NovelToon NovelToon

Lahir Kembali Untuk Di Cintai

Prolog

Prang!

Suara pecahan vas bunga menggema, membelah keheningan rumah reyot yang dingin dan sunyi. Benda porselen itu menghantam lantai keras, berhamburan menjadi kepingan kecil yang menyilaukan di bawah sinar matahari yang menembus celah jendela reyot.

"Dasar anak bodoh!" Bentakan tajam itu meledak bersama kemarahan seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan napas terengah dan wajah merah padam.

Di hadapannya, seorang gadis kecil berlutut di lantai. Tangannya yang mungil dan penuh luka lecet mengumpulkan pecahan kaca satu per satu, bibirnya gemetar, matanya nanar. Bajunya lusuh dan sobek di beberapa bagian, seperti sisa-sisa kain yang lupa dibuang. Tubuhnya kurus, terlalu kecil untuk anak seusianya. Di usia 15 tahun, ia tampak seperti anak berumur 10 tahun yang terlupakan dunia.

"Aku… aku minta maaf, Ibu," lirihnya hampir tak terdengar, suaranya tercekat di tenggorokan seperti seseorang yang tak terbiasa didengar.

Sejak ia bisa mengingat, panggilannya hanya satu: Anak Sial.

Wanita itu bukan ibu kandungnya. Ia adalah ibu angkat—yang dulu bersikap lembut, menyuapinya saat demam, menyanyikannya lagu tidur, dan menggenggam tangannya saat ia takut pada petir. Tapi segalanya berubah saat sang ayah angkat meninggal. Cinta itu lenyap, digantikan kebencian dan dendam yang tak ia pahami asal-usulnya.

Gadis kecil itu dipukuli jika melakukan kesalahan sekecil apa pun—terlambat mencuci piring, menumpahkan air, bahkan hanya karena napasnya terlalu keras. Ia tak diberi makan berhari-hari. Luka-luka menghiasi tubuhnya, namun ia tetap bertahan, percaya bahwa itulah wujud cinta yang kasar. Ia ingin percaya… karena hanya itu satu-satunya bentuk “kasih sayang” yang ia kenal.

Namun puncaknya adalah ketika wanita itu menjualnya. Menjualnya. Kepada pria tua yang terkenal sebagai iblis dalam wujud manusia, hanya demi melunasi utang judi. Gadis itu memohon, merangkak, menangis, memeluk kaki ibunya… namun wanita itu bahkan tak menoleh ke belakang saat pintu ditutup rapat.

Hari-harinya menjadi lebih gelap. Tubuhnya disiksa tanpa belas kasihan. Kakinya patah dan tak pernah sembuh, membuatnya lumpuh. Ia dijadikan budak, dipaksa hidup dalam gudang lembap yang bau dan penuh tikus. Tak ada sinar matahari. Tak ada suara manusia. Hanya hinaan dan derita.

"Perempuan cacat! Tidak berguna!"

Kata-kata itu seperti nyanyian yang menghantui setiap malamnya.

Sampai malam itu…

Sret! Api menyala dari dapur, mungkin karena lilin yang tak sengaja terguling. Dalam waktu singkat, api menjilat dinding-dinding kayu tua. Asap hitam menebal, menyusup ke sela-sela celah kayu, dan langit malam seolah berubah merah membara. Semua orang panik, berteriak, berlarian.

Tapi tidak dia.

Dia dikunci. Di gudang. Seorang diri.

Ia meronta, memukul pintu, berteriak sekeras-kerasnya, "Tolong!" Tapi tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli. Suara api lebih nyaring dari jeritannya.

Panas mulai membakar kulitnya. Napasnya tercekat. Tubuhnya lunglai.

Dalam sekarat, dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia memandang langit-langit dan berbisik pelan, dengan suara yang nyaris melebur dalam pekat:

> "Dewa... jika Kau benar-benar ada… aku mohon… selamatkan aku. Jika aku boleh hidup lagi, tolong beri aku hidup yang berbeda… tempat yang dipenuhi cinta… bukan seperti ini. Aku mohon…"

Dan ketika api menyentuhnya, ketika rasa sakit sudah melewati batas nalar… semuanya menghilang. Sunyi. Gelap.

