Namaku Zamir, remaja berusia 15 tahun yang beragama islam. Pagi ini, aku baru sampai ke pulau tempat kakekku tinggal dengan menaiki pesawat bersama ibu dan ayahku.
Aku membuka mulut, menguap, tadi harus bangun pagi sekali. Terasa sedikit hentakan saat pesawat menyentuh landasan untuk mendarat, cukup untuk membangunkanku yang tertidur.
"selamat datang di bandara Sikiman, Deminal. Mohon tetap duduk hingga lampu sabuk pengaman dipadamkan." suara dari awak kabin terdengar.
Saat pesawat terasa benar-benar berhenti, dan lampu sabuk pengaman dipadamkan. Semua orang berdiri mengambil tas dari kabin atas termasuk kedua orang tuaku.
Kami keluar dari pesawat. Pesawat ini menggunakan garbarata, jadi kami di antar langsung ke terminal. Kakiku masih lemas karena sudah kelamaan duduk tadi, jadi aku hanya bisa jalan perlahan, untungnya orang tuaku jalannya juga tidak terlalu cepat, jadi aku masih bisa menjejeri mereka.
Udara pagi terasa segar, berbeda dengan kota yang padat di tempatku sebelumnya. Setelah kedua orang tuaku mengurus beberapa hal lagi, kami keluar dari area kedatangan.
Terlihat seorang tua yang menunggu kami dengan kacamata berbentuk persegi. Rambut memutih dan pakaian kulit dengan warna dominan coklat serta ransel tersandang dipunggungnya, meski sudah tua badannya tetap terlihat gagah, itu kakek Bahram.
"aku senang kalian sampai dengan selamat." kakek Barham berkata, menyapa kami, orang tuaku balas menjawabnya.
"kamu Zamir kan? Sudah lama tidak bertemu, bahkan aku yakin kamu juga tidak terlalu mengingatku." kakek Bahram tertawa kecil.
"tidak juga kek, ibu dan ayah selalu menceritakan tentangmu juga." aku juga ikut tertawa, sambil sedikit menggerakkan tubuhku yang lemas.
"oh ya? Baguslah kalau begitu, jadi kamu sudah tisak terlalu asing denganku. Kalian pasti masih lelah karena perjalanan, ayo, kita kerumah kakek." kakek menawarkan setelah melihatku yang sepertinya masih mengantuk.
"itu ide bagus, kalau begitu kita ke rumah kakek pakai apa? Menumpang taksi?" tanya ayahku ke kakek.
"tidak ada taksi disini, tapi tenang saja, aku bawa mobilku untuk mengantar kalian." kakek berkata, lalu balik kanan menuju ke arah mobilnya di parkiran, kami mengikutinya.
Terlihat kakek mendatangi mobilnya, itu mobil off road. Dengan warna coklat masih terlihat bersih, sepertinya kakek rutin merawatnya.
"boleh aku duduk di kursi depan?" aku menawar ke orang tuaku, karena aku memang suka duduk di depan.
"jika kakekmu mengizinkan." ibu berkata.
"tentu saja boleh, ayo naik." kakek Barham berkata.
Aku langsung semangat masuk.
"aku bisa membantu menyetirnya jika kamu mau kek." ayah berkata kepada kakek dari luar mobil, aku biaa mendengar percakapan merek.
"tidak perlu, mobil ini sudah sedikit aku modifikasi, nanti kamu bisa jadi bingung, lagipula tubuhku masih gagah untuk menyetirnya." kakek berkata, ayah mengangguk, membiarkan kakek yang mengemudi.
Aku seketika langsung melirik bagian kemudi mobil, benar saja sepertinya ada beberapa tombol yang tidak ada di mobil biasanya.
Setelah ayah dan ibu memasukkan koper dan tas di bagasi mobil, mereka ikut masuk lewat pintu belakang mobil, mereka duduk di belakang. Kakek juga masuk duduk di kursi kemudi yang ada disebelahku.
tidak lama kemudian, mobil keluar dari area parkir di bandara. Ada layar di setir mobil, tepatnya di bagian tengah antara aku dan kakek menyala menampilkan jalur pulau Alean.
Aku kaget, baru kali ini aku lihat ada mobil off road yang punya teknologi begini, kakek tertawa melihat reaksiku.
