Pada tahun 1999.
Seorang lelaki paruh baya terlihat berlari ke dalam hutan, kaki pria itu terluka sehingga membuatnya susah untuk berlari. Sesekali ia melihat ke belakang, untuk memastikan tidak ada yang mengejar. Pria itu melanjutkan berlari, sesekali berhenti untuk mengeluarkan peluru dari betisnya. Darah segar bercucuran, tetapi sesaat saja langsung berhenti. Luka di beberapa kakinya pun langsung pulih kembali.
Namun, tetap saja peluru tersebut mengandung obat bius dosis tinggi yang membuat kepalanya pusing. Pria itu tetap memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan, hingga sampailah di suatu gua tempatnya bersemayam selama ini. Dia disambut oleh sang istri.
Wanita itu memperhatikan suaminya yang datang dengan tergesa-gesa, dia bernama lengkap Dinda Celine. Ia melihat pria di hadapannya dari atas ke bawah, lalu bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Sayang? Kenapa terluka seperti ini?"
Bukannya menjawab pertanyaan, Andi Imanuel malah sibuk mengecek keadaan sekitar dengan menggerakkan bola matanya ke kanan dan kiri. Dia takut orang-orang yang mengejarnya tadi mengetahui keberadaannya selama ini. Andi segera menyuruh istri dan anaknya untuk pergi dari gua tersebut.
"Kita tidak punya banyak waktu, kamu harus pergi dari sini! Bawa kedua anak kita, biar aku yang menghalangi mereka!"
Mata Dinda berkaca-kaca, dia tidak sanggup jika harus meninggalkan suaminya. “Kenapa kita tidak pergi bersama? Aku tidak ingin meninggalkanmu."
Andi menghampirinya, memeluk serta memberikan sebuah kecupan di bibir agar wanita itu tenang.
"Aku berjanji akan segera menyusulmu, pergilah sekarang!"
Dengan berat hati, Dinda segera melaksanakan perintah suaminya untuk pergi membawa serta kedua anak mereka.
***
Di tempat lain.
Sekelompok orang sedang berjalan sambil membawa obor. Mereka memilah pepohonan yang menjadi penghalang, kemudian berpencar ke penjuru hutan.
Sebelum berpencar, pimpinan mereka yang memakai pakaian seperti bangsawan–Bondan Davidson–memberikan perintah. "Cepat! Cari pria itu sampai dapat dan periksa semua gua. Jangan sampai ada yang terlewat!"
Pasukan dikerahkan kembali, menyusuri seluruh area hutan. Sampai suatu ketika, mereka mendatangi sebuah gua yang belum pernah dijamah manusia. Mereka mempunyai firasat, sosok yang dicari selama ini ada di sana. Beberapa tanaman lebat pun dibabat habis agar mereka semua bisa masuk ke gua tersebut.
Andi Imanuel, pria itu diburu karena dia merupakan seorang vampir. Lebih jelasnya, dia adalah satu-satunya keturunan vampir yang masih tersisa di dunia.
Manusia selalu memburu vampir untuk diambil darahnya. Mereka beranggapan bahwa darah vampir bisa membuat awet muda dan hidup kekal. Hal itulah yang membuat Andi dan keluarganya selalu diburu.
Setelah anak dan istrinya pergi, Andi cukup lega. Dia pasrah jika memang hidupnya akan berakhir di tangan manusia. Terlebih, kini derap langkah mereka terdengar semakin jelas.
"Tangkap vampir itu!" teriak sekelompok orang yang sudah mengepung gua, tempat Andi bersembunyi.
Mereka kesulitan menangkap Andi karena dia bergerak sangat cepat dan kebal terhadap pukulan. Namun, tanpa vampir itu sadari, ada seorang pria yang menembakkan peluru ke arahnya dari celah gua.
Suara tembakan pun terdengar sangat kencang, menghentikan langkah Dinda beserta anaknya yang tengah melarikan diri. Wanita itu berhenti sejenak.