---

Cahaya hangat. Suara lembut. Pelukan.

Saat matanya terbuka, ia bukan lagi gadis kurus dan lusuh itu. Ia adalah seorang bayi.

Terlahir di sebuah ranjang hangat, disambut dengan tangis bahagia seorang ibu muda yang memeluknya erat, seolah dunia ini diciptakan hanya untuk melindunginya. Seorang ayah menangis sambil menggenggam tangannya, bersumpah akan menjaganya dengan seluruh hidupnya.

Namanya kini adalah Vivienne. Tapi mereka memanggilnya: Enn.

Setiap pagi, sinar matahari menyinari wajahnya. Ia mendengar tawa, bukan makian. Ia memeluk mainan, bukan luka. Ia disayang. Ia dihargai. Ia dicintai.

Namun luka kehidupan lama tak hilang begitu saja. Ia masih ingat. Semua rasa sakit, tangis, pengkhianatan. Tapi kali ini, ia tak akan membiarkannya menguasai hidupnya.

Ia bersumpah…

Tak seorang pun akan menyakitinya lagi.

Dan dalam hidup barunya, ia akan mencari arti cinta yang sejati—bukan hanya untuk menerimanya, tapi juga untuk memberikannya.

bab 1 - kehidupan sebelumnya

Prang!

Suara pecahan vas bunga menggema, membelah keheningan rumah reyot yang dingin dan sunyi. Benda porselen itu menghantam lantai dengan keras, berhamburan menjadi kepingan kecil yang memantulkan cahaya matahari yang menembus celah-celah jendela reyot, menciptakan serpihan-serpihan cahaya yang terasa lebih tajam dari luka itu sendiri.

"Dasar anak bodoh!" Bentakan tajam itu meledak dengan suara penuh amarah, meluncur dari bibir seorang wanita paruh baya yang berdiri di sana, napas terengah-engah, wajah merah padam dipenuhi kekesalan yang hampir memecah jiwa.

Di hadapannya, seorang gadis kecil berlutut di lantai, tubuhnya gemetar. Tangannya yang kecil dan penuh luka lecet perlahan mengumpulkan pecahan kaca satu per satu, matanya yang kosong hanya menatap ke tanah. Bibirnya bergetar, suaranya hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sudah terlalu lama terbiasa untuk tidak didengar. Bajunya yang lusuh dan sobek di beberapa bagian tampak seperti sisa-sisa kain yang sudah lama terlupakan oleh dunia. Tubuhnya kurus, jauh lebih kecil dari anak seusianya. Pada usia 15 tahun, ia tampak seperti anak berusia 10 tahun yang terlupakan, hanya ada di antara bayang-bayang kehidupan yang keras.

"Aku… aku minta maaf, Ibu," suaranya tercekat di tenggorokan, lemah dan terputus-putus, seolah setiap kata yang keluar terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.

Sejak ia bisa mengingat, panggilannya hanya satu: Anak Sial.

Wanita itu bukan ibu kandungnya. Ia adalah ibu angkat—yang dulu, saat ia sakit, menyuapinya dengan penuh kasih, menyanyikan lagu pengantar tidur dengan lembut, dan menggenggam tangannya saat ia ketakutan pada petir yang mengguntur. Namun, semua itu berubah setelah sang ayah angkat meninggal. Cinta itu lenyap, digantikan kebencian yang tak ia mengerti, dendam yang bahkan ia tak tahu asal-usulnya.

Gadis kecil itu dipukuli tanpa ampun jika melakukan kesalahan sekecil apa pun—terlambat mencuci piring, menumpahkan air, bahkan hanya karena napasnya terdengar terlalu keras. Ia tak diberi makan berhari-hari. Luka-luka mencabik tubuhnya, namun ia tetap bertahan, percaya bahwa itu adalah bentuk cinta, meskipun kasar. Ia ingin percaya… karena itu satu-satunya bentuk "kasih sayang" yang ia kenal.

Hari-harinya dipenuhi kerja keras, membantu orang lain di ladang hanya untuk mendapatkan sedikit uang. Kadang-kadang, ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, namun lebih sering ia merasa terasing dari dunia. Namun ada satu sosok yang berbeda. Seseorang yang masih melihatnya, meskipun dalam kesulitan.

