Aku Difa, Dinafa Putriana. Aku anak kuliahan yang masih berumur sembilan belas tahun. Aku tinggal di kos yang terdapat di paling ujung gang. Ya walaupun disekitar tempatku tinggal keadaannya agak kumuh sih, tapi ini adalah tempat kost termurah di dunia yang pernah aku kunjungi dari sekian banyak tempat kos. Aku di sana tinggal dengan sahabat plus teman kost yang super super bawel dan lumayan bijak dibandingkan denganku. Dia Reta, Retania Sarah. Ia sudah menemaniku selama 3 tahun di bangku SMA. Kita memiliki permasalahan perekonomian yang sama dan terpaksa harus berkerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membatu orang tua kita untuk mencari nafkah. Walaupin perekonomian keluarga Reta lebih baik daripada keluargaku. Kalau masalah uang kuliah sih kami mendapatkan bayar siswa jadi ya gak perlu pusing-pusing deh memikirkannya.
" Gila deh dosen! tadi padahal gue datangnya nggak telat telat amat, gue langsung diusir dari kelasnya!" ucapku kesal dengan berjalan beriringan melewati lorong lorong gang bersama Reta
" woy yang pikir nggak telat telat amat itu, lo datangnya lebih tiga puluh menit padahal lo tau kan tuh dosen, dosen killer malah lo samain dengan dosen lain , lo ngapain aja sih di rumah? gue aja berangkat bareng nggak mau," ucap sahabatku dengan nada kesal
" iya iya bawel, gue tadi itu tadi ketiduran pas lagi mandi dan lagian lo itu kalau berangkat ke kampus kepagian sih "
" salut gue sama e lo cuma ada satu dari seribu orang yang lagi mandi ketiduran! lo tau nggak gue itu sampai ke kampus udah kurang sepuluh menit" ucap Reta dengan nada yang meninggi.
Setelah itu keheningan terjadi diantara kita. Walaupun sih dia selalu memarahi aku tapi aku tau dia melakukan itu supaya tidak ada hal buruk yang terjadi padaku. Aku bersyukur memiliki teman seperti dia.
" Dif dif lo denger gak," ucap Reta menghentikan langkahku
" ada apa sih gue gak denger apa apa tuh"
" iih dengerin baik dong kayak ada bayi yang nangis" ucap Reta dengan nada serius
" jangan nakut nakutin deh lo"
" lo itu dengerin," ucap Reta sambil menjewer telingaku
" iya iya lepasin," ucapku dengan memukul tangan Reta agar melepaskan jewerannya dari telingaku
" kayaknya suaranya deketnya kost kita deh," ucap Reta menghampiri tempat pembuangan sampah di dekat kost
" kayaknya suaranya di dalam kardus itu deh"
" jangan ngawur kamu, mana ada bayi dimasukan kedalam kardus," ucapku menghampiri Reta
sssttsss
Kemudian aku dan Reta menghampiri kardus itu dan mengambil kardus itu dari tumpukan sampah. setelah di buka dan ternya isinya…
" bayi," aku dan Reta berteriak bersamaan
"gimana ini Dif, kita apain bayi ini, tetangga kita kan pada pulang kampung semua, ibu kost juga sedang di rumah sakit ngerawat ibunya," ucap Reta bingung dengan mondar-mandir kesana kemari
" tenang Ret, gimana kalau besok kita bawa ke kantor polisi supaya orang tuanya yang buang dia kena tangkap," ucapku dengan nada meyakinkan
" besok?" ucap Reta dengan nada kaget
" iya besok kalau sekarang kasihan dia, kita bawa kedalam, lagi pula besok kan gak ada kelas" ucapku yang disetujui oleh Reta.
Aku menggendong bayi kecil itu masuk. Anehnya setelah aku gendong bayi itu tangisannya langsung berhenti dan tertidur lelap. Bayi itu hanya dibungkus dengan selendang. wajahnya yang lucu membuatku tak tega membiarkannya diliar. Sungguh tega orang tua yang membuang bayi yang baru lahir. Apakah mungkin anak ini tidak diinginkan orang tuanya. Walaupun itu sih ya jangan dibuang ke tempat sampah juga kan lebih baik dititipkan di panti asuhan.
Aku letakkan bayi kecil itu perlahan lahan diatas tempat tidurku.
