NovelToon NovelToon

Sillent Treatment Suamiku

Bab 1. Tentang Nara

Bab 1. Tentang Nara

   “Ini yang terbaik untuk mu Nara.” Ucap seorang pria dewasa dengan nada tegas. 

   “Tapi umurku terlalu jauh dengan laki-laki pilihan Ayah, 15 tahun! .” Jelas wanita yang berparas cantik di hadapannya, dengan nada sedikit meninggi. 

   “Kamu lihat, anak mu semakin hari semakin besar. Siapa yang akan menafkahi kalian?” Tunjuknya ke arah anak laki-laki yang ada di pangkuan Nara.

   Seketika Nara terdiam, isi kepalanya langsung ramai berlalang buana kesana kemari.

   Bagaimana Ibunya yang dulu berjuang untuk Nara dan Adiknya, yang bernama Ananta. Bagaimana usaha Ibunya membahagiakan anak-anaknya hingga ajal menjemputnya.

   Dulu Ayahnya sangat egois menurut Nara, Ayahnya memang bekerja tapi hasilnya tak mungkin bisa mencukupi kebutuhan mereka.

   Hingga suatu saat pertengkaran hebat terjadi di antara orang tua Nara, ntah masalah apa yang memulainya pertengkaran tapi Nara mengetahui isi di dalamnya pasti soal perekonomian.

   Nara sudah cukup mampu menelaah pertengkaran orang tuanya, dia sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bagaimmana keluarnya teriakan dan lemparan benda pecah nyaring di pendengaran Nara.

   Ibu Nara memilih merantau keluar negeri demi mencukupi kebutuhan mereka semua, yang mana suaminya pun sudah tak mau menau urusan rumah tangganya sendiri.

   Sekitar 5 tahun merantau dan memilih pulang, akhirnya Ibu Nara mengalami penyakit berat yang lumayan sulit disembuhkan dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya disaat Nara masih berumur 20 tahun. 

   Dalam perjuangan melawan sakitnyapun Ayah Nara tidak peduli, hingga Ibu Nara memilih tinggal dirumah orang tuanya sendiri yang jaraknya lumayan jauh dari rumah suaminya.

  “Aku tak akan mampu terus menafkahi kalian, bagaimana dengan ibu sambung dan adik tirimu yang sudah banyak mengalah disini!” Lanjut Ayah Nara dengan intonasi yang cukup tinggi. 

   Nara tersentak dari berisiknya isi kepalanya, bulir air mulai mengalir pelan keluar dari pelupuk matanya yang indah.

   Hingga akhirnya… 

   “Baiklah jika itu mau Ayah, dan aku berterima kasih atas semua usaha Ayah untuk ku dan anak ku.” ucap Nara bergetar, hingga air matanya mulai deras menetes.

   “Maaf jika hidup ku dan Airel terlalu menyusahkan selama ini, mungkin sering mengganggu kenyamanan istri dan anak Ayah.” Lanjutnya dengan suara yang semakin lirih. 

   Nara beranjak dari tempat duduknya, menggendong Airel didekapannya. Sebisa mungkin Nara menghapus air matanya dan berusaha menahan agar tak menangis dihadapan buah hatinya.

*

*

*

   Ia memandangi wajah kecil yang kini tengah tenang dan menyelami alam mimpinya itu. Airel Narayan, yang biasa Nara panggil Airel, anaknya yang pertama dengan mantan suaminya dulu. 

   Itu juga hasil perjodohan dari Ayahnya, saat Nara berumur 22 tahun ia dijodohkan dengan anak teman Ayahnya.

   Pernikahan yang baru berumur 2 tahun harus kandas, Nara sudah tidak mampu menahan kerasnya sifat suaminya. Karna perselisihan paham dan kdrt yang Nara alami, akhirnya Nara memilih bercerai. 

   Saat itu Airel masih berumur 3 bulan, Nara memilih pulang kembali ke rumah Ayahnya untuk meminta perlindungan.