"enn, kau tidak perlu bekerja keras seperti itu. Makanlah dulu, aku tahu ibumu tidak memberikanmu makanan yang layak. Anak seumuranmu seharusnya pergi ke sekolah, bukan bekerja di ladang seperti ini," ucap Bibi Violet dengan penuh keprihatinan, matanya yang lembut menatapnya penuh kasihan, seolah melihat sebuah nasib buruk yang tak seharusnya dialami seorang anak.

Vivienne, atau yang lebih sering dipanggil Enn, hanya tersenyum polos, matanya yang terlihat sedikit kosong, namun penuh tekad. Ia menggigit potongan makanan yang diberikan Bibi Violet, berusaha mengabaikan rasa lapar yang hampir tak tertahankan.

"Bibi Violet, aku bekerja ini bukan hanya untuk bertahan hidup, bersekolah hanya akan membuang-buang waktu. Lebih baik aku bekerja dan mendapatkan uang untuk makan," jawab Enn dengan suara pelan, namun tegas, sembari melanjutkan menyantap makanan yang ada di depannya.

Bibi Violet menggelengkan kepalanya, sebuah senyum penuh kesedihan menghiasi wajahnya. "Sudahlah, makan saja dulu. Aku akan pergi menanam tanaman di kebun," ucapnya dengan lembut, merasakan beban di hati Enn yang tak terungkapkan.

Enn hanya mengangguk, menerima nasihat itu dengan kebisuan yang lebih dalam dari sebelumnya. Matanya menatap piringnya, namun pikirannya melayang, terperangkap di dalam kenyataan yang tak bisa ia hindari.

Malam menjelang dengan angin dingin yang menusuk tulang, membelai rerumputan kering dan membuat jendela reyot berderit pelan. Langit muram, hanya dihiasi rembulan yang separuh tertutup awan gelap. Vivienne—atau yang biasa dipanggil Enn—baru saja pulang dari ladang dengan kaki lelah dan tangan menggenggam bungkusan kain berisi sisa makanan dari Bibi Violet.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara bentakan kasar dari kejauhan.

"Aku bosan dengan janji-janji kosongmu, Perempuan!"

Enn menajamkan pandangannya ke arah rumah. Di bawah cahaya remang lampu minyak yang menggantung di tiang kayu, ia melihat sosok ibunya—atau lebih tepatnya ibu angkat—dengan tubuh gemetar, sedang dipojokkan oleh seorang pria bertubuh besar berbalut mantel lusuh. Wajah pria itu merah padam, urat-urat di lehernya menegang.

"Utangmu makin menumpuk! Kau pikir aku ini badan amal?!"

Sebelum Enn bisa bereaksi, tangan besar pria itu mengayun, mendorong ibu angkatnya hingga tersungkur ke tanah dengan suara "duk!" yang memekakkan hati. Tubuh rapuh wanita itu terbanting ke tanah berbatu, rambutnya tergerai acak-acakan menutupi sebagian wajah.

"Ibu!" teriak Enn spontan, melepaskan bawaannya dan berlari secepat mungkin. Langkahnya menimbulkan gemeretak di atas kerikil. Tanpa pikir panjang, ia segera berlutut di samping ibu angkatnya, memapah tubuh kurus itu yang hanya mampu mengerang pelan.

"Ibu, bangun… kau tidak apa-apa?"

Wanita itu tak menjawab. Dengan susah payah, ia mengangkat wajahnya yang pucat dan berkata terbata-bata pada pria tadi, "T-Tuan… saya mohon… beri saya waktu… lusa. Hanya sampai lusa. Saya akan bayar semua hutang saya… demi Tuhan…"

Pria itu menatap dengan tatapan tajam bagai belati. Ia mendekat, lalu mencengkeram kerah bajunya sendiri seolah ingin menahan amarah yang hampir meledak.

"Baik," gumamnya akhirnya, suaranya dingin. "Lusa. Jika sampai lewat dari itu, jangan salahkan aku kalau kau kehilangan lebih dari sekadar rumah bobrok ini."

Matanya sempat melirik Enn sekilas—mata yang kelam dan penuh perhitungan. Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh, sepatu botnya menghentak tanah dengan berat.

