NovelToon NovelToon

Lentera Jelita

Prolog

Prolog

...*...

...*...

...𝙳𝚒𝚜𝚌𝚕𝚊𝚒𝚖𝚎𝚛....

𝚂𝚎𝚖𝚞𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒, 𝚝𝚘𝚔𝚘𝚑, 𝚊𝚕𝚞𝚛, 𝚕𝚊𝚝𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚏𝚒𝚔𝚜𝚒. 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚞𝚗𝚜𝚞𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚘𝚔𝚝𝚎𝚛𝚊𝚗. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚕𝚞 𝚍𝚒𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚐𝚊𝚖𝚋𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙𝚊𝚗 𝚍𝚘𝚔𝚝𝚎𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚜𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞𝚑𝚗𝚢𝚊.

Apabila ada kesamaan nama, tokoh, 𝚕𝚊𝚝𝚊𝚛 , 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚌𝚎𝚗𝚎 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚎𝚖𝚞𝚊 𝚖𝚞𝚛𝚗𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚗𝚐𝚊𝚓𝚊. 𝙱𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚕𝚊𝚐𝚒𝚊𝚝 𝚍𝚊𝚗 𝚓𝚊𝚍𝚒𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚒𝚓𝚊𝚔.

...*...

...*...

𝙳𝚊𝚗 𝚖ohon ma'af 𝚢𝚊... nanti anggap saja percakapan 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 menggunakan bahasa Inggris ya. 𝙱𝚊𝚑𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚛𝚒𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚐𝚞𝚗𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚘𝚖𝚞𝚗𝚒𝚔𝚊𝚜𝚒 𝚍𝚒 𝚔𝚘𝚝𝚊 𝚙𝚘𝚛𝚝𝚘𝚋𝚎𝚕𝚕𝚘, 𝚂𝚔𝚘𝚝𝚕𝚊𝚗𝚍𝚒𝚊, 𝙴𝚍𝚒𝚗𝚋𝚞𝚛gh😉

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Portobello, Skotlandia.

"Tolong!"

Teriakan itu begitu menyayat hati bagi gendang telinga yang mendengarnya. Akan tetapi tidak bagi lima lelaki yang terus melangkahkan kaki mendekati gadis remaja itu.

"Tolong kalian semua pergi jauh dari sini!" teriak gadis itu.

"Hiks...hiks,,hiks..." Air mata gadis itu melesat begitu saja, pelupuk matanya tak mampu membendung air mata yang sudah tumpah dengan di iringi napas naik turun karena rasa takut.

"Jangan harap kamu lepas dari kami, cantik. Ha... Ha... Ha..." Tawa itu memekakkan telinga. Layani kami sampai kami merasa puas.

Lima lelaki berbadan tegap itu semakin mendekat tanpa mempedulikan isak tangis dari gadis remaja yang ada di depan mereka. Bahkan tawa ke limanya terdengar memekakkan telinga.

Malam yang gelap seakan mencekam, membuat jantung gadis remaja itu seakan berhenti berdetak. Bibirnya seakan tidak bisa lagi mengucapkan satu kata apapun. Hanya di dalam hatinya ia berharap ada yang akan membantunya pergi dari lima lelaki yang seolah ingin menerkam tubuhnya.

'Ya Allah hamba menginginkan Kun Fa𝚢akun dari-Mu saat ini. Semoga Engkau memberikan pertolongan kepada hamba dari kejahatan mereka.' Gadis remaja itu bermonolog dalam hati.

Ke lima lelaki itu sudah berdiri mengelilingi Hafizha. Tatapan yang tajam dan buas dari ke limanya seakan siap menerkam mangsa yang ada di depan mereka.

"Berhenti!" teriakan seorang lelaki.

Tiba-tiba ke lima lelaki itu mengarah pada Akhtar yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Jangan sentuh adik ku sedikitpun!" ucap Akhtar tegas dengan tatapan tajam, setajam silet.

"Siapa kamu memangnya, hah." Salah satu preman itu pun bertanya dengan wajah menantang. "Jangan ganggu kesenangan kami malam ini, jika kamu tidak ingin mati di tangan kami."

"Bang Akhtar, tolong!" teriak Hafizha.

Akhtar seketika merasa hatinya tersayat mendapati Hafizha dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tatapan dari bola mata kecoklatan itu nampak memohon, tangan putih mulus Hafizha bergetar karena ketakutan dan bahkan tangis pun tak kunjung reda hingga membuat mata Hafizha sembab.

"Hafizha, kamu yang tenang. Abang akan menyelamatkan kamu, jangan menangis." Sengaja kalimat itu Akhtar ucapkan untuk menenangkan Hafizha, meskipun ia sendiri tahu hatinya sakit.

Hafizha hanya mengangguk sambil mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. Dan tak lupa Hafizha melantunkan dzikir meskipun hanya di dalam hatinya.

Akhtar berjalan maju secara perlahan dengan tatapan tajam. Sesekali Akhtar melirik, ia berusaha untuk tetap siaga saat penjahat itu akan menyerangnya secara tiba-tiba.