" kok bisa ya kamu gendong langsung berhenti nangis," ucap Reta dengan bingung
" entahlah gue juga gak tau, oh ya Ret lo beli perlengkapan bayi gih"
" ngapain sih besok kan dia diserahkan kekantor polisi"
" lo tega biarin dia dengan keadaan kotor kayak gini," ucapku dengan nada meninggi
" bukanya gitu, emang lo ada uang?"ucap Reta dan dijawab denganku dengan menggelengkan kepala
" gue cuma punya lima puluh ribu, itu aja untuk makan tiga hari kedepan" ucap Reta
" ini Ret," ucapku dengan menodongkan uang didepan Reta
" Apa?"
" buat beli perlengkapan dia"
" sudah gila kamu ya, satu bulan kedepan kamu makan apa?"
" kan ada kamu?" ucapku dengan wajah berbinar
" ujung ujungnya ngerepotin aku" ucap Reta dengan wajah sebal
hehe
esok harinya
aku memandikan dan menyiapkan dedek bayi, walaupun sulit sih, aku harus browsing ke google bagaimana cara memandikan, mengganti popok, menyiapkan susu formula. Tapi kesulitan itu terbayarkan dengan melihat wajah lucunya. Setelah itu aku bersiap siap.
" woy Ret lo molor terus gak bangun bangun! " ucapku sambil memukul Reta menggunakan guling yang berad di sampingnya
" iya iya gue bangun, tumben lo pagi pagi udah rapi, biasanya aja masih molor! " ucap Reta dengan nada mengejek
" jangan bawel lo udah sana pergi mandi! " ucapku dengan mendorong tubuh Reta ke kamar mandi
di kantor polisi
" Apa yang bisa saya bantu bu?"
helo pak maaf saya ini masih muda pak umur saya aja masih sembilan belas tahun masa iya dipanggil ibu, ini bukan anak saya pak ini anak nemu di tempat sampah. Saya cuma menggendong doang pak. Tapi kasian juga ni anak jadi nggak tega aku nyerahin dia.
" Saya mau ngelaporin atas kasus ditemukannya bayi di tempat pembuangan sampah," ucap Reta
" kalau begitu berikan bayi itu ke rekan saya"
" sini Bu saya gendong bayinya"
" maaf Bu gak jadi."
Setelah itu aku menarik tangan Reta keluar dari kantor polisi. Aku nggak tega melihat dia hampir menangis disaat aku ingin memberikannya kepada polwan itu. Seakan akan dia gak mau diberikan kepolisi itu dan menginginkan aku untuk merawatnya.
" Apa apaan sih lo ngapain pake lari segala," ucap Reta dengan nada tinggi
" gue mau merawat anak ini," ucapku membentak
" apa lo sudah gila, buat makan aja lo udah susah, lo sekarang ingin ngerawat anak hah!" ucap Reta dengan marah-marah
" baiklah kalau itu mau lo tapi, apa kata orang tuamu nanti? bagaimana reaksinya? lo nggak memikirkan itu!" ucap Reta dengan halus
" Gue gue akan menyebunyikannya! " ucapku dengan merangkul bayi kecil itu seakan akan barang yang berharga agar jangan sampai dicuri orang lain
" sampai kapan? " ucap Reta dengan nada yang sedikit meninggi karena sudah kehilangan kesabarannya melihat tingkahku yang kelewatan batas
" sa sam sampai sebisa gue melakukannya! " ucapku dengan nada tinggi
" pasti mereka sedikit demi sedikit luluh jika melihat anak ini! " ucapku menyakinkan Reta dengan ucapanku
tiga tahun kemudian
" Rian, Rian," ucapku memagil anakku
" iya unda ian kecana," ucap Rian dengan nada khas anak kecil
" sini sayang, tempat tidurnya udah dibersihkan," ucapku dengan menggendong putra kecilku itu
" uda unda," ucap Rian dengan menunjukan gigi kecilnya
" anak bunda pinter," ucapku dengan mencubit pipi chubby nya
" epas unda akit," ucap Rian dengan memegangi pipinya setelah aku liepas dari cubitan ku
hehe " maaf"
" sekarang kamu bunda mandiin, setelah itu kita berangkat sekolah deh"
" dak mau unda Ian udah besar, Ian mau andi sendili," ucap Rian turun dari gendon ku
" jangan lari lari Rian nanti kepleset," ucapku yang memilihat Rian berlari masuk ke kamar mandi.
