NovelToon NovelToon

Sang Pewaris Tersembunyi

Bab 1: Perkebunan Anggur Tallava

Langit Acalopsia pagi itu berwarna biru pucat. Kabut tipis turun dari pegunungan dan menyelimuti pulau yang melayang di atas awan. Udara terasa sejuk seperti biasa, cukup dingin untuk membuat napas terlihat dalam embun.

Di kejauhan, kabut menyelimuti hutan lebat dan lembah-lembah hijau yang menggantung di tepi daratan langit. Burung-burung azaran berkicau di antara dedaunan. Embun masih menempel di ujung-ujung tanaman anggur yang tumbuh merambat di seluruh ladang.

Perkebunan Tallava terbentang luas. Tanaman anggur tumbuh rapi dalam barisan panjang. Buahnya menggantung lebat, berwarna ungu kebiruan. Para pekerja elf tampak sibuk di antara tanaman, memetik buah dan mengisi keranjang. Suara alat panen yang memotong batang anggur terdengar di antara tawa dan nyanyian ringan dari para pemetik.

Di salah satu sudut perkebunan, seorang pemuda berdiri dengan tubuh tegap. Rambut hitamnya diikat sederhana ke belakang. Wajahnya tampak tenang, tetapi tatapannya tajam. Keranjang besar tergantung di punggungnya, berisi hasil panen pagi itu.

Namanya Sion. Itu nama yang ia gunakan saat ini.

Sebelumnya, ia dikenal sebagai Revalant, putra terakhir dari Raja R’hu, penguasa Acalopsia yang dikudeta dalam peristiwa berdarah yang kemudian dihapus dari catatan sejarah. Rambut putih yang dulu menjadi ciri khasnya telah ia sembunyikan dengan pewarna. Kulitnya juga diubah dengan ramuan agar tidak memancarkan aura khas elf kerajaan. Ia bersembunyi agar tidak dikenali. Tidak ada yang boleh mengetahui siapa dirinya sebenarnya.

Sion menunduk, meneliti tandan anggur di tangannya. Setelah memastikan buahnya matang, ia memotong dan menaruhnya di keranjang. Langkahnya berpindah ke baris berikutnya tanpa suara.

Suara berat terdengar dari arah semak. “Jangan terlalu cepat. Anggur yang belum matang bisa merusak rasa panen.”

Barja muncul dari balik tanaman. Lelaki tua itu berambut abu-abu dan mengenakan pakaian kasar penjaga kebun. Dahulu, ia adalah pengurus kuda kerajaan. Kini, ia menjadi sosok pelindung sekaligus ayah angkat bagi Sion.

“Aku tahu,” jawab Sion singkat.

Barja mengarahkan pandangannya ke jalan berbatu yang mengarah ke kediaman pemilik kebun. “Yang kumaksud bukan hanya soal anggur, tetapi juga isi hatimu.”

Langkah kuda terdengar dari arah gerbang. Suara kuku menghantam tanah batu perlahan mendekat. Sesaat kemudian, seorang penunggang kuda muncul di ujung ladang.

Pangeran Nieville tiba dengan menunggangi seekor kuda putih bercula. Mata kuda itu berwarna biru terang, dan bulunya tampak bersih serta terawat. Pangeran turun dengan anggun dari punggung kuda. Ia mengenakan jubah putih panjang yang dihiasi lambang matahari bersayap di dada, simbol keluarga kerajaan yang berkuasa saat ini.

Rambut Nieville berwarna putih alami, mencolok di bawah sinar matahari pagi. Aura khas elf kerajaan terlihat jelas darinya, membuat siapa pun di sekitarnya langsung menundukkan kepala. Beberapa pekerja menghentikan pekerjaan untuk memberi hormat.

Sion tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak bergerak, hanya memperhatikan Nieville dari balik tanaman. Wajahnya sulit terbaca, tetapi matanya menyimpan emosi yang dalam. Pangeran Nieville berdiri di posisi yang seharusnya menjadi milik Sion. Kuda yang ia tunggangi pun dulunya pernah dimiliki oleh ayah Sion.

“Dia...” gumam Sion lirih.

