NovelToon NovelToon

Sang Pewaris Tersembunyi

Bab 1: Perkebunan Anggur Tallava

Langit Acalopsia pagi itu berwarna safir pucat, diselimuti oleh kabut tipis yang turun dari pucuk-pucuk pegunungan. Udara di pulau yang melayang di atas awan ini tak pernah benar-benar panas, hanya terasa sejuk yang membelai seperti belaian seorang ibu kepada bayinya.

Dari kejauhan, kabut putih menggulung lembut di balik hutan-hutan lebat dan lembah hijau yang menggantung di tepi langit. Burung-burung azaran berkicau merdu di sela dedaunan, dan embun masih menari di ujung-ujung tanaman anggur yang menjalar seperti urat-urat hidup di bumi langit ini.

Perkebunan Tallava terbentang luas seperti permadani hijau keunguan. Para pekerja elf tampak seperti titik-titik kecil yang menyemut di antara barisan anggur yang menggantung ranum, kulitnya mengilap ungu kebiruan, seperti kristal yang menyerap cahaya pagi. Suara alat panen bersentuhan dengan tangkai buah, tawa kecil dari para pemetik muda, serta nyanyian kerja dari para wanita perkebunan menyatu dalam irama sunyi yang sakral.

Di salah satu sisi kebun, berdiri seorang elf muda dengan rambut hitam legam yang diikat sederhana ke belakang. Matanya tajam, tapi menyimpan kehati-hatian yang terlatih. Tubuhnya tegap, bahunya kuat menopang keranjang besar berisi hasil panen. Ia bekerja dengan keheningan yang tidak biasa, gerakannya presisi, dan setiap langkahnya seolah telah diukur oleh waktu.

Ia adalah Sion, nama yang ia pakai kini.

Tapi dunia mengenalnya dulu sebagai Revalant, keturunan terakhir dari darah murni Kerajaan Acalopsia. Satu-satunya anak lelaki dari Raja R’hu—raja muda yang difitnah dan dikudeta dalam malam berdarah yang dibungkam oleh sejarah.

Kini, tak ada seorang pun yang melihat rambut putih suci berkilau di kepalanya. Yang tampak hanya hitam kelam, palsu, namun cukup meyakinkan bagi siapa pun yang tak ingin mencari lebih dalam. Kulitnya pun tersamarkan dengan ramuan khusus, agar aura elf suci di dalam dirinya tidak memancar secara alami. Ia tak boleh memancarkan cahaya. Ia tak boleh mengingatkan siapa pun akan garis darahnya. Ia hidup seperti bayangan.

Sion menunduk, meneliti buah anggur yang baru saja ia petik. Matanya memantulkan warna langit, tapi jiwanya tenggelam jauh lebih dalam.

Tangannya bergerak hati-hati, memotong tandan dengan pisau kecil, menyusunnya dalam keranjang, lalu melangkah ke baris berikutnya tanpa berkata sepatah pun.

"Jangan terlalu cepat, buah yang belum matang bisa merusak semuanya." Suara tua, berat, dan penuh rasa waspada menyapa dari balik semak anggur.

Itu Barja, lelaki tua berambut perak keabu-abuan, dulunya pernah menjadi pengurus kuda kerajaan, sekaligus ayah pengganti bagi Sion. Kini ia mengenakan pakaian kasar penjaga perkebunan, wajahnya keras namun penuh kasih, seperti batu yang menyimpan bara hangat di dalamnya.

Sion mengangguk pelan. “Aku tahu, Barja.”

“Bukan soal anggur yang kumaksud,” kata Barja perlahan, tatapannya menyapu ke arah jalan batu yang mengarah ke kediaman keluarga Tallava. “Tapi hatimu.”

Langkah-langkah kuda terdengar di kejauhan. Gemuruh ringan dari tanah langit yang diinjak oleh kuku-kuku logam kuda kerajaan. Dan tak lama kemudian, di ujung barisan anggur, muncullah sosok yang membuat udara sekitar Sion terasa menegang.

