NovelToon NovelToon

Sistem Kultivasi Dewa Jahat

1 Kelahiran Kembali Seorang Mafia

Wang Cheng. Nama yang tak butuh banyak perkenalan di dunia bawah tanah. Ia bukan sekadar mafia—dia adalah momok, bayang-bayang gelap yang membuat para penghutang, pengusaha kotor, bahkan sesama kriminal bergidik ngeri.

Tubuhnya tinggi, kekar, berotot, dipenuhi tato-tato keji yang menceritakan kisah berdarahnya di jalanan. Wajahnya dihiasi luka lama, bekas sabetan parang yang tak pernah ia sembunyikan—justru dijadikan lambang kehormatan.

Rambutnya panjang sebahu, selalu disisir ke belakang, membiarkan dua helai menjuntai di sisi wajahnya seperti taring iblis yang siap mencabik-cabik mangsanya.

Dengan ratusan bawahannya, dan tongkat baseball berwarna merah darah yang tak pernah jauh dari genggamannya, Wang Cheng menguasai dunia kriminal layaknya taman bermain.

Ia dikenal kejam, brutal, tanpa ampun. Para penghutang? Wang Cheng akan datang sendiri jika perlu, dan satu kaki akan patah sebelum sempat minta maaf.

Narkoba, senjata ilegal, prostitusi, pencucian uang—semua telah disentuh oleh tangannya. Moral? Tidak ada dalam kamusnya.

Wang Cheng tak percaya pada Tuhan, apalagi pada hukum negara. Baginya, dunia adalah tempat berburu, dan dia adalah pemangsa paling haus darah yang pernah lahir di dunia itu.

Namun, bahkan raja di dunia kegelapan pun tak selalu abadi dalam kisahnya....

Malam itu dingin dan basah. Jalanan kumuh yang biasa ia kuasai kini terasa asing. Wang Cheng berjalan tertatih, satu tangan menekan perutnya yang tertembak timah panas. Darah mengalir deras, membasahi bajunya yang sudah sobek di beberapa tempat.

Suara sirene bergema di kejauhan—anjing keadilan akhirnya datang memburu sang raja kegelapan.

“Kalian... sialan... semua pengkhianat,” gumamnya pelan, napasnya berat ketika mengingat wajah orang-orang yang membocorkan lokasinya pada negara.

Mereka tidak menganggap ini sebagai penangkapan kriminal biasa, melainkan sebagai pemusnahan seorang iblis yang telah lama meneror negara dengan kejahatannya.

Dalam semalam, seluruh markasnya yang tersebar di berbagai kota diserbu dengan rencana yang terorganisir karena beberapa pengkhianat yang bekerjasama sama dengan kepolisian.

Dan disinilah Wang Cheng saat ini, di lorong sempit yang basah oleh air got dan darah, ia berjalan sendirian. Tak ada bawahan, tak ada teman, hanya kegelapan yang menyambutnya.

Ia berhenti di bawah lampu jalan yang berkedip pelan, tubuhnya goyah. Ia tahu siapa yang mengkhianatinya—anak buahnya sendiri, si bocah yang dulu ia selamatkan dari kelaparan, yang diberinya nama, pangkat, dan kepercayaan. Ternyata, dialah yang pertama menusuknya dari belakang.

Namun... Wang Cheng tidak menyesal. Dia tersenyum. Bukan senyum penyesalan, tapi senyum angkuh yang sudah melekat di wajahnya selama puluhan tahun.

“Kalau aku menyesal... itu sama aja aku mengakui dosa kepada para dewa. Padahal mereka pun... tidak lebih suci dariku,” gumamnya.

Ia menyalakan rokok—dengan tangan gemetar—menghirup asap terakhir yang menyatu dengan kabut malam. Ia mendongak, menatap langit yang kelabu.

"Dari lahir... hidupku memang sudah gelap... Dan aku tidak menyesal sedikitpun dengan langkah yang sudah aku ambil.”

Detik berikutnya, kakinya goyah. Ia jatuh. Rokok masih menyala di sela bibirnya. Matanya terbuka, menatap kosong ke langit yang tidak pernah menjanjikan pengampunan.

Sirene semakin dekat.

Tapi Wang Cheng... sudah pergi.

Tewas sebagai raja dunia gelap—tanpa penyesalan, tanpa permohonan maaf. Sebuah akhir yang sesuai dengan kehidupannya.

Namun, seolah masih belum puas untuk memainkan kehidupan kecil Wang Cheng, dewa kembali melempar dadu takdirnya...