Ke lima penjahat itu saling lirik. Dan tak lama kemudian salah satu dari mereka pun memerintah untuk melakukan tindakan selanjutnya.

“Kalian serang saja laki-laki sok jagoan ini. Dan aku... Aku akan membawa gadis cantik ini menepi.” Laki-laki itupun tersenyum smirk. “Cepat serang dan jangan sampai gagal. Kita harus bersenang-senang malam ini tanpa ada gangguan dari siapapun, termasuk... Dia.”

Ke empat preman itu mengangguk. Setelah itu mereka maju dan menyerang Akhtar secara tiba-tiba. Beberapa kali ke empat preman itu melayangkan tinjuan secara bergantian pada Akhtar, tapi untungnya Akhtar selalu cekatan dan bisa menepis setiap tinjuan dari mereka.

Akhtar terus melakukan perlawanan, ia sesekali melayangkan tinjuan dan tendangan hingga membuat ke tiga preman itu tumbang. Dan kini masih ada satu preman yang harus Akhtar lawan. Akan tetapi...

"Sial! Bagaimana dia bisa membawa pisau lipat? Sedangkan aku...tak membawa sejata apa-apa."

Preman itu menodongkan pisau lipat yang tajam di depan Akhtar. Dengan senyum seringai preman itu memberi perlawanan.

"Terus hajar laki-laki itu, kalau bisa sampai ...keok. Alias...mati," titah preman yang masih memegangi lengan Hafizha.

"Tolong jangan sakiti Abang saya! Saya mohon hiks... Hiks... Hiks..."

Mendengar tangisan Hafizha membuat Akhtar hilang fokus, hingga akhirnya...

“𝙹𝚕𝚎𝚋!”

“Astaghfirullah.”

Akhtar menatap preman itu dengan mata teduhnya. Kedua matanya terpejam sejenak, ia merasakan perutnya nyeri.

"𝙰𝚛𝚐𝚑!" rintih Akhtar pelan saat pisau itu kembali ditarik oleh preman itu.

Akhtar sempoyongan saat mendapatkan tusukan yang cukup dalam dari preman itu. Seketika darah segar mengucur dari perut kanannya, bahkan darah 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚛 menembus kemeja putih yang Akhtar kenakan malam itu.

𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚜𝚎𝚐𝚎𝚛𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚝𝚞𝚙 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚝𝚞𝚜𝚞𝚔 𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚝𝚗𝚢𝚊 𝚒𝚝𝚞 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚙𝚊𝚔 𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚗𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊. 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚙𝚞𝚗 kabur setelah menyadari darah itu terus keluar dari perutnya. Langkahnya terhuyung mundur dan dia nyaris terjatuh. Untung saja ada tembok di belakang Akhtar, hingga tubuhnya pun bersandar sejenak.

“Bang Akhtar hiks…hiks…hiks…”

Hafizha berteriak. Rasanya gadis itu tak sanggup melihat Akhtar terluka, bahkan 𝚖𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 darah 𝚢𝚊𝚗𝚐 masih merembes dan semakin 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚋𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝙷𝚊𝚏𝚒𝚣𝚑𝚊 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚍𝚒𝚌𝚊𝚋𝚒𝚔-𝚌𝚊𝚋𝚒𝚔.

‘Ya Allah... Meskipun bang Akhtar bukanlah abang kandungku tapi Dia lelaki baik dan sholeh. Tolong lindungilah Dia ya Allah. Aamiin.’ Hafizha berdo'a dalam hati.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Huh!"

Seorang gadis yang berusia dua puluh tiga tahun itu membanting tubuhnya sembarangan di atas kasur. Dan saat sedang istirahat gadis itu menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

"Apa langkah selanjutnya setelah malam ini kita berhasil melakukan misi, Na?"

Terdengar suara laki-laki yang bertanya pada gadis itu setelah duduk di sebelahnya. Walaupun sebenarnya laki-laki itu ingin segera menyudahi pekerjaan kotor yang selalu membuat hidupnya bagaikan 𝚍𝚒 𝚛𝚘𝚕𝚕𝚎𝚛 𝚌𝚘𝚊𝚜𝚝𝚎𝚛.

"Entahlah!" Zuena duduk. "Sebenarnya aku sudah lelah, Adam. Tapi..."

"Sama. Tapi kita tidak bisa hidup bebas seperti manusia lainnya, harus dalam pengawasan dan terus sembunyi. Dan hal itu membuat𝚔𝚞 amat... Risih." 𝚄𝚌𝚊𝚙 𝙰𝚍𝚊𝚖 𝚖𝚎𝚖𝚘𝚝𝚘𝚗𝚐 𝚞𝚌𝚊𝚙𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊.

Dan kini giliran Adam yang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sedangkan Zuena berdiri, lalu membuka jaket kulit yang berwarna hitam, setelahnya Zuena mengganti pakaiannya dengan pakaian manusia normal, 𝚙𝚊𝚔𝚊𝚒𝚊𝚗 𝚊𝚕𝚊 𝚔𝚊𝚍𝚊𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚠𝚊𝚗𝚒𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙 𝚜𝚎𝚍𝚎𝚛𝚑𝚊𝚗𝚊. Dan tak lupa 𝚛𝚊𝚖𝚋𝚞𝚝 𝚕𝚗𝚢𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚊𝚗𝚓𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚛𝚞𝚜 𝚒𝚊 kucir satu ke atas.