Barja melirik ke arah pemuda itu, kemudian berkata pelan, “Jangan biarkan masa lalu menarikmu kembali. Tidak ada yang mengingat siapa kau sebenarnya. Itu adalah satu-satunya alasan kau masih hidup sampai sekarang.”

Sion mengepalkan jemarinya, lalu melepaskannya perlahan. Ia berpura-pura membetulkan tali sandalnya. Rambut hitam yang menyamarkan identitasnya terasa tidak nyaman di bawah panas matahari.

Sebenarnya ia sangat muak dengan kehidupan yang dijalaninya. Selalu bersembunyi, dan menganggap dirinya yang sebenarnya telah mati. Ia hidup dengan menahan diri dari hinaaan kaum elf di sekitarnya. Terkadang ia merasa iri, penghormatan terhadap Nieville juga seharusnya ia dapatkan.

Pangeran Nieville tampak berbicara dengan Tirin Tallava, putri pemilik perkebunan. Percakapan mereka tidak terdengar dari jarak ini, tetapi gerak-gerik mereka menunjukkan keakraban. Keduanya terlihat seperti pasangan muda yang sedang menjalin hubungan.

Sion masih diam. Namun dadanya terasa sesak. Napasnya mulai tidak teratur. Rasanya kekesalan yang ada di dalam dirinya sudah tidak sanggup ditahan.

Sejak lama ia tidak percaya pada keadilan. Takdir bukan lagi sesuatu yang ia yakini. Apa yang dijalaninya sangat menyakitkan.

Nieville berjalan perlahan di antara barisan tanaman. Ia menyapa para pekerja dan membelai kepala seorang anak kecil. Sikapnya tampak ramah dan tenang. Di mata Sion, semua itu terlihat seperti sandiwara.

Barja menepuk lengannya. “Kalau kau ingin tetap hidup, tetaplah menjadi bayangan. Bayangan tidak bersaing dengan cahaya. Ia tahu tempatnya.”

Sion menatap lurus ke arah pangeran. “Bayangan bisa menelan cahaya," ucapnya. Dalam hati, ia ingin sekali berlari ke arah pangeran itu dan memukulnya.

Barja menoleh ke arahnya. “Itu benar. Namun hanya bisa dilakukan sekali. Setelah itu, bayangan akan hilang.”

Sion bisa memahami apa yang Barja maksud. Akan tetapi, hatinya tetap tak mau menerimanya. Ia tak mau menerima takdirnya begitu saja. Apa yang seharusnya menjadi tempatnya, ia akan mendapatkannya.

Kabut pagi mulai memudar. Matahari muncul penuh di atas langit Acalopsia. Cahaya menyinari seluruh ladang dan memantul di kulit anggur yang menggantung rapi di batang-batang pohon.

Sion menyadari bahwa darah kerajaannya masih mengalir. Ia masih ada. Kebenaran tidak lenyap, meskipun telah lama dikubur.

Pangeran Nieville kembali ke kudanya. Sebelum pergi, ia tanpa sengaja menatap ke arah Sion. Pandangan mereka bertemu. Sesaat itu terasa seperti waktu berhenti.

Kuda sang pangeran mengangkat kedua kaki depannya dan meringkik. Gerakannya tampak resah, seolah mengenali seseorang di sekitar. Sion segera menunduk untuk menghindari tatapan langsung.

Angin berhembus melewati ladang, membawa aroma anggur yang manis ke seluruh area.

Nieville memacu kudanya dan meninggalkan perkebunan.

Barja masih menatap langit, lalu berkata dengan suara datar, “Jangan menjadikan kemarahan sebagai tujuan. Tujuanmu adalah kebenaran. Kebenaran tidak tumbuh dari tanah yang dipenuhi kebencian.”

Sion mengangguk pelan. “Aku mengerti. Namun dalam beberapa keadaan, kebenaran membutuhkan pedang.”

Barja tidak menanggapi. Ia hanya memandang langit yang semakin cerah, berharap negeri Acalopsia tidak kembali masuk ke masa perang seperti sebelumnya. Ia tahu, jika konflik kerajaan terulang, bangsa orc bisa saja mengambil alih.

Sion memanggul kembali keranjangnya. Langkahnya terlihat tenang saat ia kembali berjalan di antara tanaman anggur. Namun di dalam dirinya, amarah dan tekad belum juga padam. Ia tetap menjadi bayangan untuk sekarang, tetapi suatu hari nanti, bayangan itu akan bergerak.

