Usia Aruni sudah menginjak kepala tiga. Angka yang bagi sebagian besar wanita seusianya telah dihiasi cincin di jari manis dan celotehan riang anak-anak. Namun, bagi Aruni, angka itu hanyalah penanda bertambahnya tahun, diiringi bisik-bisik tetangga dan tatapan penuh tanya dari kerabat.
"Kapan nyusul?"
"Kok belum ada gandengan juga, Ni?"
"Teman-teman kamu udah pada gendong anak, kamu masih betah sendiri aja. Apa yang kamu tunggu? Nunggu pangeran dari Arab? "
"Jangan terlalu pilih-pilih, nanti keburu layu lho."
Kalimat-kalimat itu bagai kaset rusak yang terus berputar di telinganya, terutama saat acara kumpul keluarga atau arisan ibu-ibu kompleks. Mereka selalu membicarakan Aruni yang masih sendiri.
Aruni menghela napas berat saat mengingat ucapan-ucapan orang yang seolah menghakiminya untuk segera menikah, sambil membenarkan letak hijab instan berwarna cokelat di kepalanya. Sebagai seorang guru SD yang menjadi contoh anak muridnya, penampilannya harus selalu sopan dan tertutup.
Ia memandangi pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang ayu dengan mata teduh itu tampak sedikit murung. Seperti ada beban berat dipundaknya yang tak kunjung terangkat.
Bukan ia tak ingin menikah. Justru jauh di lubuk hatinya, ia mendambakan seorang pendamping, seseorang yang bisa berbagi tawa dan duka. Hanya saja, hatinya belum juga terpaut pada siapapun. Pria-pria yang dikenalnya terasa hambar, tak mampu membangkitkan sebuah getar yang ia impikan.
"Aruni, apa sudah siap?" Suara lembut ibunya dari luar kamar membuyarkan lamunannya.
"Iya, Bu. Sebentar," jawab Aruni sambil meraih tas kecilnya dan segera keluar dari kamar menemui kedua orang tuanya.
Malam ini, kedua orang tuanya mengajaknya makan malam di rumah makan sederhana dekat kompleks. Aruni sebenarnya enggan ikut dengan mereka, firasatnya mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan mereka. Dan firasatnya itu jarang meleset.
Sepanjang perjalanan, obrolan di dalam mobil terasa canggung. Ayahnya, Pak Burhan, yang biasanya selalu bercerita tentang aktivitas di kantornya, malam ini lebih banyak diam. Ibunya, Bu Aminah, sesekali melirik Aruni dengan tatapan penuh harap.
Sesampainya di rumah makan, mereka memilih meja lesehan di sudut yang agak sepi. Aroma masakan Sunda yang menggugah selera tak mampu mengusir kegelisahan yang mencengkeram hati Aruni. Sepertinya akan ada badai setelah ketenangan ini.
Setelah memesan makanan dan pelayan pergi, Pak Burhan berdeham pelan.
"Aruni, Nak," katanya memulai, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.
Aruni menatap ayahnya, jantungnya berdebar tak karuan. "Ada apa, Ayah?"
Bu Aminah menggenggam tangan Aruni di atas meja. "Kamu tau, kami sayang sekali sama kamu, Nak. Kami hanya ingin melihat kamu bahagia. Tapi..." Ibunya menarik napas sejenak, "Kami khawatir melihat kamu terus sendiri seperti ini. Apakah kamu masih belum memiliki pria yang bisa menggetarkan hatimu? "
Aruni menggeleng dan mencoba tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja kok, Bu. Aku menikmati kesendirianku, pekerjaanku, punya banyak teman–"
"Pekerjaan tidak bisa menggantikan kehadiran seorang suami, Nak, Kamu akan kesepian tanpa seorang pasangan." sela Pak Burhan dengan nada tegas namun penuh kasih sayang.
"Teman juga akan punya kehidupan dan keluarga masing-masing. Kami ingin ada seseorang yang bisa menjaga kamu, menemani kamu di hari tuamu nanti. Kami juga ingin menimang cucu seperti orang tua lainnya."
Aruni terdiam. Ia tahu betul maksud kedua orang tuanya. Mereka hanya ingin yang terbaik untuknya. Namun, menikah hanya karena tekanan, omongan orang, tanpa cinta, itu terasa seperti mimpi buruk baginya. Apakah itu akan berlangsung lama atau hanya sesaat dan pergi begitu saja.