"Mau kemana ka𝚖u? Perasaan tak ada tugas lagi dari paman Aditya." Ditatapnya Zuena dengan intimidasi.

"Hanya ingin mencari udara segar. Dan kau tak perlu ikuti aku, aku ingin menikmati malam di kota Edinburgh ini... Kota kelahiranku." Zuena tersenyum begitu manis, menampakkan sederet gigi yang siap untuk kering.

Zuena mengabaikan Adam yang masih memperhatikan. Berhubung 𝚉𝚞ena ingin segera merasakan udara segar di malam hari saat berada di kota Edinburgh, ia segera meninggalkan perumahan yang dijadikannya tempat tinggal sementara selama masih berada di Edinburgh.

"Semoga aku mendapatkan pencerahan hidup, meski aku tidak tahu bagaimana caranya. Menjalani hidup yang seperti ini membuat kehidupanku tidak sebebas mereka."

Zuena menaiki sepedanya, kendaraan yang membuatnya 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 nyaman saat singgah di kota 𝙿𝚘𝚛𝚝𝚘𝚋𝚎𝚕𝚕𝚘, 𝙴𝚍𝚒𝚗𝚋𝚞𝚛𝚐𝚑.

𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚢𝚞𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚐𝚘𝚗𝚝𝚊𝚒. 𝚂𝚎𝚜𝚎𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚒𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚒𝚛𝚞𝚙 𝚞𝚍𝚊𝚛𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚍𝚒 𝚜𝚎𝚔𝚒𝚝𝚊𝚛 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚊𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚎𝚐𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗. 𝙳𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚔 𝚕𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚞𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔𝚒 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚛𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚓𝚊𝚞𝚑 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚊𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

“𝚃𝚘𝚕𝚘𝚗𝚐!”

𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚜𝚎𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚔𝚊𝚗 𝚛𝚎𝚖 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝚜𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚑𝚎𝚗𝚝𝚒 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚜𝚝𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚒𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊.

“𝙾𝚑 𝙶𝚘𝚍! 𝙳𝚊𝚛𝚊𝚑𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚕𝚒, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚋𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞.”

𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚑𝚎𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚝 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚕𝚞𝚖𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚊𝚑.

“𝙻𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗 𝙳𝚒𝚊! 𝚆𝚘𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚎𝚌𝚞𝚝.”

𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚛𝚒𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚑𝚊𝚝𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚝𝚞𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚝𝚞. 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚔𝚊𝚝 𝚝𝚊𝚗𝚙𝚊 𝚊𝚍𝚊 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚔𝚞𝚝 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝𝚙𝚞𝚗.

“𝙺𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚗𝚒 𝚖𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚛𝚘𝚢𝚘𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚘𝚗𝚐. 𝚂𝚊𝚝𝚞 𝚋𝚊𝚗𝚍𝚒𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚝𝚞." 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚓𝚊𝚖 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚎𝚐𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚒𝚜𝚊𝚞. “𝙺𝚊𝚞, 𝚖𝚊𝚓𝚞.”

“𝙷𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚗𝚐𝚘𝚖𝚘𝚗𝚐. 𝙺𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚎𝚗 𝚖𝚊𝚝𝚒 𝚊𝚔𝚞 𝚙𝚞𝚗 𝚜𝚒𝚊𝚙 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚍𝚎𝚗𝚒."

𝙿𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚒𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚒𝚜𝚊𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚍𝚒 𝚝𝚞𝚋𝚞𝚑 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗, 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚕𝚒𝚑𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚔𝚒𝚜 𝚜𝚎𝚝𝚒𝚊𝚙 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞.

“𝚄𝚔𝚑!” 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚞𝚔𝚞𝚕𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊.

𝚉𝚞𝚗𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚞 𝚔𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞. 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚊𝚝𝚒𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞, 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚓𝚎𝚍𝚊 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚛𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚗𝚐𝚒𝚝𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚠𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚍𝚊𝚖𝚊𝚒𝚊𝚗 𝚊𝚐𝚊𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚎𝚛𝚐𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚐𝚊𝚍𝚒𝚜 𝚒𝚝𝚞.

“𝚃𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚖𝚒 𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗. 𝙹𝚞𝚜𝚝𝚛𝚞 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚞𝚗𝚍𝚞𝚛 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚕𝚊𝚔𝚒-𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚒𝚝𝚞.” 𝙿𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚓𝚞𝚔 𝚔𝚎 𝚊𝚛𝚊𝚑 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚜𝚊𝚑𝚊 𝚔𝚞𝚊𝚝 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚒𝚛𝚒.

“𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒! 𝙺𝚒𝚝𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚎𝚜𝚊𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚔𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚒𝚝𝚞 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚕𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚞𝚊.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

𝚂𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚓𝚊𝚖 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚊𝚍𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚖𝚊𝚝𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗.

