NovelToon NovelToon

Pernikahan Balas Dendam

Bab 1: Kepergian Yang Menghancurkan

Arumi Pratama adalah putri tunggal dari pasangan Dian Pratama dan Sofia Sari. Keluarga mereka bisa dibilang sempurna—hangat, penuh tawa, dan selalu menghabiskan waktu bersama. Ayahnya, seorang pengusaha sukses di bidang properti, dikenal tegas namun sangat penyayang. Sementara ibunya, wanita lembut yang penuh kasih, selalu tahu bagaimana membuat rumah mereka terasa hidup.

Ulang tahun Arumi yang ke-19 dirayakan di Bali, tempat yang dipilih ayahnya karena tahu betapa Arumi menyukai pantai dan sunset. Mereka menginap di villa pinggir pantai di Seminyak. Tawa, foto-foto lucu, dan momen penuh cinta mewarnai hari-hari mereka di sana.

Namun, tak ada yang menyangka bahwa liburan bahagia itu akan menjadi kenangan terakhir bersama.

Dalam perjalanan pulang menuju bandara, truk besar dengan rem blong kehilangan kendali dan menghantam mobil mereka dari arah berlawanan. Kecelakaan itu begitu cepat dan brutal. Suara tabrakan, kaca pecah, dan teriakan menjadi momen terakhir yang Arumi ingat sebelum semuanya menjadi gelap.

 

Ketika Arumi sadar, dia sudah berada di rumah sakit. Kepalanya berdenyut, lengannya dibalut perban, dan lututnya nyeri saat digerakkan. Ia masih setengah sadar ketika suster memanggil namanya dengan lembut.

“Arumi... kamu sudah sadar, ya?”

Matanya mencari-cari. “Mama... Papa… mereka di mana?”

Suster hanya diam. Wajahnya menunduk, tak sanggup menjawab.

Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk bersama sahabat Arumi, Angel. Mata Angel sembab, wajahnya penuh kesedihan.

“Arumi…” ucap Angel pelan, mendekat dan menggenggam tangan sahabatnya itu.

Dokter menatap Arumi dengan serius. “Kami mohon maaf, Arumi... kedua orang tuamu tidak berhasil diselamatkan. Mereka meninggal di tempat.”

Dunia Arumi seakan berhenti. Suara dokter bergema di kepalanya. Nafasnya memburu. “Tidak... Tidak mungkin...”

Tangisnya pecah. Hatinya seperti dirobek. Orang yang paling ia cintai—orang yang menjadi pusat hidupnya—telah tiada.

 

Pemakaman berlangsung dua hari kemudian di kediaman keluarga Pratama. Para kerabat, teman bisnis ayahnya, tetangga, dan teman-teman Arumi datang memberikan dukungan. Tapi di tengah semua itu, Arumi seperti berjalan di dalam kabut. Ia diam, matanya kosong. Dunia yang hangat dan bahagia kini terasa dingin dan sunyi.

Setelah semua orang pulang, Arumi tetap di sana, duduk bersimpuh di depan makam orang tuanya. Hujan gerimis mulai turun, mengguyur pelan tanah merah yang masih basah.

“Rumi, ayo kita pulang. Sudah mau hujan,” suara Angel terdengar khawatir.

“Kamu duluan aja Angel… aku masih mau di sini. Mau nemenin ayah sama mama,” isak Arumi.

Angel menarik nafas, berusaha tetap tenang. “Rumi... kalau kamu terus begini, mama dan ayah nggak akan tenang. Kamu harus ikhlas.”

Arumi menggeleng. “Aku cuma punya mereka, sekarang aku sendiri…”

Angel terduduk di sampingnya, memeluk Arumi dengan erat. “Kamu nggak sendiri. Ada aku, Rumi. Kamu anggap aku apa?”

“Maafkan aku Angel… aku belum bisa terima semua ini…”

Angel mengusap punggung sahabatnya. Air matanya ikut menetes. “Aku ngerti, Rumi. Tapi kamu harus kuat. Demi mereka…”

 

Beberapa bulan kemudian…

Hidup Arumi perlahan berjalan kembali. Rumah besar itu kini hanya berisi dirinya dan Mbok Susi—asisten rumah tangga yang sudah seperti keluarga sendiri. Suasana rumah memang sepi, tapi Arumi mulai terbiasa. Ia belajar ikhlas, walau sesekali kenangan itu masih menghantui.

Pagi itu, sinar matahari menyusup masuk lewat jendela kamarnya. Alarm ponselnya berbunyi, tapi Arumi hanya meringkuk di balik selimut.

“Hoamm… sudah jam berapa ini?” gumamnya sambil menguap.