...

Dingin itu hilang. Tapi bukan karena nyaman—melainkan karena perasaan aneh. Terlalu hening. Terlalu bersih. Terlalu... tidak masuk akal.

Wang Cheng membuka mata, dan cahaya terang menampar retinanya dengan kasar. Langit-langit di atasnya begitu tinggi, penuh ukiran klasik. Di sekelilingnya, gorden beludru, furniture mewah namun terlihat kuno, dan aroma harum melati memenuhi udara.

Semuanya asing, semuanya terasa salah.

"Apa-apaan ini..." gumamnya pelan, suaranya berat—tapi berbeda dari suaranya yang biasa. Ia langsung bangkit dan memandang ke tangannya. Bersih. Terlalu bersih. Tidak ada luka, tidak ada tato dan bekas pertempuran. Kulitnya... halus dan ramping.

Sesuatu mengganggu telinga dan pandangannya, ia meraba rambutnya dan menemukan helaian panjang tergerai hingga ke punggung.

"Rambut panjang seperti wanita? Bajingan, apa ini ulah dewa yang mempermainkanku? Tidak... Seharusnya aku yang paling tahu jika tidak ada dewa di dunia ini..."

Ia memandangi sekeliling. Dinding kayu dengan lukisan yang terpajang rapi, perabotan tradisional, jendela kayu yang terbuka ke taman bergaya Tiongkok klasik.

Segalanya seperti potongan film sejarah—bukan dunia tempat seorang mafia berdarah dingin seperti dia berasal.

"Apa ini... mimpi? Atau neraka dengan dekorasi indah?"

Suara engsel pintu berderit lembut mengiringi langkah dua pelayan yang masuk ke dalam kamar. Wang Cheng yang sedang terduduk di kasur hanya melirik sekilas, tapi matanya langsung menangkap kesan kuat akan tradisi dari penampilan mereka.

Seorang gadis muda dan seorang pria muda, keduanya mengenakan hanfu berwarna biru pucat dengan bordir awan tipis di bagian lengan dan ujung roknya. Ikat pinggang sutra perak membelit ramping di pinggang, memberi kesan elegan sekaligus anggun—meski pada sang pemuda, balutan itu tampak lebih formal daripada feminin.

Bahkan cara mereka melangkah pun penuh perhitungan, seolah setiap gerakan telah dilatih berkali-kali agar tak mengganggu ketenangan ruangan yang mereka masuki.

Tak ada suara keras, tak ada gerakan tergesa—semuanya dibalut keheningan dan tata krama klasik yang membuat Wang Cheng, meski tak menunjukkan ekspresi, merasa seperti kembali ke zaman para leluhur yang penuh aturan dan kehormatan.

Kedua pelayan itu berhenti, mata mereka melebar saat melihat Wang Cheng yang telah duduk tegak, menatap mereka dengan tajam.

“T-Tuan Muda!” seru si pelayan pria, suaranya panik.

Wang Cheng bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun, tetapi reaksi mereka seperti baru saja melihat iblis bangkit dari neraka.

“Kami... kami minta maaf, Tuan Muda! Seharusnya kami membangunkan Anda lebih cepat!” lanjut si gadis, nadanya gemetar.

Keduanya langsung menjatuhkan diri ke lantai, membungkuk sangat rendah hingga dahi mereka menyentuh dinginnya ubin. Tubuh mereka bergetar, seolah menanti hukuman berat.

Wang Cheng hanya menyipitkan mata, mencoba mencerna situasi. Namun, gadis pelayan itu buru-buru bangkit dan mengambil sesuatu dari sisi ranjang—sebuah cambuk kulit hitam dengan gagang berukir perak.

“Tuan Muda... silakan hukum kami. Kami siap menerima cambukan atas kelalaian kami,” katanya sambil menyodorkan cambuk itu ke arah Wang Cheng.

Wang Cheng menatap cambuk itu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya. Ia tidak marah, tetapi sorot matanya tampak kelam. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya aku akan menuruti keinginan kalian."

Tanpa berlama-lama, ia melangkah mendekat. Keduanya masih dalam posisi membungkuk, tak berani bergerak. Wang Cheng butuh sesuatu untuk meluapkan emosinya karena permainan para dewa.

PLAK!

Satu cambukan mendarat di punggung sang gadis. Tubuhnya mengejang, namun tak ada teriakan—hanya desisan napas yang tertahan.

PLAK!

Cambukan kedua menghantam punggung si pemuda. Ia menahan sakit dengan menggigit bibir, tubuhnya gemetar.

