Tirta memegang dadanya yang terasa sakit, dia tidak menyangka jika rencananya untuk menjodohkan putrinya dengan keluarga konglomerat telah ditolak oleh putra pewaris keluarga itu.
Padahal itu adalah satu-satunya cara agar Tirta terbebas dari tuntutan penjara karena perusahaannya yang gulung tikar. Dia harus membayar gaji ribuan karyawan yang masih menjadi hutang.
Semua asetnya telah ia jual, tak ada lagi barang berharga yang ia punya untuk membayar hutang yang menggunung itu. Dia hanya punya waktu dua minggu untuk melunasi semuanya atau penjara menjadi tempatnya.
Beberapa hari yang lalu, Tirta seperti mendapat angin segar. Salah satu kolega bisnisnya memberikan tawaran padanya, semua hutang perusahaan milik Tirta akan dilunasi dengan syarat, Tirta mau menikahkan putrinya dengan putra keluarga kolega bisnisnya itu.
Tapi siapa sangka, angin segar itu justru berubah menjadi udara yang mendekat leher Tirta. Putra dari kolega bisnisnya itu ternyata menolak mentah-mentah perjodohan itu.
"Akkhh" Tirta semakin merasa kesakitan.
"Papa, kita ke rumah sakit saja Pa! Kata dokter Papa harus segera dioperasi!" Bujuk wanita cantik berusia dua puluh lima tahun itu sejak tadi.
"Papa tidak mau ke rumah sakit. Masih banyak hal yang harus Papa selesaikan!" Tolak Tirta meski dia beberapa kali meringis menahan sakit.
"Papa mau apa lagi? Lupakan soal pekerjaan Papa dulu, sekarang kesehatan Papa lebih penting! Aku cuma punya Papa di dunia ini, jadi tolong Pa, ayo ke rumah sakit!"
"Kalau Papa tidak menyelesaikan pekerjaan Papa dan secepatnya mencari bantuan, gimana nasib Papa? Gimana Papa membayar semua hutang-hutang Papa?"
Wanita yang dipanggil Safa itu terdiam. Dia tak bisa berbuat banyak karena dia tidak tau apa-apa soal perusahaan. Selama ini dia belum terjun langsung ke perusahaan karena dia masih ingin melanjutkan kuliahnya.
Tapi belum sempat dia membantu Papanya, perushaan milik Papanya itu sudah terlanjur bangkrut.
"Apa tidak ada cara lain Pa?" Safa menatap pria paruh baya dihadapannya dengan sendu. Hanya pria itu yang ia punya di dunia ini. Pria yang telah mengambil Safa dari panti asuhan kemudian mengasuhnya bersama sang istri yang kini telah meninggal dunia.
"Harapan Papa hanya keluarga Om Indra. Tapi ternyata putranya tidak mau menikahi kamu. Pastinya Om Indra tidak mau membantu kita karena rencana kami berdua gagal untuk menikahkan kamu dengan putranya"
Mengingat hutang Papanya yang begitu banyak, tentu saja tidak akan mudah mencari pinjaman. Di samping itu, mana ada orang yang mau memberikan pinjaman sebanyak itu tanpa adanya jaminan. Seluruh aset Papanya yang bisa digunakan saja sudah tidak ada. Hanya rumah yang mereka tinggali saat ini yang tersisa.
"Kalau Safa bisa menikah sama putra Om Indra, Papa mau operasi kan Pa?"
"Mustahil Safa, kamu tau kan sifat putra Om Indra itu. Dia terkenal dingin dan tak tersentuh!"
"Kita tidak akan tau hasilnya kalau belum mencobanya Pa. Safa akan menemuinya sendiri!"
Tadi malam saat Safa dan Papanya datang ke restoran untuk membicarakan tentang perjdoohan itu, hanya Indra Kusuma Jati dan istrinya saja yang datang. Jadi penolakan itu tidak disampaikan secara langsung.
Namun Safa sempat bertemu beberapa kali saat Safa menemani Papanya ke acara-acara besar. Safa juga sering melihat pria itu wara-wiri dimajalah bisnis dan di media sosial. Jadi sedikit banyak, Safa tau tentang putra keluarga itu.
Kaki jenjang Safa sudah berdiri di depan salah satu perusahaan raksasa di Indonesia. Dia menatap gedung tinggi dihadapannya itu. Dia datang kesana tentu saja untuk menemui pemiliknya yang saat ini berada di dalam sana.