Bab 2: Cahaya Tersembunyi

Matahari siang menggantung tinggi di langit Acalopsia. Cahaya yang turun tidak pernah menyengat, namun cukup untuk membuat para pemetik berkeringat. Angin dari lembah membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi buah anggur yang baru dipetik. Di sisi utara perkebunan, tidak jauh dari gudang penyimpanan, sebuah bangunan batu berdiri sederhana. Dindingnya tertutup lumut hijau, atapnya terbuat dari kayu tua.

Di belakang bangunan itu, tersembunyi oleh semak belukar yang tumbuh lebat, Sion duduk bersandar pada batang pohon tua. Napasnya teratur, meskipun pelipisnya masih dipenuhi keringat. Di hadapannya, sebuah botol tanah liat telah terbuka. Cairan kental berwarna hijau di dalamnya memantulkan cahaya samar. Aromanya menyengat, menyerupai bau akar tumbuhan yang direndam terlalu lama.

Dengan perlahan, Sion mencelupkan dua jari ke dalam cairan itu, lalu mengoleskannya ke leher, pundak, hingga dada. Ramuan itu bukan hanya untuk menyegarkan tubuh. Fungsi utamanya adalah menyamarkan keberadaan aura elf suci dalam dirinya. Jika auranya muncul, penyamarannya bisa runtuh dalam sekejap.

Aroma tubuhnya yang biasanya memberi efek menenangkan telah ditekan sepenuhnya. Ia hidup dalam penyamaran, dalam tubuh yang ia modifikasi sendiri demi keselamatannya.

Hutan di sekitarnya tenang. Suara yang terdengar hanyalah angin yang menggerakkan dedaunan serta langkah-langkah kecil burung yang berpindah ranting.

Suasana berubah saat seekor kuda meringik dari kejauhan. Uta, kuda putih bercula milik Pangeran Nieville, biasanya tidak bersuara. Suara langkah mendekat, teratur dan tenang, muncul dari arah semak. Sion langsung menutup botol ramuan dengan kain lusuh, lalu menguburnya ke dalam tanah yang sebelumnya telah ia gali.

Beberapa saat kemudian, suara langkah itu berubah menjadi sosok nyata.

Pangeran Nieville muncul di antara pohon-pohon anggur. Ia berdiri tidak jauh dari tempat Sion duduk. Tatapannya tajam, tidak menunjukkan kecurigaan, namun terlihat jelas rasa ingin tahu di wajahnya. Uta yang berdiri di belakangnya meringik pelan. Gerak-geriknya gelisah, seolah mengenali sesuatu yang tidak sesuai.

Sion berdiri perlahan dan menundukkan kepala. Ia menjaga sikap dan menahan emosi, meskipun tubuhnya terasa tegang.

Nieville memiringkan kepala. "Kuda ini biasanya tenang terhadap siapa saja. Namun saat melihatmu, dia terlihat gelisah." Suaranya terdengar datar, disampaikan dengan ketenangan khas bangsawan.

Sion menjawab dengan nada rendah, tanpa mengangkat wajah. "Mungkin karena keringat saya, Yang Mulia."

Pangeran mengamati sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Siapa namamu?"

“Sion.”

“Kau bekerja di sini?”

Pertanyaan itu belum sempat dijawab ketika suara langkah lain datang dari arah gudang. Langkahnya ringan dan cepat.

Sion mengenalinya. Natu Tallava, putri sulung dari bangsawan Roman, muncul sambil membawa keranjang kecil berisi buah anggur. Rambut pirang pucatnya diikat sebagian ke belakang dengan pita berwarna perak. Wajahnya memiliki kecantikan tenang, khas perempuan dari keluarga bangsawan. Gerak-geriknya teratur, seolah diajarkan sejak kecil untuk bergerak seperti seorang penari istana.

“Oh, Yang Mulia. Rupanya Anda berada di sini,” ucap Natu sambil tersenyum, lalu melirik ke arah Sion. “Sion sudah lama bekerja di sini. Ia anak dari Barja, penjaga gudang kami. Orang paling setia di perkebunan ini.”

Nieville mengangguk kecil kepada Natu. “Begitu rupanya.”