   Nara heran kenapa Ayahnya suka sekali menjodohkan Nara. Kali ini terulang kembali, padahal Nara berpisah dengan suaminya masih baru berjalan 8 bulan dan kini dijodohkan dengan pria yang hampir setara umurnya dengan Ayahnya. 

   Ingin sekali rasanya Nara menolak dan melawan keinginan Ayahnya, tapi mau bagaimanapun usahanya pasti akan gagal. Sepertinya sifat keras yang Ayah Nara miliki sudah mendarah daging dalam dirinya. 

*

*

*

   “Halo.. Bagaimana kabarmu dan istrimu Nata?” Ucap Nara berbicara dengan ponsel yang kini tengah ia genggam.

   “Semua baik kak, hanya mulut tetangga yang kurang baik.” Sautan dari sebrang telefon yang Nara pegang. 

   “Kakak gimana kabarnya? Dan kemana ponakanku yang ganteng seperti Omnya itu?” Lanjutnya.

   “Airel sedang tidur. Aku ingin memberimu kabar Nat.” Ucap Nara dengan nafas berat. 

   “Ada apa kak? Terdengar dari suaramu sepertinya kabarnya kurang enak ditelinga ya.”

   “Ayah akan menjodohkan kakak lagi Nat.” Nara menghela nafas panjang. 

   “Apa..” Dari suaranya saja pasti Nata terkejut dengan berita yang Kakaknya sampaikan.

   “Baru juga 8 bulan Kak. Laki-laki mana yang dipilih Ayah kali ini!” Ini bukan pertanyaannya melainkan kalimat penuh keheranan yang Nata sampaikan. 

   “Nanti pasti Ayah akan memberimu kabar juga, tapi gapapa Kakak terima kok perjodohan ini.” Jelas Nara. 

   “Wih, pasti pilihan kali ini mapan, tampan dan baik ya Kak. Buktinya Kakak juga setuju.”

   Panggilan dalam telepon itu terputus, Nara menghela nafas berat dalam dirinya. Ingin rasanya menolak tapi mungkin takdir tengah tak memihak kepadanya. 

   Angan-angan Nara terus berputar, dimana saat hari kepergian Ibunya yang masih baru 2 bulan, Ayahnya sudah membawa istri baru dan anak tirinya ke rumah.

   Bagaimana sakitnya Nara menerima kenyataan pahit itu. Bukan Nara tak menerima, hanya saja liang lahat milik Ibunya saja masih basah, luka yang menggores dihatinya juga masih baru, tapi Ayahnya seperti menyiram luka itu kembali dengan air garam.

   Tak selesai dari itu hanya selisih beberapa bulan, Ayahnya menjodohkan Nara dengan anak dari teman baiknya, yang menjadi Ayah dari Airel itu. 

   Menurut pendapat Ayah Nara, dia laki-laki yang baik, tegas dan mapan. Tapi kenyataannya Nara menerima ketegasan itu dari pukulan, bentakan dan mungkin yang dibilang mapan adalah harta dari orang tuanya yang terus mantan suami Nara hamburkan. 

   Nara sudah mencoba ingin memperbaiki hubungannya dulu, tapi mungkin memang bukan jodoh. Nara terus menerus mengalah, tapi suaminya semakin semau dan seinginnya saja.

   Kata-kata kasar yang terlontar, serta hinaan karna Nara berasal dari keluarga yang kurang berada dan kurang harmonis, dan finalnya setelah terus-terusan diusir Nara memilih berhenti berjuang dan pulang kembali ke rumah orang tuanya. 

   Belum lepas dari rasa trauma akan rumah tangganya, kini Nara harus merasa asing dan merasakan ketidak adilan dari perilaku Ibu sambungnya.

   Sekuat mungkin Nara bertahan, setidaknya sampai anaknya tumbuh sedikit besar, Nara ingin mencari kerjaan sendiri untuk mencukupi kebutuhannya dan anaknya.

   Memilih keluar dari rumah yang dulu membuatnya nyaman saat ada Ibu didalamnya. Belum juga terealisasikan niat Nara, Ayahnya kembali melukai hati Nara, perjodohan yang kedua kali. 