"Kami sudah memikirkan ini matang-matang, Aruni," lanjut Bu Aminah dengan suara lembut namun tak terbantahkan.
"Ayah punya seorang teman lama di desa sebelah. Anaknya seusia kamu, namanya Ahmad. Dia juga belum menikah diusianya yang sudah matang. Entah kenapa dia tidak mau menikah. Saat kami tanya alasannya ternyata alasannya sama denganmu, karena masih belum ada yang cocok." ujar Pak Burhan dengan semangat saat menceritakan sosok pria itu.
"Dia seorang pria baik, pekerja keras, dan punya sopan santun dan adab yang baik. Dia seorang petani, Nak. Pekerjaannya sehari-hari adalah di sawah, tapi dia punya sawah dan kebun sendiri dan orangnya sangat bertanggung jawab. Kami sudah bertemu dengannya beberapa kali, dan kami rasa dia cocok untuk kamu. Orangnya sabar dan dewasa."
Aruni terkejut. "Ini artinya kalian ingin menjodohkan aku?" tanyanya lirih, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Bukan dijodohkan paksa, Nak. Kami hanya ingin mengenalkan kalian. Kalian bisa saling mengenal dulu. Kalau memang tidak ada kecocokan, ya tidak apa-apa, kalian bisa berpisah. Dan jika kalian cocok, kalian bisa lanjut ke jenjang yang lebih." Ujar Pak Burhan, mencoba menenangkan anaknya agar tidak panik dengan apa yang dia sampaikan. Namun, nada bicaranya menyiratkan harapan yang besar.
"Tapi, Ayah, Ibu... aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku..." Aruni berusaha menolak dengan halus tapi ucapannya langsung dipotong oleh ibunya
"Tunggu, Ibu punya foto anak Pak Bakri, Kamu bisa melihatnya. " Bu Aminah mengeluarkan sebuah foto sedikit usang dari dalam dompetnya. Foto seorang pria sederhana dengan senyum tulus di wajahnya.
"Ini Ahmad, Nak. Kami harap kamu mau bertemu dulu dengannya, demi kami nak. Dia pria baik sederhana dan nggak neko-neko."
Aruni menerima foto itu dengan tangan gemetar. Ia menatap wajah di foto itu. Ada ketenangan di sana, matanya sangat teduh, wajahnya juga tampan khas orang Indonesia. Namun dibalik itu Aruni bisa melihat sebuah misteri yang belum terungkap. Entah apa itu, Aruni masih belum tau.
"Baiklah," kata Aruni akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku akan bertemu dengannya, dan akan mencoba mengenalnya lebih dekat. Tapi sesuai janji , kalau aku nggak cocok, aku akan mundur. Ayah dan ibu tidak bisa mencegahku lagi. "
Dengan sedikit terpaksa dia akan mencoba menerima perjodohan yang diatur oleh kedua orang tuanya. Mungkin saja dia bisa bertemu dengan jodohnya melalui perjodohan ini.
Raut wajah kedua orang tuanya langsung berubah cerah. Mereka tersenyum lega, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundak mereka. Namun, di dalam hati Aruni, sebuah pertanyaan besar mulai tumbuh.
Siapakah Ahmad sebenarnya? Mungkinkah kebahagiaan yang dicari selama ini bersembunyi di balik kesederhanaan seorang petani, ataukah ini hanya awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya yang penuh dengan ketidakpastian?
Saat menatap foto pria asing itu, Aruni merasakan sebuah benih harapan sekaligus kecemasan tumbuh di hatinya. Pertemuan yang akan datang terasa seperti sebuah persimpangan jalan yang akan menentukan arah hidupnya.
Akankah ia menemukan kebahagiaan dalam pilihan orang tuanya, atau justru menemukan kekecewaan yang lebih dalam?
Setelah pembicaraan semalam, Siang ini, Aruni dan kedua orang tuanya pergi ke desa yang berbatasan dengan kota tempat mereka tinggal. Jaraknya tidak jauh hanya tiga puluh menit perjalanan.
Debar jantung Aruni terasa lebih kencang dari biasanya saat mobil yang dikemudikan ayahnya memasuki gerbang sebuah desa yang asri.
