Di sebuah kamar terlihat seorang wanita yang sedang tertidur dengan wajah pucat.
Ia sudah tidak bangun beberapa hari lalu tapi tiba tiba hari ini matanya mengerjap pelan.
Wanita itu merasakan kepalanya berat, tubuhnya kaku, dan… hidungnya mencium sesuatu yang aneh. Campuran dupa murahan, bubuk kayu, dan... uap teh basi?
"Aduh… siapa yang masak pakai arang semalaman?" gumamnya sambil mengerang.
Ia berusaha bangun dari ranjang—eh, lebih tepatnya dipan kayu keras tanpa kasur tebal.
Tangannya menyentuh sesuatu yang berbentuk bantal, tapi kerasnya seperti… batu bata.
"Apa-apaan ini? Mana AC-ku?" Sila membuka mata lebar-lebar, dan detik itu juga ia menyesal.
Langit-langit kayu ukir, dinding bambu tipis, lentera merah temaram, dan… seorang gadis berpakaian aneh sedang menangis tersedu di sampingnya sambil berlutut.
"Nyonya—nyonya bangun! Syukurlah, saya kira nyonya sudah meninggalkan dunia ini seperti ikan asin di musim panas!" jerit si gadis sambil menyeka air mata dengan ujung lengan bajunya.
Sila menatapnya. “Eeh… kamu siapa?”
Si gadis membelalak. “Saya pelayan pribadi nyonya! Lian ! Anda tak ingat? Anda pingsan Dan terbentur batu kemarin setelah melihat Selir Hua menari di depan Yang Mulia, dan beliau… tidak memandang Anda sedikit pun…”
Sila mengangkat alis. “Selir? Yang Mulia? Ini… nonton drama kolosal apa aku semalam?” gumam wanita yang bernama Sila
Lian makin panik. “Nyonya! Apa nyonya masih pusing? Apa kita harus panggil tabib istana lagi? Tapi mereka semua bilang Anda cuma ‘terpukul secara batin’ karena... tidak dipanggil ke Istana Utama selama dua tahun…”
"Dua tahun?" gumam sila lagi dengan bingung
Sila menyentuh wajahnya. Bukan wajahnya. Pipinya lebih bulat, kulitnya… pucat. Di mana eyeliner waterproof-nya? Lipstik matte-nya? Di mana kamera? Di mana tisu basah?
Dan saat itulah, ia sadar.
Dia transmigrasi. Bukan mimpi. Bukan syuting. Dia sekarang di dunia kuno. Di tubuh seorang selir tak dianggap.
Sila berdiri dengan kaku, lalu berjalan ke cermin bundar yang tergantung di dinding. Refleksi di dalamnya… bukan dirinya. Rambut panjang disanggul ala kadarnya, wajah cantik tapi kusam, mata sembab. Tapi ada sorot yang familiar di sana—sorot “bingung tapi tidak menyerah” ala wanita tangguh dunia korporat.
Dan tiba tiba beberapa bayangan muncul dari ingatan nya, dia adalah selir Mei Lin yang belum pernah di lihat oleh kaisar bahkan kaisar tidak tau jika ada dua di istana itu karena dia datang sebagai selir rendah.
"Ya ampun bagaimana bisa tapi baiklah,” bisiknya. “Kalau ini dunia baru… aku bakal bikin heboh tempat ini.” gumam sila yang menerima semua keadaan ini.
Satu Jam Kemudian
Seluruh pelayan istana bagian dapur geger.
Seorang wanita bergaun lusuh, rambut awut-awutan, masuk ke dapur sambil menunjuk-nunjuk bahan makanan.
“Itu daging babi? Oke. Coba bikin bakpao isi jamur dan telur asin. Yang itu, buat sup rumput laut. Ini? Ini… jangan dikeprek begitu, motong jahe itu harus miring!”
Para juru masak bengong. Seumur hidup mereka di istana, belum pernah ada selir—meskipun rendahan—yang tahu cara memasak dengan penuh perintah.
Sila tersenyum lebar. “Kalian kerja keras hari ini, nanti aku ajari bikin cheese cake besok. Ehm… walau kejunya belum tentu ada sih.”
