Saat sebuah kehidupan baru terlahir ke dunia, biasanya ada hal lain yang hilang. Begitulah yang dirasakan oleh Indra, tangisnya yang tak kunjung bisa ia kendalikan saat di hadapkan pada istrinya yang tengah merenggang nyawa setelah melahirkan putri mereka.
"Sayang, jangan seperti ini. Aku tau kamu kuat, jangan tinggalkan aku yah, anak kita masih butuh kamu."
Sang istri tampak sangat tersiksa disela nafasnya yang tersenggal, air matanya turut membasahi pipinya sehingga keringat dan air matanya bercampur menjadi satu.
"Aku mohon sayang, kamu harus kuat.“
Indra terus menggenggam tangan istrinya dengan kuat berharap masih ada harapan istrinya bisa pulih. Namun beberapa menit kemudian, mata istrinya mulai menutup perlahan tanpa bisa mengucapkan kata terakhirnya, hanya matanya saja yang menatap kosong sekaligus sendu pada Indra sampai akhirnya kesadarannya hilang sepenuhnya.
Ruangan menjadi hening seketika, hanya suara dari monitor pendeteksi detak jantung yang terdengar nyaring melengking menandakan bahwa jantung yang di monitor oleh benda tersebut sudah tidak berdetak lagi.
Isak tangis menyambut setelahnya, rasanya dunia lelaki itu perlahan runtuh setelah melihat badan istrinya yang kaku didepannya setelah berjuang melahirkan buah hati mereka.
***
Tiga bulan kemudian
Seorang perempuan yang berusia kisaran dua puluh lima tahun tengah duduk di bangku taman, matanya memperhatikan orang-orang yang ada didalam taman tersebut.
Orang-orang di taman tersebut nampak menikmati waktu mereka. Ada yang bersama keluarganya, tampak bersama pasangannya dan juga anak-anak yang tinggal di sekitar taman tersebut tengah bermain di taman ini.
"Masih galau?." Pertanyaan dari seseroang membuat lamunannya terhenti.
"Nih buat kamu, jangan galau lagi. buat apa galauin manusia pulu pulu seperti mantan kamu itu, sudah jelek tukang selingkuh lagi." Cibirnya sembari memberikan sebotol minuman botol rasa cokelat untuk perempuan tersebut lalu beralih duduk disampingnya.
"Capek Aku."
Dua kata yang keluar dari mulutnya sudah menggambarkan seluruh perasaannya saat ini.
"Sudahlah, kamu tidak lelah kasih dia kesempatan terus?, kamu cantik Dinda, kamu baik, royal dan mandiri. Lepasin aja dia." Desak perempuan tadi. Ia tidak tega melihat sahabatnya harus terus murung karena ulah pacarnya.
"Iya iya Rindu, aku juga sudah muak sekali." Jawabnya dengan anggukan kepala menatap lurus mata sahabatnya yang terlihat tulus peduli padanya.
"Janji yah tidak ada kesempatan lagi buat dia, aku juga tidak suka lihat kamu sedih gini." pinta Rindu dengan wajah prihatin sekaligus emosi mengingat kelakuan mantan kekasih sahabatnya itu.
Dinda merasa terharu dan tersentuh dengan perhatian dari Rindu, ia kembali menganggukkan kepalanya sembari tersenyum tipis untuk memastikan pada Rindu bahwa yang ia janjikan adalah benar.
"Makasih yah Rindu, kamu memang orang yang paling peduli sama aku." Ucap Dinda meraih tangan Rindu dan menggenggamnya.
Rindu terlihat begitu lega, setidaknya ia bisa menyadarkan Dinda untuk tidak lagi memaafkan mantan kekasihnya yang sudah berkali-kali menyakitinya.
***
Hari semakin siang, matahari pun tampaknya sudah naik dan menyinari hampir seluruh bagian taman yang tadinya masih sejuk.
"Pulang yuk, udah mulai siang nih." Ajak Rindu seraya berdiri duluan.
Dinda pun menyusulnya dan meninggalkan tempat duduk mereka tadi. Langkah kaki Dinda terhenti saat matanya tertuju pada seorang pria kisaran usia tiga puluh tahun awal tengah menatap bayinya yang terbaring di stroller.
Tatapan mata pria itu tampak sendu, seperti menyimpan banyak rasa sakit saat menatap bayinya.