Suasana kembali hening, hanya tersisa suara napas tersengal ibu angkatnya dan detak jantung Enn yang memburu. Gadis itu menggenggam erat tangan ibunya, yang terasa dingin dan bergetar.

Rumah reyot itu kembali sunyi. Setelah pria penagih utang pergi, ibu angkat Enn hanya duduk termenung di pojok ruangan. Tatapannya kosong menembus dinding kayu, dan sesekali ia menahan batuk yang dalam. Enn duduk tak jauh darinya, mengompres luka di pelipis sang ibu dengan kain basah seadanya.

"Ibu… aku bisa bekerja lebih banyak," gumam Enn dengan nada lembut. "Kalau aku pergi ke ladang lebih pagi, dan ambil kerja tambahan di kebun milik Pak Toma, mungkin kita bisa bayar sedikit demi sedikit…"

Ibu angkatnya hanya diam. Tatapannya jatuh ke lantai, ke arah bungkusan nasi yang tadi diberikan Bibi Violet.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, malam itu ibu angkatnya masuk kamar dan menutup pintu. Tak lama, terdengar suara pelan—percakapan samar di balik tembok, diselingi suara uang yang dihitung dan sesuatu yang ditandatangani. Tapi Enn terlalu lelah dan mengira itu hanya suara angin malam. Ia meringkuk di sudut ruangan, memeluk lututnya, dan tertidur dalam kelaparan seperti malam-malam sebelumnya.

 

Keesokan paginya…

Suara derap kaki kuda dan derit roda kayu membangunkan Enn dari tidurnya. Ia membuka mata perlahan, mengucek matanya, lalu mengintip dari balik jendela kecil.

Di depan rumah... berdiri sebuah kereta kuda hitam. Bersih, mengilap, dan asing—sangat kontras dengan rumah tua yang nyaris runtuh itu. Seorang pria berpakaian rapi turun dari kereta, membuka pintu dengan sikap sopan namun tegas. Di belakangnya, berdiri dua orang penjaga berpakaian serba hitam dengan wajah tanpa ekspresi.

"Ibu… siapa mereka?" tanya Enn lirih, jantungnya mulai berdebar. Tapi ibunya tak menjawab.

Perempuan itu berjalan pelan ke arah Enn dan menggenggam tangannya. Ada yang aneh dari caranya menatap gadis itu kali ini—bukan kemarahan, bukan kebencian. Tapi… rasa bersalah.

"Enn… kamu gadis yang kuat. Hidupmu akan lebih baik dari rumah ini," ucapnya pelan.

Sebelum Enn bisa bertanya apa maksudnya, dua tangan besar mencengkeram lengannya dari belakang. Ia meronta, bingung, dan panik.

"Apa ini?! Lepaskan aku!" teriaknya.

"Aku minta maaf… aku tak punya pilihan lain…" suara ibunya terdengar parau, hampir berbisik. "Mereka membayar semua utangku. Mereka akan memberimu rumah, makanan, dan masa depan."

"Tidak! Ibu—aku bukan barang dagangan!" air mata mulai membasahi pipi Enn, tubuhnya bergetar. Tapi para penjaga itu terlalu kuat. Mereka menyeretnya menuju kereta, membungkam suaranya dengan kain, lalu mendorongnya masuk ke dalam tanpa penjelasan apa pun.

Dari dalam kereta, Enn sempat melihat ibunya berdiri kaku, wajahnya tak menoleh sedikit pun. Hanya diam. Hanya membiarkan.

Dan dalam sekejap, kereta itu mulai melaju, meninggalkan desa kumuh itu bersama satu-satunya dunia yang pernah dikenalnya.

Udara di dalam gudang itu bau anyir dan lembap. Cahaya nyaris tak masuk, kecuali dari sela-sela papan kayu yang bolong. Di dalamnya, puluhan anak-anak duduk diam, sebagian menangis tertahan, sebagian hanya memeluk lutut, pasrah dalam sunyi yang menyayat.

Enn duduk menyandar pada tumpukan karung goni busuk. Di sampingnya, bocah laki-laki itu—berusia tak jauh darinya—membisu, tatapannya kosong menatap lantai.