"ini adalah hasil kakek mengotak-atik beberapa alat elektronik modern yang sudah tidak dipakai, sampai bisa menampilkan layar elektronik dengan peta begini." jelas kakek.
Tapi tetap saja sulit dipercaya teknologi yang seperti ini. Aku akhirnya memilih untuk mengamati peta di layar itu.
Di layarnya terlihat kalau area pulau Alean terbagi menjadi lima, barat, selatan, timur, utara, dan tengah. Aku menelan ludah, pulau kecil ini pengelompokkan wilayahnya lumayan banyak juga ternyata.
Di petanya kami sedang berada pada area Alean tengah menuju Alean barat tepat rumah kakek berada. Kota kecil yang mempunyai bandara kedatangan kami tadi adalah kota Deminal, sepertinya kota ini adalah ibu kota pulau karena kurasa ini yang paling maju dan sedikit padatnya.
Tempat yang kami tuju adalah desa Orotro, sekitar 40 km jaraknya dari kota Deminal.
Sepanjang perjalanan aku seperti tidak bisa berhenti menatap kemudi mobil. Tombol-tombolnya banyak sekali, entah untuk apa kakek memodifikasi mobilnya sendiri.
Tapi sepertinya, berdasarkan cerita ibu dan ayah, kakek itu cukup suka bertualang sejak dulu, jadi mungkin saja mobil ini dimodifikasi untuk mempermudah petualangannya.
Dan juga ibu dan ayah pernah berkata, kakek itu mantan pekerja di perusahaan teknologi dulunya, jadi jelas sekali lumayan ahli mengotak-atik mobil ini.
Lama-kelamaan pemandangan perlahan berubah, beberapa gedung padat di kota tadi sudah tidak ada. Karena sepertinya kami sudah masuk ke area transisi antara kota Deminal dan desa Orotro.
Kiri dan kanan kami sekarang hanya hutan lebat. Sesekali medannya menanjak dan menurun, tapi tidak banyak belokan. Jarang-jarang aku bisa melihat hutan lebat begini kalau di kota.
Aku sebenarnya juga baru beberapa bulan masuk SMA, tapi sekarang sudah pindah lagi. Untungnya aku sudah punya beberapa nomor ponsel teman-temanku saat di kota.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, terlihat pemukiman dan beberapa perumahan. Berdasarkan layar peta, inilah desa Orotro.
Meski sudah ada pemukiman, tetap masih ada banyak pohon, malahan sepertinya setiap rumah punya satu atau lebih pohon baik itu jadi pebatasan antara tetangga maupun jadi hiasan untuk halaman rumah.
Tidak lama kemudian, akhirnya kami sampai ke rumah kakek. Rumah kakek lumayan luas dan besar juga ternyata, masih dengan warna coklat kayu, tapi dalamnya terlihat cukup bagus.
Aku menolong orang tuaku mengemasi koper, sudah ada 2 kamar kosong yang disiapkan untuk kami.
Setelah itu, karena aku bosan aku memilih menonton tv tabung yang ada di ruang tamu. Ternyata siarannya masih siaran yang terbaru juga.
Ditengah aku menonton televisi juga kakek bilang kalau aku sudah di daftarkan di SMA dekat sini, aku mengangguk, hari ini minggu, berarti aku masuk sekolahnya besok, seragam sekolahku juga sudah disiapkan kakek.
Aku melihat sekilas seragamnya, rata-rata seragamnya tidak pakai warna mencolok, kecuali yang putih-biru muda untuk hari senin. Lagipula seragam putih memang bermanfaat untuk hari senin saat upacara karena warna putih yang paling tidak menyerap panas diantara warna lainnya.
Setelah itu karena bosan nonton tv, aku juga mendengarkan beberapa cerita petualangannya dari kakek semasa hidupnya. Ceritanya benar-benar susah ditebak, tapi itulah yang membuatnya seru. Kurasa aku jadi mulai tertarik juga menyelidiki sesuatu karena ceritanya.
Di keesokan paginya, aku bangun pagi untuk sholat subuh. Dan ketika aku membuka jendela, masih gelap. Udara dingin masuk ke dalam rumah sejenak, jadi aku kembali menutupnya langsung.
