NovelToon NovelToon

Reinkarnasi Menjadi Istri Sang Kapten

Bab. 1

Seorang wanita yang mau balap liar dengan musuhnya. Ia terpaksa melakukan ini, demi bisa bertahan hidup yang kejam. Walaupun ia mempunyai pekerjaan sampingan, tapi tidak cukup untuk membeli apa yang diinginkannya. Di tambah lagi, ia seorang yatim-piatu dan tidak memiliki keluarga.

"Wulan!"

"Wulan! Semangat! Aku padamu, sayang!"

"Ayo, kamu pasti bisa! Aku mencintaimu!" teriak seorang pria, melainkan kekasih Wulan sendiri.

Wulan menutup helmnya, mulai bersiap dan menunggu aba-aba wanita di depannya. Sudut matanya melirik ke arah musuhnya, yang tengah mengejeknya kali ini.

Saat kain merah jatuh ke jalanan, Wulan langsung menaikan kecepatan motor sport temannya dan melaju kencang.

Semua orang bersorak-sorai gembira, sambil menyebut nama Wulan yang tidak pernah kalah biasanya.

Wulan merasakan sesuatu yang tidak beres, motornya sulit dikendalikan dan rem tidak berfungsi sama sekali.

"Aaaaaaaa .....!"

Bruaaakkkk ...

Wulan terlempar cukup jauh, tubuhnya terasa berat seperti batu dan nyeri tidak tertahankan menghantam setiap inci tubuh. Motornya menghantam trotoar jalanan setelah ia mencoba menghindari seorang pejalan kaki. 

Masih tersadar, Wulan bisa merasakan rasa metal di mulut, darah yang mengalir hangat di lidah, namun tubuhnya mulai lemah. 

Musuh mendekat, wajahnya dingin dan senyum sinis terpampang jelas di depan. "Cckckck ... rem motormu tidak berfungsi, ya? Kamu tahu tidak, kekasihmu dan teman-temanmu mengkhianatimu dari belakang? Mereka sengaja melakukan ini agar kamu kecelakaan dan mati!" Suaranya terdengar menusuk, setiap kata yang dia ucapkan seperti belati tajam menusuk jiwa Wulan. 

Wulan tidak bisa berkata apa pun, mulutnya terasa terkunci, tetapi telinga ini mendengar jelas ucapannya. "Apakah itu benar? Kekasihku ... teman-temanku? Tidak mungkin! Mereka tidak mungkin tega melakukan ini kepadaku. Tapi kenapa ucapannya begitu yakin? Apa yang sedang terjadi?" batinnya. Pikiran ini berkecamuk di kepala sementara rasa nyeri di tubuhnya semakin menjalar. Seketika pandangan menjadi gelap. 

Bagian belakang kepala Wulan sepertinya sudah terbentur cukup parah, menyebabkan suara riuh orang-orang yang mendekat hanya terdengar samar di telinga. 

Wulan mulai kehilangan kesadaran, tapi sebelum semuanya benar-benar menghilang, bayangan kekasih dan teman-temannya hadir dalam pikiran. "Apakah mereka benar-benar mengkhianatiku? Atau ini hanyalah kebohongan musuhku? Kenapa aku harus berakhir begini?"

"Wulan! Bangun! Jangan tinggalkan aku, bangun!" kekasihnya itu, langsung memangku Wulan yang sudah tidak bernyawa lagi.

Mereka tidak percaya apa yang terjadi, Wulan sudah tidak ada di dunia ini. Tubuhnya langsung di bawah ambulance untuk ke rumah sakit. 

*****

Sedangkan di alam lain, sebuah taman yang luas dan hijau. Hembusan angin sepoi-sepoi menyapu rerumputan yang hijau.

Seorang wanita yang tengah berbaring di atas rerumputan mulai bangun, ia tengah kebingungan dan memegang kepalanya sedikit sakit. "Di mana aku? Apa aku masuk ke surga? Masih ingat aku mengalami kecelakaan tadi, dan .... apa benar, mereka mengkhianatiku?" katanya pelan, mencoba mengingat kembali.

"Kamu tidak di surga saat ini, tapi ada dimensi lain dan tentukan pilihanmu," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang kepadanya.