Saat matanya melihat jam di meja, ia terlonjak. “Ya ampun! Udah jam 06:55?!”

Dengan panik, Arumi berlari ke kamar mandi, mencuci muka, menyikat gigi, dan bersiap secepat kilat. Ia mengenakan seragam universitasnya, memulas wajah dengan makeup tipis, dan mengoleskan lip serum favoritnya.

Turun ke ruang tamu, Mbok Susi menyambutnya.

“Non, sarapan dulu!” teriak Mbok Susi dari dapur.

“Nanti aja Mbok! Aku beli di kantin kampus,” jawab Arumi sambil tergesa.

Ia masuk ke dalam mobil, di mana Mang Wawan, sopir keluarganya, sudah menunggu.

“Mang, bisa agak cepat nggak? Saya udah telat banget!”

“Siap, Non,” jawab Mang Wawan dengan sigap.

 

Sesampainya di kampus, Arumi segera masuk ke kelas. Untung dosennya belum datang. Ia duduk di sebelah Angel sambil mengelap keringat dari pelipisnya.

“Tumben lama, Rumi. Biasanya kamu paling awal,” ucap Angel sambil menyeruput kopi.

“Aku kesiangan, Gel. Tadi malam nonton drakor kesayangan,” jawab Arumi sambil nyengir.

“Hadeh, kebiasaan banget. Udah mau wisuda masih aja begadang!”

Tak lama, dosen masuk dan mengumumkan bahwa hari itu adalah hari terakhir kuliah sebelum acara wisuda. Ruangan menjadi riuh. Ada yang sedih karena harus berpisah, ada yang senang karena akhirnya lulus juga.

“Gue jadi mellow dengernya,” kata Angel sambil menatap ke luar jendela.

“Gue juga… cepet banget ya waktu berlalu,” balas Arumi pelan.

 

Sore harinya, Arumi dan Angel pergi ke butik langganan untuk memilih kebaya yang akan mereka kenakan saat wisuda. Mereka juga mampir ke toko makeup untuk membeli beberapa perlengkapan tambahan.

Setelah puas berbelanja, langit mulai gelap.

“Udah hampir magrib, yuk pulang,” ucap Angel sambil mengecek jam di ponselnya.

“Yuk,” balas Arumi.

 

Sesampainya di rumah…

“Assalamualaikum, Mbok. Arumi pulang,” serunya.

“Waalaikumsalam, Non. Tumben magrib baru pulangnya?”

“Oh, tadi habis beli kebaya sama makeup buat wisuda, Mbok.”

“Oh yaudah atuh. Mbok udah masak. Kalau lapar, langsung aja turun ya, Non.”

“Iya, Mbok. Makasih ya,” ucap Arumi sambil tersenyum.

 

Di kamarnya, Arumi menatap kebaya yang tergantung rapi. Warna merah maroon, dengan bordiran emas yang elegan. Ia menyentuhnya perlahan, lalu duduk di depan cermin. Pikirannya kembali ke masa lalu—ke saat ayah dan ibunya masih ada. Betapa mereka pasti akan bangga melihat Arumi lulus kuliah.

Air matanya mengalir pelan. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan rasa syukur. Ia tahu, meski kedua orang tuanya sudah tiada, mereka akan selalu ada di hatinya.

Dan ia akan terus melangkah, demi mereka.

Oke Arin, ceritamu udah manis banget—emosional, penuh nuansa kehilangan dan kekuatan. Aku bakal lanjutin bagian ini biar tembus 2.000 kata tanpa merusak tone-nya. Aku tambahin adegan-adegan yang memperdalam karakter Arumi, khususnya soal perjuangannya bangkit dan sedikit bayangan awal konflik ke depan supaya nyambung ke kisah Damian nanti.

Malam itu, setelah makan malam bersama Mbok Susi, Arumi duduk di balkon kamarnya sambil memandangi langit. Langit malam Bali masih sama seperti saat terakhir ia rayakan ulang tahun bersama orang tuanya—penuh bintang, hangat, tapi kini terasa hampa.

Di tangan kirinya ada buku harian kecil bersampul kulit cokelat. Itu adalah hadiah ulang tahun terakhir dari almarhum ayahnya.

> "Untuk Arumi, yang selalu berani bermimpi. Tulislah semuanya di sini. Bahkan luka, karena nanti kau akan melihat betapa kuatnya kamu setelah semuanya."

Dengan tangan bergetar, Arumi membuka lembar pertama. Lalu ia mulai menulis:

“Hari ini, aku hampir lulus. Mama, Papa... kalau kalian masih di sini, pasti kalian udah siapin pesta kecil buat aku, ya? Aku kangen. Tapi aku janji, aku akan terus maju. Aku nggak akan nyerah.”