   Bukan Nara tak ingin patuh, tapi rasanya Nara masih memiliki trauma untuk memulai lagi berumah tangga.

   Tangis terus mengiringi hidup Nara, “kenapa harus aku, apakah bahuku sekuat itu.” ucapnya sangat lirih.

*

*

*

   “Nara ada tamu untuk mu, cepat keluar dan berpakaian sedikit rapi.” Itu suara Ibu tiri Nara yang berasal dari luar kamarnya.

   Jantung Nara kembali berdetak cepat, apakah ini pilihan Ayah Nara yang akan dijodohkan dengannya.

   Segera Nara turun dan bersiap, Nara tak ingin jika sampai Ayahnya yang turun tangan menyeretnya keluar dari kamar ini kedepan.

   “Semoga semuanya baik.” Ucap Nara dalam hati menenangkan langkah dirinya.

*

*

*

Bab 2. perkenalan

Bab 2. Perkenalan 

   Langkah kaki Nara memelan saat dirinya hampir sampai di ruang tamu yang berisi Ayah, Ibu tiri dan mungkin seseorang yang dijodohkan dengannya. 

   “Nah itu anak ku, Ram.” Ucap Ayah Nara menunjuk ke arah Nara yang mulai mendekat. 

   Nara sebisa mungkin menunjukkan ekspresi tenang dan senyum tipisnya, tapi tak memungkiri jantungnya berdetak terlalu cepat dari biasanya.

   “Nara..” Ucap Nara memperkenalkan diri, sambil menjulurkan tangan kanannya. 

   “Rama..” Balasnya singkat.

   Di dalam ruangan tersebut suasananya begitu nyaman bagi mereka, tapi tidak dengan Nara. Fokusnya hilang kemana-mana, jika ditanya ya respon, kalo tidak ya diam.

   Tapi terlihat laki-laki yang bernama Rama itu tidak banyak bicara, hanya Ayah dan Ibu Nara saja yang banyak memulai obrolan.

   Ayah Nara selalu mengkode entah dari gerakan tangan atau gerakan mata, agar Nara memulai obrolan dengan Rama. 

   Tetap saja Nara bingung harus memulai obrolan dari mana, apa lagi dilihat dari umur Nara dan Rama yang lumayan jauh Nara pikir juga ngga terlalu nyambung arah pembicaraannya. 

   Dari arah kamar Nara terdengar suara Aiden menangis, tak menunggu lama Nara langsung berlari menemuinya, tadi memang ditinggal saat Aiden tengah tertidur pulas. 

*

*

*

   “Maaf tadi aku langsung lari, takut Aiden nangis semakin lama.” Jelas Nara saat kembali ke arah ruang tamu. 

   “Tidak apa-apa. Boleh aku menggendong Aiden?” Ucap Rama meminta ijin sambil tersenyum tipis ke arah Aiden. 

   “Tentu saja boleh.” Jawab Nara sambil menyerahkan Aiden kedalam pangkuan Rama. 

   Nara memperhatikan bagaimana cara Rama mengajak Aiden berkomunikasi, meski belum paham maksud dari orang dewasa bicarakan, tapi terlihat Aiden nyaman dan mudah tertawa dengan celotehan Rama. 

   “Maaf, tadi umur Aiden berapa ya? Aku lupa.” Tanya Rama, menghadap Nara. 

   “11 bulan jalan.” Jawab Nara. 

   “Dia lucu sekali, laki-laki pasti jagoan. Dulu aku juga ingin sekali anak laki-laki, tapi meskipun di kasih perempuan aku juga terima. Ternyata takdir belum memberiku waktu itu.” Cerita Rama panjang tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah kecil Aiden. 

   Rama sudah menceritakan masa lalunya, mantan istrinya dulu menganggap Rama tidak sehat atau tidak subur, sering terjadi cekcok diantara mereka dan selalu membawa hal sensitif itu di dalamnya. Tapi ternyata setelah Rama mencari tau, mantan istri Rama dulu memiliki laki-laki lain dibelakang Rama. 

