"Perfect!" Ara tersenyum, memuji cake ulang tahun yang baru saja rampung ia buat. Kali ini butuh waktu yang lumayan cukup lama untuk membuatnya, karena setiap detail, ia buat semirip mungkin dengan tokoh aslinya. Ada kepuasan tersendiri saat apa yang ada dalam imajinasinya bisa ia wujudkan. Namun senyum itu tak bisa bertahan lama, karena beberapa detik kemudian, senyumnya berubah menjadi tangis.
Hari ini, adalah hari ulang tahun ke tujuh putri Ara. Sayangnya, ia tak bisa bertemu dengan Cilla, putrinya itu. Terakhir kali mereka bertemu, saat Cilla masih usia 2 bulan, sekarang, entah seperti apa rupa Cilla.
"Mama kangen Cilla," gumam Ara di sela-sela isakannya. Bersama air mata yang terus mengalir melewati pipi, dadanya terasa amat sesak.
Dengan tangan yang sedikit gemetar efek menangis, Ara merogoh saku apron yang dipakainya. Mengambil ponsel dan melihat foto-foto Cilla saat masih bayi, karena hanya itu yang ia punya. Disentuhnya salah satu foto Cilla, sementara sebelah tangannya mengurut dada yang terasa sesak dan tak kunjung reda. "Sekarang kamu pasti sudah jadi gadis kecil yang sangat cantik. Happy Birthday sayang, Cilla. Mama sayang Cilla."
Setiap tahun, hanya itu yang bisa dilakukan Ara, membuat cake ulang tahun, dan mengucapkan selamat ulang tahun serta mendoakan segala yang terbaik untuk Cilla, meski Cilla tak bisa mendengarnya.
Seperti biasa, Ara akan membagikan kue tersebut gratis pada siapa saja yang berminat, dan kebetulan sedang berulang tahun hari ini.
"Sayang banget kue sebagus ini gratis, Mbak," Yanti menatap kue dua tingkat dengan tema frozen yang sangat cantik tersebut. "Kalau dijual bisa laku lima ratus ribu," ia berucap dengan kedua bola mata melebar sempurna, berusaha meyakinkan si bos, jika kue tersebut terlalu sayang jika digratiskan.
"Gak papa, kasih gratis saja pada yang tertarik dan sedang ulang tahun hari ini," Ara tetap pada pendiriannya.
Yanti menghela nafas panjang, memasukkan cake tersebut ke dalam display, disandingkan dengan cake-cake yang lain. Cake tersebut sangat cantik, sehingga terlihat menonjol dibanding yang lainnya.
Ara memiliki sebuah toko cake and pastry, baru buka 2 tahun ini. Berlokasi di sebuah ruko yang ia sewa sekaligus untuk tempat tinggal. Ini untuk kedua kalinya ia membagikan kue gratis saat ulang tahun Cilla. Dulu sebelum punya toko kue, ia juga selalu membuat kue ulang tahun untuk Cilla, yang endingnya ia makan bersama teman kos, teman kuliah, atau teman kerja. Sebelum membuka toko kue di Jakarta, ia sempat bekerja selama setahun di Yogja, kota tempat ia kuliah.
Ara menatap kue buatannya untuk Cilla yang ada di display. Pelupuk matanya kembali berair, buru-buru ia seka lalu tersenyum, meski dipaksakan. Tak mau terus sedih karena menatap cake tersebut, ia melangkah menuju dalam, berniat membantu karyawannya membuat kue.
"Siang, Tante."
Langkah kaki Ara terhenti mendengar suara itu. Ia menoleh, mendapati seorang gadis kecil berseragam SD bermata bulat ada di dalam tokonya, berdiri di depan etalase cake ulang tahun. Gadis kecil berambut panjang tersebut membuat Ara urung masuk ke dalam meski sudah berada di dekat pintu pembatas antara toko dan dapur. Ara membalikkan badan, seperti ada yang menuntun, melangkah mendekati gadis kecil tersebut.
"Siang adek cantik," balas Yanti yang berdiri di balik meja kasir. "Kamu sama siapa?" celingukan, tak melihat orang dewasa masuk bersama anak tersebut.