“Ibu, suara apa itu?” Sammy kecil bertanya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Mungkin itu orang yang sedang berburu kelinci,” jawabnya beralasan.
Dinda menyuruh Sammy untuk menggendong adiknya sebentar saja, dia ingin melihat keadaan di dalam gua dari jauh. Dengan cekatan Dinda merangkak naik ke atas pohon yang tinggi, dari sana dia bisa menyaksikan bahwa suaminya sedang dihajar habis-habisan oleh beberapa orang.
Tergerak hatinya untuk kembali menyelamatkan sang suami, tetapi dia teringat akan ucapan Andi.
Niatnya pun diurungkan, Dinda harus bisa menyelamatkan kedua anaknya terlebih dahulu.
Dinda kembali menemui sang anak lalu bergegas meninggalkan hutan. Mereka melanjutkan perjalanan hingga memasuki kota. Pikiran Dinda mulai bimbang, dia bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin dia membawa Sindy yang masih bayi itu untuk ikut berperang. Dinda berdiri, menatap sebuah rumah berukuran besar dan megah di hadapannya. "Sammy, tunggu Ibu sebentar di sini."
Sammy yang belum mengerti apa-apa hanya bisa mengangguk, menuruti semua perkataan ibunya.
Dinda menengok ke kanan dan kiri, lalu melompati pagar rumah berlantai dua di depannya. Dia menaruh anak keduanya yang masih bayi di lantai rumah tersebut. Bayi itu berjenis kelamin perempuan.
"Maafkan Ibu karena harus melakukan ini. Namun, suatu hari nanti, Ibu akan kembali untuk menjemputmu." Air mata jatuh terurai, Dinda masih tak tega melepaskan anak keduanya. Namun, dia yakin anaknya akan baik-baik saja jika diasuh oleh manusia.
Dinda tak kuasa menahan tangis ketika meletakkan anaknya di sana. Ia pun mengecup kening bayinya sebagai tanda perpisahan. Sebenarnya, Dinda merasa berat meninggalkan bayi mungilnya. Namun, itu sudah menjadi pilihan. Dinda berharap, anaknya kelak tidak akan ditangkap pemburu vampir karena dia diasuh oleh manusia. Ia pun kembali menemui Sammy.
"Ayo Sammy, ikut Ibu."
Mereka berlari dengan sangat kencang, sedangkan Sammy masih menatap rumah berlantai dua itu di mana sang adik ditinggalkan. Mereka mempunyai kekuatan khusus karena mereka adalah vampir. Sekejap saja mereka sudah sampai di tempat tujuan.
Dinda menatap sebuah tempat tinggal yang terbuat dari kayu, kebetulan rumah itu terletak di tengah hutan. Jarang sekali ada orang yang mampir ke sana. Dinda segera membunyikan bel dan membuat penghuni rumah tersebut terjaga.
Seorang pria bergegas bangun dari tidurnya, kemudian memakai kacamata.
“Siapa malam-malam begini bertamu?” monolognya sembari berjalan keluar rumah.
Dinda masih menunggu di luar rumah dengan wajah yang pucat pasi.
“Ini rumah siapa, Bu?” tanya Sammy pada sang induk kemang.
Tatapan Dinda tertuju kepada yang bertanya, ia berlutut, lalu mengusap puncak kepala Sammy. “Ini rumah Paman Sofyan, teman ayah dan ibu. Untuk sementara waktu, Sammy harus tinggal di sini."
Pintu pun dibuka, pria bernama lengkap Sofyan Abraham sudah berdiri di sana sembari menatap Dinda dengan banyak pertanyaan.
"Ada apa Dinda? Apa yang terjadi?" tanya Sofyan bingung melihat mereka seperti tergesa-gesa.
"Nanti aku ceritakan semuanya, Yan. Tolong jaga Sammy untukku, aku harus menyelamatkan Andi," pinta Dinda seraya memberikan tangan Sammy padanya.
"Baik, cepatlah kembali. Ayo Sammy, ikut Paman.” Dia menarik tangan anak kecil tadi.
