Hari demi hari, bulan demi bulan, tak terasa 15 tahun berlalu. Embusan angin mengibarkan rambut panjangnya. la berdiri menatap langit yang telah berwarna senja. Memejamkan mata, kejadian mengerikan itu masih terekam jelas dalam kepala.
"Bagaimana keadaannya?"
Wanita itu membuka mata mendengar suara berat sang putra.
Satya berdiri di samping ibunya, mengikuti arah pandangan sang ibu yang mengarah pada indahnya senja yang mampu membius mata. Sudah 15 tahun berlalu sejak kejadian itu, kini Satya telah menjadi lelaki dewasa. Ibunya telah menjelaskan semuanya, apa yang terjadi di hari itu serta masa lalu ayahnya.
Akibat kejadian itu, Yoga dijatuhi hukuman 20 tahun. Kini hanya tinggal menunggu waktu ia bebas setelah dirinya sempat mengalami depresi di tahun-tahun pertama menjalani hukuman. Bukan depresi tak sanggup menerima keadaan di dalam bui, tapi tak sanggup menerima beban jiwa akibat terbongkarnya seluruh fakta.
"Dia menanyakan kuliahmu," jawab Shintia yang telah dihiasi keriput di wajah.
"Aku ragu apa dia benar ayahku? Dia bahkan tak ingin bertemu denganku," ucap Satya. Meski begitu dirinya tahu alasannya, hanya saja, ada kalanya ia sangat ingin bertemu.
Di tempat lain, terlihat Yoga yang tengah membasuh tubuhnya yang berkeringat di mana sekujur tubuhnya dipenuhi jejak luka. Sudah menjadi rahasia umum apa yang terjadi dalam penjara. Bahkan luka yang didapat Yoga telah didapatnya saat baru saja memasuki tempat itu.
Kriet
Suara derit pintu besi terdengar saat dua orang polisi memasukkan seorang pria yang ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan. Tubuhnya kekar, dengan berbagai bentuk tato yang menghiasi tubuhnya. Pria itu mengedarkan pandangan seperti mencari sesuatu. Dan saat pandang matanya menangkap sosok Yoga, seringai bengisnya pun tercipta.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam di mana seluruh penghuni sel telah terlelap tak terkecuali Yoga.
Yoga berada dalam sel berukuran 3 x 2 m bersama tiga orang lainnya termasuk satu orang yang baru masuk tadi siang. Pria itu duduk di sudut yang lain dengan kepala tertunduk dalam.
Perlahan pria itu mengangkat kepala dan arah pandangnya tertuju pada Yoga. Bangkit dari duduknya, ia melangkah tanpa menimbulkan suara ke arah Yoga yang tampak pulas. Saat berdiri di hadapan Yoga, ia menoleh ke belakang pada dua orang yang tidur seperti kehilangan nyawa.
Merasa semua aman, ia berjongkok di depan Yoga, mengeluarkan seutas tali kecil dari dalam saku celana kemudian mengalungkannya di leher Yoga. Dan saat mencoba menarik masing-masing ujung tali yang digunakannya menjerat leher Yoga, kedua mata Yoga terbuka dengan tangan menahan tali di lehernya. Pria itu amat terkejut dan lebih terkejut lagi saat seseorang memukul tengkuknya.
Dua orang yang sebelumnya tampak tidur seakan kehilangan nyawa, telah berdiri di belakang pria itu. Satu diantaranya kembali memberi pria itu pukulan menggunakan siku membuat pria tersebut tersungkur.
Yoga bangun menegakkan punggungnya membuat tali di lehernya jatuh. Ditatapnya penghuni baru itu dengan tatapan datar kemudian pada dua temannya yang hendak kembali memberi pria itu pelajaran. Namun, sebelum itu terjadi, tangan Yoga yang terangkat menghentikan keduanya.
Mereka adalah Bams dan Fajri, teman satu sel Yoga yang telah menghuni sel itu sepuluh tahun yang lalu.
"Dia musuhmu?" tanya Bams. Pria bertato di wajahnya itu menatap pria yang kini tak sadarkan diri dengan tatapan mata nan dingin. Sama seperti Yoga, ia berada di sana karena kasus pembunuhan. Dan orang yang dibunuhnya adalah temannya sendiri yang mencoba memperkosa adik kandungnya.