Pangeran Nieville.

Ia menaiki kuda putih bercula bernama Uta, yang matanya bersinar biru seperti kristal dan bulunya lebih cemerlang dari cahaya pagi. Sang pangeran turun anggun dari punggung hewan suci itu, mengenakan jubah panjang berwarna putih dengan lambang matahari bersayap di dada—simbol darah kerajaan yang tengah berkuasa.

Rambut Nieville yang putih berkilau alaminya nyaris menyilaukan siapa pun yang melihatnya di bawah sinar matahari. Memang, aura elf Kerajaan selalu terang meskipun di malam yang kelam. Melambangkan kesucian serta kemurnian yang selalu memberkati negeri itu.

Para pekerja langsung menunduk. Beberapa berhenti bekerja untuk memberikan salam.

Sion tidak bergerak.

Ia hanya berdiri mematung, memandangi pangeran dari balik dedaunan. Ada perasaan yang menggelegak dalam dadanya—bukan iri semata, tapi sesuatu yang lebih pahit. Nieville berdiri di tempat yang seharusnya menjadi miliknya. Menaiki kuda yang dulu juga pernah sempat menjadi tunggangan ayahnya.

“Dia...” Gumam Sion, nyaris tak terdengar.

Barja berdiri di sisinya, mengamati ekspresi wajah Sion dari sudut matanya. “Kau tidak boleh menyimpan dendam. Dunia ini sudah lupa siapa dirimu. Biarkan mereka lupa lebih lama.”

Sion mengepalkan jemarinya, namun cepat-cepat melemaskan kembali. Ia menunduk, seolah tengah memperbaiki tali sandalnya. Rambut palsu itu terasa panas di bawah sorot matahari, seolah ikut menolak kenyataan.

Pangeran Nieville berbicara dengan Natu Tallava, putri pemilik perkebunan. Suara mereka tak terdengar dari jarak ini, tapi bahasa tubuhnya sopan dan menawan. Seperti sepasang elf muda yang tengah menjalin kedekatan.

Sion tak berkata apa-apa.

Hanya dadanya yang naik-turun lebih cepat dari biasanya.

Takdir dan keadilan—dua kata yang terdengar seperti dongeng tua baginya.

Nieville melangkah masuk ke barisan anggur, senyumnya menyapa beberapa pekerja. Ia menyapa seorang anak kecil yang sedang memetik anggur dan membelainya di kepala. Aura ketenangan yang dipaksakan dari garis keturunan, pikir Sion.

Barja menyentuh lengan Sion. “Kalau kau ingin tetap hidup, kau harus terus menjadi bayangan. Bayangan tidak iri pada cahaya. Bayangan tahu tempatnya.”

“Tapi bayangan bisa menelan cahaya,” jawab Sion perlahan, matanya masih menatap ke arah pangeran.

Barja menatapnya lama. “Bisa. Tapi hanya sekali. Dan setelah itu, bayangan akan lenyap.”

Langit mulai berubah sedikit. Kabut sudah mulai menguap, memberi ruang bagi matahari untuk menyinari seluruh ladang. Cahaya memantul dari kulit buah anggur seperti permata yang menghampar. Di balik semua keindahan ini, Sion tahu: darahnya masih hidup. Kebenaran belum mati. Dan masa depan tidak akan dibangun dari kebohongan yang didewakan.

Pangeran Nieville berbalik, lalu menaiki kembali kudanya. Tanpa sadar, pandangan mereka bertemu sesaat—mata biru Nieville bertemu dengan mata kelam Sion. Tak ada yang diucapkan. Tapi waktu seolah berhenti untuk sekejap.

Kuda milik pangeran meringik bersuara sembari mengangkat kedua kaki depannya, seolah menyadari keberadaan elf yang dikenalnya.

Sion buru-buru menunduk.

Angin kuat menerpa daun-daun anggur dan menebar aroma manis ke seluruh ladang.