"Kenapa?." Tanya Rindu yang penasaran dan ikut melihat ke arah yang sama dengan Dinda.
"Tidak, ayo." Jawab Dinda dengan cepat lalu menyusul Rindu yang jaraknya sedikit jauh darinya.
***
Sesampainya Dinda di halaman rumahnya, ia di buat terkejut dengan kehadiran mantannya disana, nampaknya mantannya itu sudah menunggunya lama disana.
"Dinda." Sapanya dan langsung menghampiri Dinda.
Rindu yang melihat mantan kekasih sahabatnya itu ada disana, merasa muak dan langsung menarik Dinda untuk menjauh.
"Langsung masuk saja Din, tidak usah di ladeni." ucap Rindu seraya menarik tangan Dinda agar segera masuk ke dalam rumahnya.
Dinda hanya mengikuti Rindu yang masih menariknya, namun langkah kaki mereka terhenti saat pria itu berdiri menghalangi mereka.
"Rin, tolong kasih aku kesempatan bicara berdua sama Dinda, please." pinta mantan kekasih Dinda pada Rindu, Dinda sendiri memilih diam melihat mantannya memohon pada sahabatnya.
"Tidak, pergi kamu!." tolak Rindu dan kembali menarik tangan Dinda, namun sekali langkah mereka dihalangi oleh pria tersebut.
"Dinda aku mohon, sebentar saja. Aku mau jelasin semuanya." Pintanya dengan wajah memelas penuh harap pada Dinda.
Rindu yang khawatir jika Dinda akan luluh saat mendengar kata-kata dari pria didepannya langsung maju selangkah di depan Dinda.
"Tidak ada yah, kamu mending pergi saja, ini sudah yang ke berapa kalinya Yuda kamu selingkuh dari Dinda!." Seru Rindu tidak terima laki-laki itu menyakiti sahabatnya untuk kesekian kalinya.
"Aku khilaf Rin, makanya aku mau minta maaf sama Dinda. Jadi tolong, kasih aku waktu buat bicara berdua sama Dinda." Jawab Yuda berusaha membela dirinya dan meminta kesempatan untuk berbicara dengan Dinda.
"Khilaf kamu bilang? Sekali dua kali tuh aja sudah tidak bisa di maafkan Yud, apapun itu kalau masalahnya tentang selingkuh, sama aja kamu memang tidak bisa di percaya, dan sekarang kamu datang bilang khilaf? sudah tidak terhitung jari Yuda kamu selingkuh dari sahabat aku." Rindu mengeluarkan kekesalannya pada Yuda dengan menggebu-gebu.
Yuda terdiam sejenak mendengar Rindu yang mengeluarkan semua rasa marahnya, tapi melihat Dinda hanya diam, ia pikir masih ada harapan Dinda bisa memaafkannya seperti dulu.
"Aku janji Din, ini yang terakhir." Ucap Yuda dengan wajah bersungguh-sungguh, matanya penuh harap Dinda mau memaafkannya lagi kali ini.
"Jangan mau termakan janji dia Din." kata Rindu mengompori Dinda
"Rindu!." Tanpa sadar Yuda membentak Rindu karena tersulut emosi.
"Apa?." Rindu tidak mau kalah, ia pun meninggikan suaranya dan tetap menjaga Dinda berada di belakangnya.
"Please, aku cuma mau bicara berdua sama Dinda." Kata Yuda yang hampir kehilangan kesabarannya.
Melihat perdebatan sahabat dan mantan kekasihnya, membuat Dinda semakin lelah, ia pun menarik tangan Rindu dan membawanya ke belakangnya.
"Yuda." Ucap Dinda menatap dalam mata Yuda, Rindu mulai khawatir jika sahabatnya itu akan luluh dan memaafkan Yuda, "sudah yah aku capek, kita selesai sekarang, benar-benar selesai." namun sedetik kemudian Rindu tertawa puas saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dinda.
"Rasakan itu cowok brengsek." ucap Rindu begitu puas mendengar kata-kata Dinda.
"Tapi Din..."
Dinda tidak ingin lagi menghiraukan Yuda, ia menarik tangan Rindu dan berlalu dari sana, membuka pintu rumahnya dan masuk kedalam, meninggalkan Yuda yang masih mematung ditempatnya setelah mendengar keputusan Dinda.