   Mungkin masalah reproduksi yang mantan istri Rama selalu bawa-bawa itu hanyalah kedok semata, agar tingkahnya dibelakang tak di ketahui oleh Rama. 

*

*

*

   Singkat saja pertemuan pertama antara Nara dan Rama berkesan cukup baik, meski hati Nara belum sepenuhnya mau dengan perjodohan ini, tapi Nara selalu berpikir positif dicoba saja dulu.

   Sedari kecil Nara dan Nata memang diajari patuh terhadap kedua orang tuanya, terutama ajaran dari Ibu mereka yang terus tertata rapi dalam hidup keduanya. 

   Meski kadang ada ketidak cocokan antara pendapat orang tua dan anak, tapi kebanyakan Nara selalu mengalah, sebab Nara selalu berpikir apa yang menurut orang tuanya baik pasti ada kebaikan juga didalamnya. Sekalipun ada kesalahan, pasti ada pelajaran besar didalamnya. 

*

*

*

   “Bagaimana kali ini pilihan Ayah?” Pertanyaan terlontar dari Ayah Nara saat makan malam. 

   Semua berkumpul disana termasuk Ananta dan Vania, istri Ananta. Mungkin Ayahnya yang memanggil mereka untuk hadir saat makan malam, tidak lain dan tidak bukan perihal perjodohan yang akan dilaksanakan untuk Nara. 

   Nara hanya terdiam sambil memperhatikan raut wajah Ayahnya yang kian terlihat senang. Tanpa memberikan jawaban, Nara tetap fokus menyuapi Aiden.

   “Apa Kak Nara sudah cocok dengan pilihan Ayah?” Kali ini Nata yang mulai melontarkan pertanyaan, sebab tak mendapat jawaban dari pertanyaan Ayahnya sebelumnya. 

   “Pilihan orang tua pasti baik Nata, kalo gagal itu tandanya kebaikan belum datang saat waktunya dan sekarang waktunya harus dicoba lagi.” Pungkas Nara tenang tapi sedikit menohok. 

   Sontak dari jawaban Nara tersebut Ayahnya tak mampu lagi menjawab, pandangannyapun langsung menunduk.

   Apa yang terjadi kemarin itu juga pilihan Ayahnya. 

   Nata sadar akan atmosfer dalam ruangan tersebut mulai tidak mengenakkan.

   “Betul itu Nara, mau sesalah apapun pilihan orang tua pasti ada baiknya. Namanya juga kesalahan, kalo tau akan salah pasti ngga akan dilakuin dong, jadi ya harus dicoba dulu.” Sarkas Ibu tiri Nara. 

   Sontak Nara dan Nata langsung saling berpandangan, rasa muak dalam diri mereka sangat kentara terlihat.

   Gegas Vania mengambil alih Aiden ke dalam gendongannya, membawanya keluar dari percakapan lumayan berat di dalam.

   Untungnya Aiden sudah sangat dekat dengan Nata dan Vania, tanpa ada drama kalaupun ada waktu yang kurang pas didengar olehnya seperti halnya saat ini. 

   “Terserah, jadi bahan percobaan juga boleh.” balas Nara meremehkan. 

   “Apa maksudmu Nara? Apa kamu tidak setuju dengan pilihan Ayah? Apa kamu mau jadi anak tidak tau diri?”

   Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Ayah Nara dengan nada yang naik satu oktaf.

   Terlihat dari gaya bicaranya pasti emosinya mulai tersulut karna jawaban Nara untuk Ibu tirinya tadi. 

   “Bukankah aku sudah tidak menolak dengan kemauan Ayah, apa lagi salah ku sekarang!” Tekan Nara yang mulai terpancing juga emosinya. 

   “Jadilah anak yang penurut, Ayahmu membesarkanmu itu dengan peluh pengorbanan dan juga biaya.” Ucap Ibu tiri Nara cukup pedas. 