Dan sang pangeran pergi.

Barja menatap Sion dengan tatapan tajam, lalu berkata dengan suara rendah namun dalam, “Jangan jadikan amarah sebagai tujuan. Tujuanmu adalah kebenaran. Dan kebenaran tidak pernah tumbuh dari tanah yang penuh kebencian.”

Sion mengangguk. “Aku tahu. Tapi kadang... Kebenaran pun butuh pedang.”

Barja tidak menjawab. Ia hanya menatap ke langit yang semakin terlihat cerah. Sungguh ia tak ingin langit Acalopsia kembali kelabu, saat terjadi pertumpahan darah di antara kalangan keluarga kerajaan. Sangat mengerikan membayangkan negeri elf yang damai suatu saat akan hilang berganti dengan kekuasan bangsa Orc.

Sion kembali mengangkat keranjangnya. Langkahnya tenang. Tapi di dalam dadanya, badai tak berhenti menggulung. Ia adalah bayangan, untuk saat ini. Tapi bahkan bayangan pun tahu kapan waktunya berubah menjadi badai.

Bab 2: Cahaya Tersembunyi

Mentari menggantung tinggi di langit Acalopsia, tak pernah menyengat, tapi cukup untuk membuat dahi para pemetik berkeringat. Angin dari arah lembah membawa harum tanah basah yang bercampur manisnya buah anggur yang baru dipetik. Di sisi utara perkebunan, tak jauh dari gudang penyimpanan hasil panen, sebuah bangunan kecil dari batu tua berdiri bersahaja, dindingnya dilapisi lumut hijau dan atapnya beratap kayu tua.

Di belakang bangunan itu, di balik semak yang tumbuh lebat, Sion duduk bersandar pada batang pohon tua. Napasnya teratur, meski keringat masih mengalir perlahan di pelipisnya. Di depannya, sebuah botol tanah liat kecil telah dibuka—di dalamnya cairan pekat berwarna kehijauan memantulkan kilau samar. Ramuan itu beraroma tajam, seperti akar tumbuhan dan embun yang difermentasi oleh waktu.

Dengan gerakan pelan dan penuh perhitungan, Sion mencelupkan dua jarinya, lalu mengoleskan cairan itu ke leher, pundak, hingga dada. Ramuan ini bukan sekadar penawar lelah. Ini adalah penutup tirai—penghalang bagi aura elf suci yang hidup dalam tubuhnya. Aura yang jika terpancar, bisa mematahkan penyamarannya dalam sekejap.

Aroma tubuhnya yang biasa menyejukkan hati dan menenangkan hewan-hewan pun diredam hingga tak tersisa. Ia hidup dalam kulit palsu. Dalam penyamaran yang ia bangun dari kebohongan demi kelangsungan nyawanya.

Tak ada suara, selain desir dedaunan dan langkah-langkah kecil burung-burung yang berloncatan di ranting pepohonan.

Tapi tiba-tiba, Uta—kuda putih bercula milik pangeran—yang biasanya tenang, meringik pelan. Dari balik semak, suara derap kaki terdengar mendekat, tidak tergesa, tapi penuh arah. Sion langsung meraih kain lusuh dan menutup botol ramuan, menyembunyikannya ke dalam tanah yang sudah ia gali sedalam telapak tangan.

Tak lama kemudian, suara itu menjelma menjadi sosok.

Pangeran Nieville.

Ia berdiri tak jauh dari tempat Sion duduk. Matanya tajam, tidak memancarkan kecurigaan, tapi ada rasa ingin tahu yang tampak jelas. Di belakangnya, kuda Uta masih sesekali meringik, tak tenang, seperti mencium sesuatu yang tidak seharusnya.

Sion bangkit perlahan, menunduk sopan. Gerakannya tetap tenang, tapi setiap otot di tubuhnya menegang.