"Sama Papa, tapi Papa masih sibuk telepon di mobil, jadi aku disuruh masuk dan pilih cake dulu." Gadis kecil itu mulai melihat kearah etalase tempat display cake ulang tahun. Matanya memindai satu persatu cake yang hampir semuanya bagus-bagus.
"Adek nyari cake ulang tahun ya?" tanya Yanti yang langsung bisa menebak.
"Hem, iya Tante. Hari ini aku ulang tahun," sahutnya tanpa melihat Yanti, masih sibuk memperhatikan deretan cake yang membuat ia bingung harus memilih yang mana.
Ara terus memperhatikan gadis kecil tersebut. Ini pertama kalinya ia bertemu dengannya, tapi entah kenapa, ia merasa sudah pernah bertemu sebelumnya dan sudah kenal dekat.
"Ini bagus," gadis kecil itu menunjuk cake frozen yang dibuat Ara untuk Cilla.
"Gratis buat kamu."
"Hah!" gadis kecil tersebut langsung menoleh mendengar suara dari sebelahnya. Saking fokusnya memilih cake, ia sampai tak sadar jika ada seorang wanita berdiri di sebelahnya, sedikit membungkuk, menyamakan tinggi dengannya.
"Cake itu gratis buat siapa saja yang suka dan kebetulan ulang tahun hari ini," ulang Ara sambil tersenyum pada gadis kecil yang saat ini menatapnya. Mata gadis kecil itu, mirip sekali dengan mantan suaminya, membuat ia kembali teringat pada laki-laki itu. Buru-buru ia membuang bayangan Semeru yang berkelebat di kepalanya. Mungkin hanya sebuah kebetulan saja mereka memiliki mata yang mirip. "Hari ini kamu ulang tahunkan?"
"Iya, Tante."
"Kalau Tante boleh tahu, yang keberapa?"
"Tujuh."
Air mata Ara seketika luruh. Usia gadis kecil itu sama dengan Cilla. Ia semakin merindukan Cilla, entah seperti apa rupanya sekarang, namun ia yakin, Cilla pasti cantik, seperti gadis kecil di depannya saat ini.
"Tante kenapa?"
"Enggak, gak kenapa-kenapa," Ara menggeleng sambil menyeka air mata. "Kenalin, nama tante, Ara. Nama kamu siapa?" mengulurkan tangan ke arah gadis kecil di sebelahnya.
"Aku Lala, Tante." Lala segera menyambut uluran tangan Ara sambil tersenyum.
Ara kembali menangis, saat senyuman Lala lagi-lagi mengingatkan ia pada Semeru, mantan suaminya. Seseorang yang senantiasa ada dalam hatinya, cinta pertamanya. Mungkinkah Cilla, juga berwajah mirip dengan Semeru?
"Tante kenapa, kok nangis lagi?" Lala bingung, takut ia telah melakukan kesalahan. Beralih menatap Yanti, mencari jawaban.
Ara yang sibuk menyeka air mata dan menyusut hidung, hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Lala emang suka ya, dengan karakter frozen?" Yanti yang faham situasi saat ini, memilih mengajak Lala mengobrol topik lain.
Lala mengangguk. "Iya, suka banget. Sebenarnya lebih suka kalau ada olaf nya, tapi ini juga udah bagus kok, mana gratis pula," tertawa ringan, menunjukkan gigi bagian depannya yang bolong satu, namun tak membuat ia terlihat jelek.
"Lala mau olaf?" tanya Ara. "Gimana kalau kita bikin olaf sama-sama di belakang. Stok fondant Tante ada kok untuk bikin olaf."
"Emang boleh, Tante?" Lala mengernyit.
"Boleh dong. Yuk ikut Tante Ara ke dapur, kita bikin olaf disana," Ara langsung saja menggandeng tangan Lala.
Lala mengangguk girang, mengikuti Ara masuk ke dalam.
Aroma roti yang baru keluar dari oven membuat Lala langsung menelan ludah. Di dalam dapur yang tak terlalu luas tersebut, ada dua orang yang terlihat tengah sibuk membuat serta memanggang roti. Ia berdiri di depan sebuah meja besar yang biasanya dipakai untuk membuat roti, menunggu Tante Ara yang sedang mengambil fondant.