   “Ada apa ini? Kenapa jadi berdebat.” Rasa bingung hinggap dalam benak Nata.

   Nara kini tak lagi menjawab, helaan nafasnya terdengar panjang dan berat.

   Berdebat dengan Ibu tirinya juga tak akan menang, sesalah-salahnya dirinyapun tetap akan dibela oleh Ayahnya.

   Sejak dulu Ibu tiri Nara hanya menganggap Nara dan Nata numpang hidup dikehidupan Ayahnya. Padahal sejak kepergian Ibu Nara sendiri mereka memilih tinggal dengan Nenek dari Ibunya, hanya saat akan dijodohkan pertama kali dan mulai berpisah Nara mulai tinggal kembali dengan Ayahnya. 

   Untung saja saat ini saudara tiri Nara tidak ikut hadir, jika ada mungkin batin Nara semakin terluka karna perkataan mereka.

   Resty namanya, saat ini tengah menempuh pendidikan bangku kuliah diluar kota pilihannya sendiri. Dari situpun terlihat Nara dan Nata hanya melanjutkan sekolah hingga bangku SMA, lulus SMA Nara dijodohkan, sedangkan Nata dipaksa harus kerja untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. 

   Bisa dibilang anak kandung ditirikan dan anak tiri layaknya anak kandung. Tidak ada yang salah jika menganggap anak tiri seperti anak kandung, yang menjadi masalah hanyalah perbedaan perilaku dari orang tuanya.

*

*

*

"Kak Nara, aku ingin banyak bicara denganmu kali ini." ucap Nata dihadapan Nara yang kini tengah terdiam menyelami lamunannya.

Bab 3. Ajakan makan malam

Bab 3. Ajakan makan malam

   "Kak Nara, aku ingin banyak bicara denganmu kali ini." ucap Nata dihadapan Nara yang kini tengah terdiam menyelami lamunannya.

   Setelah perdebatan panjang dimeja makan tadi, kini Nara dan Nata memilih keluar, duduk dibangku teras belakang rumah yang biasa menjadi tempat Nara menenangkan diri.

   “Kamu sudah pasti bisa mengira apa yang terjadi Nata.” Jawab Nara sedikit tersenyum kearah Adik tersayangnya.

   “Bukankah Kak Nara menerima perjodohan ini, seperti yang Kakak katakan di telefon.” Jelas Nata ingin meminta jawaban.

   “Nata, perihal perjodohan ini atas kemauan Ayah. Apa Kakak bisa menolak apa yang sudah Ayah mau?”

   Tidak ada gurat bahagia diwajah Nara, semua terlihat biasa saja. Mau terlihat menyedihkan itu juga akan percuma, mau dipaksakan bahagia itu pasti tidak akan bisa.

   “Ya sudah, aku yang akan bilang ke Ayah kalo Kakak belum siap jika harus menikah lagi dalam waktu dekat ini.” Ucap Nata terlihat serius.

   “Percuma, apa yang direncakan Ayah pasti akan dilakukan Nat.” Jawab Nara mencoba tenang.

   “Nata, ini mungkin sudah jadi jalan hidup Kakak dan tugasmu cuma ada dua.” Lanjut Nara sambil beralih menggenggam kedua tangan Nata dihadapannya.

   Nata memperhatikan wajah Kakaknya yang menyiratkan sebuah luka, ada beban berat yang menghimpit batinnya.

   “Tugas pertama kamu, jaga Vania dan terus bahagia bersamanya, jangan sampai ada kata perpisahan didalamnya, selesaikan setiap masalah berdua, jangan libatkan orang lain jika kamu dan Vania masih mampu.” Terang Nara panjang sambil tersenyum kearah Adik kesayangannya.

   “Yang kedua?” Ucap Nata meminta kelanjutan.

   “Yang kedua cukup sayangi Aiden seperti anakmu juga Nat.” Jelas Nara dengan mata mulai berkaca-kaca.

   Sontak Nata langsung merengkuh tubuh kecil Kakaknya.