Hamparan sawah hijau membentang di sepanjang jalan, diselingi rumah-rumah sederhana dengan halaman yang dipenuhi tanaman. Udara segar dengan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka. Sebuah kontras yang jauh berbeda dengan hiruk pikuk kota tempat Aruni menghabiskan hari-harinya.
"Sudah siap, Nak?" tanya Pak Burhan, melirik Aruni dari kaca spion.
Aruni menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.
"Insya Allah, Ayah."
Mereka berhenti di sebuah rumah sederhana dan itu adalah rumah Ahmad. Ternyata rumah Ahmad lebih sederhana dari yang ia bayangkan. Sebuah bangunan kayu dengan cat hijau yang sedikit pudar, namun tampak bersih dan terawat. Halaman depannya ditumbuhi berbagai macam bunga yang berwarna-warni. Di teras, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat menyambut kedatangan mereka.
"Assalamualaikum, Pak Burhan, Bu Aminah. Mari silakan masuk," sapa wanita itu, yang tak lain adalah ibunda Ahmad.
Setelah bersalaman dan berbasa-basi sejenak, Bu Aminah memanggil anaknya, "Ahmad, ini Nak Aruni sudah datang."
Dari balik pintu muncul seorang pria. Aruni langsung mengenali wajahnya dari foto yang diberikan ibunya. Ahmad, tidak setampan aktor-aktor di televisi, namun ada aura ketulusan dan keramahan yang terpancar dari matanya. Kulitnya tampak sedikit legam terbakar matahari, dan tangannya terlihat kasar, menandakan ia adalah seorang pekerja keras. Ia mengenakan kemeja batik sederhana dan celana bahan berwarna gelap.
"Assalamualaikum, Mbak Aruni," sapa Ahmad dengan suara yang terdengar lembut di telinga Aruni, senyumnya mengembang tulus.
"Waalaikumsalam, Mas Ahmad," jawab Aruni gugup, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Kedua keluarga kemudian duduk di ruang tamu yang sederhana namun rapi. Obrolan mengalir perlahan, dimulai dari perkenalan diri hingga cerita tentang kehidupan di desa dan di kota.
"Jadi, Mbak Aruni ini seorang guru SD ya?" tanya Ahmad, mencoba membuka percakapan lebih jauh setelah basa-basi awal.
"Iya, Mas," jawab Aruni dengan senyum tipis. "Sudah hampir lima tahun mengajar."
"Pasti seru ya, berinteraksi dengan anak-anak setiap hari," timpal Ahmad, matanya menunjukkan ketertarikan. "Saya sendiri setiap hari berkutat dengan tanaman di kebun dan sawah."
"Ada suka dukanya, Mas. Tapi sebagian besar menyenangkan kok," kata Aruni, merasa sedikit lebih rileks. "Kalau Mas Ahmad sendiri, apa saja suka dukanya jadi petani?"
Ahmad tertawa kecil. "Sukanya ya, melihat tanaman tumbuh subur dan menghasilkan panen yang bagus. Dukanya kalau musim kemarau panjang atau hama menyerang. Kadang juga harga jual panen tidak sesuai harapan."
Ia menjelaskan dengan antusias tentang jenis-jenis padi yang ditanamnya, tentang sistem pengairan tradisional yang masih digunakan di desanya, dan tentang harapannya untuk bisa mengembangkan pertanian di desanya menjadi lebih modern. Aruni mendengarkannya dengan saksama, sesekali menimpali dengan pertanyaan sopan, merasa ada hal baru yang menarik perhatiannya.
Setelah beberapa saat berbincang di ruang tamu, Bu Yanti, ibu Ahmad meminta Ahmad mengajak Aruni untuk melihat kebun, sedangkan Pak Burhan dan Bu Aminah duduk santai di teras menikmati suasana desa yang jarang mereka temui di kota.
Aruni berjalan berdampingan dengan Ahmad, menyusuri jalan setapak di antara hamparan padi yang mulai menguning. Aroma tanah dan tanaman semakin terasa kuat.
"Ini sebentar lagi panen, Mbak," kata Ahmad sambil mengusap lembut bulir padi. "Semoga hasilnya memuaskan."
"Subur sekali sawahnya, Mas," puji Aruni, mengamati hijaunya tanaman di sekelilingnya. "Pasti Mas Ahmad rajin sekali merawatnya."