Tiga tahun lalu setelah pertengkaran ku dengan Reta didepan kantor polisi akhirnya kami memutuskan untuk berbelanja pelengkapan bayi. Sebulanan kemudian orang tuaku datang berkunjung ke kost. ya walaupun mereka sempat syok karena, ada seorang bayi di kost ku dan mengira bahwa itu anakku. Aku menjelaskan secara perlahan kepada orang tua bahwa aku menemukannya di tempat pembuangan sampah dan berniat untuk membesarkannya. Walaupun sih awalnya orang tuaku menentukan keras keputusan yang katanya bahwa membesarkan anak merupakan bukan hal yang mudah, itu membutuhkan banyak biaya, bagaimana dengan omongan orang, bagaimana dengan masa depanmu nanti siapa yang mau menikah dengan kamu Difa. Aku mengerti jika mereka mencemaskan ku tapi aku juga kasian pada anak ini. Jadi aku membujuk orang tua, ya walaupun sulit sih dan memakan banyak waktu tapi, labat laung orang tua menerima bayi itu sebagai cucunya.
" Rian sudah selesai mandinya nak, bunda sudah menyiapkan seragam buat Rian"
" iya unda Ian udah celecai," ucap Rian keluar dari kamar mandi yang ku sambut dengan handuk ditangaku
Dia Rian bayi yang aku dan Reta temukan di tempat pembuangan sampah yang sekarang tumbuh menjadi anak yang berusia tiga tahun. Rian tumbuh menjadi anak yang manis dan lucu dengan pipi chubby nya. Membesarkan Rian bukan hal yang mudah. Dengan perekonomian ku yang buruk dan statusku sebagai mahasiswa yang membuatku harus meninggalkan Rian untuk ke kampus dan bekerja untunglah pada saat itu ada ibu kost yang mau mengurus Rian tanpa diberi imbalan. Aku sangat berterima kasih kepadanya. walaupun sih Rian anak yang jarang menangis untuk anak seusianya, aku juga merasa bingung dengan keadaan itu. Aku takut Rian tunawicara tapi, kata ibu kost itu adalah hal yang wajar.
" Ayo Rian kita berangkat," ucapku dengan menggandeng tangan Rian
" ayo unda," ucap Rian dengan semangat.
Aku membuka kenop pintu apartemenku dan menuju lift ke lobby apartemen.
Inilah tempat aku dan Rian tinggal di apartemen kecil, hasil dari tabunganku selama dua tahun. Kami tinggal disini sudah selama satu tahun setelah aku wisuda. Terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruangan tamu plus dapur. Di kamar Rian ada banyak sekali mainan anak anak karena, setiap gajian aku selalu membawakan mainan baru untuk Rian. Aku dan Rian tidak tinggal sekamar karena, aku ingin mengajarkan Rian untuk hidup mandiri. Menjadikan Rian menjadi anak yang biasa hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain.
Setelah sampai lobby kami menuju tempat parkiran apartemen.
" unda, unda itu montol kita unda," ucap Rian menunjuk sepeda motor metik kami.
" iya Rian, ayo kita kesana!"
" Rian ini pakai helmnya," ucapku memakaikan helm Rian.
" ayo berangkat," ucapku dengan semangat dengan menyalakan mesin sepeda motor
" belangkat," ucap Rian dengan mengangkat kedua tangannya
Kami mengendarai motor menyusuri jalan kota menuju sekolahnya Rian.
" Rian kita sudah sampai," ucapku menurunkan Rian dari sepeda motor dan melepaskan helm Rian
" Rian bunda antarakan Rian sampai kedepan kelas ya," ucapku turun dari sepeda motor dan berjongkok menyamakan tinggi badan Rian
" dak uca unda Ian bica cendili," ucap Rian dengan mencium tanganku dan kedua pipiku
" campai jumpa unda," ucap Rian berlari dan melambaikan tangan kepadaku.Setelah melihat Rian masuk ke kelasnya aku menancapkan gas dan pergi dari sekolah Rian menuju tempat kerjaku.
Rian sekolah di paud Harapan Bunda yang sedikit tidak jauh dari tempat aku bekerja hanya memerlukan waktu dua puluh menit untuk sampai ke tempat kerjaku. Aku bekerja di salah satu restoran terbesar di kota ini. Aku berkerja disini sudah sekitar empat bulan. Aku disini bekerja sebagai pelayan. Walaupun hanya menjadi pelayan sih, waktu itu hanya tempat ini yang menyediakan lowongan pekerjaan. Sementara pada saat itu aku sangat membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhanku dan Rian setelah di-PHK dari kantor tempatku bekerja.