"Putih dan oranye," Ara mengangkat dua fondant di tangannya, menunjukkan pada Lala. "Butuh warna lain lagi gak?"
"Em.... itu aja deh Tante."
Keduanya lalu membuat olaf bersama-sama. Sebenarnya Ara bisa saja membuat olaf dalam waktu singkat, tapi kali ini, ia rela membuang waktunya percuma untuk berlama-lama mengajari Lala membuat Olaf. Entah kenapa, ia merasa senang sekali saat dekat dengan Lala.
Seorang laki-laki yang baru memasuki toko, panik saat tak mendapati anaknya ada di dalam. Sebelum ia sempat bertanya, Yanti sudah lebih dulu bertanya karena merasa aneh dengan gelagat laki-laki tersebut yang tampak panik.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Mbak," laki-laki tersebut mendekati Yanti yang berdiri di balik meja kasir. "Lihat anak kecil gak?" tangannya menunjukkan perkiraan tinggi anaknya. "Pakai seragam SD, perempuan, rambut panjang, dikuncir kuda."
"Oh.... Lala ya."
"Iya Lala. Dimana anak saya?"
"Anak?" Yanti malah gagal fokus gara-gara laki-laki itu menyebut Lala anaknya. Laki-laki di depannya itu masih sangat muda, rasanya tak cocok punya anak seumuran Lala. Awalnya ia mengira ponakannya.
"Dimana anak saya?" Laki-laki tersebut kesal karena tak dijawab, kembali bertanya dengan suara lumayan tinggi, sampai-sampai Yanti yang sedang melamun terjingkat kaget.
"Ada, ada," Yanti mengangguk cepat, dengan ekspresi gugup. "Dia ada di dalam, sedang bikin Olaf dengan owner kami."
Seketika laki-laki tersebut bernafas lega. "Tolong panggilkan, suruh cepat. Kami harus segera pulang."
"Ba-baik." Yanti buru-buru masuk ke dalam. Di dalam, melihat Lala yang tampak bahagia sekali membuat Olaf, tak hanya Lala, owner tempat ia bekerja, juga terlihat bahagia, jarang-jarang ia melihat Ara bisa tertawa lepas seperti ini. "Mbak," panggilnya saat sudah berada di dekat Ara. "Lala dicariin papanya."
"Papa aku nyariin Mbak?" tanya Lala, menatap Yanti.
"Iya," Yanti mengangguk. "Lala, Papanya makan apa sih setiap hari, kok bisa ganteng banget gitu?"
Lala langsung tertawa ditanya seperti itu, sementara Ara hanya geleng-geleng sambil senyum-senyum.
"Makan darah Mbak, kayak zombie," laki-laki tertawa cekikikan. Ia sudah sangat sering sekali mendengar orang-orang memuji ketampanan papanya, jadi tidak heran. Kalau pergi berdua, orang selalu mengira dia adik atau keponakan dikarenakan papanya yang terlihat masih sangat muda.
"Papanya Lala masih muda banget loh Mbak. Anaknya udah segede ini, tapi Papanya masih kayak anak kuliahan," Yanti masih belum bisa lepas dari pesona papa Lala.
"Masa sih?" Ara tersenyum sambil geleng-geleng, merasa Yanti terlalu lebay. Emang setampan apa papa Lala, kenapa ia jadi penasaran. Ini tak seperti dirinya, yang bahkan sejak bercerai, tak pernah sekalipun tertarik pada lawan jenis.
"Yuk makanya keluar, biar bisa lihat Papanya Lala, kayak artis, sumpah!"
Ara mengajak Lala mencuci tangan dulu sebelum keluar. Setelah itu, sambil membawa Olaf di tangan kanannya, Lala keluar bersama Ara menyusul Yanti sudah lebih dulu keluar.
"Papa...!" teriak Lala sembari berlari menghampiri laki-laki yang sedang berdiri di dekat sebuah rak roti, biasa sedang teleponan.
"Semeru!" Ara menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan. Tubuhnya gemetar, tak mengira akan kembali bertemu dengan mantan suaminya tersebut.