“𝙰𝚜𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖𝚞'𝚊𝚕𝚊𝚒𝚔𝚞𝚖, 𝚓𝚊𝚐𝚘𝚊𝚗 𝙰𝚋𝚒.” 𝚈𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚞𝚕𝚊𝚜 𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖 𝚜𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚔𝚊 𝚖𝚊𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊.

“𝚆𝚊'𝚊𝚕𝚊𝚒𝚔𝚞𝚖𝚞𝚜𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖, 𝙰𝚋𝚒,” 𝚋𝚊𝚕𝚊𝚜 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚕𝚊𝚗, 𝚗𝚢𝚊𝚛𝚒𝚜 𝚝𝚊𝚔 𝚝𝚎𝚛𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛.

“𝙾𝚑 𝚒𝚢𝚊, 𝚊𝚍𝚊 𝚝𝚒𝚝𝚒𝚙𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛i—.” 𝚈𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚝𝚊𝚔𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚙𝚎𝚛 𝚋𝚊𝚐 𝚌𝚘𝚔𝚕𝚊𝚝 𝚍𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚗𝚊𝚔𝚊𝚜.

“𝙿𝚊𝚜𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝙷𝚞𝚖𝚊𝚒𝚛𝚊, 𝚔𝚊𝚗?” 𝚝𝚎𝚋𝚊𝚔 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚊𝚗𝚐𝚐𝚞𝚔𝚒 𝚙𝚎𝚕𝚊𝚗 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚈𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗.

“𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚝𝚊𝚔 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚙𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝙰𝚋𝚒. 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚔𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙷𝚞𝚖𝚊𝚒𝚛𝚊. 𝙺𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚓𝚊𝚝𝚞𝚑 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊.”

𝙳𝚎𝚐!

“𝙿𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚍𝚒𝚋𝚒𝚕𝚊𝚗𝚐 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚝𝚒𝚋𝚊-𝚝𝚒𝚋𝚊, 𝚃𝚞𝚊𝚗.” 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚍𝚞𝚍𝚞𝚔𝚗𝚢𝚊.

“𝚂𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚑𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚔𝚎𝚍𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒 𝚊𝚕𝚊𝚜𝚊𝚗, 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗. 𝙷𝚊𝚝𝚒 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚔𝚒𝚗 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚓𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚢𝚊.”

“𝙰𝚝𝚊𝚜 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚊𝚙𝚊 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚔𝚒𝚗, 𝚃𝚞𝚊𝚗? 𝚂𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚛𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚎𝚖𝚞. 𝙱𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚙𝚞𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚋𝚎𝚍𝚊... 𝚓𝚊𝚞𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚋𝚎𝚍𝚊. 𝙰𝚍𝚊 𝚑𝚞𝚔𝚞𝚖 𝚝𝚊𝚋𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚛. 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚊𝚐𝚊𝚖𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝙺𝚛𝚒𝚜𝚝𝚎𝚗 𝚊𝚐𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊.”

𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖, 𝚕𝚊𝚕𝚞...

“𝙱𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚔𝚍𝚒𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊. 𝙱𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚘'𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚙𝚎𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚒𝚝. 𝙳𝚊𝚗 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝚗𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚗𝚍𝚒𝚗𝚐 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚗𝚊𝚖𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚒 𝙻𝚊𝚞𝚑𝚞𝚕 𝙼𝚊𝚑𝚏𝚞𝚍𝚣-𝙽𝚢𝚊, 𝚕𝚊𝚗𝚝𝚊𝚜 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚊𝚙𝚊?”

𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚋𝚞𝚗𝚐...

Nervous

...Saya tahu jika rasa cinta dan suka itu sudah tercipta sedari dulu. Bahkan jodoh saya pun sudah dituliskan dalam kitab Lauhul Mahfudz. Akan tetapi ijinkanlah saya bertemu dengannya sesuai petunjukMu. Pijarkanlah lentera dalam dirinya agar aku tahu bahwa dia jelitaku....

...****************...

Seperti biasa, Akhtar selalu menadahkan tangannya membaca do'a makan. Meskipun hanya sarapan roti saja tetapi roti itu juga makanan persembahan dari Allah yang patut disyukuri.

"Makannya pelan-pelan dong, Nak. Memangnya sudah ada pasien hingga membuat kamu seperti ini? Makan buru-buru begitu." Yulian menggeleng saja melihat tingkah Akhtar.

"Hari pertama itu harus profesional dong, Bi. Biar dianggap tidak teledor, nanti kalau dicap jelek Abi juga yang malu." Akhtar beranjak dari duduknya setelah rotinya habis.

Dan setelah itu ia langsung berpamitan pada Abi, Bundanya dan Cahaya. Sedangkan Arjuna belum pulang dari semalam. Lelaki itu masih sibuk di rumah sakit sebagai dokter OBGYN.

"Pakai motor atau mobil ya?"

Setelah menimang-nimang cukup lama akhirnya Akhtar segera memilih kendaraan yang pas untuknya agar lebih cepat sampai di rumah sakit. Hari pertama bekerja ia harus menjadi dokter yang profesional.

...****************...

"Siapa itu? Mungkinkah dokter baru yang katanya super keren itu?"

"Mungkin saja iya. Kalian tahu kan, tidak ada dokter yang memakai motor kecuali... dokter baru itu."