Sammy menepis lengan Sofyan. Ia menangis, lalu memeluk Dinda. "Ibu ...! Jangan tinggalkan Sammy."
"Sammy, dengarkan ibu. Kamu harus mendengarkan semua ucapan Pamanmu. Ibu akan segera kembali, Nak. Ibu menyayangimu," ujar Dinda seraya mengecup kening anaknya, kemudian berlalu pergi.
***
Di tempat lain, penghuni rumah terbangun dari tidurnya karena mendengar tangisan bayi.
"Pa, dengar tidak? Ada suara bayi menangis, Pa," ujar wanita bernama Lucy Isabel seraya membangunkan pria yang sedang tertidur lelap di sampingnya.
"Mama ngaco, ya. Ini tengah malam, mana mungkin ada suara bayi menangis. Sudah, tidur lagi."
"Ayolah, Pa. Cepat lihat ....”
Dirga Ainsley–suami Lucy–akhirnya mengalah. Dia tidak bisa menolak jika istrinya itu sudah memaksa. Mereka pun keluar kamar untuk mencari sumber suara. Mula-mula, Lucy mengajak Dirga untuk pergi ke luar rumah.
Lucy terkejut mendapati bayi yang hanya berbalut kain merah di teras rumah mereka. "Bayi siapa ini, Pa?"
"Entahlah, Ma. Mungkin seseorang meninggalkannya," ucap Dirga tak acuh.
"Pa, kita bawa masuk, ya? Kasihan, dia pasti kedinginan di luar."
"Ma, kita nggak tau itu bayi siapa."
Lucy tidak mendengarkan ucapan suaminya. Ia menggendong bayi tersebut dan membawanya masuk ke dalam rumah. "Aku yakin, ini jawaban dari doa kita selama ini, Pa."
Dirga mengalah. Dia tidak bisa menolak keinginan Lucy. Ditambah, keduanya sudah menikah hampir sepuluh tahun dan belum dikaruniai anak. Makanya Lucy begitu senang ketika menemukan bayi di depan rumahnya.
Bersambung.
Sekelompok orang yang memburu vampir, berhasil membawa Andi. Dia tidak sadarkan diri setelah ditembak peluru bius.
Di tengah-tengah perjalanan mereka, Dinda menghadang. Ibu dua anak itu mengeluarkan taring, dia ingin menggigit orang-orang yang telah melukai suaminya tersebut.
Dinda bertarung dengan mereka demi menyelamatkan Andi. Namun, Dinda bukanlah vampir seutuhnya. Kekuatan yang ia punya terbatas.
Waktu yang berjalan cukup lama membuat Andi kembali mendapatkan kesadarannya. Samar-samar, dia melihat Dinda yang sedang dihajar. Tak terima dengan apa yang dilihat, Andi mencoba melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya.
Andi kesal karena tali tersebut sangat kuat mengikat. Namun, melihat istrinya semakin tersiksa, dengan sekuat tenaga ia kembali berusaha. Akhirnya, Andi bebas. Dia pun segera membantu Dinda yang sudah terluka parah.
"Cepat pergi dari sini! Mereka tidak akan bisa membunuhku, tapi mereka bisa melukaimu. Cepat lari!" paksa Andi seraya mendorong tubuh wanita yang dicintainya agar menjauh.
"Tapi –"
Belum sempat Dinda melanjutkan perkataannya, sebuah peluru tertancap di tangannya. Wanita itu merintih kesakitan.
Andi mencoba mengeluarkan peluru itu dan melemparkannya ke sembarang arah. Pria itu segera menyuruh Dinda untuk meninggalkan tempat tersebut. Dinda pun menghindar ketepian, tapi beberapa orang berusaha mengejarnya. Lalu Andi menghalangi mereka agar tidak melukai istrinya. Wanita itu segera melompati pagar dan menghilang ke arah hutan.
"Sialan! Kejar wanita itu, jangan sampai lolos!" perintah pria berbaju bangsawan yang tak lain adalah Bondan.