Lian mendekat dengan wajah panik. “Nyonya! Apa kita tidak akan dihukum? Anda mengambil bahan makanan dari dapur utama tanpa izin…”
“Tenang,” Sila menjawab ringan. “Aku cuma masak. Bukan mencuri mahkota.”
Dan benar saja, saat sore tiba, bau harum dari dapur belakang menyebar ke seisi istana. Bahkan hingga ke paviliun utama tempat Kaisar Liang Xu sedang membaca dokumen kerajaan.
Kaisar mengerutkan dahi. “Siapa yang membuat aroma seperti itu? Ini... lebih menggoda dari semua menu pesta perayaan musim semi.”
Salah satu kasim gugup menjawab, “Hamba mendengar kabar… itu dari dapur belakang, Yang Mulia. Dari paviliun selatan. Dari… Selir Mei Lin.”
“Mei Lin?” Kaisar mengernyit. “Yang mana itu?, aku baru dengar nama itu ?"
Sun Yi, kasim pribadi yang sudah lama bersama sang kaisar, berbisik, “Itu… selir yang di bawa oleh Mentri perdagangan yang merupakan keponakannya yang memang tidak terlihat karena memang iya salalu menyendiri"
“Masih ada rupanya,” gumam Kaisar pelan.
Malam Itu di Paviliun Mei Lin
Sila duduk di depan meja makan kecil bersama Lian. Di hadapannya, makanan sederhana tapi harum menggoda.
Lian berkata cemas, “Nyonya… Anda benar-benar tidak berniat mencari perhatian Yang Mulia?”
Sila menyesap sup pelan. “Lian, tujuan hidup itu bukan semata-mata jadi ‘disukai kaisar’. Aku lebih tertarik bikin paviliun ini nyaman, punya dapur sendiri, dan kalau bisa… buka kelas masak rahasia di malam hari. Kita jual resep ke selir lain misalnya"
Lian menatapnya seakan sedang melihat dewa.
“Dan lagi…” Sila tersenyum miring. “Kalau aku dapat perhatian si Kaisar… bukan karena aku manjat atau merengek. Tapi karena aku punya gaya. Paham?”
Di luar, angin malam bertiup lembut. Dan di kejauhan, seseorang berdiri di atap, mengintip ke arah dapur yang terang dengan cahaya lentera.
Kaisar Liang Xu menyipitkan mata. "Menarik. Sangat... tidak biasa."
Keesokan paginya, Paviliun Selatan yang biasanya sunyi seperti makam tua mendadak menjadi tempat paling sibuk di kompleks istana wanita.
Bukan karena ada kunjungan Kaisar.
Bukan karena utusan kerajaan datang.
Tapi karena… bau bubur ayam.
Bubur ayam? Ya, itu versi istana tentu saja. Sila atau selir Mei Lin berhasil menciptakan “bubur modern” ala dunia lamanya—dengan topping ayam suwir, daun bawang, telur rebus, dan… kerupuk udang istana yang ia goreng ulang karena tidak tahan liat.
Pelayan dari paviliun lain tiba-tiba punya urusan lewat depan kediaman Sila. Beberapa bahkan menyamar jadi pengantar kain cucian hanya untuk mengintip dan—siapa tahu—mencomot semangkuk bubur.
Lian menatap antrian tak resmi di luar pagar kecil paviliun.
“Nyonya… apakah kita buka kedai sarapan sekarang?” tanya Lian heran
Sila hanya tertawa kecil. “Belum saatnya. Kita harus main aman dulu. Tapi... boleh kasih ‘tester’ gratis.”
Lalu dengan gaya bak pemilik bisnis franchise, Sila membagi-bagikan mangkuk kecil bubur kepada para pelayan. Syaratnya? Cuma satu.
Mereka mengangguk cepat berterima kasih. Sementara Itu, di Paviliun Selir Hua
Selir Hua, wanita anggun berwajah licin dan hati seperti kaca pecah—menatap cermin sambil mengernyit kesal.
“Kenapa para pelayan tadi tidak mengantarkan teh bunga pagi ini? Mana bedak wangi favoritku juga habis...” tanya Selir Hua
Pelayan pribadinya menjawab pelan, “Ampun, Nyonya… sepertinya pelayan dapur sedang sibuk di paviliun lain…”
“Maksudmu… di tempat selir rendahan itu?” Mata Selir Hua membulat seperti tahu sambal kemarin.