Safa berjalan dengan percaya diri meski sebagian orang pasti sudah tau siapa dia dan apa masalah yang sedang dia dan Papanya hadapi.
Tapi dia tidak peduli, dia terus berjalan masuk menuju resepsionis untuk mengetahui dimana ruangan pria itu berada.
"Mau apa kau datang ke sini? Apa kurang jelas semalam?" Pria yang duduk di kursi kebesarannya itu hanya melirik Safa sekilas kemudian kembali fokus pada dokumen di hadapannya.
Setelah sempat mendapat kesulitan untuk masuk bertemu dengn CEO perusahaan itu, akhrinya Safa bisa berdiri di hadapan pria dengan nama Lingga Kusuma Jati yang tertera pada papan nama di atas meja.
"Maaf aku mengganggu waktu mu" Safa sempat merasa merinding melihat sikap Lingga kepadanya, meski bukan pertama kali berhadapan, namun rasanya tetap menakutkan apalagi hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
Memang benar, aura dingin dan tak tersentuh begitu terasa saat dihadapannya secara langsung seperti saat ini.
"Saya tidak punya banyak waktu!" Lingga terlihat tak ingin Safa berada di ruangannya lebih lama lagi.
Lingga begitu terus terang dan blak-blakan. Tak ada basa basi sedikitpun, meski sekedar meminta Safa untuk duduk lebih dulu. Dia malah membiarkan Safa berdiri di depan mejanya.
"Ayo kita menikah. Aku akan melahirkan anak untukmu, asal kamu mau menolong Papaku!"
Secara gamblang Safa mengutarakan niatnya. Tanpa basa-basi lagi seperti yang Lingga inginkan.
Dia sendiri tak menyangka jika punya keberanian seperti itu. Mengajak Lingga menikah padahal jelas-jelas pria itu sudah menolak untuk menikah dengannya.
"Kau yakin mau menikah dengan ku?" Lingga akhrinya mengangkat kepalanya, menatap Safa dengan sorot matanya yang dingin.
"Aku yakin! Aku bersih, dan aku cantik. Aku jamin aku tidak akan merusak garis keturunan mu!" Jawab Safa dengan tegas tanpa keraguan bahkan terkesan percaya diri. Tapi memang begitu kan cara merayu?
"Aku tau orang tuamu mendesak mu untuk menikah karena menginginkan keturunan darimu. Jadi, ayo menikah. Aku akan melahirkan anak untukmu, berapapun kamu mau. Asal bantu Papa ku untuk melunasi hutangnya" Lanjut Safa.
Tadi malam Safa mendengar sendiri Nyonya Besar dari keluarga Kusuma Jati sangat mendambakan seorang cucu sebagai penerus keluarga mereka karena Lingga adalah anak laki-laki satu-satunya sementara adik Lingga perempuan.
"Kau begitu berani ternyata" Lingga terlihat menyeringai diwajah tampannya.
"Tapi apa kau tau, apa syarat jika ingin menikah dengan ku?" Pria berlawanan tinggi dan gagah itu tampak meletakkan bolpoin yang sejak tadi ia pegang.
Dia sedikit memundurkan tubuhnya untuk bersandar, hingga otot-otot lengannya terlihat jelas karena kemeja putihnya yang ketat dan digulung hingga siku.
"Apapun syaratnya akan aku terima!" Safa tak peduli lagi, apapun syarat yang Lingga berikan pasti akan dia lakukan.
"Baiklah kita akan menikah!"
Safa menatap Lingga dengan lekat karena merasa dia salah dengar dengan ucapan Lingga. Dia tidak menyangka jika Lingga akan menyetujuinya begitu saja.
"Kau lahirkan anakku, dan jadi Ibu dari anakku. Aku akan melunasi semua hutang Ayahmu, tapi jangan menuntut apapun karena kau sendiri yang datang dan menawarkan diri. Ingat, jangan menuntut apapun dariku termasuk CINTA!!"
*
*
"Pa! Papa!!" Seru Safa saat baru saja memasuki rumahnya.
Safa langsung menghampiri Papanya yang duduk di ruang tengah sendirian. Sudah tak ada lagi asisten yang menemani Tirta, ataupun asisten rumah tangga di sana. Semuanya sudah diberhentikan karena Tirta tak sanggup lagi membayar mereka.