"Ya, beginilah kehidupan saya sehari-hari, Mbak," jawab Ahmad sederhana. "Sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak kecil."
Ia dengan sabar menjelaskan berbagai jenis tanaman yang ada di kebunnya, tidak hanya padi, tapi juga beberapa jenis sayuran dan buah-buahan. Ia tampak begitu mencintai pekerjaannya, dan semangatnya itu entah bagaimana menular pada Aruni.
Saat mereka beristirahat di sebuah gubuk kecil di tengah sawah, Ahmad menyuguhkan air kelapa muda yang segar. Di bawah rindangnya pepohonan, obrolan mereka terasa lebih santai dan terbuka.
"Pemandangan di sini indah sekali ya, Mas. Beda sekali dengan suasana kota," ujar Aruni sambil menikmati segarnya air kelapa.
"Alhamdulillah, Mbak. Saya sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. Justru saya merasa nyaman dan tenang di sini," balas Ahmad, menatap hamparan sawah dengan tatapan penuh syukur. "Mbak Aruni betah di kota?"
"Mau tidak mau harus betah, Mas. Pekerjaan saya di sana," jawab Aruni sambil tersenyum. "Tapi sesekali saya juga rindu suasana yang tenang seperti ini."
Setelah pertemuan hari itu, Aruni mulai merasakan nyaman dengan kehadiran Ahmad. Apalagi sepertinya Ahmad juga merasa tertarik dengannya.
Beberapa kali pertemuan berikutnya terasa semakin akrab. Ahmad tak pernah berusaha menjadi orang lain di depan Aruni. Ia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dia selalu datang ke rumah Aruni dengan motor tuanya untuk mendekatkan diri, Terkadang mereka juga keluar untuk makan bakso di pinggir jalan. Mereka selalu berbagi cerita dan tawa dan membahas banyak hal, mulai dari kenangan masa kecil, hobi, hingga pandangan mereka tentang hidup.
Aruni menyukai cara Ahmad memperlakukannya dengan sopan dan penuh perhatian. Ia juga kagum dengan pengetahuannya tentang alam dan kegigihannya dalam bekerja.
Suatu sore, saat Aruni dan Ahmad sedang menikmati teh hangat dan pisang goreng di teras rumah Aruni, percakapan mereka yang awalnya santai tuba-tiba berubah menjadi lebih serius.
"Mbak Aruni," panggil Ahmad pelan, memecah keheningan senja. "Saya... saya merasa nyaman sekali setiap kali kita bertemu."
Aruni menatap Ahmad, merasakan kehangatan menjalari hatinya. "Saya juga, Mas Ahmad. Saya merasa... berbeda saat bersama Mas."
Ahmad tersenyum tulus, matanya berbinar.
"Apakah... apakah Mbak Aruni tidak keberatan jika hubungan kita ini... menjadi lebih serius?"
Aruni terdiam sejenak, menatap mata Ahmad yang penuh harap. Namun, Ada keraguan kecil di benaknya, tentang perbedaan latar belakang mereka, tentang masa depannya di desa. Namun, ada juga perasaan hangat dan nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Mas Ahmad," kata Aruni lembut, " Ada sesuatu yang ingin saya katakan." Ia menatap mata Ahmad dengan sedikit keraguan. "Ini tentang... usia saya."
Ahmad mengerutkan kening, tampak bingung. "Usia Mbak Aruni? Memang kenapa dengan usia Mbak?"
Aruni menelan ludah. "Usia saya... sudah tiga puluh tahun, Mas." Ia menunggu reaksi Ahmad dengan cemas.
Ahmad terdiam sejenak, menatap Aruni dengan ekspresi yang sulit dibaca. Kemudian, ia tersenyum tipis. "Lalu kenapa, Mbak? Usia saya juba susah tiga lima, Bukankah usia hanyalah angka?"
Aruni merasa lega mendengar jawaban Ahmad.
"Jadi jika itu masalahnya, saya rasa itu bukanlah masalah yang berarti. Kita bisa mengatasinya. " ucap Ahmad dengan yakin.
Arumi tersenyum lebar mendengar ucapan Ahmad, pria itu sangat baik dan tulus. Jadi tidak ada alasan Aruni untuk menolak keinginan Ahmad yang ingin menjalin hubungan yang lebih serius.