Yoga membalik tubuh penghuni baru itu dan mengamati wajahnya. Ia pun menggeleng sebagai jawaban. la sama sekali tak mengenali wajah itu. Lagipula, ia tidak punya musuh. Satu-satunya musuhnya telah mati.
"Mau kuhabisi?" Suara Fajri terdengar padat dan berat. la duduk di atas perut penghuni baru itu. la berada di sana juga karena kasus pembunuhan. Namun berbeda dengan Yoga dan Bams, yang ia bunuh adalah begal yang hendak merampas motornya.
Meski hukumannya tak seberat Yoga, tetap saja terdengar miris untuk diceritakan. Dan karena kejadian itu lah, dirinya berubah lebih kejam. Membunuh untuk melindungi diri dan membunuh karena suatu alasan pun dihukum, jadi ia tak peduli jika harus membunuh lagi.
Yoga menggeleng. "Aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya," ucapnya. Suaranya terdengar berat, raut wajahnya lebih dingin dari saat ia muda. Meski begitu seperti tak ada yang berubah. Wajahnya masih sama, hanya mulai timbul sedikit keriput di bawah mata serta jambang tipis yang setiap minggu akan ia bersihkan.
Bams dan Fajri saling melempar lirikan kemudian menuruti perintah. Bukan tanpa alasan, melainkan selama di sana Yoga telah banyak membantu keduanya. Bukan lagi rahasia bahwa kehidupan di penjara sangatlah keras. Berbeda dengan Bams dan Fajri yang belum pernah merasakan kerasnya kehidupan, Yoga lebih bisa bertahan.
Walau di awal ia mengalami depresi, namun seiring berjalannya waktu serta dukungan dari Shintia, ia bisa kembali menjadi Yoga yang kuat. Bukan hanya fisik tapi juga mental. Sementara Bams dan Fajri, di awal mereka masuk bui, keduanya masih tak menerima kenyataan. Walau sama sekali tak ada penyesalan dari keduanya karena telah menghabisi nyawa seseorang.
Beberapa saat kemudian, penghuni baru itu mengerjapkan mata. Seketika matanya pun terbuka lebar teringat apa yang baru saja terjadi.
"Dia sudah bangun."
Sebuah suara kian membuat pria itu terkejut terlebih merasakan tekanan di perutnya karena seseorang yang duduk di atasnya. Sementara kedua tangannya berada di bawah punggungnya. Sebelumnya Bams mengikat kedua tangannya dan membuatnya menindih kedua tangannya di balik punggung.
Yoga yang sebelumnya mengawasi adanya penjaga yang mungkin berkeliling, berbalik dan melangkah menghampiri pria itu saat dirasa semua aman. Tak ada tanda-tanda dari penjaga sel yang akan berkeliling setiap jam 2 pagi. Sementara waktu saat ini telah menunjukkan pukul 01.30.
Tap!
Kedua kaki Yoga berdiri di hadapan pria itu yang terbaring di lantai dengan Fajri yang duduk di atas perutnya.
Yoga menekuk lutut, berjongkok di depan pria itu. "Siapa yang menyuruhmu," ucapnya dengan bariton yang terdengar padat dan jelas.
"Tidak ada. Aku hanya ingin menghabisimu," jawab pria tersebut yang berusaha membuka ikatan tangannya.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di wajah. Fajri memberinya tamparan hingga pipinya terasa panas. Jangan remehkan Fajri meski tubuhnya tak begitu kekar. la adalah mantan juara satu karate saat masih sekolah.
Duagh!
Kaki Bams mendarat di wajah pria itu, melumatnya hingga jejak kotoran di kakinya menempel di wajah pria itu. la dan Fajri sudah seperti bodyguard yang akan melindungi Yoga dan membantunya dalam bentuk apapun.
Pria itu terbatuk saat Bams mengangkat kakinya dari wajah. Pria itu kira siksaan itu sudah berakhir, tapi tidak. Bams kembali menginjak wajahnya bahkan lebih keras dari sebelumnya. Tak sampai di situ, Fajri menyiku dadanya hingga ia melotot.
Yoga memberi lirikan pada Bams dan Fajri membuat keduanya menghentikan siksaan yang mereka beri.
"Siapa yang menyuruhmu," tanya Yoga sekali lagi.
Nafas pria itu terengah, ia terbatuk hingga mengeluarkan darah. Meski begitu tak ada belas kasih yang Yoga tunjukkan begitu juga dengan dua rekannya.