"Kamu sudah pulang?" Tirta terlihat tak bersemangat menyambut putrinya. Seolah dia tau kalau apa yang dilakukan Safa tidak membuahkan hasil sama sekali.
Tirta tau betul bagaimana sifat Lingga. Pria itu menjadi tak tersentuh oleh wanita manapun setelah ditinggal pergi tunangannya, wanita yang hampir dinikahi oleh Lingga.
"Pa, kita ke rumah sakit sekarang. Papa sudah janji akan ke rumah sakit dan melakukan operasi kalau Safa berhasil meyakinkan Lingga untuk menikah!" Safa sudah menarik tangan Papanya, tak sabar ingin membawa Tirta ke rumah sakit.
"Tunggu! Apa maksud kamu Safa?" Tirta sebenarnya sudah menangkap maksud dari putrinya itu, tapi rasanya mustahil baginya.
"Lingga bersedia menikah dengan ku Pa. Dia juga mau membayar semua hutang Papa sebagai gantinya. Papa nggak akan masuk penjara!" Mata Safa berkaca-kaca karena Papanya tak terancam pidana lagi.
"Apa kamu serius? Kamu nggak bohong sama Papa?"
"Papa bisa tanyakan sendiri kalau tidak percaya!"
Bukannya berteriak senang karena harapannya untuk menjadikan Safa menantu dari keluarga konglomerat tercapai. Tirta saat ini justru terlihat sendu, perlahan air matanya keluar kemudian memeluk putrinya.
"Maafkan Papa Safa, kamu mengorbankan hidup kamu demi Papa. Seharusnya Papa membahagiakan kamu, bukan menjadikan kamu tumbal seperti ini. Papa minta maaf"
Safa tak kuasa menahan air matanya lagi. Dia menangis di pelukan Ayah angkatnya itu.
"Selama ini Papa sudah membahagiakan Safa. Papa tidak pernah menuntut apapun sama Safa. Papa juga selalu menuruti apa yang Safa mau. Sekarang gantian Safa yang membantu Papa, Safa rela melakukan apa saja asalkan Safa bisa selalu sama Papa. Jadi Papa harus operasi biar cepat sembuh. Safa cuma punya Papa di dunia ini, jadi Papa harus sehat. Papa mau kan?"
Tirta melepaskan pelukannya pada Safa. Dia memegang kedua bahu putrinya itu.
"Tapi kalau operasi, uang dari mana Safa? Uang kita sudah habis!"
"Safa masih punya uang hasil dari menjual barang-barang punya Safa. Kalau cuma untuk biaya operasi Papa, itu masih cukup"
Tirta kembali terlihat lesu, dia benar-benar merasa bersalah. Dia merasa tidak bisa bertanggungjawab pada Safa. Dia yang mengambil Safa dari panti asuhan, seharusnya dia bertanggungjawab penuh, bukannya membebani seperti saat ini.
"Papa jangan pikirkan apapun. Safa hanya mau Papa sehat dan menemani Safa. Memangnya Papa nggak mau lihat Safa punya anak nanti? Papa pingin punya cucu kan?" Safa mencoba tersenyum untuk menghibur Papanya.
Tirta hanya bisa menarik sedikit bibirnya untuk tersenyum, namun itu hanya senyum kepedihan karena merasa kasihan pada Safa yang harus berkorban demi dirinya.
🌺🌺🌺🌺
Safa tidak tau apa yang Lingga lakukan, setelah pertemuan mereka waktu itu, mereka tak pernah lagi bertemu.
Tapi dua hari setelah hari itu, Safa dijemput seseorang yang mengaku sebagai orang suruhan Novita, Nyonya besar dari keluarga Kusuma Jati.
Ternyata Lingga memang benar-benar serius menerima tawarannya karena saat Safa dijemput, ternyata dia dibawa ke butik untuk memilih gaun pengantin. Dia juga dibawa ke toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan.
Tapi waktu itu, Safa hanya berdua dengan Novita. Tidak ada Lingga sama sekali, pria itu terlihat tak peduli dan menyerahkan semuanya pada Mamanya.