"Pah, aku udah milih kuenya." Lala lalu menunjukkan olaf yang ada di tangannya. "Ini juga nanti mau dipasang di ku_" ucapannya terhenti saat papanya tiba-tiba menggendong dan dengan terburu-buru membawanya keluar dari toko.
Ara yang masih syok dengan pertemuan tak terduga tersebut, baru tersadar saat Semeru sudah keluar dari tokonya. "Meru tunggu!" teriaknya sambil berlari mengejar Semeru.
"Pah kuenya belum dibawa?" Lala kebingungan saat Papanya malah menggendongnya sambil berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di halaman toko, sama sekali tidak mempedulikan ucapannya.
"Meru berhenti!" teriak Ara sambil terus berusaha mengejar Semeru. "Cilla, ini mama nak."
Seketika, Lala langsung menoleh mendengar Ara menyebut dirinya mama.
"Masuk ke dalam mobil dan jangan keluar!" Semeru membuka pintu mobil, menurunkan Lala dan segera menutup kembali pintu begitu Lala masuk.
"Cilla, ini mama!" teriak Ara sambil menangis. Ingin membuka pintu mobil, namun kalah cepat, Semeru lebih dulu meraih lengannya, menariknya kasar menjauh dari mobil. Lala yang ada di dalam mobil, hanya bisa melihat, tak berani keluar.
"Meru, dia Cilla kan? Dia anakku. Aku mau ketemu Cilla," Ara berusaha berontak dari cekalan tangan Semeru. "Lepasin aku Meru, aku mau ketemu Cilla," air matanya terus berderai membasahi kedua pipi. Matanya menatap ke arah mobil, tubuhnya terus berontak berusaha lepas dari cekalan Meru, sayangnya ia kalah tenaga, tubuhnya ikut terseret Semeru, semakin jauh dari mobil. "Meru aku mohon, biarkan aku bertemu dengan Cilla, aku ingin bertemu dengan anakku." Iba Ara saat Semeru tak lagi menarik lengannya karena jarak yang sudah lumayan jauh dari mobil.
"Anak?" Semeru tersenyum miring. "Masih punya muka kamu menyebut Lala anak kamu hah!" bentaknya dengan rahang mengeras dan nafas memburu. Tangannya masih mencekal kuat sebelah lengan Ara, tak mau wanita itu lepas dan menemui Lala.
"Aku yang mengandung dia sembilan bulan, aku juga yang melahirkannya."
"Tapi aku yang mengasuhnya selama 7 tahun."
"Itu karena kamu gak memberi aku akses sama sekali untuk bisa bertemu Cilla." Ara terus menatap ke arah mobil, berharap Cilla akan keluar dari sana.
"Kamu gak layak mendapatkan akses itu. Kamu tidak berhak bertemu dengan Lala."
"Tapi aku ibunya," Ara semakin sesenggukan, menepuk dada dengan telapak tangan. Menatap Semeru penuh permohonan, berharap laki-laki yang pernah menjadi suaminya itu luluh.
"Ibu?" Semeru tertawa terbahak-bahak. "Mana ada ibu yang lebih memilih kuliah di luar kota daripada menyusui anaknya? Mana ada ibu yang milih kuliah daripada mengasuh anaknya hah?" bentaknya di depan wajah Ara. Semua kejadian yang terjadi 7 tahun yang lalu, kembali berputar di otaknya. "Katanya kuliah, tapi malah....ah sudahlah. Kamu gak layak disebut ibu, Ra," tersenyum getir, dari kedua matanya, terlihat luka yang sangat dalam.
"Ok, aku salah Meru. Dulu aku belum dewasa. Aku bahkan belum berusia 19 tahun saat melahirkan Cilla. Aku belum bisa berfikir bijak."
"Itu gak bisa dijadikan alasan," sahutnya sengit.
"Aku salah, aku salah. Sekarang aku mohon, izinkan aku untuk memperbaiki kesalahanku. Aku mohon Meru, izinkan aku bertemu dengan anakku. Dia juga anakku Meru, aku yang mengandung dan melahirkannya."