"A- apa kau tuli? Sudah kukatakan, aku hanya ingin menghabisimu." Tepat setelah mengatakan itu, satu tangan pria itu menyerang Fajri dari belakang. Namun, karena Fajri yang sudah merasakan gerakan sebelumnya, ia berhasil menghindar.
Pria itu segera bangkit berdiri di mana tali itu masih berada dalam genggam tangan. Kemudian diserangnya Yoga dengan mengarahkan pukulan. la seolah lupa dirinya hanya sendiri, sementara dua orang lain berada di pihak Yoga. Sebelum serangannya mengenai Yoga, Bams lebih dulu menendang punggungnya.
Yoga menghindar saat tubuh pria itu terhuyung ke depan kala Bams menendangnya. Namun, sebelum tubuh pria itu kembali mencium lantai, Fajri menjegal kakinya dengan keras membuat posisi jatuhnya lebih terasa menyakitkan.
"Apa kau buta? Satu lawan tiga," ucap Bams yang saat ini berdiri di sebelah kanan Yoga dan Fajri berdiri di sebelah kirinya.
Gigi pria itu terdengar bergemeletuk dengan kedua tangan terkepal kuat. Kedua tangannya bertumpu lantai kala ia berusaha bangkit.
Bams dan Fajri bersiap memasang kuda-kuda dan maju selangkah di depan Yoga menjadi tameng untuknya. Namun keduanya begitu terkejut saat melihat pria itu justru melangkah menjauh dengan kedua tangan menjerat lehernya sendiri menggunakan tali yang masih dalam genggam tangannya.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" teriak Fajri melihat pria itu menjerat lehernya sendiri. la hendak mencegahnya sebelum pria itu tewas, tapi Yoga mencegah karena tepat di saat itu penjaga yang bertugas berkeliling telah melihat.
Pria itu semakin kuat menarik ujung tali hingga akhirnya ia jatuh dengan mata terbuka dan lidah menjulur. Tepat di saat itu penjaga sampai dan begitu terkejut melihat kejadian tersebut.
"Napi baru itu bunuh diri!" teriaknya pada handy talky di tangan. Tak berselang lama, para polisi yang bertugas segera tiba dan membereskan tempat kejadian.
"Kalian akan dimintai keterangan," ucap kepala penjaga pada Yoga, Bams dan Fajri. Ketiganya hanya mengangguk tanpa banyak bicara.
Kling... Jbles!
Pintu besi itu kembali tertutup dan terkunci setelah penjaga polisi pergi membawa mayat penghuni baru tersebut. Suasana yang sebelumnya ramai karena kejadian itu perlahan kembali hening. Para napi di sel lain juga kembali tidur seolah tak terjadi apa-apa. Bukan hal yang mengejutkan jika ada napi baru yang bunuh diri. Polisi tak melakukan pemeriksaan lebih juga karena hal tersebut terlebih salah satu penjaga melihat dengan mata kepala sendiri pria itu mengakhiri hidupnya sendiri.
Yoga duduk dan menyandarkan punggungnya ke dinding nan dingin diikuti Bams dan Fajri di sebelah kanan dan kirinya.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Fajri membuka suara. la seolah masih tak percaya pria itu memilih mengairi hidupnya daripada mengatakan siapa yang telah menyuruhnya. la melirik Yoga dan dapat melihat tak ada yang berubah dari raut wajahnya Tetap dingin dan datar seperti biasa.
"Apa kau punya musuh? Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa baru sekarang Jika musuhmu masih tersisa, harusnya sudah lama ada orang yang datang menghabisimu bukan?" celetuk Bams yang amat penasarn. Jika pria itu sampai tak segan mengakhiri hidupnya, itu artinya ada hal lain yang lebih menakutkan daripada memberitahu mereka.
Yoga terus mengingat-ingat dan berpikir. Dan ia sama sekali tak menemukan kemungkinan yang pasti. Apakah Novi? Tapi melihat seperti apa wanita itu sepertinya sangat tidak mungkin. Awalnya ia tak begitu curiga, tapi melihat pria tersebut sengaja mengakhiri hidupnya membuatnya yakin dia adalah suruhan seseorang untuk melenyapkannya.
Di tempat lain terlihat seorang pria menatap layar ponselnya dalam diam. la berdiri di depan jendela besar rumahnya menatap rembulan yang tampak terang di tengah sunyinya fajar.