Aku hanya melihat-lihat ponselku sejenak, tidak ada yang menarik.
"kamu mau ikut kakek jalan-jalan?" kakek menawariku setelah melihatku bosan.
"bukannya hari masih gelap?" tanyaku.
"langitnya sudah sedikit biru, jadi kita tetap bisa melihat nanti walau tanpa senter." kakek menjawab pertanyaanku.
Aku akhirnya mengangguk, tidak ada kegiatan lain juga yang bisa kulakukan.
Saat membuka pintu, memang benar sekitar sudah mulai terlihat meski masih cukup gelap.
Aku ikut jalan-jalan dengan kakek, menghirup udara segar. Atau lebih tepatnya udara dingin, aku tidak terbiasa sama sekali, tapi sepertinya tidak terlalu masalah.
Kami keliling-keliling di perumahan sekitar kami. Sampai akhirnya saat kami hampir sampai di rumah kakek lagi, aku melihat sunrice yang cukup indah. Dengan cahaya oranye dan sedikit ungu di awan.
Aku sangat jarang melihat pemandangan begini, mungkin karena sebelumnya aku memang jarang keluar rumah saat masih benar-benar pagi.
Saat sudah kembali ke rumah, kakek ikut membantu ibu menyiapkan sarapan kami.
Aku di suruh mandi dulu, jadi langsung menurutinya.
Saat sedang makan, ibu, ayah, dan kakek kebanyakan membicarakan tentang kondisi kota tempat tinggalku dulu, dan juga kabar saudara lain yang tinggal disana.
Aku tidak banyak ikut campur pembicaraan, lebih memilih fokus ke menu makananku dulu.
Setelah itu, aku dan ayah menumpang ke mobil kakek. Aku untuk sekolah dan ayah untuk kerja. Kakek lagi yang menyetirnya.
Saat pergi sekolah, beberapa tempat di sekitar kami terlihat seperti berdebu. Mulanya aku kira itu asap, rupanya itu embun.
Tidak butuh waktu lama mobil kakek sudah sampai di gerbang depan sekolah, sekolahnya cukup dekat.
Aku menyalami kakek dan ayah sebelum turun dari mobil. Tidak lama kemudian mobil kakek sudah kembali melaju untuk mengantar ayah ke kantornya tempat dialih kerjakan ke sana.
Aku balik kanan menatap beberapa bangunan sekolah, banyak anak-anak lain juga sudah masuk ke area sekolah.
Aku keliling sebentar, atau lebih tepatnya tersesat sebentar di sekolah ini untuk mencari ruang gurunya.
Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya ke murid-murid lain yang ada disini. Dan ternyata kantornya ada di tempat yang cukup mudah ditemukan, kenapa pula tadi aku tidak menemukannya?
Aku berterimakasih ke murid yang memberi informasi itu. Lalu pergi ke ruang gurunya.
Setelah mendapat informasi dimana kelasku berada, aku menuju kelasnya. Aku masuk ke kelasnya, kelas 10-B.
Dan saat sampai, aku terdiam, aku tidak tau tempat dudukku dimana. Untungnya tidak lama kemudian wali kelasnya masuk.
Wali kelasnya perempuan yang juga sepertinya beragama islam karema pakai hijab. Beliau menyuruh murid-murid lain duduk di tempat masing-masing dulu.
Guru itu menyuruhku memperkenalkan diri. Aku mengangguk, memperkenalkan diriku sebisanya. Tidak terlalu panjang, karena aku juga lupa mempersiapkan kalimat untuk perkenalan dirinya.
Murid-murid tentunya saja tertawa mendengar kalimatku yang sederhana itu, kecuali beberapa murid yang masih sibuk dengan kegiatan sendiri.
Aku juga tidak terlalu masalah ditertawakan. Salahku juga tidak menyiapkannya sebelumnya. Wali kelas disebelahku itu menyuruh yang lain untuk diam dulu, dan akhirnya mereka juga menurutinya.
"oke Zamir, kamu bisa duduk di sebelah Naurah."
guru itu menunjuk kursi yang masih kosong disebelah perempuan islam juga karena pakai hijab.
Lokasinya ada di bagian tengah baris kedua terbelakang di sebelah kanan murid bernama Naurah itu. Aku mengangguk lalu berjalan untuk duduk ke situ.