"Mama senang karena akhirnya Lingga mengubah keputusannya dan mau menikahi kamu. Tapi Mama minta maaf karena justru Mama yang menemani kamu menyiapkan semua ini. Mama mohon, kamu bersabar untuk menghadapi Lingga. Mama yakin suatu saat hatinya akan terbuka untuk kamu"
Begitulah kira-kira yang diucapkan Nyonya besar itu saat menemani Safa ke butik dan ke toko perhiasan.
Setidaknya, Safa mendapatkan mertua yang baik walau Lingga seperti itu. Safa juga sadar diri, dia tidak boleh menuntut apapun termasuk meminta Lingga menemaninya karena itu memang kesepakatan dari awal.
Tapi tampaknya Nyonya besar tidak tau kalau sebelumnya, dirinya dan Lingga telah membuat kesepakatan hingga akhirnya Lingga mau merubah keputusannya.
Lingga bahkan mempercepat semuanya. Dari Safa datang ke perusahaan Lingga, hanya sekitar dua minggu kemudian, pernikahan mereka sudah dilakukan.
Safa sekarang sudah sah menjadi istri dari Lingga Kusuma Jati. Pewaris dari Kerajaan bisnis Kusuma Jati. Memang secepat itu, Safa sendiri masih tak percaya. Tapi semua memang bisa dilakukan oleh Lingga ibarat hanya membutuhkan waktu satu kedipan mata.
Tapi walau sekarang Safa berada di tengah pesta yang megah. Gaun yang indah yang membuatnya menjadi ratu semalam, namun perasaannya gamang.
Dia bisa dibilang mendapatkan pesta pernikahan seperti yang dia impikan. Namun untuk merasa bahagia dia terhalang sebuah kesepakatan.
Andai saja dia menikah dengan pria yang ia cintai, atau minimal Lingga mencintai dirinya, pasti rasanya akan jauh berbeda.
Tapi ada satu kebahagian terselip di antara kegamangan itu, yaitu wajah cerah Papanya. Meski jadwal operasi akan dilakukan beberapa hari setelah pernikahan, namun Papanya terlihat lebih sehat. Itulah yang bisa membuat Safa tersenyum dengan tulus saat ini.
Namun untuk senyum yang lainnya, itu hanya sebuah formalitas. Dia tak ingin terlihat menjadi pengantin terburuk karena memperlihatkan wajah sedihnya. Sementara pria di sampingnya, Safa meliriknya sekilas.
Pria itu terlihat begitu tampan dengan setelan jas hitam yang melekat sempurna ditubuh tinggi kekarnya. Lingga memang definisi pria sempurna, kaya raya, tampan ditambah postur tubuh yang bagus. Namun wajah dinginnya itu tak bisa dihilangkan. Meski saat ini dia berada di atas pelaminan, tak sedikitpun senyum terukir di wajahnya.
Safa masuk ke dalam kamar hotel yang begitu mewah dengan hiasan bunga dan segala tetek bengeknya. Benar-benar terlihat seperti kamar pengantin yang begitu indah.
Jelas Safa terpana saat pertama kali masuk. Betapa bahagianya jika dia berada dikamar itu bersama dengan pria yang ia cintai.
Tapi lamunannya itu harus buyar karena suara pintu yang ditutup agak keras di belakangnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan pria yang berstatus sebagai suaminya saat ini.
Saat Safa ingin berbalik, tiba-tiba saja dia merasakan sepasang tangan kekar melingkar di pinggangnya.
Punggungnya juga menabrak sesuatu yang keras. Kemudian tengkuknya langsung merinding karena hembusan nafas seseorang disana.
"Apa yang kau tawarkan sampai akhirnya kau bisa menikah denganku?"
Safa semakin merinding karena Lingga bicara tepat di telinganya.
"A-aku bersedia melahirkan anak untukmu" Jawab Safa dengan gugup karena posisi mereka saat ini.
"Kalau begitu, lakukan tugasmu mulai malam ini!"
*
*
"Apa yang kau tawarkan sampai akhirnya kau bisa menikah denganku?"
Safa semakin merinding karena Lingga bicara tepat di telinganya.
"A-aku bersedia melahirkan anak untukmu" Jawab Safa dengan gugup karena posisi mereka saat ini.
"Kalau begitu, lakukan tugasmu mulai malam ini!"
Tak ada kesempatan menolak, tak berhak pula bagi Safa untuk menolak karena dia sendiri yang menawarkan diri. Dia sendiri yang menginginkan untuk melahirkan anak untuk Lingga.