Pangeran memiringkan kepala. “Kuda ini ... Biasanya tenang pada siapa pun. Tapi padamu, ia gelisah.” Suaranya datar, tapi tak kasar. Ada logika yang bekerja dalam ucapannya, dan ketelitian seorang bangsawan terlatih.

Sion menjawab tanpa mengangkat pandangan. “Mungkin keringat saya membuatnya tak nyaman, Yang Mulia.”

Pangeran tersenyum tipis. “Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Siapa namamu?”

“Sion,” jawabnya pelan.

“Kau bekerja di sini?”

Sebelum Sion sempat menjawab, langkah kaki lain datang dari arah gudang. Lincah dan ringan, suara itu mendekat di antara suara daun-daun yang terinjak lembut.

“Natu,” gumam Sion dalam hati, dan ia benar.

Natu Tallava, putri pertama bangsawan Roman, muncul dengan keranjang kecil berisi buah anggur yang tampak baru dipetik. Rambutnya pirang pucat, bergelombang lemas dan diikat sebagian ke belakang dengan pita berwarna perak. Ia memiliki kecantikan khas keluarga bangsawan: tidak mencolok, tapi anggun dan menghanyutkan. Setiap langkahnya seperti telah diatur agar terdengar sesempurna irama musik istana.

“Oh, Yang Mulia, Anda ada di sini rupanya,” ucap Natu, tersenyum, lalu memandang Sion sekilas. “Sion sudah bekerja di sini sejak lama. Ia anak dari Barja, penjaga gudang kami. Lelaki paling setia di seluruh perkebunan Tallava.”

Pangeran menoleh ke arah Natu dan mengangguk kecil. “Begitu rupanya.”

Sion merasa ketegangan di dadanya sedikit berkurang. Tapi ia tidak bisa mengabaikan nada ringan pada suara Natu yang tiba-tiba berubah begitu berbicara kepada pangeran—seolah angin di sekitarnya menjadi lebih hangat, dan langkahnya menjadi lebih ringan.

Mata itu—mata Natu—saat menatap Nieville, berubah seperti sinar matahari yang menyinari bunga. Lembut, kagum, dan tersimpan keinginan yang tidak disuarakan. Sion memperhatikan dalam diam. Tatapan itu bukan milik seorang bangsawan pada pewaris tahta. Itu adalah tatapan seorang wanita kepada lelaki yang ia dambakan.

Diam-diam, Sion berkata dalam hati, Setiap perempuan di negeri ini pasti bermimpi menjadi permaisuri.

Pangeran menoleh kembali kepada Sion. “Aku rasa kau lebih pantas menjadi seorang prajurit dibandingkan hanya sebatas pekerja perkebunan. Apakah kau berminat mengikuti seleksi prajurit kerajaan?” Tanyanya.

Sion menunduk sedikit lebih dalam. “Belum, Yang Mulia. Saya hanya bekerja untuk ladang ini.”

Pangeran memperhatikan sesaat. “Sayang. Acalopsia butuh lebih banyak lengan yang terlatih.” Ia kemudian berbalik, memanggil Uta dengan siulan lembut. Kuda itu masih sempat memandang ke arah Sion sebelum mendekati tuannya dengan ragu.

Setelah pangeran menjauh beberapa langkah, Natu mendekat pada Sion. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil—senyum yang bukan untuk Sion, tapi lebih untuk dirinya sendiri.

“Pangeran ... Sangat tampan, bukan?” Bisik Natu, seolah sedang membagi rahasia yang telah lama ia simpan dalam dada.

Sion hanya menanggapi dengan anggukan singkat.

Natu berjalan pergi sambil bersenandung kecil, meninggalkan aroma mawar dan anggur muda di belakangnya.

Sion menatap ke arah tempat pangeran tadi berdiri. Meski Nieville telah pergi, gema suaranya masih tinggal di telinga Sion. Tak ada nada kasar, tak ada penghinaan seperti yang biasa ia terima dari para bangsawan lain. Tapi justru itulah yang membuatnya resah.