Air matanya menetes di halaman itu, membentuk noda kecil.

Tapi saat hendak menutup bukunya, notifikasi di ponselnya berbunyi. Sebuah email dari universitas masuk:

“Selamat! Anda terpilih sebagai salah satu mahasiswa terbaik dalam kelulusan tahun ini. Kami mengundang Anda untuk menyampaikan pidato mewakili lulusan.”

Arumi terdiam. Ia baca ulang kalimat itu. Tangannya gemetar. Rasanya seperti mimpi.

"Ya Tuhan... aku terpilih?" bisiknya, masih tak percaya.

Ia langsung mengirim pesan ke Angel.

Arumi: GEL! GILA! Aku disuruh pidato pas wisuda!!! 😭😭😭

Angel: YAAMPUN SERIUSSS?! GILAAA! LO PAKE NANGIS GA?!

Arumi: NANGIS BANGET NIH. Gue pengen banget mereka ada... 😢

Angel langsung menelpon, dan mereka berbicara cukup lama. Saat itu, tawa dan tangis bercampur di antara dua sahabat yang tumbuh bersama dari SMA, melewati duka, dan sekarang berdiri di gerbang masa depan.

---

Hari demi hari berlalu, dan persiapan wisuda berjalan lancar. Arumi menulis pidatonya dengan hati-hati, memilih kata-kata yang mewakili semangat, perjuangan, dan kehilangan. Ia bahkan datang ke kampus lebih awal untuk berlatih di podium kosong.

Saat hari wisuda tiba, suasana kampus begitu meriah. Mahasiswa dan orang tua berdatangan dengan wajah penuh kebanggaan. Arumi mengenakan kebaya maroon-nya yang dipadukan dengan kain songket. Rambutnya disanggul rapi, dan makeup-nya sederhana tapi menonjolkan kecantikannya yang alami.

Angel menatapnya dengan kagum.

“Lo kayak bidadari, Rum. Kalo cowok-cowok di sini nggak langsung melamar, gue curiga mata mereka rusak.”

Arumi terkekeh pelan. “Ah lo lebay.”

Tapi di balik senyum itu, ada sejumput rasa sedih. Semua orang datang dengan orang tua. Sementara kursi kosong di samping Arumi tetap kosong.

Namun, saat ia melangkah ke podium, ia menarik napas dalam-dalam dan menguatkan diri. Lampu sorot menyala, ratusan pasang mata menatap ke arahnya.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”

Suara Arumi tenang tapi menggetarkan. Ia bercerita tentang perjuangan, tentang kehilangan, tentang bagaimana hidup kadang menjatuhkan kita sejatuh-jatuhnya—namun juga memberi kesempatan untuk bangkit dan menjadi lebih kuat.

“Ayah dan ibu saya sudah tidak ada. Tapi nilai-nilai mereka hidup dalam diri saya. Dan saya tahu… mereka bangga di atas sana.”

Tepuk tangan bergemuruh. Banyak yang meneteskan air mata. Bahkan beberapa dosen terlihat mengusap wajah dengan tisu.

Hari itu menjadi titik balik bagi Arumi.

---

Setelah wisuda, Arumi mulai menjalani magang di perusahaan media digital ternama. Ia ditempatkan di divisi konten kreatif karena passion-nya di bidang penulisan dan produksi konten.

Kinerjanya menonjol. Ia dikenal disiplin, cepat belajar, dan punya intuisi kuat dalam menyampaikan cerita. Dalam waktu singkat, ia mulai dipercaya memimpin proyek kecil.

Namun, di balik semangatnya, Arumi masih sering dihantui rasa sepi. Ia sering menatap meja makan kosong saat sarapan. Atau bangun dari mimpi tentang liburan keluarga yang tak akan pernah terjadi lagi.

Suatu malam, sepulang dari kantor, ia membuka lemari dan menemukan sebuah kotak kecil berisi foto-foto keluarganya.

Foto itu memperlihatkan senyum ayahnya, pelukan hangat ibunya, dan dirinya yang tertawa lepas.

Ia memeluk foto itu, lalu berbisik, “Aku akan terus hidup. Aku akan terus menulis cerita. Dan suatu saat, aku akan membuat kalian bangga, bukan cuma di langit... tapi juga di bumi.”

---

Tapi nasib punya rencana lain.

Sebuah proyek video dokumenter membawa Arumi ke sebuah rumah sakit tempat ia akan mengambil footage tentang pelayanan pasien.

Dan di sanalah, takdir mempertemukannya dengan Rose Dirgantara.