Pelayan menunduk. “Iya… ada kabar ia memasak bubur yang membuat semua orang tergila-gila pagi ini…”
Selir Hua berdiri. Gaunnya berkibar dramatis. “Aku tidak terima! Istana ini hanya bisa ada satu bintang bersinar, dan itu aku! Siapa dia, tiba-tiba memasak dan menyaingi aroma parfume rempah dari Paviliun Anggrekku?”
Dengan tatapan menyala, Selir Hua bersiap.
Bersambung
Halo semua pembaca setia author....
Ini adalah buku baruku, mohon dukungannya dan semoga dapat menghibur.
Terima kasih ♥️
Pagi di Taman Teratai
Sila sedang bersantai di taman, kaki dilipat, menyeruput teh buatannya sendiri sambil membaca gulungan puisi kuno yang ia terjemahkan secara... bebas.
“Puisi cinta ini... terlalu lebay. Lebih baik ganti dengan: ‘Wajahmu seperti mi ayam sore hari, hangat dan penuh harapan.’”
Lian tertawa cekikikan di belakangnya.
Dan di saat itu, dari ujung taman, datanglah rombongan bergemerlap. Gaun warna emas muda. Payung sutra. Aroma wewangian tajam. Dan tentu saja—tatapan sinis yang sudah seperti hobi.
Selir Hua datang.
“Selir Mei Lin … atau siapa pun kamu sekarang…” ujarnya dengan senyum setipis kertas nasi. “Aku dengar kamu sedang… sibuk memasak? Seperti pelayan dapur?”
Sila menatapnya datar. “Oh. Selamat pagi. Mau bubur?”
Lian nyaris tersedak menahan tawa.
Selir Hua tersenyum tipis. “Aku hanya khawatir… kamu terlalu giat bekerja, nanti lupa bahwa tugas utama seorang selir adalah menyenangkan hati Kaisar, bukan… menggoreng kerupuk.”
Sila menyesap tehnya pelan. “Kaisar belum pernah ke pavilunku dalam dua tahun. Kukira tugas utamaku adalah… bertahan hidup dan tidak membusuk.”
Beberapa pelayan yang ikut berdiri di sekitar taman pura-pura batuk menahan tawa.
Selir Hua kehilangan senyumnya sejenak. Tapi ia segera memulihkan posisi.
“Yah, semoga kegiatan barumu itu… menyenangkan. Tapi jangan lupa, istana ini bukan rumah makan.”
Sila bangkit dari duduknya, menepuk jubahnya pelan.
“Oh, tenang. Aku hanya memanfaatkan bakatku yang lain. Karena kalau harus bersaing pakai tarian dan manja-manjaan... jujur, itu bukan gayaku. Kalau kau jago di situ—aku beri panggung, sepenuhnya.”
Lian memekik pelan seperti penonton reality show.
Selir Hua mendengus, lalu membalik tubuhnya dan pergi dengan langkah cepat.
Sila menoleh pada Lian Hua. “Hari ini cukup drama ya?”
“Luar biasa, Nyonya! Anda membuatnya kehabisan kata-kata! Anda pahlawan para pelayan tak populer!” jawab Lian dengan semangat
Sila tertawa. “Kita baru mulai, Lian. Istana ini lucu sekali. Setiap hari seperti acara kompetisi. Tapi bedanya… hadiahnya bukan piala. Tapi... perhatian seorang pria.”
“Yang bahkan belum tentu tampan di hati,” bisik Lian polos.
Mereka berdua tertawa geli. Tidak menyadari bahwa dari balik pohon bambu di kejauhan, Kaisar Liang Xu diam-diam menyimak semuanya. Tangannya bersedekap, bibirnya mengulum senyum kecil.
“Menarik sekali. Wanita ini lebih tajam dari surat perang para jenderal,” gumamnya. “Dan lebih berani dari menteri senior.” ujar Kaisar Liang Xu
Ia berjalan perlahan, kembali ke arah Istana Utama.