Sebagian dari mereka mengejar Dinda dan sebagian lagi meringkus Andi yang terkapar tak berdaya di lantai, tubuh pria itu melemah karena obat bius yang sudah bereaksi.
Bondan kembali bersama para pengawalnya, kemudian pria itu melempar tubuh Andi ke lantai. Seorang pria yang tadinya duduk di sana ikut terkejut melihat perlakuan Bondan.
"Bondan, apa yang kamu lakukan? Aku menyuruhmu membawa pria ini baik-baik, tapi kenapa kamu malah menyiksanya seperti ini? Lepaskan dia!" kata Bambang Cedric kepada temannya itu.
"Kamu ini, selalu saja ikut campur!” bantah Bondan seraya menyuntikkan sebuah cairan ke tubuh Bambang.
"Ini apa Bondan? Lepaskan aku! Kenapa kamu –" ucapan Bambang terhenti karena racun itu bereaksi dengan cepat.
Bambang sudah kehabisan napas dan langsung tewas seketika. Bondan tertawa puas melihat temannya itu merenggang nyawa.
"Bunuh semua orang yang terlibat hari ini! Urus mayat dia juga!" perintah Bondan pada para pengawalnya.
"Siap, Tuan."
***
Orang-orang yang mengejar Dinda kewalahan karena wanita itu bisa berlari dengan cepat, lalu akhirnya mereka kembali ke markas milik Bondan. Kini, semua orang sedang berkumpul di sebuah lapangan.
"Eh, Nang. Aku kencing dulu, kebelet, nih! Kamu mau ikut enggak?" tanya seorang pria pada saudaranya yang duduk di samping.
"Enggak, ah! Udah sana pergi aja."
Pria itu pergi sendiri untuk buang air kecil pada sebatang pohon yang cukup besar.
Pengawal Bondan datang bersama yang lainnya. Pria berbaju hitam itu tampak membawa beberapa arak dan juga makanan.
"Karena kalian sudah bekerja keras, ini imbalan kalian. Bersenang-senanglah," ucap pria itu seraya membagikan air dan uang kepada para pria yang duduk di lantai.
"Hore ...! Kita kaya!" sorak mereka semua merasa senang.
Saking senangnya, mereka makan dan minum tanpa menaruh curiga sama sekali. Tidak lama kemudian, racun yang dituangkan ke minuman tadi telah menyebar ke dalam tubuh. Mereka terlihat kejang-kejang dan mengeluarkan busa dari mulut.
Arif yang baru saja kembali dari buang air kecil melihat kejadian itu. Ia bersembunyi di balik pohon, tak berani mendekat. Pria itu menahan teriakan seolah tak percaya bahwa semua saudara dan teman-temannya telah mati dalam waktu sekejap.
"Tidak ada yang terlewat bukan?" tanya Bondan.
"Tidak ada Tuan," sahut pengawal itu.
"Bagus, buat mereka semua seperti tergigit oleh vampir, lalu besok akan kutunjukkan mayat mereka kepada dunia," ujar Bondan seraya tertawa puas.
Dinda berlari sekencang-kencangnya, ia tidak ingin anak buah Bondan menangkapnya. Tangan wanita itu terluka parah, sesekali ia meringis saat berlari. Ia pun akhirnya sampai di depan rumah Sofyan.
"Dinda ...!" teriak Sofyan terkejut melihat keadaan teman kuliahnya itu. Ia memang sudah menunggunya sedari tadi.
Dinda jatuh, tidak sadarkan diri. Sofyan yang menyaksikan itu langsung membawa wanita tersebut ke laboratorium miliknya. Sofyan merupakan seorang Profesor, dia adalah teman Andi dan Dinda.
Sofyan mengecek keadaan Dinda yang terluka parah. Dia melihat bekas peluru di tangan wanita tersebut. Sebenarnya, seorang vampir bisa menyembuhkan lukanya sendiri dalam beberapa detik. Namun, dikarenakan Dinda adalah setengah manusia, jadi dia tidak mempunyai kekuatan itu. Sofyan terpaksa membekukan Dinda dalam sebuah kotak berdinding es. Dengan begitu, tubuh Dinda akan tetap bernyawa dan tidak menua.