Dia tidak pernah menyebutkan namanya. Tidak bicara, tidak meminta apa-apa. Tapi setiap kali Enn membagi jatah rotinya yang kering, bocah itu hanya mengangguk pelan, lalu memakannya dengan perlahan seakan sedang menghormati kebaikan terakhir di dunia ini.

"Kenapa kamu nggak pernah ambil jatah makananmu sendiri?" tanya Enn lirih suatu hari.

Anak laki-laki itu hanya menoleh sejenak. "Karena aku tahu… mereka tidak akan memberiku apa-apa," gumamnya.

Hari-hari di gudang itu adalah penderitaan yang sunyi. Anak-anak kadang diambil satu-satu, dibawa keluar oleh pria-pria berbaju gelap—dan tak pernah kembali lagi.

Enn mulai mengerti. Mereka bukan ditampung. Mereka dijual. Untuk apa—Enn tidak bisa membayangkan, tapi satu yang ia tahu, tubuh mereka diperlakukan seperti benda.

 

Malam itu...

Langit mendung sejak siang, dan malam turun lebih cepat dari biasanya. Tapi malam ini… tidak biasa.

Tiba-tiba, teriakan pecah dari luar gudang.

> “Api! Kebakaran! Cepat keluar!!”

Anak-anak terbangun, panik, tubuh-tubuh kurus mereka saling bertubrukan dalam gelap. Asap mulai masuk dari bawah pintu. Bau terbakar dan suara kayu patah menyebar. Jeritan mulai terdengar di luar—bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak.

Enn berdiri dengan gemetar. Tangannya meraba dinding mencari jalan keluar.

“Ayo! Kita harus keluar!” serunya. Ia menoleh ke bocah laki-laki itu yang masih duduk, wajahnya pucat tertutup bayang api yang memerah dari sela dinding.

Tapi bocah itu hanya menatap Enn, lalu menggeleng pelan.

> “Enn… sudahlah… Apa yang kamu harapkan dari dunia ini?”

"Apa maksudmu?! Kita harus hidup! Ibu… ibu ingin aku hidup, dia ingin aku punya masa depan!” isak Enn, suara tangisnya pecah, mengguncang bahunya sendiri. Ia tak peduli lagi pada luka di kakinya, pada darah di siku yang pecah saat ia tersungkur sebelumnya.

> “Mereka tidak peduli pada kita, Enn. Di mata mereka… kita cuma potongan daging. Barang yang dijual. Kalau bukan api yang membakar kita, mereka yang akan menghancurkan kita. Di luar sana—tidak ada yang menunggu.”

Tapi Enn menggeleng keras. “Aku ingin hidup! Aku tidak mau mati di sini! Hiks… Ibu… Ibu…”

Tangisnya kian membuncah. Anak laki-laki itu menarik tubuhnya ke dalam pelukan, erat, seakan ingin membungkusnya dari dunia yang kejam.

> “Tenang… pejamkan matamu, Enn. Berdoalah pada Tuhan… mungkin kehidupan kita selanjutnya akan lebih baik dari ini,” ucapnya dengan suara bergetar.

Api mulai menjilat sisi-sisi gudang. Asap tebal masuk menusuk hidung, membuat napas sesak. Anak-anak lain berteriak, beberapa mencoba memanjat dinding, lainnya jatuh tersungkur dengan tubuh terbakar.

Enn memejamkan matanya. Napasnya tersengal. Air matanya bercampur debu dan asap.

> “S-sa… sakit… panas…” gumamnya, tubuhnya menggigil saat api menyentuh kakinya. Ia ingin menjerit, tapi suara tertelan oleh batuk keras dan rintih perih.

Bocah laki-laki itu masih memeluknya, tubuhnya sendiri mulai terbakar, tapi ia tak melepaskan pelukannya.

> “Tenang, Enn… ini akan segera berakhir,” bisiknya lembut, walau tubuhnya sendiri sudah tak sanggup menahan nyeri.

Enn mencoba membuka mata untuk terakhir kalinya, dan dalam pandangan kabur, ia melihat sosok bocah itu—wajahnya hangus, tapi matanya masih menatapnya dengan tenang.