Wang Cheng terus memukuli mereka—bergantian, teratur. Bukan dengan sadisme, tapi dengan aura yang mencerminkan kekuasaan dan frustrasi.

Setelah beberapa kali, Wang Cheng menghentikan tangannya. Nafasnya sedikit memburu, entah kenapa dia merasa sangat lelah.

“Apa kalian pikir aku senang menghukum dengan alat seperti ini?” katanya datar. “Memberiku cambuk sialan itu, berarti kalian benar-benar ingin disiksa!”

2 Sistem Dewa Jahat

Ia melempar cambuk itu ke lantai, suaranya bergema ringan namun tegas. Keduanya masih membungkuk, tak berani menatap wajahnya.

“Jika kalian melakukan kesalahan, hukuman akan datang dari tanganku sendiri. Bukan dari alat seperti ini, kalian mengerti?”

“K-kami mengerti,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Bagus. Sekarang keluar.”

Mereka pun perlahan bangkit, tubuh mereka masih terasa perih, namun mereka hanya menunduk hormat lalu mundur dari ruangan yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Wang Cheng menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan mimpi. Keram di tangannya akibat memegang cambuk terasa sangat nyata.

Meskipun hanya beberapa saat, tapi Wang Cheng tahu garis besar kejadian aneh yang menimpa dirinya sekarang.

"Ini… tubuh milik orang lain. Dilihat dari reaksi kedua pelayan itu, sepertinya pemilik tubuh ini adalah bangsawan yang sangat kejam," gumamnya pelan.

Wang Cheng tidak tahu apa yang terjadi, dan bagaimana caranya dia bisa berakhir seperti ini. Namun, satu-satunya hal yang pasti adalah dia tidak boleh menunjukkan kecurigaan jika dia adalah orang lain. Oleh karena itu dia memukuli pelayan itu meski tak punya dendam sama sekali.

Lagipula, kekerasan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya saat menjadi mafia. Tidak ada keraguan ataupun rasa iba sedikitpun yang singgah di hatinya.

Wang Cheng berjalan ke depan cermin besar di sudut ruangan. Menatap bayangan dirinya—Itu bukan wajahnya.

Wajah di cermin itu... terlalu tampan, terlalu pucat. Kulit seputih salju, rambut hitam panjang yang terurai khas bangun tidur. Terlalu muda, terlalu mulus. Ia membenci apa yang dilihatnya.

"Cih, sial. Rupanya sekarang aku jadi anak ingusan..."

Ia menanggalkan seluruh pakaiannya hingga tak tersisa sedikitpun, disana terlihat tubuh barunya yang bisa dibilang cukup kurus untuk seseorang yang tinggal di tempat semewah ini. Kulitnya seputih salju, jauh berbeda dengan tubuhnya yang penuh otot dan tato mengerikan.

"Pantas saja tubuh ini rasanya sangat lemah. Apa kau tidak pernah makan? Padahal kau seorang Tuan Muda?" ucapnya lebih pada si pemilik tubuh asli.

Namun tiba-tiba, sebuah suara bergema dalam kepalanya. "Selamat datang, siapapun kau yang menghuni tubuh ini. Sekarang kau adalah pemilik baru dari Sistem Kultivasi Dewa Jahat yang sangat luar biasa ini!"

Wang Cheng sedikit terkejut, ia yakin jika suara itu bukan berasal dari ruangannya saat ini, melainkan berasal dari dalam kepalanya. Seperti memakai hearphone langsung ke dalam otaknya.

"Bajingan... Siapa kau? Perlihatkan dirimu atau aku akan menghancurkanmu berkeping-keping!" teriak Wang Cheng.

"Hahaha, rupanya kau orang yang tidak sabaran ya..."

Suara itu kembali terdengar, namun kali ini disusul oleh sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Kabut hitam yang perlahan membentuk sosok bulat dengan satu mata dan gigi taring tajam.

Sosok itu tersenyum lebar, memperlihatkan deretan taringnya dengan penuh kesombongan. "Sepertinya aku tidak salah memilih orang, kau jauh melebihi ekspektasiku dengan memukuli kedua pelayan itu dengan brutal."

Mata Wang Cheng berkilat tajam. Tanpa aba-aba, ia langsung mencengkeram sosok bulat itu. Teksturnya seperti jeli yang licin, namun genggaman Wang Cheng tak goyah.

Ia mengangkat sosok itu ke udara, jari-jarinya mencengkeram kuat di sekeliling "leher" makhluk yang bahkan tak memiliki tulang itu.