Wulan menyipitkan bola matanya, bingung darimana dia datang dan barusan tidak ada di belakangnya. "Siapa kamu? Lalu di mana kita?" 

"Namaku Livia, dan saat ini kita berada di dimensi lain. Kehidupan yang aku jalani di dunia telah berakhir dengan cara yang menyakitkan, tapi mungkin di sinilah tempat untuk membuat semuanya jelas. Aku tidak bisa melanjutkan dengan semua rasa sakit yang dulu aku tanggung, tapi kamu, Wulan, mungkin bisa menyelesaikan semuanya untukku. Mari kita bekerja sama," katanya dengan nada penuh kepastian. "Aku mati karena bunuh diri." Kalimat itu meluncur dari bibirnya, meski tahu itu mengejutkan bagi Wulan. "Awalnya hanya ingin bercanda, ingin melihat reaksi suamiku, tapi ... malah berakhir sungguhan. Kini aku tidak lagi merasa penyesalan itu menguasai diriku." 

Wajah Livia memancarkan ketenangan yang mungkin mengganggunya, seperti badai yang baru saja reda tapi meninggalkan jejak kehancuran. 

Wulan menatap Livia dengan mata yang penuh kebingungan, mencoba mencerna semua kata-katanya. "Aku tidak bunuh diri," ucapnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku meninggal karena kecelakaan balap liar. Tapi ada yang mengatakan bahwa motorku sengaja dirusak oleh seseorang—seseorang yang aku anggap dekat denganku. Apa benar itu? Apakah aku telah dikhianati?" 

Wulan merunduk dan menggigit bibirnya, duduk di atas rerumputan hijau yang basah oleh embun. Wajahnya tampak penuh dengan kekhawatiran, tapi juga keinginan untuk mencari kebenaran. 

Livia menarik napas panjang dan mendekatinya, mencoba menyampaikan rasa simpati. "Wulan, kamu bisa mencaritahu semuanya," katanya dengan penuh keyakinan. "Namun, ada satu hal yang perlu kamu lakukan. Jiwamu harus masuk ke tubuhku, hanya dengan begitu kamu bisa melakukan apa pun di dunia. Tapi tentu ada syaratnya." Ia menyunggingkan senyum, menatap wajahnya yang mulai terlukis rasa penasaran. "Apa kamu mau?" 

Wulan tetap terdiam, mungkin merenung. Livia tahu ini keputusan yang besar, yang akan mengubah segalanya. Tapi Livia berharap Wulan bisa melihat kesempatan dalam tawaran ini, seperti lilin kecil yang menerangi kegelapan. Senyum Livia tetap terukir manis, meski dalam hatinya, ada sesuatu yang tetap tidak terungkap. 

"Memangnya bisa? Tapi bagaimana denganmu?" tanya Wulan, mengerjapkan kedua matanya.

"Jiwamu bisa masuk ke tubuhku, tai syaratnya buatlah suamiku jatuh cinta padamu. Sebenarnya aku yang salah, mengapa kami sampai menikah?" ucap Livia, menghembuskan napas beratnya. Wajahnya tersirat ada penyesalan yang mendalam. 

"Apa? Aku membuat suamimu jatuh cinta? Bagaimana bisa?" Wulan merasa kepala berdenyut seketika saat mendengar perkataan Livia. Kata-katanya terasa seperti duri yang menusuk pikiran, penuh kebingungan dan rasa tidak percaya. Ia mencoba memahami maksud di balik kalimatnya. 

"Aku anak orang kaya raya. Dia adalah ada anak teman pamanku. Karena jatuh cinta setengah mati, aku nekat menjebaknya dan mengatakan suamiku memperkaos. Tapi ... semuanya adalah bohong belaka," ucap Livia dengan nada datar, tapi ada sorot kesedihan di matanya. "Aku kira bisa mengambil hatinya, nyatanya tidak sama sekali dan malah membuatku tersiksa."

Wulan terdiam mendengarkan pengakuannya yang penuh keputusasaan. Seorang wanita seperti Livia, dengan semua yang dia miliki, memilih jalan penuh kehancuran seperti ini demi cinta yang tidak membalas. Pikiran itu membuat dada sesak.