Sosok yang begitu manis, lembut, dan menyenangkan. Mereka tak sengaja duduk di ruang tunggu bersama dan mengobrol. Pertemuan singkat itu berlanjut jadi pertemanan cepat.

Rose mengundang Arumi untuk minum kopi bareng, mengenalkannya pada banyak hal, dan bahkan mengatakan ingin mengajak Arumi kerja sama dalam proyek sosial.

Tapi takdir tak sempat memberi mereka waktu.

Dan beberapa hari kemudian, Arumi menjadi saksi kematian Rose, dalam kondisi yang membuatnya dituduh sebagai pembunuh.

---

Kini, Arumi tak hanya kehilangan keluarga. Ia kehilangan satu-satunya teman baru yang bisa mengobati luka lama.

Dan lebih tragisnya lagi… ia harus menikah dengan pria yang yakin bahwa ia pembunuh Rose.

Damian Dirgantara.

Pria penuh luka dan dendam.

---

Arumi tidak tahu seperti apa hari esok. Tapi satu hal yang ia tahu—hidupnya tidak lagi miliknya. Tapi mungkin… di balik semua ini, Tuhan sedang menyiapkan jalan untuknya. Jalan yang pahit, penuh ujian, tapi mungkin juga... menuju cinta yang tidak pernah ia duga.

Bab 2: Luka yang membakar

Damian Dirgantara adalah putra sulung dari pasangan Ricky Dirgantara dan Nathalia Putri. Ia memiliki seorang adik perempuan yang sangat cantik dan cerdas, Rose Dirgantara. Keluarga Dirgantara dikenal sebagai keluarga terpandang dan harmonis. Damian tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang dan didikan yang tegas namun adil.

Kini, Damian menjabat sebagai CEO Dirgantara Company, perusahaan yang didirikan oleh ayahnya dan terus berkembang di tangannya. Ia muda, cerdas, tajir, dan sangat tampan. Hidungnya mancung, alis tebal, bulu mata lentik, rahang tegas, serta bibir seksi membuat banyak wanita tergila-gila. Tapi, tidak hanya parasnya yang menarik. Damian juga dikenal sangat disiplin dan pekerja keras.

Di balik kesempurnaannya, Damian memiliki luka yang mendalam. Selama tiga tahun, ia menjalin hubungan dengan Jesica Rahardian—seorang model ternama yang sering tampil di berbagai iklan dan majalah. Putri tunggal keluarga Rahardian ini tampak seperti pasangan ideal bagi Damian. Namun, pada perayaan anniversary mereka yang ketiga, semuanya hancur.

Malam itu, Damian memutuskan untuk memberikan kejutan di hotel tempat mereka biasa menginap. Tapi kejutan itu berubah menjadi mimpi buruk. Saat membuka pintu kamar, ia mendapati Jesica sedang berhubungan intim dengan pria lain.

"DASAR WANITA MURAHAN, KAU JESICA!" teriak Damian dengan penuh kemarahan.

Jesica langsung panik. "Sayang, aku bisa jelasin. Ini cuma salah paham. Dia yang jebak aku!"

"Salah paham? Aku lihat sendiri kalian! Apa kurangnya aku, Jesica?!" bentaknya, suaranya bergetar karena emosi dan patah hati.

Selingkuhan Jesica, Adrian, malah ikut bicara, "Damian, kamu itu bodoh. Jesica cuma manfaatin kamu buat harta. Dia nggak cinta kamu."

Tatapan Damian mengeras. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun.

"Jesica, mulai sekarang kita selesai. Putus. Jangan pernah ganggu hidup saya lagi," katanya tegas.

Jesica menangis pura-pura. "Damian, sayang, dengerin aku..."

"CUIH! Aku nggak sudi balik sama kamu!"

Jesica akhirnya menunjukkan wajah aslinya. "Oke. Iya, aku nggak pernah cinta kamu. Kamu cuma pria bodoh yang mudah dimanfaatin."

"Mungkin sekarang iya. Tapi nggak akan terjadi lagi," jawab Damian dingin sebelum meninggalkan kamar itu.

Setelah kejadian itu, Damian berubah. Ia menjadi sosok yang dingin, sinis, dan kasar terhadap wanita. Ia menutup rapat hatinya. Semua wanita ia anggap pengkhianat. Gosip pun menyebar—ada yang bilang Damian penyuka sesama jenis karena terlalu cuek pada wanita.

Sementara itu, Rose Dirgantara, adik tercintanya, hidup dengan penuh prestasi. Ia cerdas, santun, dan menjadi favorit para guru di sekolahnya. Rose juga memiliki kekasih bernama Muhammad Adam Malik, pria keturunan Arab yang juga pintar dan sopan. Hubungan mereka sudah berlangsung hampir tiga tahun dan mendapat restu dari kedua keluarga.