“Apa kau dewa yang mengatur semua ini?” geramnya dengan suara mengancam.

Sosok bulat itu tergelak. Suaranya tak seperti suara manusia—lebih seperti jeritan anak kecil yang dipelintir dengan gema neraka.

“Heh… Dewa?” Ia terkekeh, tubuhnya bergetar dalam genggaman Wang Cheng. “Tolong jangan memanggilku dengan sebutan itu. Namaku tidak penting, tapi kau bisa memanggilku Mouth, karena akulah mulut yang menyampaikan kehendak kekuatan kegelapan tertinggi. Aku adalah Utusan Dewa Jahat!”

“Omong kosong.” Wang Cheng mencengkeram lebih keras, membuat bagian tubuh makhluk itu menyembul keluar dari sela-sela jarinya. “Aku tidak peduli siapa kau, atau siapa bosmu. Yang aku ingin tahu adalah apa yang kalian inginkan dariku?”

Mouth menyeringai, tidak tampak kesakitan. “Ah... Aku malas menjelaskan, jadi lihat sendiri dari ingatan pemilik tubuh ini," ucapnya.

Dengan satu jentikan, dunia di sekeliling Wang Cheng runtuh seperti kaca pecah. Tubuhnya tetap berdiri, tapi kepala, pikiran, dan jiwanya dihantam oleh gelombang memori yang masuk tanpa peringatan.

Wang Cheng menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan suara jeritan yang nyaris keluar dari tenggorokannya.

Tubuhnya bergetar hebat, napas tercekat, dan kedua tangannya refleks mencengkeram Mouth yang entah bagaimana kini dapat melepaskan dirinya dengan mudah.

"Apa yang kau lakukan.... Makhluk sialan!" geram Wang Cheng seraya menahan sakit yang luar biasa.

"Sudah, sudah. Duduk saja dan pahami apa yang sebenarnya terjadi pada pemilik tubuh ini," balas makhluk itu dengan santainya.

Dan saat itulah—

Kilasan demi kilasan si pemilik tubuh mulai menabrak pikirannya.

Wajah wajah wanita menangis...

Suara cambukan, tawa angkuh...

Cincin emas, baju brokat, deretan budak yang tunduk di kaki seorang pemuda dengan senyum menjijikkan...

Itulah dirinya. Atau lebih tepatnya, pemilik tubuh ini yang juga ternyata bernama Wang Cheng ini, Tuan Muda Kelima dari Keluarga Wang.

"Si sampah dari keluarga bangsawan..."

"Tuan Muda Kelima itu lebih kejam dari bandit!"

"Kau tahu pelayan baru itu? Aku dengar dia dijadikan budak seks olehnya..."

Ingatan itu berputar cepat. Wang Cheng, yang asli, adalah bajingan busuk—arogan, sombong, penuh hawa keji. Ia membunuh pelayan yang menumpahkan minumannya, melecehkan wanita yang lewat di depannya, menghukum orang tanpa alasan, dan menghamburkan harta keluarga seperti tak ada hari esok.

Lishan, si gadis pelayan, dan Jiulei si laki-laki pelayan juga tak luput dari kekejaman Sang Tuan Muda. Lishan seringkali dilecehkan secara verbal ataupun fisik, sementara Jiulei pernah hampir mati dipukuli olehnya.

Wang Cheng adalah penjahat yang sesungguhnya, dia dianggap sebagai iblis yang tidak berhak untuk hidup, namun tidak ada yang berani padanya karena dia adalah seorang bangsawan Kelas-1, dan fakta jika dia adalah seorang kultivator yang sangat kuat.

Namun, di balik semua kebusukan itu, ada sebuah kebenaran yang tak pernah diketahui oleh siapa pun.

3 Dua Jiwa

Wang Cheng—Tuan Muda Kelima dari Keluarga Wang—hanyalah anak laki-laki yang polos dan berhati murni. Saat berusia lima tahun, ia menyukai kupu-kupu, suka menolong pelayan tua yang kesulitan mengangkat air, dan selalu berbagi makanan dengan anak-anak pelayan.

Namun, segalanya berubah pada satu malam berdarah yang tak pernah dicatat dalam sejarah keluarga Wang.

Saat badai petir mengguncang langit, seorang pria berjubah hitam muncul dalam mimpinya. Pria itu tidak berkata banyak, hanya mengulurkan tangan dan menawarkan sesuatu: Sistem Dewa Jahat.