" Difa kamu sudah sampai?" ucap mbak Tami yang merupakan senior tempatku bekerja
" iya mbak, baru saja sampai"
" setelah ganti baju, kamu lap meja dan kaca ya"
" iya mbak"
Dia mbak Tami orang yang bertanggung jawab atas restoran ini. Menurutku orangnya baik tapi, menurut karyawan yang lain dia orang ketus dan menjengkelkan. Tapi menurutku mbak Tami ketus dan menjengkelkan karena, mereka tidak memahami dia. Kalau dipahami orangnya baik kok.
Jam setengah delapan restoran kami buka. Pada hari Senin seperti sekarang restoran ini ramai karena, banyak pekerjaan kantor yang datang ketempat ini untuk sarapan. Bukan hari kerja saja, bahkan dihari Sabtu dan Minggu juga. Tempat yang strategis membuat restoran ini selalu ramai.
Setelah pengunjung mulai berkurang aku dan karyawan lain mengepel lantai dan membersihkan meja sisa sisa dari pengunjung. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, ini adalah waktunya aku menjemput Rian dari sekolahnya.
" maaf mbak saya mau izin jemput Rian sekolah," ucapku ke mbak Tami
" iya, iya Difa pergi aja, ngapain pake izin segala sih, terlalu formal deh kamu," ucap mbak Tami
" mau jemput Rian ya mbak ?" ucap Tina salah satu karyawan restoran. Dia Tina usia sembilan belas tahun dan baru saja lulus SMA. Dia pernah aku tanya kenapa kok gak lanjut kuliah? katanya sih gak punya modal dan harus membiayai orang tua dan adiknya sekolah dikampung.
" Iya Tin"
" Rian nya dibawah kesini ya mbak," ucap karyawan lain yang ku jawab dengan acungan jempol.
Setiap pulang sekolah aku selalu membawa Rian ke restoran karena, di apartemen gak ada orang dan takutnya ada apa lagi jadi ya ku ajak ke restoran dan kalau dibawa ketempat penitipan kan gak punya uang. Tapi aku sudah izin ke bos ku katanya gak papa asal gak karyawan lain yang lagi bertugas. Rian disini selalu bermain dengan karyawan lain jika restoran lagi sepi dan kalau ramai ya dia duduk di salah satu bangku restoran yang kosong mengeluarkan buku yang tadi dipelajari disekolah nya. Rian anak yang suka belajar dan kritis dalam menjawab pertanyaan. Walaupun sih usianya baru tiga tahun tapi dia sudah bisa membaca bahkan bisa mengerjakan PR anak anak tetangga yang berumur delapan tahun. Jika ada hal aneh atau tidak ia mengerti disekitarnya ia selalu menanyakan kepadaku
Aku berjalan menuju tempat parkir karyawan.
" Difa"
kayak ada yang manggil aku ya tapi, siapa? perasaan gak ada orang. Apa jangan-jangan dedemit lagi eh tapi mana ada dedemit siang siang bolong kek gini.
" Difa"
" eh bapak kirain siapa pak," kirain dedemit tapi kalau dedemit wajahnya tampan kayak bapak ya gak ada yang lari pak malah nempel
" kamu mau jemput Rian?"
" iya pak"
" biar saya antar ya?"
" gak usah pak, terimakasih nanti ngerepotin bapak"
" gak papa kok, saya gak merasa direpotkan"
" iya udah kalau begitu pak"
" kalau begitu ayo mobil saya di sana," ucap pak Rehan menunjuk mobil mewahnya
Dia pak Rehan pemilik restoran tempat aku bekerja. Dia juga pengacara hebat katanya sih restoran ini warisan dari kakeknya. Pak Rehan orangnya baik, ramah dan juga tampan paket plus untuk calon suami idaman. Jika aku memerlukan uang dia yang selalu meminjamkan uangnya kepadaku dan juga selalu ada jika aku membutuhkan bantuan. Selain itu Rian juga sangat akrab dengannya.
" Kita sudah sampai"
" eh iya pak," ucapku turun dari mobilnya pak Rehan
" unda," ucap Rian berlari menghampiriku
" gimana tadi sekolahnya?"ucapku jongkok menyamakan tinggi badan Rian
" celu unda, eh ada om Lehan," ucap Rian saat melihat pak Rehan keluar dari mobilnya
" halo jagoan, tadi jagoannya om gak nakal kan disekolah," ucap pak Rehan menggendong Rian
" dak la om Ian kan anaknya baik"
" anak pintar"
" suaminya ya mbak?" ucap salah satu ibu ibu yang jemput anaknya
" eh"
" pantesan ya Rian pintar dan Tampan kayaknya nurun bapaknya ya"
emang saya sejelek itu ya bu sampai gak pantes punya anak kayak Rian tapi, kalau dipikir-pikir emang betul sih wajahku emang pas pasan tapi masih enak kok dipandang.