Bahkan di saat gaun pengantin masih melekat ditubuhnya, Safa tak diberikan kesempatan untuk menggantinya terlebih dahulu. Dia bahkan tak diijinkan untuk membersihkan tubuhnya, layaknya pengantin baru yang mempersiapkan segalanya demi malam pertama.
Sretttt...
Lingga menarik resleting gaun milik Safa di bagian punggungnya hingga gaun yang berbentuk kemben itu terlepas, membuat tubuh bagian atas milik Safa terlihat.
Meski saat ini posisi Lingga ada di belakangnya namun Safa yakin jika pria itu bisa melihat bagian depannya yang menggantung bebas. Apalagi Lingga berdiri menempel pada Safa, tubuh pria itu juga jauh lebih tinggi darinya.
Tangan Safa mencoba menutupi area depannya yang belum pernah dilihat pria manapun. Tapi sayang, tangannya lebih dulu ditahan oleh Lingga.
"Untuk apa ditutupi, bukannya seharusnya kau sudah siap?" Bisik Lingga.
Sreettt...
Lingga memutar pinggang Safa hingga kini mereka berdua berdiri berhadapan. Jangan tanyakan lagi bagaimana perasaan Safa.
Menyerahkan diri pada pria yang tidak dicintainya apalagi mencintainya. Mereka melakukan itu hanya untuk sebuah kesepakatan.
Mahkota yang ia jaga selama dua puluh lima tahun ini akan segera hilang. Meski ditangan suaminya sendiri, rasanya Safa ingin menangis dan menjerit karena melakukannya dengan terpaksa.
"Kau mau menarik keputusan mu? Pembatalan pernikahan masih bisa dilakukan kalau kau mau mundur!" Ucap Lingga dengan suaranya yang rendah dan datar.
"Tidak. Aku tetap pada keputusan ku!" Jawab Safa dengan tegas. Tak tau saja jika hatinya bergetar ketakutan. Sudah Safa bilang, berhadapan dengan Lingga hanya berdua seperti itu membuat seluruh tubuhnya merinding. Apalagi saat ini, setengah tubuhnya tanpa penutup sama sekali.
"Kalau begitu, harusnya kau tau apa yang harus kau lakukan!" Safa mendongak, menatap pria bertubuh tinggi itu.
Haruskah Safa merendahkan dirinya lagi? Setelah dia menginjak harga dirinya sendiri dengan menawarkan dirinya pada Lingga. Apa sekarang dia harus kembali merendahkan diri dengan menjadi wanita murahan? Merayu pria yang jelas tidak menginginkan dirinya?
Lingga hanya diam meski saat ini mereka berdiri tanpa jarak. Bahkan tangannya pun masih melingkar di pinggang Safa.
Butuh beberapa detik bagi Safa untuk berpikir. Sampai akhirnya tangannya mulai terangkat, meraih bahu Lingga dan melingkar di sana. Kakinya yang sudah memakai heels itu masih harus berjinjit untuk mengecup bibir Lingga.
Cup...
"Ciuman pertamaku, yang ingin aku persembahkan untuk suamiku, pria yang aku cintai, kini ciuman itu telah benar-benar menjadi suamiku, tapi bukan pria yang aku cintai"
Satu..
Dua..
Tiga detik Safa masih diam dan hanya menempelkan bibirnya pada bibir Lingga. Bibir yang tak pernah tersenyum dan hanya mengeluarkan sedikit suara itu, ternyata terasa lembut di bibir Safa.
Safa benar-benar tak tau harus bagaimana lagi. Rasa gugupnya benar-benar membuatnya kaku.
Tapi saat Safa ingin menjauhkan bibirnya, Lingga langsung menci um bibirnya dengan rakus. Wajah Safa dicakup dengan kedua tangan Lingga hingga dia tak punya kesempatan untuk menolak.
Bibirnya dira up, dihi sap dan dig git dengan lembut oleh Lingga. Pria itu tampak handal dalam hal berci uman.
Brug...
Tubuh Safa yang ringan terlempar ke atas ranjang sampai ratusan kelopak mawar yang ditebar di sana langsung jatuh berhamburan.
Saat ini Safa benar-benar malu, penampilannya pasti sudah tak berbentuk lagi. Rambutnya yang dibiarkan tergerai saat resepsi tadi sudah berantakan, make upnya pun rusak karena ciuman Lingga, belum lagi gaunnya yang sudah turun hingga pinggang.