"Kita buktikan seperti apa dokter yang sudah dinilai plus oleh dokter senior dan juga pemilik rumah sakit ini. Mungkin benar atau hanya... bayangan saja."

Obrolan telah bergulir begitu saja setelah mereka para perawat tak sengaja melihat motor sport terparkir di halaman depan rumah sakit. Bahkan beberapa perawat itu rela menunda apa yang akan mereka kerjakan dan memilih untuk menunggu pemilik motor sport itu membuka helm full facenya.

"Wihhh! Ternyata memang bening. Sesuai kenyataan, bukan fiksi seperti yang ada di novel romance," ungkap salah satu perawat.

“Bikin kaum hawa meleleh ini namanya,” imbuh perawat yang lain.

Akhtar turun dari motor sportnya setelah membuka helm full facenya. Karena ingin tampil sempurna, ia menyisir rambutnya dengan jari. Rambut yang dipotong dengan gaya comma hair membuat penampilan Akhtar semakin berkelas. Dengan langkah gontai Akhtar menelusuri lorong rumah sakit dan menuju ke ruang direktur. Di sanalah Akhtar akan mulai memperkenalkan diri.

Tuk... Tuk... Tuk...

Suara sepatu pantofel yang dikenakan Akhtar membuat Akhtar menjadi pusat perhatian di pagi itu. Tidak hanya perawat, dokter perempuan, pengunjung rumah sakit atau bahkan pasien lanjut usia sekalipun.

'Memang kalau ganteng dari lahir itu ya begini nih. Bikin semua orang ngences.'

Akhtar mulai narsis saat ia merasa dirinya yang menjadi pusat perhatian di rumah sakit itu. Akan tetapi, ia mengingat suatu hal yang membuat dirinya merasa... tak sempurna. Bisa dibilang hidupnya ngenes dalam cinta.

‘Tapi... Ada yang kurang. Jodohku belum terlihat ada hilalnya. Ya Allah... Kenapa ngenes sekali kisah cintaku.'

‘Ya Allah... Saya tahu jika rasa cinta dan suka itu sudah tercipta sedari dulu. Bahkan jodoh saya pun sudah dituliskan dalam kitab Lauhul Mahfudz. Akan tetapi ijinkanlah saya bertemu dengannya sesuai petunjukMu. Pijarkanlah lentera dalam dirinya agar aku tahu bahwa dia jelitaku.'

Akhtar menghela napas berat, sesaat dadanya terasa sesak. Namun, ia terus melangkahkan kaki menelusuri lorong rumah sakit mengingat tujuan utamanya datang.

Akhtar sudah berkeliling rumah sakit sekitar dua puluh menit, tapi ia masih belum menemukan ruangan direktur, hingga ia pun memutuskan berhenti.

"Dimana sih ruangannya itu? Masa iya aku tanya Bang Juna," ujar Akhtar sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari ruangan yang ia cari. "Nggak etis kalau Akhtar harus bertanya. Mending jalan saja dulu, pasti nanti ketemu. Bismillah."

Tidak ada kata menyerah di awal titik perjuangan meraih kesuksesan bagi seorang Akhtar. Hingga Akhtar kembali berjalan gontai, ia kembali mencari ruangan yang ditujunya. Dan setelah lima belas menit kembali berjalan, akhirnya ruangan itu ketemu juga.

“Nah ini dia ruangannya. Tidak salah memang jika aku harus muter-muter. Ternyata ruangannya berada disini. Di lantai dua paling ujung.” Akhtar menatap tabel nama yang menempel di pintu.

Akhtar menarik napas panjang sambil terpejam sebelum mengetuk pintu. Setelah dirasa ia tidak gugup, ketukan pelan ia lakukan. Tidak lama kemudian terdengar suara dari dalam yang meminta untuk masuk. Setelah akhtar masuk lelaki itu meminta Akhtar duduk di depannya.

"Izin! Pak. Selamat pagi. Saya ... Akhtar Farzan Atmajaya selaku dokter kardiologi yang baru di rumah sakit Royal Infirmary." Terdengar sedikit kaku, tapi bisa dimaklumi Akhtar masih pertama kali.

Senyum dari lelaki paruh abad itu mengembang mendengar Akhtar yang memperkenalkan diri. Seakan lelaki yang menjabat sebagai direktur rumah sakit itu sudah tahu bagaimana Akhtar dan latar belakang Akhtar. Sehingga lelaki itu tidak mempermasalahkan apapun.

“Apakah Anda sudah siap untuk bekerja di rumah sakit saya, Dokter Akhtar?” tanya Pak Harris yang diakhiri dengan senyuman.

"InsyaAllah saya siap, Pak. Saya akan berusaha menjadi dokter yang bisa diandalkan di rumah sakit. Saya akan berusaha menjadi dokter terbaik di rumah sakit ini." Dengan senyuman yang mengembang, Akhtar siap menjalani karirnya sebagai dokter kardiologi.