Sepertinya sistem di sekolah ini mirip-mirip dengan sekolahku dulu, laki-laki dan perempuannya disuruh bersebelahan agar tidak ribut.
"oh ya, yang piket kelas hari ini udah piket belum?" wali kelas kami bertanya, memastikan murid-murid di kelasnya piket.
Beberapa murid menjawab iya, tapi ada juga yang sepertinya lupa jadi baru mengambil sapu yang ada di pojok kelasnya sekarang.
Setelah itu, tidak lama kemudian guru itu sudah keluar kelas lagi, kembali ke kantor.
"bro, boleh kenalan gak?" suara itu terdengar dari samping kanan belakangku.
Aku langsung menghadap ke arahnya lalu berdiri.
"boleh la, kenalin, namaku Zamir, kaya yang saat di depan kelas tadi." aku berkata.
"oke, kalau namaku Bhanu, salam kenal." ia mengulurkan tangan untuk bersalaman, aku menerima uluran tangannya dan bersalaman.
Jarang-jarang ada murid yang mau ajak kenalan langsung begini. Tapi untunglah, setidaknya sudah dapat teman di awal.
"maklumin aja ya, dia memang suka nekat kenalan ke orang baru, walau kadang juga terlalu ribut." perempuan yang tempat duduknya disebelah Bhanu berkata santai.
"Hei!" Bhanu menyeru perempuan itu karena sedikit kesal sebab perempuan itu sedikit menyindirnya di akhir kalimat.
"kenapa? Benar kan?" perempuan itu tertawa kecil.
"baiklah, mungkin sedikit benar." Bhanu akhirnya mengaku, aku juga ikut tertawa dengan mereka melihat tingkat mereka itu, setidaknya aku sudah dapat teman di awal.
Tidak lama kemudian, terdengar suara bel berbunyi enam kali.
"itu kode agar kita kumpul untuk upacara Zamir, yuk."
Aku mengangguk, mengambil topiku yang ada di ransel. Lalu ikut dengan Bhanu dan yang lainnya ke lapangan untuk melaksanakan upacara bendera.
Setelah 30 menit lebih, upacara akhirnya selesai. Murid-murid berjalan ke kelas masing-masing setelah kelelahan dengan berdiri dan terkena matahari pagi 30 menit lebih.
Aku dan murid sekelasku juga sama, termasuk Bhanu. Aku duduk di kursiku, meregangkan badan sedikit.
"oh ya, kamu udah punya jadwal pelajaran belum?" Naurah bertanya, tanpa menoleh, dia masih fokus ke gambarnya.
"belum." aku menjawabnya.
"ini, kalau kamu mau, catat aja dulu." Naurah mengeluarkan buku dari laci mejanya, lalu memberinya ke mejaku. Buku itu berisi jadwal pelajarannya.
"makasih ya." aku berkata, mengeluarkan buku coret-coretku, lalu menulis jadwalnya.
"iya." Naurah menjawab singkat, masih tetap fokus ke gambarnya, sepertinya dia memang hobi menggambar.
Setelah itu, sekolahku berlangsung dengan normal. Beberapa kali aku bertanya nama-nama guru yang mengajar ke Naurah agar aku kenal, Naurah selalu menjawabnya tanpa terlihat keberatan.
Saat istirahat juga aku menghabiskan waktu dengan Bhanu, Bhanu juga punya teman lain bernama Eron.
Kami bertiga membicarakan tentang hal-hal yang cukup acak, mulai dari bagaimana kondisi di kota, beberapa tempat di sekolah ini, kami juga sempat keliling sebentar di sekolah.
Sepulang sekolah, aku menunggu kakek menjemputku. Tidak butuh waktu lama mobil off road kakek sudah sampai di sekolah.
Saat aku masuk ke mobil, kakek menatapku dengan antusias.
"Zamir, kakek menemukan sesuatu yang sangat menarik."
Kakek belum mau mengatakan apa yang dia temukan dalam perjalanan kerumahnya. Tapi kakek selalu membicarakan betapa menariknya hal itu baginya dalam perjalanan.
Beberapa saat kemudian, kami sudah sampai. Kakek memarkirkan mobilnya di bagasi rumah.