Meru mengalihkan pandangan ke arah lain, takut luluh melihat wajah Ara yang berderai air mata. Dia masih belum lupa, seperti apa perjuangan wanita itu melahirkan Lala dulu. Tapi egonya lebih tinggi, satu kesalahan Ara, membuat dia tak bisa memaafkan wanita itu. "Gak ada kesempatan kedua, Ra."
"Semeru aku mohon... " Ara menjatuhkan tubuhnya ke lantai, berlutut di depan Semeru dengan sebelah tangan terangkat ke atas karena belum juga dilepas oleh Semeru. "Kamu boleh menghukumku apapun, tapi tolong, izinkan aku bertemu dengan anakku."
Namun semua yang dilakukan Ara, sama sekali tak mampu membuat hati Semeru tersentuh. Laki-laki itu tetap pada pendiriannya.
"Aku lihat kamu sudah sukses sekarang," Semeru melihat ke arah toko. "Kamu bisa memulai hidup baru. Bisa menikah dan punya anak lagi. Jangan ganggu aku dan Lala, kami sudah bahagia tanpamu."
Semeru melepas tangan Ara, berlari ke arah mobil dan langsung masuk dan menyalakan mesin. Ia tahu, Ara tak akan menyerah untuk bisa bertemu dengan Lala. Wanita itu sudah bangkit, dan berlari menuju mobilnya.
"Cilla, Cilla, ini mama nak," Ara mengetuk-ngetuk kaca jendela di sebelah Lala. Namun alih-alih dibuka, mobil tersebut malah mulai bergerak dan melaju meninggalkan halaman toko. "Meru tunggu!" ia mengejar mobil tersebut. "Cilla, ini mama, ini mama!" Ara terus berteriak sambil berlari tanpa putus asa. Ia sadar tak akan bisa mengejar mobil tersebut, hanya bisa berdoa supaya hati Semeru tersentuh, dan menghentikan mobilnya.
Ada rasa sakit di hati Meru kala melihat dari kaca spion, Ara mengejar mobilnya. Namun ia tak membiarkan rasa sakit itu menggoyahkan keteguhan hatinya. Kembali ia mengingat masa lalu yang membuatnya membenci Ara, hingga rasa kasihan itu, berubah menjadi amarah yang begitu besar, menginjak gas makin dalam, menambah kecepatan.
Tak akan pernah lekang dari ingatan Meru, peristiwa 7 tahun yang lalu yang membuat ia menjatuhkan talak pada Ara. Niat hati ingin memberi surprise pada Ara, datang ke Jogja diam-diam dengan membawa Cilla yang masih bayi. Namun keadaan justru berbalik, ialah yang mendapati surprise, melihat Ara bersama laki-laki di dalam kamar kos nya.
"Pah, Tante Ara ngejar mobil kita," sejak tadi, Lala juga memperhatikan Ara dari kaca spion.
"Biarkan saja."
Lala masih terus melihat Ara yang tak berhenti mengejar mobilnya. Jarak mereka sudah lumayan jauh, tapi Ara terlihat belum berhenti juga berlari. Wanita itu bahkan sampai terjatuh, namun bangkit lagi dan kembali berlari.
"Tante Ara jatuh, Pah," Lala tak sampai hati melihatnya. Matanya tiba-tiba terasa panas, ingin menangis.
"Jangan perhatikan dia!" Semeru sedikit membentak.
Mobil melaju makin kencang, hingga Ara tak lagi terlihat di kaca spion. Entah wanita itu masih mengejar atau tidak, Meru tak lagi peduli, namun Lala, gadis kecil itu merasakan kesedihan dalam hatinya.
"Pah," Lala menoleh ke arah papanya. "Kenapa tadi Tante Ara bilang, kalau dia adalah mamaku?"
"Jangan dengarkan ucapannya, dia hanya wanita depresi yang kehilangan anaknya," jawab Meru tanpa melihat Lala, fokus menatap jalanan. "Kamu dengarkan tadi, dia menyebut kamu Cilla. Dia hanya wanita depresi, jangan dengarkan ucapannya."
"Depresi itu apa?" Lala belum familiar dengan kata tersebut.
"Em.... " Meru tampak sedikit ragu untuk mengatakan. "Gila."