   Rasa hangat dan nyaman setiap pelukan masih sama sejak dulu, mereka memang sedakat itu. Setiap ada hal sedikitpun pasti akan bertukar cerita.

   “Jika itu tugas Kakak pasti niatku ada diangka paling atas, tanpa Kakak memintapun pasti akan aku lakukan.” Ucap Nata memberi ketenangan.

   “Kakak juga, semoga ini jadi jalan Kakak untuk bahagia. Perbedaan yang ada semoga tidak jadi masalah kedepannya.” Lanjutnya.

   Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Nara, sedikit ketenangan yang Nata selalu hadirkan dalam hidupnya.

   Andai masih ada Ibu disini, mungkin aku tak seberat ini. Ucap Nara dalam hatinya.

   “Apa Kakak menangis?” Pertanyaan terlontar dari mulut Nata, sebab merasakan nafas yang begitu berat dari Nara.

   Lekas Nara menghapus air matanya dan berusaha tersenyum dihadapan Nata.

   “Idih.. Nangis sudah gede juga, malu tuh sama Aiden.” Ejek Nata berusaha mencairkan suasana.

   “Siapa juga yang nangis.” terlihat senyum manis Nara mulai terlihat.

*

*

*

   Beban Nara sedikit terangkat, karna kekuatan dari Nata. Semenjak Ibunya meninggal, Nara seperti menjadi Ibu untuk Nata. Menjadi tempat untuk bercerita, menerima keluh kesahnya dan jadi pendengar terbaik.

   Nata sudah mengetahui semua yang terjadi pada Nara, tentang perjodohan kali ini bersama laki-laki bernama Rama, maupun rencana pernikahan yang sudah direncanakan oleh Ayahnya.

   Nara sudah menceritakan semua yang ada, dan Nata kini tinggal menunggu pertemuan selanjutnya dengan keluarga lengkap dari Nara dan Rama.

*

*

*

   Kehadiran Nata seperti memberi kekuatan bagi Nara, meski tak bisa merubah keadaan tapi setidaknya Nara memiliki penenang yang nyaman seperti Nata.

   Nara akan mulai mencoba menerima apa yang menjadi takdir untuknya, dengan hati yang lapang agar semuanya berjalan dengan kebaikan.

*

*

*

   “Selamat malam..” begitu isi pesan masuk di handphone Nara dengan nomor yang tak tersimpan.

   Nara mencoba melihat profil dan keterangan si pengirim pesan tersebut. Tertulis Rama Andrian, dengan profil Rama duduk dibangku kafe.

   “Iya, malam.” Balas Nara.

   “Ini aku Rama.” Pesan masuk lagi.

   “Iya, aku tahu dari profil dan keterangan namamu.” Ketik Nara membalasnya.

   “Oh begitu ya.”

   “Aku ingin mengajakmu dan Aiden pergi mencari makan malam bersama.”

   “Besok malam, jam 19.00 aku akan menjemputmu.”

   “Apa kamu bisa?”

   Rentetan pesan dari Rama masuk, Nara berpikir Rama orangnya sangat to the poin atau langsung menuju inti pokok pembicaraan dan mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan.

   Nara tak lekas membalas pesan tersebut, masih berpikir dan membaca berulang-ulang pesan dari Rama.

   “Bisa ngga ya? Tapi aslinya sih bisa soalnya aku ngga pergi kemana-mana, tapi…” begitu isi angan-angan Nara sambil memperhatikan pesan tersebut.

   Nara beralih menatap putra tersayangnya Aiden yang kini tengah terlelap disampingnya, mungkin terlalu lelah sebab tadi terlalu bersemangat bermain bersama Vania.

  Banyak pikiran berkecamuk dalam benak Nara, rasanya masih ingin menikmati momen berdua bersama Aiden. Tapi Ayahnya sudah mendapatkan calon Ayah sambung untuk putranya itu.

   “Gapapalah dicoba dulu, semoga laki-laki ini benar bertanggung jawab dan menerima setiap kekukurangan ku dan anakku.” Sambung Nara dalam hati.