"kamu ganti bajumu dulu Zamir, nanti baru kakek beri tau apa yang kakek temukan." kakek Barham berkata setelah kami turun dari mobil dan masuk ke rumah.
Aku mengangguk, masuk ke dalam kamarku. Melempar ranselku ke sebelah lemari, lalu mengganti pakaianku.
Tidak lama kemudian, aku selesai berganti pakaian lalu keluar dari kamar. Mendekati kakek yang berada di ruang tengah.
"duduklah Zamir, kamu mau melihatnya kan?" kakek berkata, ia sedang duduk di dekat lemari di ruang tengah ini.
Aku menuruti katanya, duduk di sebelahnya. Terlihat banyak catatan berserakan di dekat lemari itu, tepat di depan kakek. Sepertinya itu sisa petualangannya.
"lihatlah." kakek menyerahkan selembar catatan yang sudah tua, bahkan warna kertasnya sudah agak kekuningan.
Aku menerima catatan itu, untung saja sepertinya catatannya masih cukup kuat. Kukira sudah rapuh.
Di catatannya, terlihat gambar sebuah bangunan di posisi paling atas. Bangunannya punya bentuk yang tidak kukenali, sepertinya bukan rumah, perpustakaan, pasar, pusat perbelanjaan, atau semacamnya. Tapi sepertinya ini laboratorium.
Dandi bawahnya ada catatan dengan bahasa yang benar-benar tidak kukenali. Sepertinya bahasa kuno. Karena aku tidak tau bahasa modern yang alfabetnya seperti itu.
"bukankah seharusnya kakek sudah pernah menjelajahi tempat ini jika punya catatannya?" tanyaku penasaran.
"nah, itu dia. Kakek juga baru menyadari ada hal ini, mungkin dulunya kakek sempat lewatkan sebentar lalu lupa. Tapi karena itulah, kakek tertarik menjelajahinya, bagaimana menurutmu?"
kakek balas menanya.
"itu bagus, tapi... Bagaimana kita bisa mengetahui dimana laboratorium itu berada?" aku mengembalikan catatan itu ke kakek.
"tenang saja, kakek akan mencoba menerjemahkan bahasa di catatan ini dan mencari petunjuknya, apa kamu mau membantu?" kakek menawarkan.
Aku langsung mengangguk dengan semangat.
Dan ternyata, buku kakek yang bisa menerjemahkan bahasanya lupa kakek taruh dimana, jadi kami menghabiskan sepanjang sore untuk mencarinya.
Aku sempat mencari tentang bahasa itu di ponsel. Siapa tau ketemu, tapi ternyata tidak ada.
Lalu akhirnya, saat sudah hampir magrib, kami menemukannya. Pencarian buku ini hanya terjeda saat aku dan kakek sempat sholat ashar tadi.
Tapi ternyata, saat kami coba ke catatan itu, catatannya menggabungkan dua bahasa kuno. Aku yang tadi sempat senang karena buku terjemahannya ketemu langsung kembali lemas karena harus mencari lagi. Tapi kakek menyemangatiku.
Jadi kami sholat magrib dan makan malam sebagai jeda. Setelah itu ada telpon dari ayah agar minta dijemput, kakek akhirnya naik mobilnya untuk menjemput ayah. Aku menawarkan diri untuk ikut, dan ternyata diizinkan lagi dari kakek.
"kenapa kakek selalu mengizinkanku melakukan sesuatu?" aku akhirnya bertanya di sela-sela perjalanan malam yang cukup sunyi, tidak terlalu banyak orang lewat, tapi tetap ada sesekali.
"bagi kakek kamu bebas melakukan apapun selama tidak merugikan diri sendiri, orang lain, atau melanggar aturan agama sendiri." kakek berakata, aku mengangguk paham.
Dalam perjalanan kakek juga menceritakan sebagian sejarah pulau Alean. Dulunya di Alean terbagi menjadi dua kelompok yang benar-benar terpisah tanpa terlalu sering kontak.
Bahasa kedua kelompok itu berbeda. Jadi mungkin catatan tadi menggunakan gabungan kedua bahasa tersebut agar laboratorium itu sulit ditemukan.