Hari terus berganti, entah sudah berapa banyak lagu galau yang di putar oleh Dinda didalam kamarnya setiap hari.
Setiap hari mengulangi rutinitasnya yang sama setelah memutuskan untuk tidak memberi kesempatan lagi pada Yuda.
Pesan-pesan dari Yuda pun hanya ia baca, Rindu sudah menyuruhnya untuk memblokir nomor Yuda, tapi rasanya hatinya belum siap saja.
Suara ketukan pintu menyadarkannya lagi, ia segera berdiri dari tempat duduknya di depan jendela dan beralih membuka pintu kamarnya.
"Aku chat kok kamu tidak di balas sih?." Tanya Rindu langsung ketika Dinda membuka pintunya.
"Maaf, hp nya aku silent." Jawab Dinda singkat dan kembali masuk ke dalam di susul oleh Rindu.
Belum sempat Rindu menutup pintu kamar Dinda, Papa Dinda terlihat terburu-buru menghampiri Rindu.
"Di ajak keluar main tuh temennya Rin, dikamar terus galauin Yuda." Pinta Papa Dinda sembari melemparkan tatapan ledekan pada Dinda.
"Papa ih, apaan sih." Kesal Dinda mendengar ucapan Papanya.
Papanya hanya tertawa kecil melihat ekspresi wajah putrinya.
"Om titip Dinda yah Rindu, om mau ke kampus dulu buat ngajar." katanya kemudian pada Rindu,.
"Siap om, hati-hati dijalan." jawab Rindu menyanggupi.
Dinda dan Rindu sudah bersahabat sejak mereka masih duduk di bangku SMP, mereka kembali bertemu di SMA yang sama juga perguruan tinggi yang sama.
Rindu pun sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Papanya Dinda, sejak dulu Rindu selalu ada untuk Dinda yang merupakan anak tunggal, terlebih Dinda sudah tidak memiliki Mamanya sejak kecil.
Itulah kenapa, Rindu sangat peduli dan perhatian pada Dinda.
***
Suasana hati Dinda hari ini nampak sedikit membaik setelah menikmati cokelat hangat di sore hari di sebuah cafe yang tidak jauh dari rumahnya, awalnya ia menolak ajakan Rindu, tapi Rindu tetap memaksanya untuk keluar dari kamarnya.
"Enakkan?, buat apa kamu galau terus dikamar mikirin Yuda, belum tentu dia juga mikirin kamu." Ucap Rindu yang masih sewot saat mengingat wajah tengil Yuda.
"Tidak usah dibahas lagi, capek aku." protes Dinda sudah tidak ingin membahas tentang Yuda lagi.
"Kamu yang bilang yah, awas kalau besok-besok kamu bahas Yuda." Ancam Rindu sembari menunjuk Dinda.
"Iya, tidak lagi deh." Jawab Dinda dengan yakin.
Rindu tersenyum puas sembari menyeruput matcha lattenya.
"Senang sekali aku." ucap Rindu tiba-tiba.
"Kenapa?." Tanya Dinda penasaran.
"Akhirnya kamu lepas juga dari buaya darat itu." jawab Dinda terlihat begitu senang.
"Dasar kamu." sewot Dinda tapi ia pun merasa sedikit lega setelah berani melepaskan diri dari Yuda.
"Kasihan juga tau Papa Kamu pasti khawatir lihat kamu sedih terus."
Ucapan Rindu membuat Dinda menatapnya lama, tiba-tiba saja suatu ide terbersit di kepalanya.
"Rindu." Panggil Dinda, ia menatap Rindu dengan serius.
"Apa?." Tanya Rindu penasaran dengan tatapan Dinda yang tidak bisa ia tebak.
"Kamu mau tidak jadi Mama aku?." Tanya Dinda tiba-tiba.
Rindu terdiam sejenak mencerna pertanyaan Dinda yang tidak masuk akal.
"Gila Kamu Din." Umpatnya saking terkejutnya ia dengan pertanyaan Dinda.
"Lah katanya kamu kasihan sama Papa, aku lebih kasihan lihat Papa sendiri dari dulu." kata Dinda menunjukkan rasa prihatinnya mengingat Papanya membesarkannya sendiri sedari dulu.