Dan saat api akhirnya menyelimuti mereka berdua, kesadaran Enn perlahan memudar—dibawa pergi dalam keheningan yang hangus dan gelap.

 

bab 2 - lahir kembali

Tubuhnya panas. Kulitnya seperti disayat api. Asap memenuhi ruang napasnya. Di sekelilingnya terdengar teriakan, rintihan, lalu... senyap.

Tapi pelukan bocah laki-laki itu tak goyah. Erat. Hangat. Seperti satu-satunya tempat yang masih menyimpan hidup.

"Enn…" suara anak itu lirih namun jelas, seakan ingin meninggalkan sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.

"Jika kau bertemu denganku di kehidupan selanjutnya… tolong, bertemanlah denganku."

Suara itu bergetar.

"Walaupun aku tidak mengenalmu… aku pasti akan membutuhkanmu."

Air mata Enn jatuh, bercampur dengan panas dan debu. Ia tak mampu menjawab. Tubuhnya terlalu lemah, dadanya sesak, dan dunia mulai kabur.

“Tenanglah... pejamkan matamu...” bisik bocah itu lagi, memeluknya lebih erat.

“Kita akan bertemu lagi… suatu saat nanti…”

Kemudian—gelap. Segalanya lenyap. Tak ada rasa. Tak ada suara. Tak ada api.

Hanya keheningan yang menelan segalanya.

Enn membuka mata dalam kehampaan putih keperakan. Tubuhnya ringan, seolah ia hanya berupa bayangan. Tak ada lantai, tak ada langit, hanya dia… dan keheningan.

Sebuah cahaya muncul dari kejauhan, membentuk siluet sosok wanita berjubah putih. Suaranya lembut, tapi penuh kuasa.

"Kau belum selesai, wahai jiwa kecil."

"Doamu terdengar. Air matamu membekas. Dan kata-kata terakhir seseorang menjagamu tetap utuh."

Enn menatap dengan bingung. “Apakah aku... mati?”

"Tubuh lamamu hancur, tapi jiwamu masih utuh."

"Kau akan diberi kesempatan. Kau akan dilahirkan kembali, sebagai harapan bagi keluarga yang menginginkanmu. Kau akan dicintai, dan dibutuhkan."

Perlahan cahaya tersebut mulai menghilang dari pandangan Enn, dan kesadaran Enn kembali menghilang secara perlahan.

Di tengah kabut kesadaran yang memudar, tubuh Enn terasa semakin ringan, seolah-olah jiwanya perlahan terlepas dari beban dunia yang membelenggunya.

Sakitnya mulai mereda, namun bukan karena rasa itu hilang... melainkan karena dirinya seperti tak lagi sepenuhnya berada di sana. Di antara batas antara hidup dan mati, suara dunia mulai menjauh. Hanya sisa-sisa suara tangisan, pekikan, dan retakan kayu terbakar yang terdengar samar… kemudian senyap.

Lalu, perlahan… datang suara-suara baru.

Bukan teriakan atau rintihan, melainkan percakapan lembut, seperti gemericik air di danau tenang. Hangat. Menenangkan. Asing… tapi entah mengapa terasa sangat dekat.

 “Bagaimana kabarmu hari ini, sayang?”

“Kau sehat, kan?”

“Ibu… bagaimana kabar adik di perutmu?”

Suara perempuan itu terdengar hangat seperti pelukan yang tak pernah ia dapatkan. Disusul suara pria yang terdengar dalam, teduh, namun penuh senyum.

 “Aku yakin dia mendengarkan kita.”

Suara-suara itu seperti nyanyian pengantar tidur. Tiap kata membawa kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Suara tawa kecil sang ibu. Nada khawatir sang ayah. Bahkan suara lain, yang terdengar seperti anak-anak...

 “Adikku harus cepat lahir, ya! Aku ingin bermain dengannya!”

Hati Enn… atau siapapun ia kini… seperti menghangat, meski tubuhnya sudah tak bisa bergerak.

'Apakah ini... untukku?' pikirnya.

Ada desir lembut di dalam dadanya. Bukan rasa takut. Bukan luka. Tapi perasaan… diterima. Diharapkan. Dicintai.

Air mata tak lagi terasa panas. Yang ada hanya kedamaian, dan bisikan terakhir dari masa lalunya.