Keesokan harinya, terjadi keributan besar di sebuah wilayah. Istri dari pria yang bernama Bambang berserta anaknya tidak menyangka kalau suaminya akan meninggal secara mengenaskan. Arya Addison, anak dari pria yang sudah meninggal itu menangis karena sang ayah tidak bangun saat tangan kecilnya menggoyang-goyangkan tubuh pria yang terbaring di atas papan. Saat itu, ia masih kecil dan tidak tau apa-apa. Ia hanya mengingat bahwa ayahnya mati karena bekas gigitan vampir di leher.
Sejak saat itu, Jennifer Freya–ibu dari Arya–memutuskan untuk menikah dengan Bondan agar anaknya bisa dirawat bersama-sama. Bondan puas karena dengan kematian Bambang, ia akhirnya mendapatkan segalanya. Jabatan, kekuasaan dan juga wanita yang dicintainya sejak lama.
***
Sofyan sengaja tidak mengatakan kepada Sammy tentang keadaan ibunya karena dia masih terlalu kecil pada saat itu.
Sammy takut pada sinar matahari seperti vampir pada umumnya. Sofyan harus mengambil sampel darah anak kecil itu dan menelitinya. Ia berharap bisa membuat obat untuk Sammy. Akhirnya, Sofyan menciptakan obat yang harus bocah itu minum setiap hari agar ia tidak terbakar ketika terpapar sinar matahari.
Suatu malam di meja makan. Sofyan mempunyai anak perempuan yang seumuran dengan Sammy. Sarah Belinda namanya. Gadis itu hanya hidup bersama sang ayah karena ibunya sudah meninggal ketika melahirkannya.
Sammy tampak tidak berselera untuk makan. Ia hanya mengaduk-aduk nasi di atas piring. Pikirannya jauh menerawang, memikirkan adiknya, ibunya dan juga ayahnya. Entah ke mana perginya mereka semua.
"Sammy, ayo makan. Sudah beberapa hari kamu tidak makan," tutur Sofyan seraya menyumpit beberapa lauk untuk anak kecil tersebut.
Anak lelaki yang usianya belum genap enam tahun itu menangis. Ia menatap pamannya dan berkata, "Aku mau ketemu ibu sama adikku, Paman. Ibu di mana?”
"Mungkin, ibu kamu sedang bersama ibuku sekarang," celetuk Sarah sembari mengunyah makanan.
Sammy tidak terima mendengar itu, ia pergi ke luar rumah sambil berteriak. "Ibuku belum mati!"
"Sam, mau pergi ke mana kamu?" tanya Sofyan. Dia menghela napas melihat kelakuan anak lelaki itu. Memang persis seperti ayahnya yang keras kepala. Makin dikejar, Sammy malah makin pergi menjauh. Untuk itu Sofyan memutuskan untuk menunggunya di rumah saja. Dia yakin bahwa anak lelaki itu membutuhkan waktu untuk sendiri.
Bersambung.
Hari berganti hari, bulan berganti tahun. Ketika Sammy mulai dewasa. Sofyan baru bisa mempertemukan pria itu dengan ibunya yang selama ini dia cari. Sofyan menceritakan kenapa ibunya harus dibekukan, dan Sammy mengerti alasannya. Untuk itu dia tidak marah, tetapi malah berterima kasih karena sang paman sudah menjaga ibunya dengan baik selama ini.
"Paman, apa hanya darah ayahku yang bisa membangkitkan ibu lagi?" tanya Sammy seraya menatap sang ibu yang terbaring di dalam kotak pendingin.
"Ada alternatif lain, darahmu dan darah adikmu. Tapi ... kita tidak tau di mana adikmu berada saat ini," sahut Sofyan.