"Dia seorang kapten yang bertugas di kapal pesiar dan jarang pulang," lanjut Livia. Ketika ia menatap Wulan, harapannya terasa nyata dalam pandangannya. "Kamu mau kan buat suamiku menyesal? Ini adalah kesempatan ke-duamu untuk hidup dan mengubah semuanya. Buat mereka menyesal sudah mengkhianatimu," katanya dengan nada penuh dorongan, seperti seseorang yang meyakinkan diri sendiri lewat kata-katanya. 

Wulan menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. "Bagaimana denganmu?" tanyanya pelan. "Tidak mau hidup lagi?" Ada keraguan yang melingkupi hatinya, rasa bersalah yang samar mulai menyeruak. 

Livia tersenyum, tapi senyumnya itu terlihat lebih mirip topeng daripada kebahagiaan yang sebenarnya. "Kita akan bertemu lagi, percayalah kepadaku," bisiknya lembut namun penuh misteri. 

Wulan menghela napas panjang. Kepalanya berat, hati penuh dilema. Kata-katanya berputar di benak  seperti badai yang tak kunjung reda. Memang pilihan yang berat, tapi ada rasa penasaran yang mendesaknya. Di balik semua ini, ada ketidakpuasan yang menggeliat dalam dirinya ingin tahu, ingin mencoba. "Baiklah," ia berkata akhirnya, hampir seperti sebuah janji. "Aku mau."

Bab. 2

Jam terus berputar dengan cepat, dunia seketika berubah seperti ke dimensi lain.

"Uhuk ... uhuk ...!" Wulan terbangun dari bathtub, melihat air berubah menjadi merah darah. Ia segera bangkit dari dalam air, segera mengobati pergelangan tangan yang disayat.

Wulan menatap wajahnya di pantulan cermin, jemari menyentuh kulit dan sedikit memberikan cubitan. Sekarang tersadar sudah, ini bukan mimpi dan jiwanya berada di tubuh Livia.

"Wow ... rupanya anak orang kaya beneran. Tidak sepertiku banting tulang mencari uang, akhirnya bisa bersantai dan menikmati semuanya! Aaaaaa ...! Aku tidak capek-capek bekerja siang-malam. Memikirkan esok mau makan apa? Tunggu dulu. Bukannya aku sudah menikah? Aisss ... jangan peduli dengan suami, jauh lebih baik menyenangkan diri sendiri. Asik! Waktunya mengubah nama menjadi Livia," kata Wulan tersenyum smirk.

Wulan bernyanyi dan menari-nari dalam kamar ini. Ini adalah kehidupan yang diinginkannya sejak dulu. 

******

Pagi itu terasa berbeda, seolah ada kehangatan yang mengalir di dalam diri Wulan. Tubuh ini mungkin milik Livia, tapi jiwa yang menggerakkannya adalah Wulan.

Segera setelah bangun, Livia menuruni anak tangga dengan penuh semangat. “Hari ini adalah awal baru,” pikirnya, sambil mencoba tersenyum santai. “Selamat pagi semuanya, harinya sangat cerah seperti hatiku,” sapanya riang.

Kata-kata itu meluncur dengan lancar, meskipun sejujurnya hati Livia terasa sedikit gugup. Ia tahu, ini adalah dunia yang sama sekali baru baginya, dan ada banyak yang belum dimengerti. Reaksi keluarga Livia? 

Hanya kebingungan terpampang di wajah mereka. Livia menoleh ke kaca, langit mendung, hujan mungkin akan turun. “Ups,” ia baru sadar sesuatu tidak sinkron. Namun, ia tidak membiarkan itu merusak momentumnya. Ia melanjutkan, “Kenapa diam? Ayo, kita sarapan bersama. Aku lapar sekali! Rasanya seperti tidak makan selama tiga hari.” 

Livia menatap mereka dengan senyuman, berharap suasana sedikit mencair.

Seorang wanita yang wajahnya sangat mirip ibu Livia menjawab, “Bukannya kamu mogok makan, Liv? Waktu dengar suamimu memperpanjang kontrak lima bulan lagi? Masa kamu lupa?” 