Keesokan harinya terlihat Shintia yang berhadapan dengan Yoga dibatasi dinding kaca. Hari ini adalah jam besuk dan seperti biasa, Shintia datang membesuk.
"Bagaimana kabar Satya?" tanya Yoga tanpa melepas pandangan dari Shintia. Walau dibatasi dinding kaca transparan, dirinya seolah berhadapan tanpa sekat. Yoga tak mengerti kenapa Shintia tetap mau berhubungan dengannya. Sejak ia masuk penjara, wanita itu menjenguknya setiap hari Setiap kali ia bertanya, jawabannya akan selalu sama.
"Aku tidak tahu, aku hanya ingin melakukanya." Adalah jawaban yang selalu Shintia berikan.
"Dia baik. Dia sangat ingin menjengukmu. Tapi dia menurtimu untuk menunggu sampai kau bebas," jawab Shintia dengan suara nan lembut.
Senyum tipis Yoga terlukis samar. la juga sangat ingin bertemu, tapi dirinya selalu merasa belum siap. Kira-kira, seperti apa wajahnya? Bagaimana penampilannya? la selalu ingin mengetahuinya. Karena ia melarang Satya menjenguk, Satya juga tak membiarkannya mengetahui seperti apa dirinya, meminta ibunya tidak memberikan fotonya.
"Menikahlah." Rasanya Yoga sudah lelah mengatakan hal yang sama. Entah mungkin sudah ratusan bahkan ribuan kali ia mengatakan hal serupa meminta Shintia menikah. Shintia berhak bahagia walau ia tahu sudah sangat terlambat.
Shintia tersenyum tipis. la sendiri tidak tahu kenapa memilih menyendiri sampai detik ini. Bukan karena tidak ada yang mendekat, tapi dalam lubuk hatinya sangat menunggu kebebasan Yoga. la sendiri tidak tahu kenapa atau karena apa. Tapi tak dapat dipungkiri ia menaruh harap pada Yoga. Selama ini ia dan Satya hidup dari harta yang Yoga berikan untuk Satya.
"Jika aku kembali menjawab hal yang sama, apa kau akan bosan mendengarnya? Bahkan aku sudah sangat bosan mendengar satu kata yang baru saja kau ucapkan."
"Walau sudah terlambat, kau tetap berhak bahagia."
"Aku yakin Satya tidak akan setuju."
"Jadi ... sudah ada?" Entah kenapa hati Yoga bergetar mengatakanya? Biasanya Shintia akan menjawab, "Aku menunggu seseorang bebas."
Shintia menunduk sejenak kemudian menggeleng. "Jika pun dia setuju, aku tidak akan melakukannya. Aku... menunggumu."
Yoga berdiam cukup lama di mana semburat kemerahan tampak samar menghiasi wajahnya. Dua penjaga yang berdiri di belakangnya samar-samar dapat melihat.
"Mereka seperti pasangan baru yang kasmaran. Dan selalu seperti ini setiap wanita itu datang," batin kedua penjaga tersebut.
Tiba-tiba Yoga menunduk saat ia teringat apa yang terjadi semalam. Sekarang dirinya merasa nyawanya terancam. Jika pada akhirnya ia tak bisa bebas dalam keadaan hidup, bagaimana dengan Shintia. Dia sudah terlalu lama menunggu.
"Jangan menungguku."
Senyum simpul Shintia kembali timbul. Jawaban Yoga akan selalu sama setiap kali ia memberi jawaban.
"Seseorang ingin membunuhku."
Namun, apa yang Yoga katakan setelahnya membuat Shintia terkejut. "A- apa maksudmu?"
Yoga tak ingin memberitahukannya pada Shintia, tapi ia harus. Jika akhirnya ia hanya tinggal nama di hari kebebasannya, ia ingin Shintia telah siap berhenti menunggunya sedari sekarang.
Yoga mengatakan apa yang terjadi semalam membuat Shintia menutup mulut.
"Dia sengaja bunuh diri sebelum mengatakan apapun. Jadi jangan menungguku, tak menutup kemungkinan akan ada lagi setelah ini selama aku masih hidup," papar Yoga.
Mata Shintia tampak berkaca-kaca. Mana mungkin ia berhenti menunggu begitu saja? la tau selama ini Yoga tak merasakan bahagia, sudah tak mempunyai keluarga dan yang ingin ia lakukan hanyalah memberi keluarga untuk Yoga.