Sion merasa sedikit lega. Keberadaan Natu membantu meredakan ketegangan. Namun ia menyadari perbedaan nada suara Natu ketika berbicara dengan sang pangeran. Tatapan matanya pun berubah, terlihat lebih hidup, lebih bersinar. Sion memperhatikan dengan diam. Tatapan itu tidak sekadar hormat, melainkan kekaguman.

Dalam hati, Sion berkata, semua perempuan di negeri ini mungkin memiliki mimpi yang sama: menjadi permaisuri.

Nieville kembali menoleh kepadanya. “Kau terlihat cocok menjadi seorang prajurit. Apakah kau tertarik mengikuti seleksi prajurit kerajaan?”

Sion menunduk lebih dalam. “Belum, Yang Mulia. Saat ini saya hanya bekerja di ladang.”

Pangeran tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan Sion beberapa detik sebelum berkata, “Sayang sekali. Acalopsia membutuhkan lebih banyak tenaga terlatih.” Setelah itu, ia meniup siulan pendek untuk memanggil kudanya. Uta masih sempat memandang ke arah Sion sebelum akhirnya melangkah mendekat kepada tuannya.

Setelah sang pangeran menjauh, Natu melirik Sion. Ia tidak langsung berbicara. Tatapannya singkat namun dalam, lalu ia tersenyum. Senyum itu tampak seperti refleksi dari isi hatinya sendiri.

“Pangeran sangat tampan, bukan?” bisiknya lirih, seolah membagikan rahasia kecil yang selama ini ia simpan.

Sion tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat.

Natu berjalan pergi sambil bersenandung kecil. Aroma bunga mawar dan anggur muda tertinggal di udara.

Sion memandangi tempat di mana Nieville berdiri tadi. Gema suaranya masih terngiang. Tidak ada nada kasar dalam ucapannya, juga tidak ada sikap merendahkan seperti yang biasa dilakukan para bangsawan lain. Justru hal itulah yang membuat Sion semakin gelisah.

Nieville terlalu baik. Terlalu sempurna. Terlalu bersinar. Keberadaan seperti itu berbahaya.

Sion kembali duduk dan menyentuh tanah tempat botol ramuan disembunyikan. Ia tidak tahu berapa lama lagi penyamarannya bisa bertahan. Satu hal yang ia pelajari hari ini: seekor kuda dapat mengenali sesuatu yang manusia buta terhadapnya. Jika binatang mulai resah, maka manusia biasanya akan menyusul.

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. “Apa yang kau lakukan sampai pangeran tertarik mendatangimu?”

Sion menoleh. Barja muncul dari balik semak, seperti biasa, tanpa suara dan penuh rasa ingin tahu.

“Tidak ada. Aku hanya duduk di sini,” jawab Sion sambil mengambil botol bambu berisi air minum. Ia meneguk perlahan.

“Uta mungkin mengenaliku,” tambahnya sambil menyeka air yang menetes dari dagu.

Barja menghela napas dan duduk di sampingnya. “Kuda itu tidak akan mudah lupa pada pangeran kecilnya.”

Kenangan masa lalu perlahan muncul di benak mereka berdua. Dahulu, keluarga Sion masih hidup. Ia dan kuda itu tumbuh bersama. Barja sendiri yang dulu merawat Uta dan memandikannya. Semua kenangan itu masih ada di kepalanya.

“Kau harus lebih berhati-hati.”

Nasihat itu sudah terlalu sering didengar. Sejak kecil, Barja selalu mengulanginya. Namun semakin banyak larangan yang ia terima, semakin besar dorongan dalam dirinya untuk melawan. Ia ingin kembali ke istana, tidak sekadar menonton dari kejauhan.

“Kau mendengarku?” tanya Barja. Nada suaranya meninggi sedikit. Setiap kali Sion hanya diam, kecemasannya meningkat. Ia tahu betul, semakin dewasa, Sion semakin sulit diarahkan. Satu-satunya harapan Barja adalah menjaga nyawa anak itu tetap selamat.

Sion menatap lurus ke depan. “Berhentilah mencemaskanku. Aku sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Aku tahu apa yang akan aku lakukan.”