" Difa"
" eh iya"
" itulah mbak udah dipanggil sama suaminya"
" eh iya buk," ucapku menuju ke mobilnya pak Rehan
" Rian!!! mbak Difa eh ada bapak" ucap Tina saat melihat aku, Rian dan pak Rehan masuk ke restoran
" ya sudah saya mau masuk keruangan saya"
" iya pak," ucapku
" dadah om Lehan," ucap Rian dengan melambaikan tangannya yang dijawab dengan lambaian dari pak Rehan
" mbak Rian nya sama aku ya"
" oke tapi gak ganggu kamu kerja kan?"
" gak la mbak Rian kan anaknya nurut dan pintar, iya kan Rian?"
" iya kak"
" mbak kayaknya pak Rehan suka sama mbak deh," ucap Tina
" jangan ngawur kamu!" ucapku menolak perkataan Tina
" apanya yang ngawur sih Dif?"
" eh mbak Tami"
" mana ada bos yang baiknya kayak begitu ke karyawan, aku aja sudah bekerja dengan pak Rehan lima tahun gak pernah tuh diperlakukan seperti itu," setelah mengucapkan itu mbak Tami pergi melanjutkan pekerjaannya.
Perkataan mbak Tami ada benarnya juga, aku kan selama ini diperlakukan berbeda dengan karyawan lain. Dulu mbak Riana aja bawa anaknya aja udah dimarahi habis-habisan dengan pak Rehan, padahal anaknya udah besar dan gak ngeganggu karyawan lain. Tapi mana mau pak Rehan sama aku, apa kelebihan ku wajah pas-pasan, kaya aja kagak, pinter aja enggak kira kira apa yang dia suka sama aku? ya gak ada sih. Mereka pasti salah paham, pak Rehan seperti itu karena kasihan sama aku, masih muda udah jadi orang tua tunggal dan paket plus nya korban PHK ngenes banget kan.
" mbak, mbak, mbak!!!, ngelamun aja mbak, ngelamun apa sih jangan jangan ngelamun pak Rehan ya?"
" apa apaan sih kamu"
" maaf maaf mbak permisi," ucap Tina dengan tertawa membawa Rian
Tapi rencana tak sebaik kenyataan. Tina tidak bisa menjaga Rian dikarenakan pada saat itu restoran sedang ramai. Jadi Rian duduk sendiri di kursi kosong dipojok kanan restoran dan sedang memegang buku. Aku selalu mengawasi Rian dari kejauhan walaupun sih dengan bekerja.
Saat aku mengantarkan makanan untuk segerombolan anak remaja laki-laki yang memakai baju putih abu-abu. Salah satu remaja tersebut menunjuk Rian.
" Tin Tin Tin lihat tuh"
" apaan sih lo, Tin Tin Tin, emang Lo pikir gue klakson mobil ( tttiiinnn ), lo kalau manggil orang yang lelap dong, nama gue Tino Saputra"
" iya iya gue tau tapi coba lo lihat anak itu! wajahnya sama persis sama Abang lo,"
" mana?"
" tuh," ucap pemuda memutar kepala pemuda yang bernama Tino
" eh apa apaan sih lo sakit nih kepala gue, lo mau tanggung jawab kalau sampai kepala gue putus?" ucap Tino dengan menengok kebelakang
" eh iya iya maap"
" eh iya ya Din, persis banget kayak foto copy an," ucap Tino dengan mengambil handphonenya yang berada didalam tasnya dan memfoto anak itu
" ngapain lo," ucap pemuda yang lain
" gue mau tunjukkin foto ini ke abang gue"
aku mendengarkan semua perkataan mereka. Perkataan mereka itu membuatku merasa takut, orang yang mereka bicarakan adalah orang tua kandung Rian. Dan sewaktu waktu Rian akan diambil oleh orang tua kandungnya.
Pada pukul 4.30 sif ku berakhir. Aku menghampiri anakku yang sedang asyik dengan bukunya dan mengajaknya untuk pulang.