"Tidak harus dengan aku juga Dinda, masa baru nikah aku langsung punya anak seumuran sama aku." protes Rindu merasa aneh dengan tingkah sahabatnya itu.
"Tapi Papa aku ganteng loh Rin." Bujuk Dinda masih tidak menyerah menawarkan Papanya pada sahabatnya.
"Yah Papa aku juga ganteng." ucap Rindu tidak mau kalah dan turut membanggakan Papanya.
"Terus Papa aku Duda kaya, yah masih lumayan muda sih, dosen pula tuh." Rindu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
"Stop yah Dinda." Tegas Rindu menyuruh Dinda berhenti untuk membicarakan hal yang tidak-tidak.
"Aku serius." Dinda masih tidak mau berhenti dengan ucapannya barusan.
"Sakit kamu putus dari Yuda." ucap Rindu yang bergidik ngeri terbayang akan apa yang Dinda rencanakan tadi.
"Tidak ada yang lebih peduli sama aku dan Papa selain kamu Rin, aku ikhlas sekali kalau kamu jadi Mama aku." Kata Dinda begitu tulus dan penuh harap, tapi hal itu tetap tidak bisa membuat Rindu membenarkan rencana gila Dinda.
"Cari perempuan lain saja Rin, maaf banget." Tolak Rindu seolah-olah berat karena menolak rencana sahabatnya.
"Yah sayang sekali dong." ucap Dinda menyayangkan.
"Aku jadi takut main ke rumah kamu lagi, nanti tiba-tiba di jodohin lagi sama Papa Kamu." Membayangkannya saja sudah membuat Rindu merinding.
"Kalau kamu berubah pikiran, langsung tanya aku aja yah."
Rindu menggelengkan kepalanya dengan mantap mendengar Dinda, ia sama sekali tidak bisa membayangkan jika dirinya benar-benar bersama Papa dari sahabatnya.
"kamu aja yang menikah sama Duda." celetuk Rindu sembari kembali menyeruput minumannya.
"Sempat kepikiran sih kemarin." jawab Dinda yang membuat Rindu lagi-lagi menatapnya tidak percaya.
"Hah?." Tanya Rindu memastikan yang ia dengar tadi bukanlah kesalahan.
"Karena cowok belum matang nyakitin sih." kata Dinda dengan wajah murungnya.
"Tuhan tolong, Sahabat aku benar-benar sudah gila". ucap Rindu frustasi.
Ia sudah sangat merasa frustasi dengan tingkah laku sahabatnya.
***
Rindu dan Dinda memutuskan untuk pulang setelah mereka cukup lama berada di cafe tersebut, mereka berdua segera berjalan ke kasir untuk membayar makanan dan minuman yang mereka pesan tadi.
"Aku tunggu diluar yah, Rin." Kata Dinda yang merasa pengap disana, terlebih masih ada dua orang didepan mereka yang juga ingin membayar makanannya.
Rindu hanya mengangguk mengiyakan, setelah mendapat persetujuan dari Rindu, Dinda langsung keluar dari cafe tersebut.
Hari semakin sore, langit pun semakin gelap karena mendung, namun anehnya hujan tak kunjung turun. Dinda menatap sekeliling area cafe tersebut untuk mengusir rasa bosannya.
Diseberang cafe sana, terdapat sebuah taman kecil yang sering didatangi Dinda saat suasana hatinya tidak baik, ia berjalan menuju ke arah taman tersebut yang hanya berjarak beberapa langkah.
Entah kenapa ia sangat ingin melihat suasana taman di sore hari, karena biasanya ia hanya datang ke taman tersebut di pagi hari.
Setelah sampai ditaman tersebut, Dinda mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman, ternyata tidak begitu ramai.
"Apa mungkin karena mendung yah?." gumamnya.
Matanya tertuju pada seorang pria yang sama yang pernah ia lihat di taman waktu itu. Seorang pria dengan bayinya yang terbaring di stroller. Tatapannya masih sama, sendu dan penuh dengan kesedihan, wajahnya, bahkan tampak lebih murung hari ini.
"Padahal sudah mau hujan." ucap Dinda khawatir dengan kondisi bayinya.
Rasa penasaran kembali muncul di benak Dinda, ia ingin tau bagaimana wajah bayi yang ada di stroller itu, kenapa Ayahnya selalu menatapnya dengan wajah sedihnya.