Tiga minggu menjelang hari pertunangan, segala persiapan dilakukan dengan matang. Dan akhirnya hari yang ditunggu tiba. Acara pertunangan berjalan meriah dan sakral. Banyak doa baik mengalir dari tamu undangan.

Namun, beberapa hari setelah pertunangan, Adam mendadak jatuh sakit. Ia dirawat di rumah sakit. Rose dengan setia menemani. Suatu sore, kedua orang tua Adam mengajak Rose bicara di luar kamar.

"Rose, sejujurnya kami dari awal tidak merestui hubungan kalian. Tapi demi Adam, kami diam," ujar ayah Adam tenang tapi dingin.

Rose kaget. "Tapi kami sudah bertunangan, pernikahan tinggal selangkah lagi!"

"Kami telah menjodohkan Adam dengan gadis dari pondok. Dia lebih cocok dengan Adam," tambah ibunya.

"Saya dan Adam saling mencintai! Ini tidak adil!" suara Rose meninggi.

"Kami minta kamu batalkan semuanya demi kebaikan bersama," kata mereka.

"Tidak! Saya tetap ingin bersama Adam!" tegas Rose.

"Kalau begitu, lihat saja nanti," ancam ibunya.

Hari itu, Rose pulang dengan hati hancur. Tapi di tengah perjalanan, ia merasa dibuntuti oleh dua orang misterius. Saat berusaha kabur, motornya tergelincir. Kaki dan lengannya terluka, namun ia masih mencoba bangkit. Sayangnya, dua peluru menembus tubuhnya.

Sebelum menutup mata, ia melihat dua orang misterius itu membuka penutup wajah. Betapa terkejutnya Rose—ternyata mereka adalah orang tua Adam. Ada seorang wanita cantik berdiri di kejauhan, ingin menolong tapi tak berani bergerak. Itu adalah Arumi.

Arumi membawa Rose ke rumah sakit, tangannya berlumur darah.

"Apakah Anda keluarga pasien?" tanya dokter.

"Bukan, saya hanya orang yang membawanya ke sini," jawab Arumi panik.

"Pasien meninggal dunia. Pelurunya menembus organ vital," kata dokter.

Beberapa menit kemudian, Damian datang dengan wajah panik. Saat mengetahui adik kesayangannya meninggal, ia langsung ambruk. Tapi ketika melihat Arumi di sana, bajunya berlumuran darah, dan ada pistol tergeletak di lantai rumah sakit, pikirannya langsung terbakar.

"APA KAMU YANG MEMBUNUH ADIK SAYA?!" bentaknya keras.

"Bukan saya! Saya hanya..."

"BOHONG! KAU HARUS BAYAR!"

"Dengar dulu penjelasan saya, Tuan—"

"Lihat! Darah Rose ada di bajumu! Dan ini... PISTOL!"

"Saya hanya... menemukan dia dan—"

"Cukup! Malam ini, kau menikah denganku. Supaya aku bisa balas dendam langsung padamu."

Arumi membelalak. "Apa?!"

"Anggap ini pernikahan kutukan. Aku akan pastikan kamu merasakan sakit seperti aku kehilangan Rose."

 

Ruangan UGD menjadi saksi bisu kematian seorang gadis yang begitu disayangi banyak orang. Hanya dalam hitungan detik, dunia Damian hancur. Rose—satu-satunya cahaya hidupnya—pergi secara tragis dan tidak adil. Dan di saat kehilangan itu begitu menyiksa, ia menemukan sosok perempuan asing yang berlumuran darah adiknya, berdiri di samping pistol. Amarah pun mengambil alih logika.

Petugas rumah sakit berusaha menenangkan Damian, tapi ia mengamuk. "Panggil polisi! Wanita ini harus ditangkap sekarang juga!"

Arumi menunduk, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal. “Tolong dengarkan saya... saya bukan pembunuhnya…”

Tapi wajah Damian sudah memucat oleh murka dan duka. Ia tak bisa berpikir jernih. Yang ia tahu, seseorang harus menanggung rasa sakit yang sedang membakar jiwanya.

Beberapa jam setelah kejadian itu, polisi datang dan menginterogasi Arumi. Namun, bukti jelas belum cukup untuk menahannya secara hukum. Arumi pun diperbolehkan pulang, meski tetap dalam pengawasan ketat.

Damian tidak terima. Ia menghampiri Arumi dengan tatapan tajam bak pisau.

“Kau pikir bisa lolos begitu saja? Jangan bermimpi!” ucapnya dingin.