Bab 3: Seorang Mestiz

Di balik rerimbunan pohon dan semak liar, mengalir sungai Murravia di kaki bukit selatan perkebunan Tallava. Sungai ini tidak hanya menjadi sumber air bagi ladang anggur, tetapi juga digunakan para pekerja untuk membersihkan diri setelah seharian bekerja.

Sore itu, angin dari utara bertiup pelan membawa aroma kemangi liar. Embun terakhir masih tersisa di dedaunan. Cahaya bulan mulai terlihat dari balik dahan-dahan, menyinari permukaan air yang tenang. Di bagian sungai yang lebih dalam, cahaya samar tampak memancar dari dasar.

Sion berada di dalam air. Gerakannya lentur dan terlatih. Ia menyelam dengan bebas di bawah permukaan. Di tempat itu, ia merasa lebih hidup. Tidak ada yang mengenalnya, tidak ada beban sejarah, tidak ada identitas yang perlu disembunyikan. Dunia di atas tidak bisa menembus keheningan dasar sungai. Hanya suara napasnya sendiri yang bergema melalui gelembung udara.

Kesunyian itu terganggu oleh bayangan aneh di dekatnya. Rambut merah terurai bebas di dalam air, mengambang seperti helaian sutra. Sosok perempuan terlihat perlahan tenggelam dengan lengan terentang. Wajahnya menghadap ke atas, mata terpejam.

Sion segera berenang ke arahnya. Ia mengayuh dengan kuat dan menarik tubuh perempuan itu ke permukaan. Mereka muncul dengan cipratan besar, air tumpah ke segala arah. Sion menyibakkan rambut dari wajah perempuan itu. Kulitnya pucat, bibirnya membiru, dan napasnya nyaris tidak terasa.

Dengan cepat, Sion mengangkat tubuh itu ke atas batu besar di tepi sungai. Ia menekan dada perempuan itu dengan kedua tangan, berusaha memaksa air keluar dari paru-parunya.

Beberapa detik berlalu sebelum terdengar suara batuk.

Suara serak keluar dari tenggorokannya.

Sion panik. Ia segera mengambil botol ramuan dari dalam kantung kain dan mengoleskannya ke tubuhnya. Rambut palsu dipasang kembali. Cahaya elf dalam dirinya kembali tertutup.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" Suara perempuan itu terdengar lemah, tetapi mengandung kekesalan. Tatapannya tajam menembus seperti bilah kaca.

Sion tidak langsung menjawab. Ia menatapnya dengan heran. "Apa kau benar-benar ingin mati?"

Ia tidak bermaksud mencampuri urusan siapa pun. Keputusan untuk menyelamatkan perempuan itu muncul secara spontan. Jika bukan karena naluri, mungkin ia sudah pergi sejak tadi.

Perempuan itu mendorong tubuh Sion menjauh. "Ya. Itu yang kuinginkan. Kau baru saja menghancurkannya."

Sion berdiri. Ia merapikan rambutnya yang masih basah dan menatap perempuan itu dengan rahang mengeras. "Kau ingin bunuh diri? Apa semua Kaum Mestiz seceroboh dirimu?" ia menjadi kesal.

Perempuan itu memandangnya dengan tatapan marah. Matanya membulat. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena kesal.

"Elf yang mati karena bunuh diri tidak akan mendapat kedamaian," ucap Sion. "Mereka akan berubah menjadi Orc dan hidup kekal sampai mereka dibunuh oleh pedang elf. Atau mungkin kau ingin hidup abadi sebagai makhluk kutukan itu?"

Perempuan itu mengerutkan dahi. "Itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil."

"Itu kenyataan," ujar Sion. "Sama seperti rambut merahmu itu."

Perempuan itu memalingkan wajah. Tubuhnya gemetar. Tidak jelas apakah karena dingin atau karena kata-kata Sion terlalu menyakitkan.

"Siapa namamu?" tanya Sion.

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia menarik lutut ke dadanya dan menatap permukaan air dengan kosong. "Sissel," jawabnya lirih.

Sion mendengarkan tanpa menyela.

"Aku bukanlah siapa-siapa di negeri ini," ucap Sissel lirih. "Kenapa bahkan mati pun sulit dilakukan? Apa salahku dilahirkan sebagai Mestiz? Semua kaum elf membenciku seolah keberadaanku membawa bencana."