"Enn... jika kau bertemu denganku di kehidupan selanjutnya, tolong bertemanlah denganku. Walau aku tak mengenalmu... aku pasti akan membutuhkanmu."

...----------------...

Di tengah dinginnya angin malam dan nyala lentera yang berayun pelan di langit-langit kamar persalinan, tangisan lirih terdengar dari tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang mewah. Seorang wanita bangsawan dengan wajah pucat berjuang menahan rasa sakit yang membelah tubuhnya. Beberapa pelayan berdiri di sekeliling ranjang dengan penuh kekhawatiran, sementara seorang bidan memeriksa dengan telaten.

“Sudah hampir keluar, Yang Mulia… bertahan sedikit lagi…”

Suara rintihan bercampur helaan napas berat memenuhi ruangan. Tiba-tiba, satu jeritan panjang pecah—

Dan kemudian...

Tangisan nyaring bayi perempuan mengoyak keheningan.

Sejenak, waktu terasa berhenti.

Sang ibu, yang telah menahan sakit berjam-jam, langsung meneteskan air mata saat mendengar suara itu. Napasnya bergetar. “A-aku... aku mendengarnya… anakku…”

Bidan dengan sigap menyambut bayi mungil itu, membersihkan tubuhnya yang masih lengket dan membungkusnya dengan selimut lembut dari kain sutra putih. Pelan-pelan, bayi itu diangkat, menunjukkan wajah mungil yang masih kemerahan dengan mata tertutup rapat dan mulut mungil yang masih menangis.

“Selamat… seorang bayi perempuan yang sehat dan kuat,” ucap bidan dengan senyum lega.

Pintu kamar terbuka cepat. Seorang pria dewasa dan tampan dengan rambut pirang dan mata tajam yang biasanya penuh wibawa, kini tampak panik dan gelisah.

“Bagaimana istri dan anakku?!” serunya.

Saat ia melihat bayinya—bayi kecil dengan tangan mungil yang menggenggam udara, kulitnya lembut seperti kelopak mawar pertama—langkahnya terhenti. Dadanya sesak oleh emosi yang membuncah.

Sang bidan menyerahkan bayi itu kepadanya.

“Putri Anda, Yang Mulia Duke.”

Tangannya yang besar menyentuh pelan pipi mungil anak itu. Bayi itu mengerang pelan, lalu merespons dengan menggerakkan jari-jarinya seolah meraih sosok yang hangat itu.

“putri ayah…” gumam sang ayah. "putri kecilku... Kau akhirnya datang ke dunia ini.”

Pelukan pria itu begitu hati-hati, seolah takut membuat retak sesuatu yang amat berharga. Dan ketika Enn merasakan sentuhan itu, seolah jiwa lamanya yang terluka mulai merasakan sesuatu yang asing…

Hangat.

Aman

Tidak menyakitkan.

Namun naluri lamanya masih terpatri kuat. Tubuh kecil itu sempat menegang, tangisnya kembali pecah. Tapi sang ayah tidak panik. Ia hanya memeluk lebih erat dan menundukkan wajahnya, membisik:

 “Tak apa. Ayah di sini… kau tidak sendirian lagi.

Dari sudut tempat tidur, sang ibu—meski masih lemah—tersenyum sambil mengulurkan tangan. "Selamat datang di dunia ini, sayangku. Ibu sangat menyayangimu…”

Dan di antara tangan-tangan lembut itu, Enn , membuka sedikit kelopak matanya.

Samar. Buram. Tapi ia tahu, ini bukan mimpi.

Suara itu terasa sangat familiar…

Lembut… hangat… seolah datang dari celah-celah cahaya yang menembus kegelapan panjang.

Itulah suara yang selama ini menghiasi ruang hampa tempat jiwanya berdiam. Suara itu yang mengisi kekosongan hatinya ketika dunia sebelumnya begitu dingin dan penuh luka.

Bukan suara yang menghardik, bukan suara yang memerintah, bukan pula suara yang menuntut. Tapi suara yang menerima, yang memeluk, yang membasuh luka-lukanya dengan kehangatan yang tak pernah ia temui sebelumnya.

"Sayangku... enn..."

"Terima kasih telah datang..."