"Kalau begitu mau bagaimana lagi? Tapi jika bisa aku tetap ingin menunggumu sampai kau bebas dan berkumpul bersama Satya. Setidaknya jika bukan karena aku, bukan bertahan karena aku, bertahanlah demi Satya. Aku tahu tidak ada yang tahu takdir, tapi aku yakin kau bisa mewujudkan keinginan Satya yang selama ini menunggumu, begitu juga aku."
Mata Yoga melebar mendengar kalimat panjang yang Shintia katakan. Matanya pun tampak berkaca-kaca. Shintia benar, ia tak boleh menyerah begitu saja. Masih ada Shintia dan Satya yang menunggunya. Senyumnya pun kembali terukir samar. "Baiklah. Aku sangat menantikan hari itu."
Bunyi alarm menyadarkan Yoga bahwa waktu besuk telah habis. Padahal rasanya ia masih ingin berbicara lebih lama lagi, bertatap muka dengan Shintia lebih lama lagi.
"Sudah selesai."
"Uum. Aku akan datang lagi."
Tiba-tiba Yoga seperti menyadari sesuatu membuatnya mengatakan sesuatu yang membuat Shintia terkejut.
"Ke-- kenapa?"
"Berhentilah mengunjungiku."
"A- apa? Kenapa?"
Yoga terdiam sejenak. "Aku tidak ingin orang itu melukaimu. Sebaiknya sembunyikan dirimu dan Satya," jawab Yoga dengan pandangan sulit diartikan. la tak ingin Shintia kembali terlibat.
"Waktumu sudah habis," peringat dua penjaga di belakang Yoga.
"Ta- tapi." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Yoga telah bangkit dari duduknya. Shintia mengurungkan gagang telepon perlahan dari telinga. la tahu Yoga hanya tak ingin terjadi sesuatu padanya seperti saat Indra membawanya. Saat itu Yoga masih bisa melindunginya, tapi sekarang, Yoga dalam penjara.
Raut wajah Shintia tampak sendu melihat Yoga dibawa kembali ke dalam selnya.
"Nyonya, jam besuk sudah habis," seorang penjaga mengingatkan Shintia memintanya segera pergi.
Shintia hanya bisa mengangguk. Sesekali menoleh ke belakang di mana Yoga telah menghilang di balik dinding kaca, ia melangkah keluar dengan perasaan tak tenang. Harusnya Yoga diam saja, tak perlu memberitahunya. Tapi, ia menyadari mungkin Yoga khawatir berpikir ia akan kecewa jika akhirnya Yoga terbunuh dan dirinya tak pernah berhenti menunggu.
Semakin lama menjalin hubungan tak kasat mata dengan Yoga, ia mulai bisa mengerti seperti apa dirinya, sifatnya, perasaannya, kepribadiannya, dan hal itu semakin membuatnya ingin melihat Yoga bebas dan berharap benar-benar menjadi ayah Satya dalam artian yang sesungguhnya.
"Ibu."
Saat Shintia sampai di luar gerbang, sudah ada Satya yang menunggu. Satya selalu mengantar Shintia dan tetap menunggu di luar sampai ibunya itu kembali.
"Ada apa? Wajah ibu terlihat tidak baik-baik saja," tanya Satya dengan menangkup wajah ibunya.
Shintia hanya tersenyum. "Tidak apa-apa, sebaiknya kita segera pulang, Satya," ajaknya.
Satya mengangguk. la segera membuka pintu mobil untuk sang ibu dan tak berselang lama kemudian mobilnya pun pergi dari sana. Dalam perjalanan sesekali Satya mencuri pandangan pada ibunya yang duduk di sebelahnya. Biasanya ibunya akan menunjukkan raut wajah sumringah setelah bertemu ayahnya, berbeda dengan hari ini. Apa telah terjadi sesuatu?
"Sebenarnya, ada apa, Bu?" tanya Saya kembali berusaha mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Seseorang berniat membunuh ayahmu," jawab Shintia tanpa menoleh. la tertunduk memikiran Yoga. "Dan ayahmu melarang ibu menjenguknya dulu."