"Kalau begitu saya akan memperkenalkan Anda dengan suster Talia. Karena suster Talia yang akan menjadi asisten Anda nanti."

"Baik, Pak." Akhtar mengangguk pelan.

Pak Harris memegang gagang telepon lalu menekan tombol panggil. Melalui panggilan itu Pak Harris meminta perawat bernama Talia untuk menemuinya di ruangan itu. Tidak lama kemudian, suster Talia masuk setelah mengetuk pintu pelan.

"Suster Talia, perkenalkan ini Dokter Akhtar. Dokter Akhtar, ini suster Talia."

"Akhtar..." Akhtar menangkupkan tangannya di tas dada dan menyebutkan namanya tanpa diawali embel-embel dokter. Tak lupa senyum pun telah terukir di bibir Akhtar untuk menyambut suster Talia sebagai asistennya.

"Saya suster Talia. Senang bertemu dengan Anda, Dokter Akhtar." Suster Talia membalas Akhtar dengan ramah.

"Dan selama Dokter Akhtar bekerja di sini kamu akan menjadi asistennya. Tolong kerjasama kalian ya," ucap Pak Harris.

"Baiklah, Pak Harris." Suster Talia mengangguk sambil tersenyum.

"Baik, Pak." Akhtar melakukan hal seperti yang dilakukan suster Talia.

"Kalau begitu kalian bisa melanjutkan perkenalan kalian sambil bekerja. Selamat bekerja untuk kalian!" Pak Harris yang diangguki Akhtar dan juga suster ucap Talia.

...****************...

Suster Talia menunjukkan di ruangan Akhtar. Akhtar masuk ke ruangan itu dan mengedarkan berbagai. Ruangan yang cukup besar, terdapat sofa yang disediakan di sisi kanan ruangan itu. Ada plat nama yang terbuat dari logam sebagai tanda pengenal yang beratas namakan dirinya sebagai dokter kardiologi.

“Desain ruangan yang cukup menarik,” ungkap Akhtar.

Akhtar meletakkan tugas kerjanya di kursi, lalu ia menyambar snelli yang bertengger di kursi kerjanya tadi. Snelli berwarna putih itu ia pakai, dibagian dada kiri sudah tertulis nama Akhtar dengan gelar dokter kardiologi.

"Semangat Akhtar. Hari pertama dan pasien pertama. Bismillah..."

Akhtar mulai membuka daftar pasien yang ingin berkonsultasi dan juga melakukan jadwal operasi.

"Pasien pertama dengan nama... Bella. Bermasalah dengan jantung lemah. Pagi ini mau konsultasi dalam penanganan pertama," gumam Akhtar sambil mengamati data pasiennya.

Akhtar manggut-manggut setelah beberapa data pasiennya mampu ia mengerti dengan permasalahan setiap pasien.

Akhtar tidak mau hanya duduk seraya membaca data pasien-pasien nya itu. Akhtar beranjak dari duduknya, lalu ia sambar stetoskop yang ada di atas meja kerjanya.

“Suster Talia, apa kita bisa langsung bekerja sekarang? Jadwal pertama kita melakukan visite pada pasien dari Dokter Charly. Iya, kan?” tanya Akhtar jika saja ia salah dalam melakukan perkejaan pertamanya.

“Iya, Dok. Perkejaan pertama kita memang melakukan visite, setelah itu ada pasien bernama Bella ingin konsultasi. Dan saya... siap mengikuti Anda bekerja, Dok.” Suster Talia membenarkan ucapan Akhtar.

“Ok.” Akhtar siap dengan tugasnya. Tak lupa stetoskop sudah melingkar di lehernya.

Akhtar berjalan gontai menuju ruang rawat inap dari beberapa pasiennya. Suster Talia pun ingin menunjukkan sikap profesional sebagai asisten, ia mengekori kemana pun Akhtar pergi.

Langkah kaki yang tadinya diambil cepat kini perlahan melambat. Ada rasa yang membuat Akhtar ragu untuk masuk ke ruang Jasmin.

“Tunggu sebentar, Suster Talia.” Akhtar berdiri membelakangi pintu ruangan itu.

“Ada apa, Dok? Apa ada yang tertinggal?” tanya suster Talia sambil menautkan alisnya.

“Ah, tidak. Hanya saja saya sedikit... Nervous.”

Akhtar merogoh saku snellinya dan mengambil ponselnya itu. Akhtar memeriksa penampilannya melalui pantulan layar kaca ponselnya.

‘Ya Allah... ternyata Dokter Akhtar begini amat ya.’ Suster Talia mengangkat tangannya lalu menutup mulutnya dan menahan tawa.

Bersambung...

Hadir Sesaat

...Mata yang indah dengan bulu mata yang lentik. Wajah yang cantik dengan kulit putih bersinar. Biarpun aku hanya menatapnya di galeri ponsel tetapi entah kenapa aku merasa... Kagum....

...****************...

Langkah kaki yang tadinya diambil cepat kini perlahan melambat. Ada rasa yang membuat Akhtar ragu untuk masuk ke ruang Jasmin.