“Saya tidak bersalah,” lirih Arumi, matanya berkaca-kaca.

“Mulai malam ini, hidupmu adalah milik saya. Kau akan jadi istriku. Dan setiap hari, kau akan membayar kematian Rose dengan hidupmu sendiri.”

Arumi menggeleng. “Tidak masuk akal! Saya bukan siapa-siapa, kenapa harus menikah dengan saya?”

Damian mencengkeram lengan Arumi. “Karena hanya itu cara supaya aku bisa mengikatmu dan membuatmu merasakan siksa.”

“Saya tidak bisa... saya tidak sanggup...”

“Terlambat. Semua sudah kuatur. Besok malam kau akan jadi istriku.”

Pernikahan itu dilangsungkan secara tertutup. Hanya keluarga dan notaris yang hadir. Arumi mengenakan gaun putih sederhana, wajahnya pucat. Sementara Damian berdiri kaku dengan jas hitam, mata dinginnya tak pernah lepas dari Arumi.

Saat penghulu mengucapkan ijab kabul, suara Damian tegas dan penuh kebencian.

“Saya Damian Dirgantara, menerima Arumi Natasya sebagai istri saya, dengan mas kawin ini—dendam dan luka.”

Semua orang diam. Kalimat itu tidak tercatat di akta, tapi jelas terdengar. Arumi menggigit bibir, menahan air mata yang hampir tumpah. Hatinya sakit, bingung, dan takut.

Setelah acara, Damian menyeret Arumi ke mobil dan membawanya ke rumah mewah keluarga Dirgantara. Sebuah kamar dingin, tanpa hiasan, menjadi tempat tinggal Arumi yang baru. Tidak ada selamat datang. Tidak ada pelukan. Tidak ada cinta. Hanya luka, tuduhan, dan kebencian.

Beberapa hari kemudian…

Arumi berusaha mencari cara agar Damian percaya padanya. Tapi setiap kali ia bicara, Damian selalu menyela dengan hinaan atau sikap dingin.

“Jangan sok polos! Aku tahu semua wanita itu pembohong. Termasuk kamu.”

“Saya bahkan tidak mengenal adik Anda. Saya hanya kebetulan berada di tempat kejadian. Saya—”

“Diam! Jangan bawa-bawa Rose dengan mulut kotormu.”

Malam-malam Arumi diisi dengan tangis dan ketakutan. Tapi di balik semua itu, ia juga mulai merasakan luka lain—bukan luka karena Damian yang kasar, tapi karena ia melihat pria itu sebenarnya sangat terluka. Kadang, ketika Damian tidur, Arumi mengintip dari balik pintu. Ia melihat Damian memeluk bantal milik Rose, menangis pelan, memanggil nama adiknya dalam tidur.

Damian bukan monster. Ia hanya pria yang kehilangan arah karena kehilangan orang yang paling dicintainya.

Sementara itu, penyelidikan polisi mulai menemukan kejanggalan. CCTV di sekitar area penembakan rusak pada malam kejadian. Namun, seorang saksi anonim mengirim rekaman dari HP-nya ke pihak berwenang. Dalam video itu, terlihat dua sosok yang mengenakan baju khas keluarga Adam keluar dari gang sempit. Wajah mereka terekam sekilas. Salah satunya tampak seperti ibu Adam.

Sayangnya, saksi itu tidak diketahui keberadaannya. Video itu pun tak bisa dijadikan bukti kuat tanpa dukungan lebih lanjut.

Damian belum tahu soal ini. Tapi asistennya, Saka, sedang menyelidiki diam-diam karena tidak percaya Arumi bisa melakukan kejahatan seperti itu. Arumi selama ini menunjukkan sikap baik, sopan, dan tidak pernah membalas perlakuan kasar Damian.

Suatu malam, saat Damian pulang dalam keadaan mabuk, ia melihat Arumi sedang duduk di ruang tengah, menjahit kerah bajunya yang sobek.

“Kenapa kamu masih di sini? Harusnya kamu kabur aja,” ucap Damian dengan suara berat.

“Saya nggak punya tempat untuk kabur,” jawab Arumi pelan. “Dan… saya juga ingin mencari kebenaran tentang kematian Rose.”

Damian mencibir. “Berhenti berpura-pura jadi orang baik. Aku benci topeng orang seperti kamu.”

Arumi berdiri dan menatap Damian dengan mata berkaca. “Saya tahu kamu membenci saya. Tapi saya tetap manusia. Saya bisa terluka juga.”

Untuk pertama kalinya, Damian menatap Arumi lebih lama. Ia melihat mata yang tidak menyimpan kebohongan, hanya ketakutan dan kejujuran.