Sayangnya saat ingin melangkah masuk, Rindu tiba-tiba muncul dan menahannya.
"Kamu lagi apa disini? aku cari-cari didepan cafe juga." Tanya Rindu yang berhasil menemukan Dinda didekat taman.
Ia sempat terkejut saat keluar dari cafe dan tidak melihat Dinda disana.
"Ah tidak ada, aku cuma penasaran sama suasana taman sore hari." Jawab Dinda merasa sedikit bersalah karena membuat Rindu khawatir.
"Mau masuk?." Tanya Rindu menawarkan
Dinda berpikir sejenak, ia memang penasaran dengan bayi itu, tapi disatu sisi ia juga merasa tidak enak jika harus masuk kesana hanya untuk hal itu.
"Tidak usah, kita pulang saja." katanya kemudian memutuskan.
"Ya sudah."
Mereka berdua pun melangkah pergi meninggalkan taman, sesekali Dinda melihat kebelakang hanya untuk melihat wajah pria tadi, ia benar-benar penasaran dengan apa yang dirasakan oleh pria itu saat menatap bayinya.
Dinda pun merasa terkejut saat mata mereka bertemu, ia langsung berbalik dan terus melangkah pergi dari sana.
***
Langit sore yang nampak begitu gelap membuat Indra tersadar dari lamunannya, ia segera bangkit dari tempat duduknya dan mendorong stroller bayinya pergi dari taman.
"Sudah sore nak, kita pulang yah." ucapnya dengan lembut pada bayi perempuan berusia tiga bulan di dalam strollernya.
Bayi itu sangat cantik, senyum pun mengembang di wajahnya yang begitu lucu dan mungil. Melihat senyuman bayinya membuat Indra begitu sakit seperti di tusuk benda tajam.
Raut wajahnya sangat sendu, ditambah suasana gelap langit sore yang membuat langit seakan ingin runtuh.
"Kamu cantik sekali nak, persis seperti Mamamu." Mata Indra mulai berkaca-kaca saat berbicara dengan Bayinya.
Ia langsung beranjak pergi dari sana, takut jika ia akan terbawa suasana lagi.
Sudah tiga bulan sejak kepergian istrinya, namun ia masih tenggelam dalam kesedihannya, Indra merasa sangat sulit untuk bisa ikhlas melepaskan kepergian istrinya, ditambah lagi wajah putrinya yang begitu mirip dengan wajah mendiang istrinya, membuat Indra sangat sedih ketika melihat wajah bayinya Karena akan mengingatkannya pada Istrinya.
***
Saat Indra keluar dari taman, gerimis mulai turun hingga beralih dengan hujan yang mulai deras. Indra merasa sedikit panik karena ia tidak membawa payung sementara di sekitar luar taman itu tidak ada tempat berteduh.
Rasa panik yang tadi menghampiri Indra segera hilang saat seorang wanita menghampirinya dan dengan baik hatinya berbagi payung dengan mereka berdua sehingga Indra dan putrinya tidak kehujanan.
"Terima kasih banyak." Ucap Indra penuh rasa syukur.
"Sama-sama, kalau bisa anaknya digendong saja, kasihan kena pantulan air hujan dari ujung strollernya." Jawab perempuan tadi yang ternyata adalah Dinda.
Ia juga menyarankan agar Indra menggendong putrinya.
"Ah iya." Dengan cepat Indra mengambil bayinya dari strollernya dan membawanya ke pelukannya agar tetap merasa hangat.
"Bayinya cantik sekali, siapa namanya?." Tanya Dinda, rasa penasaran akan wajah bayi itu pun terbayar setelah melihatnya secara langsung.
"Ciara." Jawab Indra singkat.
"Nama yang cantik, sama dengan wajahnya yang lucu dan cantik." Kata Dinda dengan senyum diwajahnya yang tulus, entah kenapa hatinya merasa hangat saat melihat wajah bayi yang bernama Ciara itu.
"Bisa antar kami ke mobil?." Pinta Indra yang tidak ingin membuat bayinya berlama-lama berada ditengah hujan deras seperti ini.
"Saya bawa dua payung, bawa saja salah satunya." Jawab Dinda sembari memberikan satu payung untuk Indra.