"Jadi kalau begitu, Aku akan bicara pada ibu tentang rencana kita, dan mulai sekarang kita akan mengurus berkas-berkas pernikahan kita."
Sore itu, di teras rumah Aruni, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena terik matahari, melainkan karena kelegaan dan kehangatan yang menyelimuti hati Aruni. Setelah Aruni menceritakan tentang usianya yang menginjak tiga puluh tahun, reaksi Ahmad sungguh di luar dugaan.
"Lalu kenapa, Mbak? Bukankah usia hanyalah angka?" ucap Ahmad dengan senyum tulus, seolah beban yang selama ini menghantui Aruni tiba-tiba terangkat.
Aruni menatapnya, ada genangan haru di pelupuk matanya. "Saya... saya pikir, Mas akan keberatan."
Ahmad menggeleng pelan. "Justru saya kagum, Mbak Aruni sudah mapan dan mandiri di usia ini. Usia tidak pernah menjadi patokan bagi saya untuk memilih pendamping hidup. Yang terpenting adalah kesesuaian hati dan komitmen." Ia meraih jemari Aruni yang diletakkan di atas meja, menggenggamnya erat.
"Jadi, Mbak Aruni, apakah ini berarti... Mbak bersedia melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius?"
Jantung Aruni berdebar kencang. Dalam diri Ahmad, ia menemukan ketenangan, kejujuran, dan penerimaan yang selama ini ia cari. Keraguan tentang perbedaan latar belakang perlahan sirna digantikan oleh keyakinan.
"Iya, Mas Ahmad," jawab Aruni, suaranya bergetar menahan kebahagiaan. "Saya bersedia."
Senyum lebar mengembang di wajah Ahmad. Ada binar bahagia yang terpancar dari matanya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak Aruni. Saya janji akan berusaha menjadi yang terbaik untuk Mbak."
Setelah kepergian Ahmad, Aruni masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan. Senyum tak lepas dari bibirnya, membuat Pak Burhan dan Bu Aminah saling berpandangan heran.
"Ada apa ini, Nak? Kok senyum-senyum sendiri?" goda Bu Aminah saat Aruni duduk di sofa ruang keluarga.
Aruni tertawa kecil. Ia menatap kedua orang tuanya yang selalu khawatir akan dirinya. "Ayah, Ibu... Aruni dan Mas Ahmad sudah sepakat."
Pak Burhan dan Bu Aminah mengerutkan kening. "Sepakat apa, Nak?" tanya Pak Burhan penasaran.
"Sepakat untuk... melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius," jawab Aruni, pipinya merona merah.
Seketika, raut wajah kedua orang tuanya berubah drastis. Mata Bu Aminah berkaca-kaca, dan senyum lega tersungging di bibir Pak Burhan.
"Alhamdulillah!" seru Bu Aminah sambil memeluk Aruni erat. "Ya Allah, akhirnya doa Ibu terkabul, Nak!"
Pak Burhan menepuk bahu Aruni dengan bangga.
"Syukurlah, Nak. Ayah senang sekali mendengarnya. Memang Ahmad anak yang baik. Ayah tidak salah memilihkan pria itu untukmu."
Malam itu, rumah Aruni dipenuhi suasana suka cita. Bu Aminah sibuk menelepon sanak saudara untuk membagikan kabar gembira, sementara Pak Burhan tak henti-hentinya bersyukur. Aruni merasa sangat lega dan bahagia melihat kebahagiaan orang tuanya.
Di sisi lain, Ahmad juga menyampaikan kabar gembira itu kepada ibunya, Bu Yanti.
"Bu, Ahmad mau bicara serius," kata Ahmad saat makan malam bersama ibunya.
Bu Yanti menatap putranya penuh perhatian menanti apa yang ingin dikatakan oleh putranya itu.
"Ada apa, Nak? Wajahmu berseri-seri begitu.Apa ada kabar bahagia? " tanya Bu Yanti penasaran.
"Iya, Ahmad sudah mantap, Bu," ucap Ahmad.
"Ahmad dan Mbak Aruni sudah sepakat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Kami siap untuk menikah." imbuhnya
Mendengar itu, sendok di tangan Bu Yanti nyaris jatuh. Ia menatap Ahmad tak percaya, kemudian senyum perlahan mengembang di wajahnya. Ada air mata haru yang mulai menggenang di sudut matanya.