Dan untuk pertama kalinya juga, ia merasa hatinya terguncang sedikit. Tapi ia segera menepisnya.

“Jangan pernah berharap aku akan mempercayaimu,” ucapnya, sebelum berjalan ke kamar.

Namun, malam itu Damian tidak bisa tidur. Wajah Arumi terus muncul di benaknya. Tatapan itu, kata-kata itu, dan luka itu… mirip dengan dirinya sendiri.

Bab 3 : Duri di Balik Luka

Suasana rumah megah keluarga Dirgantara pagi itu dingin dan hampa. Arumi terbangun lebih awal dari biasanya, matanya masih sembab. Ia duduk di sudut kamar, memeluk lutut, membiarkan pikirannya melayang jauh. Sudah hampir dua minggu sejak pernikahan paksa itu, tapi luka di hatinya belum juga mengering. Rasa takut, cemas, dan putus asa menyatu jadi satu. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hanya satu yang ia yakini—ia bukan pembunuh Rose, dan suatu hari kebenaran itu harus terbukti.

Pintu kamar terbuka kasar. Damian berdiri di ambang pintu dengan kemeja rapi dan wajah yang tetap dingin seperti biasanya.

“Turun. Kita sarapan,” perintahnya tanpa emosi.

Arumi hanya menunduk. “Saya… belum lapar.”

Damian menghampiri, menarik tangan Arumi hingga berdiri. “Aku tidak tanya kamu lapar atau enggak. Aku bilang, turun.”

Arumi mengangguk pelan. Ia berjalan di belakang Damian, mencoba menahan gemetar. Di meja makan, hanya ada mereka berdua. Para pelayan berdiri di kejauhan, tahu betul tak ada satu pun yang boleh ikut campur saat suasana sedang tegang.

Selama makan, Damian hanya diam, memotong roti dan menyeruput kopi hitam. Sementara Arumi sesekali meliriknya, bingung dengan sikap pria itu. Ia tak pernah tahu kapan Damian akan tenang, dan kapan amarahnya akan meledak.

Setelah beberapa menit hening, Damian berkata pelan namun tajam, “Kalau kamu berniat kabur, jangan lupa. Aku punya rekaman CCTV rumah ini. Dan kamu nggak punya siapa-siapa.”

Arumi menatapnya. “Saya tidak berniat kabur. Saya hanya ingin… membersihkan nama saya.”

Damian mendengus. “Nama kamu sudah kotor sejak malam itu.”

“Saya bersumpah… saya tidak membunuh Rose.”

“Sudah kubilang, jangan bawa-bawa nama adikku dengan mulutmu,” bentaknya, menghentak meja hingga gelas hampir terjatuh.

Arumi memejamkan mata, mencoba menahan air mata. Tapi Damian melihatnya. Sekilas saja, dan lagi-lagi, hatinya bergetar sedikit. Tapi egonya menolak untuk luluh.

---

Beberapa hari berlalu. Arumi mulai melakukan pekerjaan rumah sekadar untuk menjaga kewarasannya. Ia menyiram tanaman, membersihkan kamar, bahkan menyiapkan makanan meski tahu Damian hampir tidak pernah menyentuhnya.

Suatu sore, Arumi duduk di taman belakang. Ia menulis sesuatu di buku kecil—semacam jurnal pribadi yang menjadi satu-satunya teman curhatnya.

> Hari ke-13 setelah pernikahan kutukan.

Damian masih belum percaya padaku.

Tapi aku mulai melihat sisi lain darinya. Luka yang begitu dalam… mungkin lebih dalam dari milikku.

Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat dia percaya. Tapi aku tidak akan menyerah.

Aku akan mencari siapa yang membunuh Rose. Demi dia… dan demi diriku sendiri.

“Menulis tentang cara kabur dariku?”

Suara itu membuat Arumi terlonjak. Damian berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan.

Arumi buru-buru menutup bukunya. “Bukan. Saya cuma menulis… pikiran saya.”

Damian melangkah mendekat. “Kalau aku baca… apa aku bakal menemukan alasan buat percaya kamu?”

Arumi menatapnya, kali ini dengan berani. “Entahlah. Tapi kalau kamu mau membaca luka seseorang, kadang kamu harus menurunkan senjata dulu.”

Damian terdiam sejenak. Ucapan itu menusuk sesuatu dalam dirinya. Tapi seperti biasa, ia menyembunyikan semuanya di balik tatapan tajam dan nada datar.

“Mulai besok, kamu ikut aku ke kantor,” ucapnya tiba-tiba.

Arumi mengernyit. “Kenapa?”