Sementara itu, Sila mengambil mangkuk bubur hangat dan menyuapkan sendiri sambil berkata, “Ahh… makanan ini... lebih menyenangkan daripada cinta sepihak.”
...----------------...
Keesokan harinya
Istana Dalam sedang ramai hari itu. Tapi bukan karena upacara kerajaan atau kedatangan utusan luar negeri.
Melainkan karena rumor.
Rumor bahwa Kaisar Liang Xu akan berjalan-jalan pagi di taman istana bagian timur, tempat para selir biasa “kebetulan” berada sambil menari, membaca puisi, atau—lebih ekstrem—pura-pura pingsan karena angin pagi.
“Kesempatan ini langka, Nyonya!” bisik Lian penuh semangat. “Tiga bulan Kaisar tak muncul di taman. Hari ini banyak selir yang akan tampil habis-habisan!”
Sila menguap lebar, masih mengenakan jubah tidurnya yang berbahan katun tipis.
“Baguslah, berarti aku bisa ke dapur istana tanpa macet. Mereka semua sibuk rebutan pria, aku rebutan resep.” jawab Mei Lin
Lian membelalakkan mata. “Tapi… Nyonya! Bagaimana kalau hari ini justru Kaisar melihat Anda? Ini bisa jadi perubahan nasib!”
Mei Lin hanya mengangkat bahu. “Aku tidak siap tampil. Lihat ini—rambutku masih kayak sapu ijuk. Sanggul saja belum, bedak pun entah di mana.”
Lian menghela napas panjang. Tapi tetap mengikuti Mei Lin yang dengan santai berjalan ke arah taman timur. Bukan karena ingin ikut rebutan, melainkan karena… jalur ke dapur lewat sana.
Sementara Itu, di Taman Timur
Suasana tampak seperti lomba audisi bintang istana. Ada yang menari lembut dengan pita sutra melayang di udara. Ada yang bermain seruling sambil duduk manis di bebatuan. Bahkan ada selir yang pura-pura membaca buku puisi, tapi posisinya miring 45 derajat demi terlihat fotogenik dari sudut manapun Kaisar muncul.
“Sudah kelihatan?” bisik Selir Hua ke pelayannya.
“Belum, Nyonya… tapi kabarnya, Kaisar berjalan kaki, tak naik tandu. Beliau ingin ‘menyatu dengan suasana’ katanya.”
“Baiklah. Begitu beliau muncul, aku akan jatuh terpeleset dengan anggun. Biar beliau menolongku.” Selir Hua memantapkan rencana busuknya yang tampak indah.
Dan pada saat itulah… muncullah Mei Lin
Dengan rambut setengah berantakan, pakaian santai, dan tangan kiri membawa mangkuk nasi sisa sarapan, Mei Lin berjalan santai lewat tengah taman.
“Eh? Kenapa banyak asap pewangi di sini? Serasa lewat rumah dukun.” ujar Mei Lin
Para selir langsung menoleh. Ada yang melotot. Ada yang tersedak puisi. Ada pula yang mencubit pelayannya karena gagal memantau “kedatangan musuh”.
Selir Hua menahan marah. “Apa-apaan dia lewat sini dengan… mangkuk?”
Tepat pada momen itu, Kaisar Liang Xu muncul di ujung jalan taman.
Para selir serempak bersikap. Ada yang menunduk manis. Ada yang tiba-tiba memainkan kipas. Bahkan Selir Min menjatuhkan bunga ke kolam—dan pura-pura sedih.
Kaisar melangkah pelan, menatap sekilas semua penampilan sempurna itu... sampai akhirnya...
Matanya tertumbuk pada Mei Lin, yang berdiri sambil meniup sendoknya.
“Makanan pagi?” tanya Kaisar tiba-tiba, menghampiri.
Mei Lin kaget. Ia refleks menatap... pria itu.
Pria tinggi, mengenakan jubah ungu kebesaran, dengan mata tajam namun tenang, dan… kulit wajah yang lebih mulus dari sabun cuci muka herbal.
“Eh… iya… eh, maksud saya… Yang Mulia?” Mei Lin buru-buru menunduk, panik karena ini pertama kalinya dia melihat Kaisar dari dekat.