Nieville terlalu baik. Terlalu sempurna. Terlalu bersinar. Itu adalah masalah.

Sion duduk kembali. Tangannya menyentuh tanah tempat ia menyembunyikan botol ramuan. Ia tak tahu berapa lama lagi penyamarannya bisa bertahan. Tapi satu hal ia tahu pasti—mata seekor kuda bisa membaca yang tak terlihat. Saat hewan mulai gelisah, manusia biasanya akan segera menyusul untuk gelisah.

“Apa yang kau lakukan sampai pangeran tertarik mendatangimu?" Suara Barja tiba-tiba saja muncul dari arah belakang.

Elf tua itu memang terkadang terkesal menyebalkan.

“Tidak ada. Aku hanya duduk di sini.” Sion meraih botol minum yang terbuat dari bambu lalu meneguk air di dalamnya.

“Aku rasa Uta mengenaliku,” imbuhnya sembari mengusap sisa air yang menempel di sekitar mulutnya.

Barja menghela napas. Ia berjalan dan duduk tepat di samping Sion. “Bagaimana mungkin kuda itu akan melupakan pangeran kecilnya,” ujarnya.

Masih teringat jelas dalam benak Barja, saat seluruh keluarga elf muda di sampingnya itu masih hidup. Uta – kuda tunggangan pangeran dulunya juga pernah bermain bersama Sion. Ia sendiri yang selalu memandikan dan memberi makan kuda itu.

“Kau harus lebih berhati-hati.”

Nasihat Barja semakin muak didengarkan. Berjuta-juta kali elf tua itu mengucapkannya sejak ia masih kecil. Semakin dilarang, semakin ia ingin memberontak. Ia justru ingin segera menginjakkan kaki di tempat yang disebut istana.

“Kau tidak mendengarkan aku?” Tanya Barja memastikan. Setiap kali pertanyaannya direspon dengan diam, rasa cemas meliputi perasaannya. Semakin dewasa, Sion semakin tak bisa ia arahkan. Apa yang ia lakukan hanya berharap bisa menjaga elf mud aitu tetap hidup.

“Barja, berhentilah mengkhawatirkanku. Aku sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan. Aku tahu apa yang akan aku lakukan,” ucap Sion percaya diri.

Bab 3: Seorang Mestiz

Di balik rerimbunan pohon dan semak liar, mengalir lah sungai Murravia di kaki bukit selatan perkebunan Tallava. Sungai itu tak hanya menjadi sumber air bagi ladang anggur, tetapi juga menjadi tempat para pekerja membersihkan tubuh setelah seharian dilumuri debu dan peluh.

Hari itu, angin berembus lembut dari utara, membawa aroma kemangi liar dan tetesan embun terakhir dari dedaunan. Cahaya bulan mengintip di sela ranting pohon seperti tirai keemasan yang menggantung di udara. Di area telaga yang cukup dalam, memancar cahaya dari dalam air.

Sion.

Tubuhnya meluncur di bawah permukaan air, ototnya lentur, gerakannya anggun. Di bawah air, ia merasa bebas—tak terikat oleh nama, kasta, sejarah, atau kebohongan yang membalut hidupnya. Air sungai baginya seperti pelukan ibu: dingin, jujur, dan menyamarkan segalanya. Suara dunia di atas tak mampu menembus kedalaman itu. Hanya denting sunyi dan gelembung napasnya yang melayang seperti mimpi.

Kesunyian tiba-tiba terusik ketika ia melihat bayangan—tak biasa, tak bergerak. Rambut merah terbuka lepas, terurai seperti aliran darah dalam air. Tubuh seorang wanita perlahan tenggelam, lengan terentang, wajah mendongak ke atas, mata terpejam seolah sedang tertidur dalam mimpi panjang yang tak pernah dimaksudkan untuk bangun.

Sion terkejut.