Perkataan itu menghentikan langkah Livia sejenak. Perasaan asing berdenyut di hati—ini bukan emosi, tapi milik Livia. "Oh, jadi suaminya memperpanjang kontrak lagi, ya? Apa yang sebenarnya terjadi di keluarga ini?" batinnya penasaran, tapi ia hanya menatap wanita itu sambil tersenyum kecil. 

“Ak-aku sudah berpikir dewasa sekarang,” kata Livia akhirnya, mencoba terdengar percaya diri. “Tidak ada gunanya melakukan hal seperti itu, kan?” Ia memaksakan senyum manis, meskipun jauh di dalam diri, otaknya terus bekerja untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. "Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Kehidupan seperti apa sebenarnya yang aku masuki?" batinnya bergemuruh.

 "Seharusnya kamu sudah dewasa, Livia. Kamu mempunyai suami seorang kapten, setidaknya pahami siapa dia? Mama sempat kecewa dengan sikapmu yang kekanakan," sahut wanita di sampingnya dengan nada penuh teguran. 

Livia  terdiam, merasakan rasa malu perlahan merayapi pikiran. "Ak-aku minta maaf, Ma. Sebentar dulu, ponselku ketinggalan di atas. Lanjutkan makannya," jawabnya sambil mencoba mengalihkan perhatian.

Saat masuk ke dalam kamar, hati Livia berdebar. Rasanya seperti ia berada di dunia yang sama sekali asing. Nama-nama keluarga ini, wajah-wajah mereka, semuanya masih terasa seperti teka-teki yang harus dipecahkan. 

Livia berjalan ke arah rak di sudut ruangan, mengeluarkan album foto lama dan mulai membuka halaman demi halaman dengan cemas. "Astaga!" desisnya perlahan, menemukan bahwa pemilik tubuh ini ternyata sangat tergila-gila pada suaminya. Foto-foto mereka berdua memenuhi hampir seluruh halaman album, lengkap dengan tulisan-tulisan romantis yang terkesan berlebihan. "Jadi, dia memang bucin akut," gumamnya sambil memutar mata. 

Livia menarik napas panjang dan mencoba memfokuskan diri. Tidak hanya harus memahami kehidupannya, ia juga perlu menghafal nama-nama anggota keluarga, termasuk keluarganya dan keluarga suaminya. "Aku tidak boleh lupa satu pun nama mereka. Ini bukan hanya soal sopan santun, tapi juga tentang kelangsungan hidupku di tubuh ini," ujarnya pada diri sendiri. Meski sebagian rasa gugup masih menghantui, i mulai menuliskan nama-nama mereka di kepala, mencoba memastikan semua informasi ini melekat erat dalam ingatan. 

Livia  tahu betul bahwa kesalahan kecil, seperti lupa nama, bisa berakhir menjadi masalah besar. "Bagaimana aku bisa menghadapi mereka jika aku bahkan tidak tahu siapa mereka? Aku harus bisa memainkan peran ini dengan sempurna, setidaknya untuk saat ini," gumamnya pelan.

Livia kembali ke meja makan dengan senyum tipis yang sulit dimaknai. Mereka semua sudah hampir selesai menikmati sarapan pagi, membuat kehadirannya terasa seolah tidak terlalu diperhatikan. 

"Maaf, aku tadi pergi sebentar. Selamat menikmati," ucap Livia  pelan sambil berusaha terdengar biasa saja. 

Di meja ini, ada wajah-wajah yang sudah sering Livia lihat, namun selalu memunculkan perasaan campur aduk dalam diri. Mama Livia bernama, Dara, duduk dengan ekspresi lembut seperti biasanya, tapi dari tangannya yang menyentuh kening Livia, dirasakan ada kekhawatiran kecil yang mungkin tidak sengaja ditunjukkan. 

"Rekha, Tante Livia, mencoba menjaga ketenangan meja ini apakah kebiasaannya? Namun, apa kabar nenek? Lalu sepupuku, Jenifer dan Vanesha, yang dari dulu seringkali berpikir apakah mereka benar-benar tulus atau hanya memainkan peran," batin Livia.