Sion memperhatikan rambut merah yang menempel di wajah Sissel. Warna itu dianggap terkutuk di negeri ini, meskipun sebenarnya terlihat menyala seperti api di tengah salju.

"Ayahku dulu seorang prajurit di istana. Namanya Krov. Ia jatuh cinta pada putri kerajaan. Putri itu bernama Meida," kata Sissel dengan nada sendu.

Tubuh Sion menegang.

Meida. Nama itu menggema dalam benaknya. Meida adalah adik perempuan dari ayahnya, juga putri kakeknya, yaitu Raja Lowin. Ia memilih meninggalkan istana demi hidup bersama elf biasa. Keputusan itu menyebabkan seluruh keluarga kerajaan menghapus namanya, menganggapnya tak pernah ada.

Sion menatap Sissel dengan lebih saksama. Ia mulai menyadari bahwa gadis di depannya adalah sepupunya sendiri.

Ia memilih untuk tidak menunjukkan keterkejutannya.

"Apa yang membuatmu sangat ingin mati?" tanyanya perlahan.

Sissel menarik napas panjang. "Setiap hari aku dihina. Di ladang, di dapur, bahkan di gudang. Tatapan jijik, ucapan menyakitkan, dan tangan-tangan yang mencoba meraba tubuhku dengan dalih hina… Mereka menyebutku iblis berambut darah. Mereka percaya bahwa aku membawa kutukan."

Air mata mengalir di pipinya.

"Aku lelah. Aku sangat lelah."

Sion mendengarkan. Dalam dirinya, amarah perlahan tumbuh. Ia memahami apa yang dirasakan gadis itu. Ia juga hidup dalam pelarian. Setiap hari menyembunyikan diri, merasa tidak pantas hidup di dunia ini.

"Bukan hanya kau yang merasakannya," ujar Sion.

Sissel mengusap air matanya. "Apa maksudmu?"

"Aku tahu rasanya dipandang rendah. Aku juga tahu bagaimana rasanya dihina dan hidup dalam bayang-bayang. Mereka ingin kita menyerah, karena mereka senang melihat kita menderita. Kalau kita menyerah, mereka yang akan menang."

Sissel menggeleng. "Tapi kau bukan Mestiz."

Sion tersenyum tipis. Jika saja perempuan itu tahu siapa dirinya yang sebenarnya, mungkin pendapatnya akan berubah. Kaum Mestiz setidaknya bisa hidup bebas. Sementara ia harus terus bersembunyi dari cahaya untuk tetap hidup.

"Elf biasa juga tidak punya banyak pilihan," jawab Sion. "Kami bekerja sepanjang waktu, seperti budak, hanya untuk bisa makan. Lalu kami akan mati sebelum usia ratusan tahun… beruntung bagi mereka yang mampu berumur sampai ratusan tahun. Tidak akan ada yang mengenang kami. Saat mati, kami akan hilang seperti debu."

Sissel terdiam. Suara sungai dan nyanyian burung menjadi satu-satunya yang terdengar. Matanya tampak lebih tenang. Ia mulai memikirkan ulang apa yang dikatakan lelaki itu.

Ia tahu kehidupan elf biasa memang tidak mudah. Mereka tidak memiliki keabadian seperti keluarga kerajaan, kecuali mereka meminum air suci dari Sungai Zahuire Nemuire. Air itu hanya diberikan pada bangsawan atau mereka yang dianggap pantas. Selain itu, hanya kematian yang menanti.

"Aku tidak tahu siapa dirimu," ucap Sissel pelan. "Tapi terima kasih."

Sion mengulakan senyum. Ia lantas berdiri dan mengulurkan tangan. "Kau bisa berdiri?"

Sissel menatap tangannya, lalu meraihnya. Tubuhnya masih lemah, tetapi langkahnya sudah lebih mantap.

"Aku akan mengantarmu ke pondok. Kau sudah terlalu jauh dari tempatmu."

Sissel mengangguk pelan. "Rasanya lebih nyaman sendirian daripada bersama yang lain. Kau sendiri kenapa ada di sini?"

"Aku juga butuh waktu sendiri. Itu alasanku berada di sini."

Sissel tersenyum kecil. "Baru kali ini aku bertemu denganmu. Siapa namamu?"

"Sion."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!