Tanpa pikir panjang, ia menendang dasar sungai dan berenang ke arah tubuh itu. Tangannya yang kuat menggenggam bahu sang wanita, menariknya ke atas air dengan cepat. Mereka menembus permukaan hingga menimbulkan gelombang besar di atas air.

Sion menyibakkan rambut dari wajah wanita itu dan mendapati kulit pucatnya telah membiru, bibirnya gemetar di antara sadar dan tidak.

Perlahan Sion mengangkat tubuh itu ke atas batu besar. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak liar. Ia menekan perlahan dada wanita itu, memaksa air keluar dari paru-parunya.

Beberapa detik berlalu.

Lalu batuk.

Disusul suara serak yang tidak ia duga.

Sion panik, bergegas ia mengambil botol ramuannya dan mengoleskan ramuan ke seluruh badannya. Ia kembali memasangkan rambut palsu menutupi rambut aslinya. Cahaya elf yang terpancar darinya kembali redup tersembunyi.

“Kenapa… kau menyelamatkanku?” Suaranya pelan tapi tajam seperti duri mawar. Mata yang baru saja terbuka menatap Sion dengan kemarahan yang membuat air sungai pun tampak bergolak.

Sion terdiam sejenak, menatap tajam wanita di depannya. “Kenapa? Memangnya kamu ingin mati?” Tanyanya heran.

Kalau saja bukan untuk alasan kemanusiaan, ia juga tidak mau berurusan dengan elf lain apalagi saat penyamarannya terbuka. Hampir saja ia membuka penyamarannya hanya untuk menolong wanita yang tidak tahu terima kasih itu.

Wanita itu mendorong tubuh Sion menjauh. “Ya, aku memang ingin mati. Itu tujuanku. Dan kau baru saja menggagalkannya,” katanya dengan nada kesal.

Sion bangkit, merapikan rambutnya yang basah, rahangnya mengeras. “Mati dengan cara bunuh diri? Apa semua Kaum Mestiz memang sebodoh dirimu?”

Wanita itu membulatkan mata menatap tajam dengan raut kesal atas kata-kata yang Sion ucapkan.

“Elf yang mati karena bunuh diri tak akan menemui kedamaian. Mereka akan tetap hidup kekal abadi sebagai Orc sampai ujung pedang elf membinasakannya. Atau kau memang ingin hidup kekal abadi sebegai Orc?”

Wanita itu mengernyitkan dahi. “Itu hanya dongeng untuk menakuti anak-anak,” ujarnya.

“Tidak.” Nada Sion kini lebih rendah. “Itu kutukan. Sama seperti warna rambutmu itu,” sindirnya.

Wanita itu memandang ke air. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin atau karena kata-kata itu menusuk relung hatinya yang rapuh.

“Siapa namamu?” Tanya Sion.

Wanita itu tak langsung menjawab. Ia memeluk lututnya, menatap lurus ke sungai.

“Sissel,” jawabnya lirih.

Sion menoleh.

Wanita itu melanjutkan ucapannya dengan nada getir. “Semua yang ada dalam diriku tak lebih dari sebuah kutukan. Kenapa mati pun sulit untuk dilakukan? Adakah elf yang bisa memilih untuk tidak dilahirkan sebagai Mestiz? Apa salahku sampai semua orang membenci dan mengutukku?”

Sion memperhatikan rambut merahnya yang basah dan menempel di wajah wanita itu. Warna yang dianggap noda oleh negeri ini, meski sebenarnya warna itu tampak seperti api yang terus melawan salju.

“Ayahku... Krov. Dulu dia adalah salah seorang prajurit di istana. Nasibnya juga sama mirisnya denganku, terus dihina, diusir dari istana, hanya karena dicintai seorang putri raja.” Matanya menatap kosong. “Putri raja itu bernama Meida.”

Sion seketika membeku.

Meida.

Nama itu seperti guruh yang tiba-tiba menggema di dadanya. Meida adalah adik perempuan ayahnya. Putri Raja Lowin yang memilih meninggalkan istana demi cinta. Demi hidup bersama prajurit biasa. Demi sebuah kehidupan yang bebas dan bahagia.

