sekali lagi

Ampuni aku atas semua ini

Sejenak dia duduk menatap langit yang jernih tak berawan. Indah dengan bintang yang bertebaran. Kerlipnya semitsal mutiara. Membimbing khayalnya untuk melukiskan wajah seseorang. Yang telah dinantinya sejak 17 tahun silam. Namun tiada sangkah kalau dirinya akan menemukannya jua.

💎

Nur Aini fil Islam. Itu adalah sebuah nama yang selalu ku ingat semenjak kelas 7.

Adalah gadis kecil yang selalu dibawa bu Farhan ketika bekerja di tempatku.

"Kakak ...." sambil berteriak, dia berlari ke arahku. Ketika sepasang ayam talkun terus mengejarnya

Dia dengan cepat berpegangan erat di kakiku. Lalu bersembunyi di belakangku. Dengan rasa takut dia mengibas-ngibaskan tangannya agar ayam itu pergi. Membuatku tertawa.

"Kenapa?"

"Ayamnya nakal."

Lalu kuraih tubuh kecilnya dalam gendonganku. Mengajaknya ke dalam kamar.

Disana meja belajarku pasti akan diacak-acaknya. Tapi biarlah ....

Habis gemesin banget. Digoda sedikit, ngeeek .... nangis tapi hanya sebentar.

"Ayo bergaya ..." dengan centilnya dia mengikuti arahanku. Dan ceklik ...

Lupa dech ... dengan tangisnya.

Inisiatif dan tak mudah mengalah.

Adik yang menyenangkan.Membuatku kangen untuk segera pulang. Dan berjumpa dengannya. Dengan membawa hadiah kecil yang selalu dia nanti.

Begitu aku datang, dia akan mengikutiku terus, hingga ke dalam kamar. Lalu tanpa permisi membuka tasku. Dan mengeluarkan semua isinya. Sampai menemukan hadiah yang dia cari. Tak perduli meski aku dari sekolah. Pasti dia akan cari hadiah itu sampai ketemu. Kalau nggak, dia pasti akan menghukumku.

Ini anak pembantu sama tuannya nggak ada takutnya ....

Terkadang membuat bu Farhan tak enak hati, atas tingkah laku putri kecilnya itu. Tapi ummi dan abah malah senang dengan tingkah laku Nur yang lucu itu. Dan membiarkan dia bermain-main denganku. Bahkan tertidur di kamarku. Atau ketika aku mengajaknya makan bersama. Mereka sama sekali tak keberatan dan tak ambil pusing.

Mungkin mereka sudah tak mungkin memberiku seorang adik.

Ini karena ummi pernah terkena kanker rahim. Hingga harus merelakan rahimnya diangkat.

Hari-hari bersamanya sangat menyenangkan. Hanya sayang kami harus berpindah tempat tinggal. Mengikuti abah kemana dia bekerja. Sehingga aku harus berpisah dengan adik kesayanganku.

Ingin rasanya aku mengajaknya pergi bersama kami. Tapi Ummi dan abah keberatan. Takut kalau kenapa-napa. Apalagi pak Farhan dan bu Farhan juga menahannya.

Meski kutahu Nur itu bukan putri mereka. Tapi kasih sayang mereka sungguh luar biasa. Sehingga Nur akan sulit terpisah dari mereka.

Abah dan Ummi tak keberatan waktu aku mengajak ke bandara. Tentu dengan ditemani ibu dan bapak Farhan dan keluarga.

Nur kecil memakai baju yang dibelikan ummi . Berwarna pink pastel dengan kerudung senada dengan gambar froze. Tampak lucu dan unik. Dia selalu menutup wajahnya dengan ujung kerudungnya hingga tak terlihat. Membuatku gemas.

Dia mengikutiku dari belakang dengan menggandeng tanganku. Maksudnya ... aku yang menggandengnya.

"Kakak akan pergi ya ..."

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaanya.

Aku melihat mata yang sayu dan sedih seakan ingin menangis.

Makanya dia tutup wajah imutnya dengan kerudung. Hingga ku tak bisa mencium pipinya yang tembem itu.

Untunglah di depanku ada supermarket yang ada es krimnya. Segera kuajak ke sana sebentar. Membelikan 2 es cream kesukannya.

Dia tertawa tapi masih menutup wajahnya.

"Bagaimana bisa makan es cream kalau wajahmu, kau tutupi."

Lalu dia melepas ujung kerudung yang menutup wajahnya dan meraih es cream yang ku beri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!