"Ambillah ini, dan kau akan kuat. Kau akan disayangi, atau dibenci... Tapi kau takkan pernah lemah."

Wang Cheng kecil tidak tahu apa yang ia terima. Ia hanya ingin dihargai, disayangi seperti kakak-kakaknya yang lain. Ia ingin diperhatikan oleh ayahnya yang bahkan tak pernah mengingat ulang tahunnya.

Sistem itupun menyatu dalam dirinya, dan sejak saat itu, Mouth hadir, makhluk kecil bermata satu dan bermulut besar yang perlahan menjadi sahabat, guru, sekaligus... perusak jiwanya.

"Semakin orang membencimu, semakin kuat juga kau," godanya dengan mulut dipenuhi gigi runcing.

Awalnya, Wang Cheng hanya berkata kasar, lalu memukul, hingga akhirnya menghukum orang-orang yang melawannya.

Mouth terus berbisik di telinganya, membentuk logika yang menyesatkan.

"Lihat, mereka membencimu. Itu bagus."

"Sekarang kau cukup kuat untuk mengalahkan kakakmu yang selalu merendahkanmu."

"Pelayan itu memandangmu rendah. Hancurkan dia."

Wang Cheng tak menyadari bahwa ia sedang dijadikan boneka. Setiap tindakannya, setiap kekejaman yang ia lakukan, bukan lahir dari keinginannya—tapi dari bisikan Mouth dan sistem jahanam itu.

Sistem Dewa Jahat sendiri memberi poin kebencian setiap kali orang-orang membencinya. Poin itu bisa ditukar dengan teknik, senjata, ataupun kekuatan spiritual.

Setiap kali ia dipuji, sistem itu diam. Tapi saat ia dibenci? Poin melonjak seperti banjir besar.

Wang Cheng kecil sangat terobsesi untuk mengumpulkan poin kebencian dan bertambah kuat sehingga tanpa sadar telah tenggelam dalam kejahatan.

Ia merasa kuat dan berkuasa. Namun setiap malam, saat ia berdiri di depan cermin... ia tak pernah melihat dirinya sendiri, melainkan sosok monster yang haus akan ambisi dan ego sesat.

“Itu bukan aku...” pikirnya.

Semakin bertambah usia, Wang Cheng justru mulai merindukan perasaan sederhana: duduk di bawah pohon sambil memakan manisan, atau memeluk ibunya sendiri.

Tapi semuanya sudah terlambat... dunia membencinya, dan ia pun mulai membenci dirinya sendiri.

Sampai akhirnya, ia membuat keputusan. "Aku ingin... menebus semuanya."

Dengan air mata yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun, Wang Cheng mengakses inti sistem—tempat dimana Mouth tak bisa mempengaruhinya.

Disana, ia mengorbankan seluruh poin kebencian yang telah ia kumpulkan dengan menumpahkan banyak kebencian, ia menghapus seluruh skill yang dimilikinya dan juga sebagian besar stat miliknya.

Sistem bergemuruh. Dunia spiritual bergetar. Mouth menjerit marah.

"APA YANG KAU LAKUKAN SIALAN!? KAU AKAN LENYAP!! KAU AKAN MATI!!"

Wang Cheng hanya tersenyum, untuk pertama kalinya, dengan ketenangan seorang manusia.

"Lebih baik aku mati... daripada menjadi iblis seperti yang kau inginkan."

Boom!

Ledakan cahaya hitam menyelimuti seluruh ruang sistem. Wang Cheng lenyap, jiwanya hancur dalam kilatan api hitam...

...

Kembali ke masa kini.

Wang Cheng, atau lebih tepatnya Wang Cheng si Mafia Bawah Tanah, terbangun dengan tarikan napas tajam, seperti baru saja muncul dari dasar laut dalam.

Tubuhnya bergetar, keringat membasahi dahinya, dan kepalanya terasa seperti diremukkan oleh palu godam.

Namun perlahan, rasa sakit itu mereda seiring kilasan ingatan yang menipis, digantikan oleh satu hal yang lebih mengerikan—kesadaran.

Wang Cheng diam menunduk, dan di hadapannya, makhluk itu—Mouth—tersenyum lebar, mulut lebarnya meregang seolah hendak menelan bulan. Matanya yang hanya ada satu berkedip-kedip dengan kegembiraan jahat.

"HAHAHA! Kau bangun juga! Luar biasa, luar biasa!" serunya dengan suara yang mencicit seperti tikus iblis. "Kau pasti sudah lihat semua, ya? Betapa menyedihkannya dia! Si bajingan itu akhirnya mengorbankan dirinya demi hal yang paling konyol: penebusan!"