Pertanyaan itu muncul kembali di benak Livia. Ia memaksakan senyum, berusaha menahan monolog internal yang ingin menguasai dirinya. "Apa mereka pernah memandangku sebagai aku? Atau hanya melihat tubuh ini sebagai seorang Livia yang mesti mereka ejek? Aku tahu cara mereka berbicara, tidak pernah betul-betul hangat—ada jarak, ada kepalsuan di balik setiap kata," gumamnya dalam hati.

"Livia, kamu baik-baik saja? Tidak sakit?" Suara Dara menginterupsi pikiran anaknya, membuat tersentak sebentar. 

Livia menatapnya, mencoba merasakan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. "Apakah ia benar-benar khawatir? Ataukah ia mulai melihat perubahan dalam diriku yang tidak mampu kuhindari?" batinnya. 

Namun, sebelum sempat menjawab, suara Jenifer memotong. "Ah, Tante, tidak usah heran sama tingkahnya yang aneh. Livia paling-paling mau cari perhatian biar suaminya cepat pulang. Klasik sekali." Komentar itu diikuti dengan senyum kecil yang menyebalkan, seperti duri kecil yang sengaja ditancapkan untuk menguji rasa sabar Livia. 

Hati Livia menegang, tetapi  Rekha segera menyelamatkan keadaan. "Husst ... jangan bicara seperti itu, Jeni. Bagus kok kalau Livia mulai jadi dewasa dan tidak manja lagi. Jangan dengarkan ucapan sepupumu itu."

Ada pembelaan di nada suaranya, tapi  Livia tidak tahu apakah ia merasa lega atau hanya semakin penuh dengan kebingungan.

"Dan Mama seperti biasa, selalu membelanya," tambah Vanesha dengan senyum mengejek yang membuat dada Livia sedikit bergetar. 

Livia mencoba tidak terpengaruh, tapi kata-kata itu membuatnya bertanya-tanya kembali. "Seperti apa sebenarnya tempat tubuh asli ini di antara mereka? Apakah Livia asli benar-benar bagian dari meja ini, atau hanya sosok yang mereka lihat sesuai dengan apa yang mereka mau?" 

Livia menghela napas perlahan, lalu menatap kembali makanan di piring yang kini terasa lebih hambar daripada sebelumnya. Dalam dirinya, pertanyaan itu tetap berputar tanpa jawaban yang memuaskan. "Apakah pemilik tubuh asli ini, memang tidak akur dengan sepupunya?" 

Livia mengunyah makannya, ini adalah makanan paling lezat dan mewah untuk sarapan pagi. "Seseorang berubah itu, ada kemungkinan karena lelah dan tidak dihargai. Makanya siap-siap akan kehilangannya untuk selama mungkin. Maafkan aku, Ma. Selama ini, aku terus merepotkan keluarga dengan sikapku. Tapi ... aku janji pada diriku sendiri mengubah semuanya."

Namun, kedua sepupunya malah cekikikan menahan tawa. Jelas mereka tidak mempercayai ucapannya.

Dara mengelus lembut pucuk kepala anaknya. "Lalu apa yang kamu lakukan sekarang? Aku ingin melihatmu berubah, buktikan semua itu dan jangan kecewakan keluarga ini."

Livia mengangguk pelan, sudah waktunya mengejar cita-citanya itu. "Dulu aku suka menari, bahkan menjadi guru menari. Aku harus memulainya dari hal yang kecil," batinnya tersenyum manis.

Rekha ikutan tersenyum mendengarnya. "Sepertinya menarik sekali, dengan tantangan berat ini dan membuatmu berubah. Apa kamu mau mencari pekerjaan?"

Bab. 3

Livia menatap pabrik besar di depannya dengan perasaan tidak karuan. Dadanya bergetar, sulit dipercaya ibunya benar-benar memintanya untuk menjadi kepala pabrik teh dan mengurus semuanya. 

"Kenapa aku? Apa aku terlihat mampu melakukan hal ini?" batin Livia menelan ludah, mencoba meredam rasa gentar yang tiba-tiba menyeruak. 

Dara pemilik di pabrik ini, berdiri di samping  sambil menjelaskan semua detail. Mulutnya bergerak cepat, memaparkan tanggung jawab besar yang harus ditangani. "Ini ruangan kerjamu, Nak. Kamu harus mengerjakan semua berkas ini, lalu memberikan hasilnya kepada Joseph, pemimpin kantor yang berada di kota," ucapnya tegas. 