"Tunggu sebentar, Suster Talia." Akhtar berdiri membelakangi pintu ruangan itu.

"Ada apa, Dok? Apa ada yang tertinggall?" tanya suster Talia sambil menautkan alisnya.

"Ah, tidak. Hanya saja saya sedikit... Nervous."

Akhtar merogoh saku snellinya dan mengambil ponselnya itu. Akhtar memeriksa penampilannya melalui pantulan kaca layar ponselnya.

'Ya Allah... Ternyata Dokter Akhtar begini amat ya.' Suster Talia mengangkat tangannya lalu menutup mulutnya dan menahan tawa.

...****************...

Akhtar duduk di ruangannya, sesekali dia menghela napas karena sudah bekerja semaksimal mungkin di hari pertamanya. Tak hentinya rasa syukur diucapkan, karena di hari pertama bekerja tidak ada kendala apapun. Berkomunikasi dengan pasien membuat Akhtar merasa tidak canggung lagi, bahkan beberapa pasien yang ditangani Akhtar merasa nyaman saat berkonsultasi maupun berobat.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Sekarang waktunya pulang," ujar Akhtar diakhiri senyuman yang mengembang.

Akhtar menutup laptopnya, setelahnya dia melepas snelli yang dikenakan selama bekerja tadi dan dia letakkan di lemari kerjanya. Setelah beranjak dari duduknya Akhtar menenteng tas kerjanya, lalu keluar dari ruangannya dan menuju ke tempat parkir.

“Dokter Akhtar sudah mau pulang sekarang?” tanya suster Talia.

“Iya,” jawab Akhtar dengan senyuman. “Suster Talia juga harus pulang sekarang. Jaga kesehatan itu penting, jangan terlalu berlebihan dalam memporsir pekerjaan. Kerjakan semampunya, saya sebagai dokter juga tidak menekan Suster Talia dalam bekerja. Kirimkan data pasien untuk besok lewat e-mail saya. Jadi sekarang siap-siap gih, pulang.”

“Ok, fine. Terima kasih sudah memberikan kerenggangan waktu untuk saya rileks, Dokter Akhtar.”

Suster Talia merasa senang menjadi asisten pribadi Akhtar. Selain kerja Akhtar yang cekatan dan profesional dalam operasi maupun hal lainnya, Akhtar juga baik hati.

Akhtar selalu menebar senyum saat bertemu pasien yang lainnya, petugas rumah sakit atau pengunjung rumah sakit yang kebetulan menunggu keluarga mereka.Bersikap ramah adalah sikap yang diterapkan Akhtar sebagai seorang dokter.

"Masih jam empat sore," ucap Akhtar sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Mampir sebentar ah ke pantai Portobello."

Akhtar memakai helm full face nya. Dengan kecepatan sedang dia melajukan motornya menuju ke pantai Portobello. Pantai yang terkenal akan pasir dengan warna keemasannya dan jalan panjang yang dipenuhi bangunan-bangunan tradisional bergaya victoria. Tempatnya pun tidak jauh dari pusat kota Edinburgh, hanya empat mil dari pusat kota.

Setelah sampai di pantai Akhtar berjalan menyusuri pesisir pantai, lalu dia berdiri di bibir pantai untuk menikmati senja sore itu.

'Aku harap Allah mempertemukan kita disini... Wahai jodoh. Seperti beberapa tahun lalu, hanya melalui kertas itu kamu menuliskan pesan untukku, dan kamu hadir walau sesaat.'

Senyum mempesona dari seorang Akhtar kembali mengembang. Sesaat ia merasa bahagia saat mengingat notes dari entah siapa yang berani menegurnya beberapa tahun lalu. Namun, detik berikutnya Akhtar merasa dilema.

"Tapi, siapa sebenarnya jodohku? Pemain biola itu..."

"Mata yang indah dengan bulu mata yang lentik. Wajah yang cantik dengan kulit putih bersinar. Biarpun aku hanya menatapnya di galeri ponsel tetapi entah kenapa aku merasa... Kagum.”

"Humaira... Sebenarnya dia wanita yang cantik. Tapi, hatiku menolak untuknya."

"Lalu... pemilik notes? Siapa dia? Perempuan atau laki-laki?"

Akhtar menghela napas berat, rasanya sulit disaat jodohnya belum terlihat akan hilalnya. Karena sudah semakin sore Akhtar memutuskan untuk pulang. Akhtar mengendarai motornya dengan kecepatan sedang sambil menikmati waktu bersantai dan melihat pemandangan sore kala itu.

****************

Akhtar tertegun sesaat. Setibanya di rumah dia melihat satu mobil yang tak asing baginya.

“Ini... Mobil Om Tristan.”

Akhtar berjalan gontai dan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa dia mengucapkan salam.

“Assalamu'alaikum,” ucap Akhtar saat berada di ambang pintu.

“Wa'alaikumussalam.” Terdengar balasan dari dalam rumah, terdengar tidak jauh dari arah pintu.

Akhtar tersenyum ramah saat berada di ruang tamu. Akhtar langsung menyalami kedua orang tuanya, Om Tristan dan Tante Arumi.