   “Kalo tidak bisa, tidak apa-apa. Bisa dilain waktu yang akan datang.” Pesan masuk lagi dari orang yang sama.

   “Bisa, jam 19.00 aku dan Aiden akan bersiap.” Lekas Nara membalas.

   Balasan dari Nara hanya dibaca tanpa ada pesan balasan lagi, Nara menyimpan handphone miliknya ke atas nakas samping tempat tidurnya.

   Pikirannya menerawang jauh, masih ada ketakutan dalam diri Nara perihal laki-laki. Bagaimana soal pukulan dan cacian yang banyak ia dapat dari mantan suaminya dulu.

   Rasa trauma pasti masih ada, bayang-bayang rasa sakit dan air mata yang menemani dirinya saat itu masih membekas rapi dalam benaknya.

   Tapi Nara mencoba berpikir postif, tidak semua laki-laki akan bersifat seperti itu.

   Hingga rasa kantuk dalam diri Nara menguasai dan alam mimpinya menunggu untuk diarungi.

*

*

*

   Pagi menyapa, sebelum matahari mulai memancarkan cahayanya, Nara sudah menyibukkan diri didapur. Ia tak mau jika sampai keduluan Ibu tirinya, sebab dimeja makan nanti pasti akan ada aksi saling sindir menyindir kepada Nara.

   Ia berpikir apa semua Ibu tiri seperti itu sifatnya? Apa hanya Nara saja yang merasakan Ibu tiri seperti difilm-film ikan terbang itu?

   Mulai Nara pindah lagi kerumah ini, bawaan Ibu tirinya kentara sekali jika tak menginginkan keberadaan Nara dan Aiden.

   Untung saja, Aiden tak serewel itu anaknya. Hanya sesekali menangis dan itupun dengan mudah menenangkannya.

   Setiap hari Nara berusaha cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum Aiden bangun.

   Setelah semua siap Nara hanya tinggal menyuapi Aiden makan dan menemaninya bermain.

   Ibu tiri Nara kadang bangun ketika seluruh pekerjaan hampir selesai, termasuk masakan yang hanya tinggal disajikan. 

*

*

*

   Semua makanan mulai terhidang dimeja makan, semua berkumpul untuk sarapan sebelum memulai aktivitas masing-masing. 

   Sebelum semua benar-benar selesai Nara membuka obrolan, “Ayah, tadi malam Rama kirim pesan. Ingin mengajakku dan Aiden makan malam bersama.” Ucapnya. 

   “Bagus dong, kamu setujukan?” Tanya Ayah Nara. 

   “Iya.” Balas Nara. 

   “Itu baru anak Ayah, harus patuh apa kata Ayah, itupun untuk kebaikan mu dan Aiden juga.” Pungkasnya lagi mengingatkan Nara.

   “Dan ini uang jajan untuk Aiden, mungkin cucuku ingin membeli biskuit.” Sodor uang berwarna biru selembar kearah Nara.

   Nara tak menolak itu, ia memang tak pernah meminta uang kepada Ayahnya, tapi kebutuhannya dan Aiden pasti dicukupi dan dibelanjakan oleh Ibu tirinya, yaa meskipun kadang barang-barang yang teramat sangat murah.

   “Biar aku saja yang belikan.” Ucap Ibu tiri Nara. 

   “Sudah tak apa, untuk pegangan Nara juga nanti kalo mau jalan keluar.” Balas Ayah Nara, sedikit menghangatkan batin Nara.tulus

   Itu hanya uang 50 ribu rupiah yang Nara terima belum uang berjuta-juta, tapi Ibu tiri Nara kentara sekali tak menyukainya.

   “Terima kasih Yah.” Kata Nara tulus.

   “Dandan yang cantik dan bersifat baik kepada calon suamimu, jangan permalukan Ayah.” Petuah Ayah Nara lagi. 

   Tanpa banyak bicara lagi, Nara hanya mengangguk merespon Ayahnya.

*

*

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!