Saat itu, Sammy masih terlalu kecil. Dia tidak bisa mengingat apa pun tentang di mana ibunya menaruh sang adik dulu.
"Aku akan mencoba mencari adikku, tapi entah aku harus mulai dari mana," keluh pria itu yang kini sudah dewasa dan berwajah tampan.
"Kamu bisa menjadi Profesor dan mengajar di sebuah universitas. Aku yakin, suatu saat nanti, adikmu pasti akan menampakkan diri,” usul Sofyan.
"Tapi Paman, apa aku bisa mengenalinya?"
"Kalian mempunyai tanda lahir yang sama di pundak, dan juga ketika adikmu berumur dua puluh tahun dia akan mulai berubah seperti vampir. Makanya, kamu harus menunggu sampai saat itu tiba.”
"Baik, Paman,” sahut Sammy merasa lega karena memiliki harapan kembali.
***
Di tempat lain. Di dalam sebuah rumah mewah, tampak dua orang anak gadis sedang bermain boneka. Satu di antaranya tiba-tiba menangis.
Seorang wanita dengan raut wajah yang kasar membentak. "Hani?! Kenapa kamu selalu membuat Adikmu menangis, ha!"
"Tapi Ma, dia merampas mainanku," bantah gadis kecil yang biasa dipanggil Hani itu.
"Apa kamu tidak puas bermain terus, sana belajar!" usirnya.
"Iya Ma," ucap Hani lirih seraya beranjak ke kamarnya.
"Duh, Sayang. Cup-cup, jangan nangis ya, Mama di sini," ujar wanita itu pada anaknya yang lain.
"Ma? Mama kenapa bicara kasar sama Hani?" tanya suaminya yang tidak terima ketika melihat kejadian yang berlangsung tadi.
"Lihat ini, Pa! Dia selalu membuat Hana menangis. Kenapa Papa tidak kembalikan dia ke panti asuhan saja, sih? Lagi pula, sekarang kita sudah memiliki Hana.”
"Ma, jaga omongan Mama! Hani itu juga anak kita, kalau bukan karena dia, Hana tidak akan lahir ke dunia ini. Ingat itu, Ma!" bentak suaminya seraya pergi ke kamar Hani.
Hani menangis di ranjang. Gadis kecil itu tahu bahwa ia adalah anak panti asuhan. Namun, dirinya masih terlalu kecil untuk keluar dan mencari orang tua kandungnya.
"Sayang, jangan dimasukin ke hati ucapan mamamu tadi, ya. Dia memang sering seperti itu," ujar Dirga, kepala keluarga di rumah besar tersebut.
Hani beranjak dari tidurnya dan memeluk Dirga. Ia bertanya, "Pa, apa benar Hani bukan anak Papa dan Mama?"
“Hani, dengar perkataan papa. Walaupun kamu bukan anak kandung kami berdua, Papa sama Mama sayang banget sama kamu. Jadi, Hani nggak boleh sedih, ya.” Dirga berkata seperti itu sambil mengelus rambut Hani.
Hani pun tersenyum dan berkata, “Iya, Pa. Makasih.”
Kalau bukan karena Dirga mungkin Hani sudah lama ingin kabur dari rumah tersebut. Namun, niatnya terus tertahan karena sang ayah sangat menyayanginya. Dia tak ingin membuat pria separuh baya itu khawatir tentang hidupnya.
***
Pada tahun 2021
Sammy tumbuh menjadi lelaki yang tampan. Ia pun menyabet gelar profesor di usianya yang masih muda. Sedangkan Hani, tumbuh menjadi wanita yang cantik jelita. Namun, Hana tidak menyukai penampilannya dan selalu merasa iri. Hana pun menyuruh wanita itu menyembunyikan kecantikannya. Jadi, Hani selalu memakai kacamata ketika keluar rumah. Walau begitu, ia tumbuh menjadi wanita yang baik.
***
Hari pertama di kampus. Hana dan teman-temannya selalu mem-bully Hani. Mereka menyuruh wanita itu membawa banyak barang. Hani tidak bisa berbuat apa-apa. Wanita berambut panjang itu begitu patuh pada Hana dan keluarganya karena sudah merawatnya sedari kecil.