Satya terdiam melihat bagaimana kesedihan ibunya yang terpancar jelas lewat raut wajahnya. la sempat terkejut saat ibunya mengatakan demikian, tapi ada hal lain yang justru ia pikirkan. "Ibu bersedih karena khawatir pada ayah, atau karena ayah melarang ibu menjenguknya lagi?"
Shintia hanya diam tentu saja karena keduanya. Dan harusnya Satya tak perlu menanyakannya.
"Ibu tenang saja. Satya akan melakukan sesuatu."
Seketika Shintia menoleh "Apa maksudmu, Satya?"
"Satya tahu ibu selalu menunggu ayah selama ini. Mana mungkin Satya membiarkan ibu kecewa nanti? Satya janji, Satya akan mewujudkan keinginan ibu. Ayah akan bebas, dan kita bisa bersama sebagai keluarga."
Mata Shintia berkaca-kaca dengan tangan menutup mulutnya. Ia terharu mendengar kalimat panjang yang Satya ucapkan. Bolehkan ia berharap? Tapi di sisi lain, ia tak ingin terjadi sesuatu pada Satya.
Satya menepikan mobilnya, kemudian mengusap air mata sang ibu yang mulai mengalir. " Jangan menangis, Bu. Satya dan ayah akan baik-baik saja," ucapnya seolah tahu kenapa ibunya meneteskan air mata. Dulu ia memang membenci Yoga, tapi sejak kejadian hari itu dan melihat perubahan ibunya yang justru menaruh simpati pada Yoga, menumbuhkan perasaan yang sama terhadapnya. Terlebih setelah ibunya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Yoga beberapa tahun silam. Ya, dia baru mengetahui kebenaran serta apa yang terjadi di hari kematian Indra setelah ia dewasa.
"Ibu takut terjadi sesuatu padamu, tapi keegoisan ibu ingin berharap bisa bersama ayahmu ," ujar Shintia.
"Tidak, ibu tidak egois. Satya janji akan mewujudkan keinginan ibu. Jangan menangis, Satya tidak mau ayah berpikir Satya jadi anak nakal sampai membuat ibu menangis."
Tawa kecil Shintia menyatu dengan tangis. Satya selalu bisa menjadi penghibur di kala hati dan perasaannya tidak baik-baik saja.
***
Satya duduk di depan layar laptopnya di mana raut wajahnya tampak amat serius. Dirinya tengah mencari seseorang yang kemungkinan ada hubungannya dengan percobaan pembunuhan ayahnya di dalam penjara. la mencari tahu seluruh keluarga musuh-musuh ayahnya yang masih tersisa. Menurut yang ibunya katakan yang menceritakan sesuai yang ayahnya sampaikan, seluruh keluarganya telah mati. Satu-satunya dari orang yang terlibat dan masih ada adalah Novi.
Klik!
Telunjuk Satya menekan salah satu tombol keyboard dan seketika menampilkan sebuah gambar pada layar. Gambar berisi biodata Novi dengan lengkap. Tak ingin berlama-lama, ia meraih kunci mobilnya di dekat laptopnya, menyambar jaketnya yang tersampir di kursi dan berangkat menuju kediaman Novi.
Satu jam kemudian mobil Satya berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang tak lain adalah rumah Novi. la keluar dari mobil, berdiri di depan gerbang kayu dan mengamati sekitar. Tepat di saat itu seorang wanita yang sebagian rambutnya telah berwarna putih, keluar dari dalam rumah. Wanita itu menatap Satya seperti tengah menajamkan penglihatannya. Satya yang melihatnya membuka gerbang kayu di hadapan dan melangkah memasuki halaman.
"Selamat siang, Nek," sapa Satya ramah.
"Ya ... selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? Kau siapa?" tanya wanita tersebut yang tak lain adalah Novi. Meski sebagian rambutnya telah memutih namun wajahnya masih terlihat cantik meski telah dihiasi keriput.
Satya melempar senyum tipis membuat Novi seperti teringat seseorang. Wajahnya samar-samar mirip dengan seseorang yang sudah lama tak pernah ia lihat.
Beberapa saat kemudian Satya telah duduk berhadapan dengan Novi di ruang tamu rumahnya. Secangkir teh hangat yang tersaji di depan Satya masih mengepulkan uap hangat.
"Jadi ... siapa dan ada keperluan apa?" tanya Novi menatap Satya dengan rasa penasaran.
"Sebelumnya perkenalkan, namaku Satya, putra dari Yoga Abimanyu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!