Sion menatap Sissel. Jadi, gadis yang duduk di hadapannya—yang barusan mencoba mengakhiri hidupnya—adalah sepupunya.

Ia tidak menunjukkan keterkejutannya. Belum saatnya. Mata Sissel terlalu merah oleh luka untuk memahami kenyataan yang lebih dalam dari itu.

Sion bertanya pelan, “Apa yang membuatmu sangat ingin mati?”

Sissel menghela napas. “Setiap hari aku bekerja di ladang, di dapur, di gudang. Selalu ada hinaan, tatapan jijik, juga tangan-tangan yang mencoba menyentuhku dengan alasan yang hina. Mereka bilang, aku iblis berambut darah. Aku lahir dari dosa. Kutukan akan menimpa siapa pun yang dekat denganku.”

Ia menatap Sion, air mata akhirnya mengalir. “Aku lelah. Aku terlalu lelah.”

Sion menatapnya dalam-dalam. Dalam dirinya, amarah tumbuh seperti bara yang dipadamkan paksa. Ia tahu rasa itu. Rasa ditolak, rasa dianggap salah hanya karena siapa dirimu, bukan karena apa yang kau lakukan. Ia hidup dengan perasaan itu setiap hari.

“Bukan hanya kau yang merasakannya,” ucap Sion perlahan.

Sissel menatapnya sembari mengusap air mata. “Apa maksudmu?”

Sion tersenyum samar. “Aku sama sepertimu. Aku tahu rasanya hidup sebagai kalangan bawah, direndahkan, dan setiap hari ingin menyerah. Mereka terlihat bahagia ketika melihat yang mereka hina menderita. Jika kita menyerah sekarang, berarti mereka menang.”

“Tapi kau bukan mestiz,” timpal Sissel.

Sion kembali tersenyum. Andai saja wanita di sampingnya tahu, siapa sejati dirinya, mungkin wanita itu akan berbalik kasihan padanya. Masih lebih beruntung Kaum Mestiz bisa hidup bebas, sementara dirinya harus terus bersembunyi dari cahaya agar bisa hidup.

“Kau pikir elf biasa juga punya banyak pilihan?” Tanyanya.

“Kami hanya bisa bekerja seperti budak sepanjang waktu demi bertahan hidup. Lalu kami akan mati begitu 100 tahun terlewati. Sirna tanpa tersisa dan tidak akan ada yang mengenangnya.”

Sissel kembali mengusap matanya. Lama mereka diam. Hanya angin sungai dan nyanyian burung liar yang berbicara. Perasaannya menjadi lebih tenang merenungi ucapan lelaki itu.

Memang kehidupan elf biasa juga memilukan. Mereka tidak bisa panjang umur seperti para kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Dengan meminum sumber mata air mata suci sungai Zahuire Nemuire mereka bisa kekal abadi asalkan tidak dibunuh atau menginginkan sirna sendiri.

“Aku tidak tahu siapa dirimu,” bisik Sissel. “Tapi... Terima kasih.”

Sion bangkit dan mengulurkan tangan. “Kau bisa berdiri?”

Sissel memandang tangan itu, lalu meraihnya. Tubuhnya masih lemah, tapi langkahnya lebih tegak.

“Aku akan mengantarmu kembali ke pondokkan. Kau terlalu jauh pergi dari kelompokmu,” kata Sion.

Sissel tersenyum getir. “Sebenarnya lebih nyaman sendirian dibandingkan bersama yang lain. Kau sendiri kenapa menyendiri di sini?”

“Seperti yang kamu bilang, memang lebih nyaman sendirian. Itu alasanku ada di sini.”

Sissel tertawa kecil mendengar jawabannya. “Ah, ya … siapa namamu? Dari banyaknya pekerja, baru kali ini aku bertemu denganmu.”

“Sion.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!