"Kamu bisa jalan cepet nggak, sih! Kita bisa terlambat masuk kelas, nih!" bentak Hana padanya.
"Idih. Anak ini, udah jelek, lelet lagi. Dasar!" kata Febi–teman Hana–ikut mengatainya.
Mereka bertiga meninggalkan Hani yang berjalan sempoyongan karena kesulitan membawa banyak barang yang cukup berat. Gadis itu tidak fokus sampai-sampai ia menabrak seseorang, yang ternyata itu adalah Sammy.
"Apa kamu baik-baik saja?" Sammy bertanya sambil membantu Hani untuk merapikan tas yang berjatuhan.
"Iya, aku tidak apa-apa. Maaf, aku tidak sengaja menabrak Anda.”
Saat Hani dan Sammy mengambil barang-barang yang berjatuhan. Tiba-tiba saja Hani dan teman-temannya kembali dan membentak wanita itu lagi.
"Achhhh! Tasku yang mahal jadi kotor, ‘kan! Yang benar dong, bawanya!”
"Iya, nih! Punya mata enggak sih, kamu ini?”
Sammy merasa bahwa mereka sudah keterlaluan. Pria itu berdiri dan menatap ketiganya. Mereka terperanjat melihat wajah Sammy yang begitu tampan.
"Wah ...! Gantengnya.”
"Apa kamu Malaikat?" seru Tari.
Bukannya senang dipuji, Sammy dengan tegas menyindir mereka. “Kedua tangan kalian masih lengkap. Kenapa kalian menyuruh wanita ini untuk membawa barang-barang kalian?!”
Mendengar nada bicara Sammy yang tidak mengenakkan hati. Hana membalasnya dengan berkata, "Siapa Anda? Beraninya ikut campur urusan kita.”
Belum sempat Sammy membalas perkataan mereka, Hani segera melerai. “Sudah-sudah. Sebentar lagi kelas akan dimulai. Kita semua tidak mau telat, ‘kan? Ayo, kita masuk.” Hani tidak ingin masalahnya menjadi runyam.
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, sesuai tujuan masing-masing. Sammy berjalan cepat, kemudian dari belakang disusul oleh Sarah.
"Siapa itu Sam?" tanya wanita berambut ikal tersebut.
"Biasa, anak remaja jaman sekarang, sukanya menindas yang lemah.”
“Eh, gitu. Kirain kamu lagi godain mahasiswi baru,” celetuk Sarah.
“Mereka bukan tipeku!”
“Aku tahu, tipe kamu pasti nenek-nenek 'kan. Upps!”
“Apaan, sih. Nggak lucu.” Sammy berjalan meninggalkannya.
Mendengar itu, Sarah meruncingkan bibirnya dan ikut berjalan di belakang Sammy.
***
Semua mahasiswa-mahasiswi baru sudah berkumpul di sebuah aula. Kini, seorang pria paruh baya sedang memberi sambutan.
"Selamat datang di Universitas kami yang sangat bergengsi ini, Bapak sebagai kepala Dosen di sini ingin menyambut kalian. Semoga kalian bisa belajar dengan giat di universitas ini dan menjadi orang yang sukses."
Setelah pria itu selesai berbicara, suara tepuk tangan terdengar memenuhi aula.
"Ok tenang-tenang, kalian bisa lihat di depan sini, mereka semua adalah para Dosen yang akan membimbing kalian di setiap jurusannya. Jika ada apa-apa, kalian bisa bertanya atau menghubungi mereka langsung, mengerti?”
"Mengerti, Pak," sahut mereka semua.
"Wah! Keren, ternyata pria yang kita temui tadi seorang Dosen," ujar Tari menunjuk ke arah Sammy.
Hana dan teman-temannya terus saja membicarakan Sammy. Lain dengan Hani yang tetap tenang walau sama terkejutnya seperti mereka.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!