"Hah, gila!" Lala tercengang, mulutnya sampai menganga untuk beberapa saat. Ia menunduk, menatap olaf yang ada di tangannya, hiasan cake dari fondant yang tadi ia buat bersama Ara. Benarkah wanita cantik dan ramah yang tadi mengajarinya membuat hiasan cake, adalah wanita gila? Tanpa sadar, Lala menggeleng, rasa tidak percaya, memenuhi hatinya. "Gak mungkin Tante Ara gila? Mana ada orang gila cantik dan pintar membuat cake?"
Meru tak menanggapi, sadar jika Lala tidaklah sebodoh itu untuk ia bohongi.
"Papa kenal dengan Tante Ara?" Seperti kebanyakan anak, Lala masih terus bertanya sebelum semua rasa penasarannya terjawab.
"Enggak!"
"Tapi kenapa kalian berantem? Dia juga manggil nama Papa."
"Cukup Lala, jangan bahas dia lagi," Meru tak sanggup mengarang kebohongan lainnya. Disaat bersamaan, ia melihat sebuah toko kue. "Ada toko kue, kita beli cake ulang tahun disana saja." Tanpa menunggu persetujuan Lala, Semeru membelokkan mobilnya ke halaman toko kue tersebut.
"Padahal di toko Tante Ara tadi, Lala mau dikasih cake gratis loh, Pah. Gak perlu beli." Lala teringat kembali cake frozen yang menjadi pilihannya tadi. Cake tadi pasti sangat sempurna setelah ditambah hiasan olaf.
"Ngapain cari yang gratis, uang Papa banyak, kita bisa beli," Meru melepas seatbeltnya.
"Gak boleh sombong, Papa," Lala mengingatkan sambil berkacak pinggang, melotot dengan bibir mengerucut ke depan.
"Gak papa sombong, kalau beneran kaya. Yang gak boleh itu, sombong tapi hanya pura-pura kaya saja."
"Nope!" Lala menggeleng cepat. "Kata Bu Guru, mau kaya, cantik, pintar, atau apapun, tetap gak boleh sombong, karena semua itu hanya titipan Allah."
"Astaga! Papa lupa kalau anak papa ini, udah makin pinter sekarang," Meru tersenyum, mengacak puncak rambut Lala. Dan seperti biasa, Lala akan langsung kesal, menyingkirkan tangan papanya, karena itu bisa membuat rambutnya berantakan. "Ok, papa gak akan sombong lagi," mencondongkan badan ke arah Lala, membantunya melepas seatbelt. "Buruan yuk, uang Papa udah gak sabar pengen dikeluarin, kepenuhan soalnya."
"Papa!" Lala berdecak kesal, kembali memelototi papanya. "Baru aja bilang gak mau sombong lagi."
"Astaga! Papa amnesia," Semeru tergelak, membuka pintu mobil lalu keluar.
...----------------...
Putri yang hendak menuju Aras Bakery, terkejut melihat sahabatnya duduk di trotoar sambil menangis. Ia sampai mengucek mata, takut salah melihat, tapi ia tak salah, itu memang Ara. Buru-buru ia menepikan mobil, keluar lalu menghampiri Ara.
"Ra," panggil Putri, menatap sahabatnya yang terlihat menyedihkan. Duduk di trotoar, menangis, pakaian kotor, dan lutut serta siku yang terluka dan mengeluarkan darah. "Kamu kenapa?" mendekat, ikut duduk di sebelah Ara.
"Put," Ara menggenggam tangan Putri, menatap mata sahabat baiknya itu. "Aku, aku barusan ketemu Cilla. Aku ketemu anakku, Put," tangis Ara kembali pecah.
Melihat situasi yang kurang kondusif dan beberapa orang yang melihat ke arah mereka, Putri gegas berdiri. "Cerita di rumah aja," memegang kedua bahu Ara, membantunya berdiri. Tidak lucu jika mereka menjadi tontonan, apalagi zaman sekarang, takut ada yang diam-diam mem videokan, lalu meng uploud dengan narasi ngawur demi fyp.