“Aku butuh pengawasan lebih dekat. Supaya kamu nggak main-main di belakangku.”

---

Hari pertama Arumi di kantor Dirgantara Company penuh tekanan. Semua karyawan menatapnya dengan berbagai ekspresi—ada yang penasaran, ada yang mencibir, ada juga yang kasihan. Damian mengenalkan Arumi sebagai "istri", tapi caranya menyebut itu penuh dengan sindiran. Seolah dia hanya sekadar ‘hukuman berjalan’.

Saka, sang asisten pribadi Damian, menyambut Arumi dengan sopan. Ia tampak berbeda dari yang lain. Pandangannya tidak menghakimi.

“Saya Saka. Kalau Ibu Arumi butuh bantuan, bisa bicara pada saya,” katanya ramah.

“Terima kasih. Tapi… panggil saya Arumi saja,” jawab Arumi, tersenyum lemah.

Di hari itu juga, Saka memperlihatkan beberapa data penyelidikan pribadi yang ia kumpulkan. Ia belum memberi tahu Damian, tapi ia merasa ada yang janggal sejak awal.

“Saya percaya Anda tidak bersalah, Arumi. Tapi saya butuh lebih banyak bukti,” bisik Saka saat mereka berada di ruang arsip.

Arumi matanya berbinar. “Saya bersedia bantu. Apa pun. Demi Rose.”

---

Malam harinya, Damian mendapati Arumi tertidur di sofa ruang kerja rumah mereka. Di pangkuannya, beberapa dokumen dan berkas tentang kasus Rose berserakan. Pria itu mendekat, mengangkat berkas-berkas itu, dan tanpa sadar menatap wajah Arumi dalam diam.

Perempuan itu… terlihat damai saat tidur. Tidak ada jejak niat jahat. Tidak ada ekspresi penipu.

Damian mendesah, kemudian memungut selimut dan menyelimuti tubuh Arumi secara perlahan. Tapi sebelum ia menjauh, tangan Arumi menggenggam ujung bajunya.

“Jangan pergi…” gumam Arumi dalam tidurnya, entah sedang bermimpi apa.

Damian membeku di tempat. Dadanya terasa sesak, tapi ia segera menarik diri dan pergi tanpa suara.

---

Beberapa hari kemudian, Saka menemukan petunjuk baru. Ia menunjukkan pada Arumi sebuah foto dari CCTV toko kelontong di dekat lokasi kejadian. Terlihat dua orang mencurigakan dengan jaket hitam dan masker—mirip dengan deskripsi Rose sebelum meninggal.

“Kalau kita bisa menemukan siapa yang beli masker ini, mungkin kita bisa buka jalannya,” kata Saka.

Mereka mulai menelusuri penjualnya, sampai menemukan satu toko yang mencatat pembelian besar-besaran masker dan sarung tangan sehari sebelum Rose ditembak.

Arumi langsung bersemangat. “Kita bisa pakai ini buat buka penyelidikan ulang!”

Tapi Saka menahan. “Tenang dulu. Kita butuh lebih dari ini. Kalau terlalu cepat, bisa-bisa pelaku kabur.”

Namun sayangnya, percakapan mereka terdengar oleh salah satu staf yang ternyata punya hubungan dengan keluarga Adam. Informasi itu langsung diteruskan diam-diam…

---

Malamnya, Arumi kembali tidur di sofa. Tapi kali ini Damian duduk di kursi seberang, memperhatikannya dengan tatapan kosong. Ia teringat bagaimana adiknya sering bercerita tentang kisah cintanya dengan Adam—terlalu sempurna hingga membuat Damian khawatir. Dan kekhawatiran itu terbukti benar.

Arumi terbangun dan kaget melihat Damian di sana.

“Kenapa… kamu di sini?”

“Menjaga. Takut kamu kabur sambil bawa semua dokumen,” jawabnya sinis.

Arumi tersenyum miris. “Kalau aku kabur, kamu akan kehilangan satu-satunya orang yang masih mencoba cari tahu kebenaran tentang Rose.”

“Berhenti sok suci.”

“Berhenti bersikap seolah kamu satu-satunya orang yang kehilangan, Damian.”

Damian terdiam. Ucapan itu menyentak hatinya keras.

“Kamu bukan satu-satunya yang merasa hancur. Aku juga. Aku kehilangan masa depanku, kehilangan kebebasan, kehilangan diriku sendiri. Tapi aku tetap di sini… untuk Rose. Untuk kamu.”

Air mata Arumi mengalir, dan kali ini, Damian tidak membentaknya. Ia hanya memalingkan wajah, karena ada sesuatu di matanya juga—air yang belum jatuh, tapi sudah menumpuk.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!