Sampai akhirnya kedua kelompok itu baru saling kerja sama, saat tau ada kelompok asing yang mencoba menjajah pulau ini. Mulanya bisa bertahan dengan baik sampai pasukan asing itu mundur.
Tapi pada serangan musuh gelombang kedua, musuh menambah pasukan dan teknologi militer. Sehingga rakyat Alean kalah.
Sudah beberapa kali terjadi pemberontakan, tapi selalu gagal. Sampai akhirnya di negara ini, pihak asing sudah mulai kalah. Jadi militer negara ini juga mengirim pasukan dari luar pulau untuk bantu melawan penjajahannya sampai berhasil, sehingga pulau Alean menjadi wilayah negara ini sekarang.
Aku mengangguk-angguk paham. Sangking fokusnya aku baru sadar aku belum berkedip.
Tidak terasa kami sudah sampai di kantor tempat ayah bekerja. Ayah sudah menunggu kami di parkiran, ia tersenyum lelah setelah pekerjaannya akhirnya kami sudah datang.
Ayah masuk ke bagian kursi belakang mobil.
Dalam perjalanan pulang, kakek dan aku ganti-gantian berbicara dengan ayah. untungnya ayah tidak masalah, dan malahan lelahnya sedikit hilang karena aktif menjawab kami.
Sampai membahas pekerjaan ayah di bidang kelistrikan, aku mulai tidak mengerti pembicaraannya disini. Jadi kakek yang banyak menanggapinya.
Saat sudah sampai dirumah. Aku baru ingat ada pr, jadi aku mengerjakannya, kata kakek tidak apa dia mencari sendiri.
Aku menghabiskan waktu yang cukup lama juga menyelesaikan pr-nya. Alhasil saat selesai aku sudah langsung disuruh tidur saja dulu.
"tidak apa, kita masih bisa lanjut mencarinya besok subuh." kakek berkata.
"lagipula kakek juga sudah mau tidur." kakek membereskan catatan dan buku lama yang sedikit berserakan karena mencari buku penerjemah itu. Jadi aku hanya menolong kakek membereskannya sebentar.
Aku sempat heran bagaimana lemari itu ternyata bisa menyimpan catatan yang cukup banyak.
Setelah itu aku kembali masuk ke kamarku. Karena tau besok akan membantu kakek mencari buku itu, aku memutuskan mempersiapkan tasku dulu untuk sekolah besok. Agar tidak perlu menyiapkannya di pagi hari.
Lalu aku tidur setelah selesai menyiapkan tasku.
Di esok harinya, setelah aku, kakek, ibu, dan ayah sholat subuh, ibu mencuci pakaian. Ayah membaca koran pagi, seaangkan aku dan kakek mencoba mencari buku yang bisa menerjemahkan catatan itu lagi.
Lima belas menit berlalu, akhirnya bukunya ketemu. Kakek dan aku bahagia, langsung mencoba menerjemahkan catatan tentang laboratorium itu.
"Laboratorium Aether, laboratorium yang berdiri tahun 1826. Laboratorium ini terbentuk dari kerja sama dari ilmuwan Alean Selatan dan Alean Utara. Karena itu kami menyimpan beberapa catatan dengan gabungan bahasa kedua kelompok itu agar laboratorium ini sulit dideteksi.
Laboratorium ini juga meneliti teori konspirasi yang populer pada zaman ini, sehingga dirahasiakan dari publik karena berpotensi menyebabkan kerusuhan atau kepanikan.
Karena teori konspirasi ini sebenarnya cukup ekstrim untuk diteliti, tapi ilmuwan pulau Alean sudah sangat tertarik, sehingga kami mencoba menelitinya walau dengan teknologi yang masih cukup terbatas jika dibandingkan dengan ilmuwan lain di zaman ini, kami tidak akan menyerah mencoba menelitinya."
Sepertinya kakek sedikit kecewa karena belum ada petunjuk mengenai lokasi laboratoriumnya, tapi setidaknya kami punya informasi lain.
Saat mencoba membalik catatannya untuk melihat siapa tau ada yang menarik. Kakek malah menemukan catatan lain dengan teks panjang.
"Catatan apa ini?" aku bertanya lagi, siapa tau kakek mengetahuinya.
"entahlah, catatannya menggunakan bahasa lain lagi."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!