Livia mengangguk pelan, meski benaknya dipenuhi kekhawatiran. Begitu masuk ke ruangan, ia  menghembuskan napas berat. "Tamat SMP saja aku hanya Wulan yang sederhana. Mana mungkin aku mampu melakukan pekerjaan serumit ini?" pikirnya, sambil membolak-balik berkas di atas meja. Tapi kemudian ia teringat sesuatu. "Tidak ... aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus belajar, langkah demi langkah. Waktu pasti akan membantuku," gumamnya pelan, mencoba menyemangati diri  sendiri. Dengan ragu, ia memberanikan diri bertanya pada ibunya yang berdiri di dekat. 

"Apa aku mendapatkan gaji?" tanya Livia pelan, mencoba mengalihkan pikiran dari ketakutan. 

Dara tersenyum, anggukannya membawa sedikit rasa tenang dalam dada. "Tentu, kamu akan mendapatkan gaji besar. Fokuslah pada dirimu sendiri, Nak. Jangan biarkan masalah suamimu terus-menerus mengganggu pikiranmu. Mama yakin, nanti melihat perubahanmu, suamimu juga akan luluh dengan sendirinya." 

Kata-kata Dara seharusnya menjadi motivasi, namun Livia masih merasa bingung. Sekuat apa pun ia ingin percaya, ada bagian dari dirinya yang penuh keraguan. 

Livia menghela napas panjang sekali lagi, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Apa ada seseorang yang bisa membantuku, Ma?" Suaranya terdengar bergetar. "Ak ... aku benar-benar tidak paham dengan semua ini." Dipandangi wajah ibunya, berharap ada kepastian di sana. "Apakah aku bisa benar-benar menjalani peran ini? Atau aku hanya akan menjadi beban baru di tempat ini?" batinnya. 

Beberapa menit kemudian, seorang pria masuk ke dalam ruangan dan memperkenalkan diri dengan nada serius. "Namaku Tino. Saya ditugaskan untuk mengajari Nona ke depannya. Setelah itu, saya akan pindah ke pabrik di luar kota."

"Panggil nama saja, jangan sebut Nona-Nona. Itu membuatku tidak nyaman, apalagi kamu lebih tua dariku. Senang berkenalan denganmu, Tin. Maaf merepotkanmu nanti," ucap Livia sambil tersenyum manis. 

Dara hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari jauh. "Sejak kapan Livia bisa mengucapkan kata maaf dan terima kasih dengan begitu santun? Hatinya terkejut sekaligus sedikit lega melihat perubahan ini. "Ada apa dengannya? Apa mungkin dia mulai belajar untuk bersikap lebih baik?" gumamnya dalam hati, sebelum perlahan meninggalkan mereka berdua. 

Hari ini, Livia mulai memahami tugas yang harus dikerjakannya nanti di pabrik. Ia  dulunya murid yang sangat cerdas, tapi pendidikan tinggi tidak bisa digapainya karena keadaan ekonomi keluarga yang minim. Baginya menyimpan potensi besar yang selama ini terabaikan. 

Namun, raut Tino yang tampak enggan sejak awal. Wajahnya memberi isyarat yang tidak bisa disembunyikan, dan  membayangkan apa yang mungkin berkecamuk dalam pikirannya. 

"Dia benar-benar Livia? Gadis yang dulu selalu menyindir orang dengan kata-katanya yang tajam? Bahkan dia pernah berkata bahwa bekerja di pabrik milik ibunya adalah hal yang memalukan," batin Toni bisa melihat keraguan di matanya, seolah ia sedang bertanya-tanya apakah perubahan Livia ini adalah sesuatu yang tulus atau hanya permainan untuk sesaat.. 

******

Malam itu, Livia duduk di depan laptop, melanjutkan pekerjaannya sambil berusaha menyerap pelajaran dari Tino. Pikiran Tino tadi siang benar-benar masuk akal. "Dia benar, aku memang harus cepat tanggap kalau ingin berhasil."

Namun, suasana serius Livia mendadak terusik. Jeni tiba-tiba menyelonong masuk ke kamar tanpa izin. 