Mouth melayang mendekat, berputar-putar mengelilingi Wang Cheng seperti lalat yang mengelilingi bangkai.

“Bocah itu tidak mengerti arti dari kekuatan sejati. Dia terlalu naif. Terlalu bodoh! Tapi kau…” Ia menunjuk ke arah Wang Cheng. “Kau berbeda. Kau itu... kejahatan murni. Sempurna. Lahir dari kegelapan dan kekerasan dunia nyata. Lihat saja, kau bahkan memukuli pelayan di hari pertama memasuki tubuh ini!”

Wang Cheng terdiam sejenak, rambut hitam panjangnya menutupi pandangannya yang perlahan menggelap. Hingga akhirnya, ia tertawa pelan. Tawa yang dalam, dingin, dan membuat Mouth terdiam sesaat karena terlalu gembira.

"YES! Itulah yang ingin kudengar!" Mouth bersorak dan memutar tubuhnya di udara, “Akhirnya, tuan baru yang bisa kuandalkan! Kita akan bangkit kembali! Lebih kejam dari sebelumnya! Dunia ini akan—"

BUGH!!

Sebuah pukulan telak mendarat tepat di wajah bulat Mouth, membuatnya terlempar jauh dan memantul ke dinding seperti bola bulu busuk.

"UUGHH!! Kau—!!" jeritnya, tubuhnya menggelinjang seperti ulat basah sebelum bangkit kembali dalam posisi terbalik.

"Apa-apaan itu, hah!? Kenapa kau tiba-tiba memukulku!?"

Wang Cheng tidak menjawab. Ia hanya berdiri di tempat, matanya tajam namun wajahnya tenang, seperti air yang menutupi pisau tajam di dasar danau.

"Entah kenapa," katanya sambil menggerakkan pergelangan tangannya, "rasanya... aku sangat ingin memukulmu."

Mouth terpaku. Bukan karena kesakitan—tubuh kecilnya memang tahan banting—melainkan karena sesuatu yang jauh lebih menakutkan: firasat buruk.

Dia merasakan hawa berbeda. Bukan aura kebencian. Bukan aura kebajikan. Tapi… dua kutub yang menyatu dalam satu aliran yang mustahil diprediksi.

"Mustahil..." bisik Mouth, nadanya mendadak serius.

Tubuh bulatnya bergetar, ingatannya kembali ke saat-saat terakhir bersama tuan lamanya—pemilik tubuh asli.

Sudah lama ia menyadari niat gila bocah itu yang hendak menghancurkan sistem, namun ia hanya bersikap santai dan mengabaikannya.

Bagaimanapun, dia tahu jika pemilik tubuh adalah pecundang yang takut mati. Jikapun dia mati, Mouth bisa memindahkan sistem kepada orang lain, yah... Meskipun akan memakan waktu ratusan tahun lamanya.

Namun, ternyata bocah itu jauh lebih pintar dan berani daripada yang ia pikirkan. Pemilik tubuh malah menghancurkan jiwanya sendiri yang terkait dengan sistem melalui pengorbanan yang sangat besar. Jika jiwanya hancur, sistem yang melekat padanya otomatis ikut hancur.

Ia tidak ingin sistem itu berpindah dan menghancurkan hidup seseorang seperti hidupnya.

Mouth sangat panik dan juga marah, namun ia jauh lebih takut pada Dewa Jahat yang mungkin akan murka jika sistem yang ia ciptakan selama jutaan tahun itu lenyap.

Dengan usaha ekstra, Mouth berhasil mengamankan sistem dari sedikit pecahan jiwa "pemilik tubuh". Untuk menutupi kesalahannya, diam diam dia kemudian mencuri jiwa yang akan dikirim ke neraka. Saat itulah ia menemukan jiwa Wang Cheng yang dipenuhi aura kejahatan murni.

Mouth menggabungkan jika Wang Cheng dengan sistem yang masih mengandung sedikit serpihan jiwa si pemilik tubuh. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh dewa dan iblis sekalipun karena konsekuensi bermain-main dengan jiwa hanya akan menciptakan sesuatu yang tidak dapat diprediksi.

Mouth menggigil, menyadari sesuatu yang mungkin bermasalah. 'Apa yang terjadi jika kejahatan murni menyatu dengan cahaya yang terputus? Sepertinya aku membuat masalah yang sangat besar...'

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!