Kaisar tertawa kecil. “Kau tampak berbeda dari selir lain. Tak berdandan, tak menari, tak menggoda…”
Mei Lin refleks menjawab, “Saya belum sempat, Yang Mulia. Sikat gigi saja tadi hanya sebelah.”
Para selir di sekeliling hampir pingsan. Berani-beraninya Sila bicara seperti itu kepada Kaisar!
Namun… Kaisar malah tertawa pelan. “Lucu. Aku suka kejujuranmu. Siapa namamu?”
“Mei Lin , Yang Mulia" jawab nya
Kaisar mengangguk sambil menahan senyum.
“Boleh kucoba makananmu?” tanyanya.
Mei Lin panik. “Ini… nasi sisa semalam sih, Yang Mulia…”
Kaisar mengangkat alis.
“…Tapi saya tumis ulang pakai minyak wijen dan daun bawang, enak kok. Kalau Yang Mulia tidak keberatan makanan rakyat biasa.”
Ia menyodorkan sendok. Kaisar menerima. Semua pelayan dan selir lain menahan napas.
Suapan pertama.
Kaisar mengunyah perlahan. Lalu... tersenyum.
“Enak,” katanya.
Taman seketika sunyi. Bahkan burung merpati tak berani berkicau.
Mei Lin masih syok. “Beneran, Yang Mulia?”
“Ya. Sejak pagi aku hanya mencicipi puisi dan semua rasanya sama. Ini… berbeda.” jawab Kaisar Liang Xu
Lalu Kaisar menatapnya tajam, tapi dengan nada lembut. “Mulai besok, kau akan menemaniku sarapan pagi. Tak perlu dandan. Cukup bawakan makanan ini.”
Mei Lin nyaris menjatuhkan sendok. “Eh???”
Para selir lain mematung. Mereka yang sudah latihan tari sebulan penuh kalah dengan nasi tumis ulang dan celetukan "sikat gigi sebelah".
Sementara Kaisar berjalan pergi, senyum di wajahnya tidak hilang. Pelayannya mengikuti di belakang, menatap Sila dengan campuran heran dan kagum.
Mei Lin berdiri kaku. Lian datang terbirit-birit.
“Nyonya… kita… kita… TERPILIH?” seru Lian
Mei Lin menepuk dahinya. “Bukan. Kita… terjebak. Kayaknya… hidupku bakal makin ribet.”
Bersambung
Sejak kejadian tak terduga di taman timur, nama Mei Lin mendadak menjadi buah bibir seantero Istana Dalam. Para pelayan, dayang, hingga juru masak dapur istana mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya selir muda yang satu itu?
“Apakah dia keturunan bangsawan dari wilayah selatan?” bisik seorang dayang di dapur.
“Entahlah,” jawab yang lain. “Namun yang jelas, selir itu membawa bubur sendiri untuk sarapan pagi Kaisar.”
“Bubur?” tanya yang lain
“Ya. Bubur ayam kampung, katanya.”
Di kediaman Paviliun Anggrek Putih, Mei Lin tengah duduk di hadapan cermin perunggu, wajahnya cemas. Ia menatap bayangannya sendiri, rambutnya telah disisir rapi oleh Lian, pelayannya yang setia.
“Lian... bagaimana ini? Aku diundang sarapan bersama Kaisar pagi ini. Haruskah aku memakai bedak lebih tebal?” tanyanya ragu.
Lian justru tampak lebih gugup. “Nyonya, ini kesempatan besar. Mengenakan riasan tipis akan menambah pesona. Mungkin sedikit pemerah bibir, atau sapuan halus pada pipi…”
Mei Lin menggeleng cepat. “Aku hanya ingin makan dengan tenang. Bila harus terus menegakkan punggung dan tersenyum sepanjang waktu, perutku bisa keram sebelum suapan kedua.”
Lian nyaris jatuh saking kagetnya. “Nyonya! Bersama Kaisar bukan sekadar makan. Ini kehormatan! Bahkan selir utama pun belum pernah diundang makan pagi seperti ini!”
Mei Lin menunduk, menyatukan kedua tangan. “Aku tidak meminta kehormatan. Aku hanya ingin tidak membuat aib.”