" Rian ayo kita pulang nak"
" iya unda," ucap Rian dengan membereskan buku-bukunya
" sini biar bunda aja yang beresin"
Setelah itu aku menggandeng tangan Rian keluar dari restoran. Saat memegang kenop pintu restoran…
" mbak," ucap Tina memanggilku
panggilan dari Tina yang menghentikan langkah ku
" iya Tin ada apa?"
" mbak soal tadi aku minta maaf, aku udah janji temenin Rian eh malah gak aku tepatin, maaf ya mbak?" ucap Tina menyesal
" gak papa itu diluar kendali kita, Rian juga gak papa, iya kan Rian?"
" iya unda"
" ya udah kita pulang duluan"
" iya mbak ati ati"
Aku mengendarai sepeda motorku menelusuri jalan kota.
" unda becok kalau Ian cekolahnya libul kita kecana ya?" ucap Rian menunjuk taman hiburan yang kami lewati
" iya Rian, kalau bunda udah gajian kita kesana"
" makaci unda."
Walaupun jika aku dan Rian kesana maka akan menghabiskan satu bulan gaji ku dan gak ada untuk makan sehari-hari dan juga gak ada uang untuk ngirimin ke orang tua. Tapi gak
lah untuk Rian aku kan bisa pinjem ke mbak Tami atau ke pak Rehan, nanti cara bayarnya memotong gaji ku.
" Akhirnya kita sampai juga Rian," ucapku saat sampai di parkiran apartemen. Aku melepaskan helm Rian dan helm ku dan masuk ke lift apartemen. Setelah lift apartemen terbuka aku menuju ruang apartemenku yang terletak di ujung lorong. Aku mengambil kunci yang ada didalam tasku dan membuka pintu apartemenku. Akhirnya sampai juga aku melepas sepatu ku dan punya Rian dan meletakkannya ke rak. Setelah itu aku menuju kursi yang ada di ruang tamu. Dan menghabiskan waktuku sementara di kursi melepas rasa penatku dengan merentangkan tanganku yang ditirukan oleh Rian.
" Rian, ayo kita pergi mandi!" ucapku dengan penuh semangat
" ayo unda!!" yang dijawab oleh Rian tidak kala semangat.
Setelah memandikan dan mengganti pakaian Rian kini giliran aku mandi. Saat aku berada dimandi aku mendengarkan bel apartemenku.
" unda kayaknya ada olang datang," ucap Rian dibalik pintu kamar mandi
" Rian bukain pintunya, sebelum dibuka Rian lihat dari lubang kunci, jika Rian tidak kenal jangan dibukain, oke Rian"
" oke unda"
sebenarnya aku was was sih tapi mau bagaimana lagi. Aku mendengar suara Rian membuka kenop pintu yang disusul suara Reta yang membuatku sedikit lebih tenang.
" Rian bunda Difa dimana?"
" unda lagi mandi tante Leta"
" jangan panggil tante dong Ri, panggilan kak Reta oke"
" dak mau, tante Leta itu temannya unda, kata unda kalau manggil saudala pelempuan atau temanya unda halus panggil tante"
" wah wah gak bener tuh anak, gue harus komplain"
aku mendengar perkataan Reta membuatku tertawa sendiri. Mampus lo makanya jangan sok muda sendiri hi hi hi. Enak aja gue aja dipanggil bunda kamu juga harus dipanggil tante.
Setelah itu aku memakai pakaianku dan menghampiri Reta.
" E lo Ret, ngapain lo kesini? jangan bilang kamu mau numpang makan"
" jahat banget lo mbak, gini ya kalau udah jadi emak emak mulutnya pedes banget! temen udah lama gak ketemu ya seharusnya kan tanyain kabar kek atau buatin minuman, ini malah dibilang mau numpang makan!"
" iya terus ngapain kamu kesini?" ucapku duduk dikursi ruang tamu dengan merek berdua
" nih" ucap Reta meletakkan undangan pernikahan dimeja
" lo mau nih, selamat ya akhirnya ngelepasin status lo sebagai jomblo"
" bukan gue yang mau nikah, tapi adik gue!"
" adik lo ha ha ha, dilompati adiknya ha ha ha, ngenes banget lo dasar jomblo"
" tertawa terus terus, yang seharusnya tertawa itu gue masak jomblo ngatain jomblo, datang ya lo nemenin gue jadi jomblo"
" iya iya"
" Ian Ian," ucap Rian mengangkat tangannya
" iya Rian boleh datang sama bunda," ucap Reta mengelus kepala Rian
" kapan?"
" bulan depan"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!