"Kamu seriusan kerja di pabrik ibumu? Kenapa nggak sekalian jadi manajer di hotel? Kamu terlalu polos, Livia. Ada rencana bodoh apa lagi kali ini?" sindir Jeni dengan nada mengejek. 

Livia mendesah pelan sambil menahan rasa kesal. Masih menatap laptop, ia menanggapi dengan santai, "Sepertinya kamu lupa diajarkan sopan santun, ya? Main nyelonong masuk ke kamar orang begitu saja." Ada sedikit tawa ringan di suaranya, cukup untuk menunjukkan  tidak terpancing emosinya. 

Namun, Jeni jelas tidak terima dengan responku. Ia mengepalkan tangannya dengan keras, lalu membalik kursi Livia hingga  kini berhadapan dengannya. Tatapannya tajam, penuh emosi. "Jangan pura-pura bodoh! Kamu pikir kebodohanmu ini bisa menipu kami semua? Sampai kapan pun, Alex tidak akan pernah jatuh cinta sama kamu!" Ucapan itu membuat Livia tertegun untuk sesaat, tapi  segera menarik napas dalam-dalam dan memulihkan ketenangan dirinya. 

Livia tersenyum kecil, menyiratkan kepercayaan diri yang baru saja didapatkan. "Dulu aku memang sengaja bersikap manja kepadanya," katanya pelan, namun nada tegas, "tapi sekarang segalanya berubah. Aku sudah selesai menjadi Livia yang dulu. Apakah dia mau mencintaiku atau tidak, itu bukan urusanku lagi." 

Livia mendongakkan dagu sedikit, menatap Jeni tanpa rasa gentar. "Kalau kamu ingin menyalahkan aku yang sekarang lebih dingin, salahkan diriku yang dulu terlalu naif. Hidup mengajarkan banyak hal, Jeni," tambahnya sebelum kembali fokus ke layar laptop. 

"Mau sampai kapan pun, kapten Alex tetap dingin denganmu dan tidak akan pernah mencintai istrinya. Padahal Alex mau dijodohkan kepadaku, tapi karena jebakanmu yang licik! Aku kehilangannya!" Jeni menatap tajam ke wajah Livia sangat dekat, aura marahnya keluar langsung.

"Hahahha ... kasihan sekali, itu berarti kamu lemah dan tidak mampu menyeimbangiku ini. Satu lagi, kalau kamu menginginkan suamiku ... silahkan kamu ambil," kata Livia kembali dengan laptopnya.

"Apa yang kamu lakukan, Jeni?" tanya Vanesha ikutan masuk ke dalam. "Jangan mencari gara-gara dengan Livia, kamu harus jaga etika dan jangan merusak reputasimu."

Jeni tersenyum tipis. "Tenang saja, aku bisa menjaga etikaku dan mendekati ibu mertuanya Livia. Pelan-pelan aku menghasut beliau itu, lalu membenci menantunya ini. Besok pagi, aku diundang minum teh bersama keluarga Verick. Sayangnya Livia tidak." 

"Sudahlah, tidak peduli dengan Livia mau diundang atau tidaknya. Dia pasti datang besok pagi," Vanesha menarik lengan kakaknya itu.

Namun, Livia mengacuhkan semuanya dan tetap fokus dengan tujuan. Bukannya tenang bekerja di kamar, Rekha masuk tanpa basa-basi maupun mengucapkan permisi.

"Sumpah! Aku ingin mengamuk kali ini, bisa-bisanya kamarku tidak bisa terkunci. Besok aku harus mengganti pintu itu," batin Livia meremas pena di tangannya.

"Besok kamu datang dengan Tante ke acara minum teh bersama, ya? Jangan pedulikan soal mereka," kata Rekha mendekati keponakannya.

"Jangan harap aku mau, wanita ular. Pasti wanita ini, suka sekali mendukung Livia dan membuat semua orang benci pada pemilik asli tubuhmu. Sekarang aku Wulan ... tidak ada siapapun yang bisa memainkanku," batin Livia mengangguk kecil.

"Bagus, Livia mau aku ajak pergi besok ke acara itu. Meyakin keluarga Verick semakin membenci seseorang yang datang tidak diundang," batin Rekha. "Hmmm ... Tante punya ide bagus."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!