Paviliun Zhen Long, Kediaman Kaisar
Kaisar Liang Xu duduk tenang di kursi pernis hitam, jubah ungu kebesarannya terhampar rapi. Di depannya, meja panjang telah tertata indah. Namun ia tak menyentuh satu pun hidangan yang disajikan.
“Apakah Selir Mei Lin telah tiba?” tanyanya kepada kepala pelayan.
“Belum, Yang Mulia. Namun kami menerima kabar bahwa beliau sedang menyelesaikan persiapan di dapurnya sendiri.”
Kaisar menaikkan alis. “Dapur pribadi?”
“Ya, Yang Mulia. Beliau bersikeras ingin menyiapkan sarapan sendiri.”
Sebelum Kaisar dapat berkomentar, suara langkah tergesa terdengar. SMei Lin muncul dengan langkah agak kikuk, membawa nampan berisi dua mangkuk besar.
“Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba sedikit terlambat. Ini… bubur ayam kampung dan tumis tahu kecap yang sederhana. Semoga selera paduka tidak terganggu.” ujar Mei Lin
Kaisar menatap mangkuk itu dengan ketertarikan yang tak disembunyikan.
“Boleh aku mencicipinya?”
Mei Lin menyodorkan mangkuk pertama. “Tentu, Yang Mulia. Ini sendok bersih. Hamba telah memastikan rasa dan panasnya pas.”
Kaisar tersenyum. “Kau bahkan memeriksa suhunya? Cermat sekali.”
Mei Lin menunduk dalam. “Bukan karena cermat, melainkan karena... hamba sendiri mudah terkena sariawan bila terlalu panas.”
Kaisar terkekeh pelan. “Jawaban yang jujur. Menyenangkan.”
Keduanya duduk di meja yang sama. Mei Lin tak banyak bicara, hanya menunduk sembari menyantap bubur dengan tenang. Namun Kaisar tampak lebih santai dibanding biasanya. Ia mencicipi bubur perlahan, lalu mengangguk puas.
“Ini… memiliki rasa jahe yang ringan, dan daun jeruk di dalamnya menghangatkan perut.” ujar Kaisar Liang Xu
“Hamba menambahkannya agar tidak masuk angin, Yang Mulia. Udara pagi di istana terkadang menusuk meski matahari terlihat cerah.” jawab Mei Lin
Kaisar mengangguk pelan. “Apakah kau mempelajari pengobatan?”
Mei Lin terdiam sejenak. “Tidak secara resmi. Namun hamba banyak mengalami gangguan pencernaan dahulu, jadi belajar sedikit demi sedikit dari tabib desa.”
Kaisar menatapnya dengan pandangan hangat.
“Selir Mei Lin... engkau berbeda dari selir lainnya.” ujar kaisar
Mei Lin nyaris tersedak. “Maksud Yang Mulia?”
“Kebanyakan dari mereka sibuk mempercantik diri, menyusun puisi dan syair, atau belajar tarian baru. Tapi engkau... menyajikan bubur hangat dengan daun jeruk.” jawab kaisar
Mei Lin menunduk, wajahnya memerah. “Karena hamba tidak pandai menari. Hamba hanya ingin tidak kelaparan.”
Kaisar tersenyum, dan tak berkata apa-apa lagi.
Namun pagi itu, untuk pertama kalinya, ia menyelesaikan seluruh mangkuk sarapannya tanpa menyisakan satu butir pun.
Sementara Itu, di Paviliun Para Selir
Para selir murka. Paviliun bunga merah, anggrek emas, dan teratai ungu kini dipenuhi desas-desus yang tak sedap.
“Selir Mei Lin... lagi-lagi?” bisik Selir Hua dengan nada menahan amarah.
“Benar. Ia menyajikan sarapan pribadi untuk Kaisar. Dan... mereka duduk berhadapan di meja yang sama,” jawab Selir Min, cemburu.
“Aku mengirim lukisan bunga peony tiga hari lalu, tidak ada tanggapan sedikit pun. Tapi dia... cukup dengan bubur kampung?”
Selir Lin mengerutkan kening. “Apakah Kaisar lebih menyukai wanita sederhana?”
“Tidak mungkin. Ini pasti siasat. Kita tidak boleh diam saja.”
Para selir saling berpandangan.