‘Ternyata benar ada Om Tristan dan Tante Arumi. Tapi ada apa ya kok tumben bener sore begini bertamu. Apa...’ Akhtar bermonolog dalam hati.

“Bagaimana, Akhtar kerjanya hari ini?” tanya Om Tristan dan seketika membuyarkan lamunan Akhtar.

“Alhamdulillah, Om. Hari ini Allah memberikan kelancaran untuk Akhtar. Dan pasiennya juga tak rewel,” canda Akhtar diakhiri cengiran.

“Ya alhamdulillah, kalau kamu bisa beradaptasi dengan warga disini. Dan pastinya itu juga tidak mudah bagi kamu, yang tadinya ada di Medan terus berpindah ke Korea dan sekarang justru memilih bekerja di Edinburgh.”

“Ya begitulah, Om. Namanya juga hidup di negeri orang, pasti tidak lah mudah. Asalkan kita tetap bersuara, pasti ada jalan. Seperti kata pepatah. Lebih baik bertanya daripada sesat di jalan,” ucap Akhtar yang diselingi dengan candaan.

“Tapi ada yang kurang, Akhtar. Ca... Lon istri.”

Deg!

Sejenak jantung Akhtar seakan berhenti berdetak, tapi dengan kewarasannya dia mengalihkan obrolan itu.

“Ha... Ha... Ha...” Akhtar tertawa. “Masalah jodoh itu bisa diatur nanti, Om. Pernikahan itu ibadah terpanjang, jadi Akhtar tidak mau bermain-main dengan pernikahan. Ya sudah, Om. Akhtar mau mandi dulu, gerah ini bau obat pula.”

Tanpa mengurangi rasa sopan Akhtar undur diri dari obrolan itu.

...****************...

Akhtar meletakkan tas kerjanya di meja belajar yang ada di kamarnya. Setelah itu dia melepas seluruh pakaiannya dan langsung menuju ke kamar mandi.

Di bawah kucuran air yang membasahi seluruh tubuhnya Akhtar kembali mengingat obrolan saat di ruang tamu tadi.

“Jangan sampai Om Tristan dan Abi membicarakan perjodohan antara aku dengan Humaira. Sungguh... itu menyiksa kewarasan ku.”

“Lagipula aku tak mau menikah tanpa ada rasa cinta yang membuatku salah langkah. Dan aku juga tidak merasakan debar cinta saat pertama kali bertemu dengan Humaira. Kecuali saat aku menatap gadis pemain biola itu, ada rasa... yang tak nyata. Tapi... bikin nagih.”

Setelah selesai mandi Akhtar hanya memakai kaos oblong dan celana kolor saja. Pakaian santai yang biasa dia pakai hanya di rumah saja.

Saat keluar dari kamar tanpa sengaja Akhtar bertemu dengan Abinya yang akan pergi ke kamar Arjuna.

“Abi, mau kemana?” tanya Akhtar basa-basi.

Bukannya menjawab pertanyaan Akhtar Abinya itu justru memberikan pelototan saat melihat penampilan Akhtar.

“Masuk kamar lagi dan ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan. Cepat!” titah Abi Yulian.

“Lah memangnya kenapa? Percaya saja Bi, Bunda sama Mbak Cahaya tidak akan tergoda. Santai...” ucap Akhtar diakhiri cengiran.

“Iya, Abi percaya jika Bunda dan Mbak mu itu tidak akan tergoda. Tapi... Ada Humaira.”

Akhtar terdiam, pikirannya seakan tidak bisa fokus.

“Maaf, ada siapa tadi kata Abi?” tanya Akhtar meminta Abinya untuk mengulang nama yang disebut tadi.

“Ada... Hu... Ma... Ira. Masih muda kok budek. Dokter pula.”

Hik's!

Akhtar meraba dadanya mendengar ucapan Abinya yang tak sopan sudah mengatai putranya sendiri.

Entah ada apa dengan Akhtar, antara tidak fokus atau budek seakan tak ada bedanya.

Akhtar masuk lagi ke kamarnya dan memakai sarung, hanya sarung saja yang dianggap sopan. Biarkan kaos oblong menjadi pakaian casualnya di dalam rumah.

Mendengar nama Humaira membuat Akhtar mendadak malas keluar dari kamarnya. Dia pun hanya memilih untuk membuka handphone nya dan menekan galeri. Dibuka nya foto gadis pemain biola itu.

“Aku nggak tahu apa yang membuatku merasa betah memandangi fotomu wahai gadis asing. Dan ya... Aku juga tahu jika memikirkanmu akan membuatku masuk dalam jurang zina hati dan zina mata. Maka dari itu aku berdo'a kepada Allah agar menghadirkan mu dalam mimpi walau hadir sesaat.”

“Dan jika kita bertemu di dunia nyata, aku akan segera melakukan khitbah untukmu. Karena aku yakin jantungku yang berdetak saat pertama kali melihat fotomu itu sebagai tanda kalau kita... berjodoh.”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!