Sesampainya di ruko, keduanya langsung naik ke atas, masuk ke kamar Ara. Sebelum naik tadi, Putri sempat meminta Via untuk membawakan kotak P3K ke kamar Ara.
Ara membuka laptop, melihat rekaman CCTV toko yang bisa ia akses dari sana. "Ini Cilla, Put, ini anak aku," dengan tangan gemetar dan air mata yang tak mau berhenti mengalir, Ara menunjuk Cilla yang sedang membuat olaf bersamanya. "Anak aku udah gede, Put. Dia sangat cantik."
"Hem, dia cantik sekali, kayak kamu Ra."
Ara menggeleng. "Dia mirip papanya." Ia memperhatikan Cilla, semakin dilihat, putrinya itu semakin terlihat mirip dengan sang mantan suami. Jemarinya bergerak, menyentuh Cilla pada layar laptop, memejamkan mata, membayangkan jika saat ini, ia benar-benar menyentuh Cilla, memeluknya.
Tok tok tok
Suara ketukan membuat Putri segera bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. Ada Via di depan pintu, membawa kotak P3K seperti permintaannya.
"Makasih ya, Vi," ujar Putri setelah menerima kotak P3K tersebut.
"Sama-sama Mbak. Kalau butuh apa-apa lagi, jangan sungkan nyuruh Via."
Putri mengangguk, lalu masuk dan menutup pintu kembali. Menarik kursi rias ke dekat ranjang, mulai mengobati luka di lutut dan siku Ara.
"Kalau saja waktu bisa diputar ulang, aku gak akan ke Yogja. Aku akan jagain Cilla. Aku akan jadi ibu yang baik, menyusuinya hingga 2 tahun, merawat dan menemani tumbuh kembangnya. Dan kejadian itu," Ara tersenyum getir saat ingat peristiwa yang membuat Meru menjatuhkan talak padanya. "Tak mungkin terjadi jika aku tidak memutuskan untuk kuliah di Jogja. Kesalahan terbesarku, adalah pergi ke Jogja."
"Sayangnya waktu gak bisa diputar ulang, Ra. Di kehidupan ini gak ada doraemon, yang punya kantong ajaib yang bisa ngeluarin alat untuk kembali ke masa lalu. Jangan terlalu meratapi masa lalu, yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Hidup terus berlanjut. Daripada meratapi yang sudah lalu, lebih baik kamu berusaha untuk kembali mengambil hati mantan suami kamu. Tebus kesalahan kamu di masa lalu, jadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak kamu. Kamu masih mencintainya kan?"
Ara tergelak mendengar ide Putri. Terdengar bagus, tapi rasanya mustahil. Ia masih belum lupa seperti apa tatapan Meru tadi padanya. Laki-laki itu membencinya.
"Kenapa?" Putri menatap Ara bingung.
"Mengambil hati Meru?" Ara tertawa sambil menangis. "Rasanya mustahil, Put. Dia sangat membenciku."
Putri membuang nafas kasar, diam sambil bersedekap, menatap Ara untuk beberapa saat. "Gak ada yang mustahil di dunia ini jika kita mau berusaha, Ra. Kecuali mantan suami kamu udah nikah lagi. Kalau belum, tidak mustahil kamu bisa kembali mengambil hatinya. Apalagi sebab perceraian kalian hanyalah kesalah pahaman. Buat dia faham, jika kamu tak pernah selingkuh. Dan yang paling perlu dia tahu, sampai detik ini, kamu masih mencintainya. Aku ada kabar bagus buat kamu."
"Apa?"
"Ada lowongan di perusahaan tempat Semeru kerja. Coba kamu melamar disana. Kata Desi, perusahaan mereka mengembangkan usahanya, mulai memproduksi alat-alat olahraga. Katanya sih butuh banyak karyawan baru untuk dibentuk ke dalam tim-tim gitu. Ah, aku gak faham, Desi yang lebih faham."
"Tapi kerjaan aku sekarang gimana? Apply resign harus sebulan sebelumnya. Aku bisa kena penalty jika resign mendadak."
"Ya terserah kamu sih Ra, semua keputusan ada pada kamu. Aku yakin, kamu bisa berfikir, dan tahu apa yang terbaik."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!