"Benarkah, Nak? Alhamdulillah ya Allah... Akhirnya kamu mau menikah," ucap Bu Yanti, suaranya bergetar. Ia masih tidak percaya dan memeluk Ahmad erat.
"Ibu bersyukur sekali, Nak. Kamu sudah dewasa, usiamu sudah cukup, saatnya membangun rumah tangga. Aruni itu gadis yang baik, Ibu tahu."
Kebahagiaan Bu Yanti begitu tulus. Selama ini, ia selalu cemas Ahmad anaknya akan terus sendiri, fokus pada kebunnya dan melupakan urusan pendamping hidup. Kini, mendengar kabar pernikahan anaknya, seolah beban berat terangkat dari pundaknya.
*********
Tak butuh waktu lama, kedua keluarga pun sepakat untuk menyelenggarakan acara lamaran atau pertunangan terlebih dulu. Persiapan dilakukan dengan sederhana namun penuh makna. Sebuah tanggal pun ditentukan, disesuaikan dengan waktu luang Aruni dan Ahmad, serta kesediaan keluarga besar.
Pada hari yang telah ditentukan, rumah Aruni dipenuhi oleh sanak saudara dari kedua belah pihak. Aroma masakan tradisional yang harum semerbak memenuhi udara. Dekorasi sederhana namun cantik dari bunga-bunga segar dan bunga sintesis menghiasi setiap sudut ruangan.
Aruni mengenakan kebaya modern berwarna hijau pastel yang senada dengan kerudung yang membingkai wajahnya. Ia tampak anggun dan berseri-seri. Ahmad, dengan kemeja batik terbaiknya, terlihat gagah dan sedikit gugup.
Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan keluarga Ahmad, yang menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamar Aruni secara resmi.
"Kedatangan kami kemari adalah dengan maksud baik, yaitu ingin melamar mbak Aruni untuk menjadi istri anak kami Ahmad, Apakah lamaran ini di Terima? " Tanya perwakilan dari Ahmad.
Kemudian, giliran perwakilan keluarga Aruni yang memberikan sambutan dan jawaban atas maksud baik keluarga Ahmad dan menyatakan kesediaan mereka untuk menerima lamaran tersebut setelah berbicara dengan Aruni.
"Dengan senang hati, kami sudah bertanya kepada putri kami apakah dia mau menerima lamaran ini. Dan ternyata anak kami menerima Lamaran ini." ucap ayah Arun dengan penuh kebahagiaan.
Hari itupun Arun dan Ahmad resmi betunangan, Sebagai tanda Cincin pertunangan pun disematkan di jari manis Aruni oleh Bu Yanti, sebagai simbol ikatan yang akan segera terwujud.
Suasana haru dan bahagia menyelimuti seluruh ruangan. Senyum tak lepas dari wajah Aruni dan Ahmad, begitu pula dari wajah kedua orang tua mereka. Setelah sesi tukar cincin, dilanjutkan dengan doa bersama dan ramah tamah. Aruni dan Ahmad duduk berdampingan, menerima ucapan selamat dan doa restu dari para tamu. Hati mereka dipenuhi rasa syukur dan harapan akan masa depan yang cerah.
Saat acara selesai, Aruni dan Ahmad duduk di teras, menikmati sisa-sisa kehangatan sore hari itu.
"Tidak menyangka ya, Mas. Secepat ini," ujar Aruni sambil tersenyum.
Ahmad menggenggam tangan Aruni. "Saya juga tidak menyangka, Mbak. Tapi saya yakin, ini adalah takdir terbaik dari Allah untuk kita." Ia menatap mata Aruni lekat-lekat. "Mbak Aruni siap hidup di desa bersama saya?"
Aruni mengangguk mantap. "Insya Allah, Mas. Saya siap."
"Tapi–," kata Ahmad, suaranya sedikit merendah, "Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Mbak Aruni, sebelum semuanya berjalan lebih jauh." Wajah Ahmad berubah serius, ada sedikit keraguan di matanya.
Aruni menatapnya cemas. "Apa itu, Mas?"
Ahmad menarik napas panjang, sorot matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Informasi apa yang akan ia sampaikan ini akankah memengaruhi kebahagiaan yang baru saja mereka raih?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!