Tapi Lingga seolah tak memberikan kesempatan untuknya, pria itu langsung mengungkung Safa di bawahnya.
"Akkhhh" Pekik Safa karena tiba-tiba Lingga mere mas salah satu buah milik Safa yang menggantung bebas di bagian depan.
Bibir Safa yang terbuka itu langsung dira up oleh Lingga. Pria itu benar-benar terlihat begitu rakus. Sekarang mulai terasa tak ada kelembutan sama sekali dalam sentuhannya.
Safa sendiri sama sekali tak bisa mengimbangi permainan Lingga. Dia hanya pasrah saat Lingga mema inkan bi birnya di setiap inchi tubuhnya. Tangannya yang memiliki vena menonjol begitu jelas itu juga menjelajah dengan lihai di tubuh Safa.
Bukan kenik matan yang Safa rasakan seperti kata orang-orang, hanya rasa sakit saat Lingga tak sengaja mengi git atau mencengkeram tubuhnya terlalu kencang.
Srett...
Srett...
Safa tak bisa berbuat apa-apa saat Lingga membuang semua kain yang melekat di seluruh tubuhnya.
Dia pun memalingkan wajahnya saat Lingga juga melepas jas, kemeja dan celananya. Meski dia memalingkan wajahnya, dia sempat melihat otot da da dan juga perut Lingga yang begitu sempurna. Sekarang, Safa juga bisa melihat tato di tangan kanan Lingga dengan jelas.
Safa memejamkan matanya saat Lingga kembali menyentuhnya, kali ini Lingga mera up bibirnya dengan lembut. Kemudian membuka kedua kaki Safa dengan kedua lutut Lingga berada diantaranya.
"Inikah saatnya? Pria ini, suamiku? Pria yang tidak boleh aku tuntut akan cintanya?"
Safa mencengkeram selimut dengan sangat kuat karena rasa sakit yang menjalar sampai ubun-ubun sebuah benda tumpul dengan ukuran yang menakutkan bagi Safa telah menerobos masuk di bawah sana.
Rasanya ingin berteriak karena rasa sakitnya luar biasa, namun Safa hanya bisa mengi git bibir bawahnya saja.
"Oohhh" De sah Lingga ketika dia berhasil masuk sepenuhnya di dalam milik Safa.
Dia melihat miliknya, kemudian menyeringai ketika melihat da rah membasahi miliknya.
Entah menunggu apa, Lingga tak langsung bergerak. Dia malah kembali mengu lum bibir Safa dengan suara erangan tertahan beberapa kali.
Sekarang air mata benar-benar sudah menumpuk di pelupuk mata Safa. Dia sudah menyerahkan dirinya secara utuh pada pria yang kini mulai menggerakkan pinggulnya dengan teratur diatas tubuhnya.
"Ouuhhh sshhhh" Suara Lingga yang begitu seksi itu membuat Safa merasa aneh. Di ikut terbakar sekarang, apalagi apa yang Lingga lakukan menimbulkan sensasi menggelitik di bawah sana.
Lama kelamaan, rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di bawah sana. Mati-matian Safa menahannya, namun dia tak bisa. Sampai akhirnya suaranya lolos juga.
"Akkhhhh" Pekik Safa dengan badannya yang bergetar karena telah mencapai puncaknya. Dia benar-benar malu saat ini. Rasanya tak punya harga diri lagi.
Apalagi dia yang masih terkulai lemas, justru semakin di hantam oleh Lingga. Pria itu mulai mempercepat gerakannya. Suara Lingga yang terdengar menikmati permainan itu benar-benar terus memenuhi telinga Safa.
"Oouuhhhh Asyifaaaa" Tubuh Lingga bergetar. Safa merasa milik Lingga berkedut beberapa kali di dalam miliknya saat erangan panjang itu keluar dari bibir Lingga.
Brughh...
Lingga jatuh lemas menimpa tubuh Safa. Nafasnya masih terengah-engah karena baru saja mencapai puncaknya.
Tes...
Air mata Safa luruh juga. Kini Safa tau, kenapa Lingga bisa menyentuhnya meski Lingga tidak mencintainya sama sekali. Ternyata Lingga membayangkan dirinya adalah Asyifa.
"Kamu menyentuhku, tapi orang lain yang ada dimatamu"
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!