Hari itu juga, diam-diam, niat untuk menjatuhkan Mei Lin mulai tumbuh dalam hati mereka. Namun tak satu pun dari mereka tahu bahwa Mei Lin... terlalu polos untuk dipancing dan terlalu jujur untuk dijebak.
Dan terkadang, justru itu yang paling membingungkan.
Pagi itu, langit istana tampak cerah. Embun di dedaunan masih belum mengering saat angin tipis menyapu halaman Paviliun Anggrek Putih, kediaman Selir Mei Lin. Gadis itu tengah duduk di beranda sambil menyeruput teh jahe buatannya sendiri.
“Teh ini rasanya nikmat sekali, nyonya” ucap Lian, pelayan setianya.
“Bukan karena tehnya,” jawab Mei Lin santai. “Tapi karena kita meminumnya dalam damai, tanpa saling sikut atau berebut perhatian.”
Lian terkekeh geli. “Tapi bukankah Paduka Kaisar telah mengundang Nyonya makan pagi dua kali berturut-turut? Itu tidak terjadi begitu saja.”
Mei Lin mengangkat bahu. “Mungkin beliau hanya lapar dan ingin makan bubur yang enak.”
Sementara itu, di tempat lain, para selir lain sudah seperti harimau kelaparan yang siap mencakar.
Paviliun Teratai Ungu
“Tidak bisa dibiarkan!” desis Selir Hua sambil membanting kipas sutranya ke meja.
“Tenanglah, Hua-jie. Jangan merusak kipas lagi, ini yang ketiga minggu ini,” ucap Selir Min lirih.
“Mei Lin itu hanya seorang selir tanpa latar belakang bangsawan. Ia bahkan tidak bisa menari atau bersyair dengan baik. Apa istimewanya?!”
Selir Lin duduk anggun sambil menyeruput teh. “Bisa jadi… justru karena ia tidak berusaha. Pria menyukai hal yang tak mengejar mereka.”
“Kalau begitu kita harus lebih tidak mengejar,” jawab Selir Hua ketus.
Min dan Lin saling pandang. “Tapi kalau kita tidak mengejar, bagaimana bisa bersaing?”
“Kita buat saja dia menyingkir,” gumam Hua sambil menyeringai.
Hari itu, Mei Lin mendapat undangan untuk menghadiri jamuan sore di Paviliun Seribu Bunga, tempat pertemuan antar selir yang digagas oleh kepala selir tertua. Padahal biasanya, hanya selir dengan gelar atau pengaruh tertentu yang diundang ke sana.
Mei Lin melangkah dengan hati-hati, mengenakan jubah hijau pastel yang sederhana namun bersih dan rapi. Lian Hua menyisir rambutnya dengan gaya sanggul sederhana, tanpa hiasan emas atau batu permata.
Sesampainya di sana, mata semua selir langsung tertuju padanya.
“Oh, jadi ini Selir Mei Lin yang terkenal itu?” ucap Selir Ming sambil tersenyum manis namun nadanya penuh sindiran.
Mei Lin membungkuk sopan. “Salam hormat. Hamba merasa terhormat bisa diundang.”
“Jangan terlalu rendah hati. Tidak semua orang bisa membuat Paduka menghabiskan bubur sampai tetes terakhir.”
Mei Lin hanya tersenyum, tak merasa perlu menanggapi.
Jamuan pun dimulai. Aneka kudapan dan sup hangat disajikan oleh para pelayan. Namun entah bagaimana, saat pelayan hendak meletakkan semangkuk sup jamur di depan Mei Lin, tiba-tiba—
Byuurrr!
Sup tumpah ke arah pangkuannya!
“Astaga!” Lian berteriak panik.
“Ya ampun!” seru Selir Min dengan senyum tertahan. “Pelayan, kau sungguh ceroboh!”
Pelayan itu gemetar. “A-ampun, hamba tak sengaja… kaki hamba tersandung, hamba benar-benar—”
Mei Lin menahan napas sejenak, lalu mengangkat rok bagian bawahnya yang basah.
“Tidak apa. Sup ini tidak terlalu panas. Lagipula, ini hanya pakaian. Masih bisa dicuci.”
Semua mata membelalak. Bahkan Selir Hua pun kehilangan kata-kata.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!