Indra berpikir sejenak, payung itu ukurannya tidak begitu besar, tidak akan cukup jika ia meletakkan putrinya lagi ke stroller, takutnya bayinya akan terkena hujan.
Sadar dengan tatapan Indra yang melihat payung dan stroller itu bergantian, Dinda pun segera memahami situasinya.
"Pakai saja payungnya dengan putri anda, biar saya yang membawa strollernya ke mobil anda." Ucap Dinda kemudian.
"Sekali lagi terima kasih banyak." Ucap Indra yang merasa lega karena Dinda sangat peka.
Dengan cepat Dinda membuka payung satunya lagi dan segera memberikannya pada Indra, ia begitu hati-hati saat memberikan payung tersebut untuk memastikan tidak ada setetes pun air hujan yang mengenai Ciara.
"Ayo." Ajak Dinda kemudian mengambil alih stroller Ciara.
Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju ke mobil Indra ditengah derasnya hujan sore ini.
Letak mobil Indra lumayan jauh dari taman, mereka pun akhirnya sampai di tempat Indra memarkir mobilnya.
Pertama-tama Indra membuka pintu mobilnya dan meletakkan Ciara di car seat bayi, lalu menutupnya pintu mobilnya kembali dengan cepat. Lalu ia beralih mengambil stroller bayinya dan membawanya ke bagasi, tentu saja di bantu oleh Dinda yang setia memayunginya.
Setelah semua selesai, Indra dan Dinda sama-sama berjalan ke tempat kemudi.
"Terima kasih banyak..." Indra menggantungkan ucapannya karena tidak tau harus bagaimana memanggil Dinda yang terlihat lebih muda darinya.
"Dinda, panggil saja Dinda." Ucap Dinda yang sekali lagi peka dengan keraguan Indra.
"Dinda." lanjut Indra saat mengetahui nama Dinda.
"Sama-sama, lain kali pastikan anda selalu bawa payung kemana-mana. Sekarang musim hujan." jawab Dinda sembari memberinya saran.
"Iya, saya lupa membawanya hari ini." kata Indra hampir menyesali kecerobohannya hari ini karena hampir membuat putrinya kehujanan.
"Kalau begitu saya pamit dulu." ucap Dinda berpamitan.
"Tidak mau sekalian saya antar?." Tanya Indra menawarkan tumpangan untuk Dinda sebagai bentuk balas budinya.
"Tidak usah, rumah saya dekat dari sini." tolak Dinda dengan sopan.
"Sekali lagi terima kasih Dinda." ucap Indra untuk kesekian kalinya berterima kasih pada kebaikan Dinda hari ini.
"Sama-sama, saya permisi kalau begitu, hati-hati dijalan." jawab Dinda lagi dan langsung beranjak dari sana.
"Dinda.." Panggil Indra yang menghentikan langkah kaki Dinda dan kembali berbalik menatapnya.
"Iya, kenapa?." Tanya Dinda penasaran.
"Payungnya." Indra menunjuk payung yang masih ia pakai.
"Bawa saja payungnya, saya lihat anda tidak membawa payung, mungkin akan berguna begitu sampai dirumah anda untuk membawa Ciara masuk ke dalam rumah." senyum tulus di wajah Dinda membuat Indra tidak bisa menolaknya kebaikan Dinda.
"Terima kasih, lain kali saya kembalikan sama Anda." ucap Indra kemudian.
Dinda hanya tersenyum sembari mengangguk dan kembali berjalan berlalu dari sana. Sementara itu Indra langsung masuk ke dalam mobilnya. Matanya masih memperhatikan Dinda yang berjalan menjauh dari tempat itu.
***
"Padahal bayinya begitu cantik dan menggemaskan, tapi kenapa dia selalu menatap putrinya dengan tatapan sendu dan sedih?." Gumam Dinda merasa heran.
"Untung saja waktunya tepat, hampir saja bayi cantik itu kehujanan." katanya lagi pada dirinya sendiri.
Sebelumnya ia berlari pulang ke rumahnya setelah berpisah dengan Rindu sepulang dari cafe tadi, Dinda dengan cepat mengambil dua payung dan kembali ke taman, entah kenapa ia merasa Indra tidak membawa payung sementara hujan sudah akan turun tadi. Dan ternyata firasatnya memang benar, waktunya sangat tepat, ia sampai ke taman saat hujan mulai turun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!