"Ayah dan Ibu sangat menyayangimu..."

Ia tidak mengerti sepenuhnya makna kata-kata itu, tetapi jiwanya mengenal cinta yang terpancar dari suara-suara itu.

Tubuh kecilnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa asing yang begitu indah. Ia tidak terbiasa dicintai—tidak terbiasa dianggap berharga. Di kehidupan sebelumnya, keberadaannya tak lebih dari beban. Namun kini… kini, dunia menyambutnya dengan pelukan dan senyum, bukan jeruji dan teriakan.

Air mata kecil mengalir dari sudut matanya. Tubuh mungilnya perlahan mengendur dalam gendongan sang ayah yang penuh kasih. Di antara debar jantung pria itu, enn menemukan detak yang tenang, irama yang aman, dan kehidupan baru yang mulai tumbuh.

...****************...

Langit sore menyinari jendela besar kamar bayi itu. Cahaya lembut menerobos masuk, menyentuh lembut kulit pucat bayi mungil yang tengah tertidur dalam balutan selimut halus berwarna gading. Di samping ranjang bayi itu, seorang anak lelaki berdiri kaku dengan mata berbinar, seolah menahan napas agar tidak mengganggu makhluk mungil di hadapannya.

"Dia... kecil sekali," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.

Langkah-langkahnya perlahan mendekat. Ia masih muda—sekitar tujuh tahun—namun sorot matanya memancarkan ketegasan dan rasa ingin melindungi yang begitu kuat. Ia adalah kakak kandung enn. Sejak hari kelahiran adiknya, ia bersikeras untuk melihat bayi itu setiap hari.

Saat tubuh mungil itu menggeliat pelan, bola mata bening enn perlahan terbuka. Pandangannya masih buram, namun ia merasa… ada sesuatu yang berbeda. Bukan cahaya terang yang menusuk, bukan suara mengancam atau jeritan memekakkan. Tapi tatapan hangat. Lembut. Penuh rasa ingin tahu dan—anehnya—cinta.

"Hei, kamu sudah bangun?" Suara itu terdengar pelan namun mantap.

enn menegang. Ada jejak trauma yang mengendap dalam jiwanya. Ia meringis, matanya membulat, bibir mungilnya mulai bergetar seolah ingin menangis. Dalam pikirannya, suara dan tatapan itu bisa berarti ancaman. Bisa jadi orang ini akan menyakitinya. Hatinya—meski belum bisa berbicara—sudah tahu bagaimana rasa takut itu tumbuh.

Tapi sebelum ia sempat menangis… tangan kecil itu menyentuh tangannya.

Hangat. Tidak kasar. Tidak menggenggam dengan paksa.

"Jangan takut. Aku kakakmu," ucap bocah itu pelan, lalu duduk di sisi ranjang bayi sambil menatap lurus ke matanya. "Namaku Lionel. Tapi kamu boleh panggil aku apa saja yang kamu suka."

Suasana hening sejenak. enn menatap mata anak laki-laki itu—mata yang dipenuhi ketulusan. Tak ada tipu daya. Tak ada ancaman. Hanya harapan yang sederhana: menjadi kakak yang baik.

Lionel menunduk perlahan, mencium kening adiknya dengan lembut.

"Ayah bilang aku harus menjagamu baik-baik. Tapi aku nggak perlu disuruh. Soalnya… kamu sudah jadi orang paling penting buat aku sekarang."

enn tidak mengerti kata-kata itu sepenuhnya, tapi hatinya merasakannya. Untuk pertama kalinya sejak kelahirannya kembali… ia tidak takut. Ada seseorang yang akan menjaganya. Seseorang yang menyayanginya bukan karena ingin mengambil sesuatu darinya, tapi karena… dia hanya ingin dia bahagia.

Tangis yang sempat ingin pecah, sirna. Tubuh mungilnya menggeliat pelan, lalu jarinya yang kecil menyentuh jari kakaknya—mencoba percaya, walau masih takut.

Dan Lionel? Ia hanya tersenyum lebar. "Lihat! Dia pegang tanganku!"

Dari balik pintu, sang ayah dan ibu menyaksikan dengan mata berkaca-kaca.

Kehidupan baru enn… telah dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!