NovelToon NovelToon

Wanted:VS

Episode 1:Kembalinya Sang Pahlawan

...Dunia Sudah damai tapi Masih di hantui bayang² Organisasi jahat The Hand of Devil Yang tampaknya masih memberikan bekas trauma pada masyarakat di seluruh benua Eropa HIA (Harzenia intelligence Association) sebuah organisasi yang di bentuk oleh Pemerintah Harzenia yang was² dengan ancaman Hand of Devil pun mengutus agen²nya untuk melawan kejahatan yang merajalela namun Hal itu sudah bukan Lagi ancaman, Karna Perang Sudah Berakhir Dan Kekaisaran juga Sudah Jatuh....

...Sudah Lama Sejak Perang besar Di seluruh daratan Eropa dan Sebagian Dunia, Yang masih memberikan Trauma yang mendalam kepada Sebagian Penduduk Bumi Yang Terdampak Perang Besar....

...2 Tahun Sudah berlalu sejak Kekaisaran Jatuh Dan Wilayah jajahan Harzenia Dan negara-negara Besar lainnya Kembali ke pangkuan ibu dan ayah Pertiwi Masing-masing Negara,Walaupun kembali beberapa Wilayah Berhasil merdeka dari Pemerintahan Kolonial Disisi lain Kekacauan melanda Republik Harzenia dan Eropa Pasca Perang besar Pajak atas jalur perdagangan ke Negara-negara Kecil Meningkat, Dampak dari Perang melawan Kekaisaran menyebabkan perselisihan besar antara Federasi Afrika Utara Dan Republik Harzenia....

...Dengan harapan menyelesaikan masalah,Kongres Republik Harzenia mengirim dua God's Knight, pelindung perdamaian dan keadilan, untuk Berdiplomasi menyelesaikan konflik tersebut....

...Namun, Federasi Afrika utara yang serakah,dipimpin oleh para pemimpin misterius,telah memblokade Jalur perdagangan Suez,dan tanpa sepengetahuan siapa pun,ancaman yang jauh lebih gelap sedang tumbuh di bayang-bayang…...

Agen sekaligus God's Knight:Victor•Enus (V•ENUS).

Agen sekaligus God's Knight:Sania•Aturn (S•ATURN).

Suatu Hari yang cerah Di Afrika, Langit gurun Sahara menggantung suram. Di tengah panas yang menyengat, dua sosok berpakaian dinas intelijen berjalan cepat melewati koridor baja Gedung Hitam Federasi Afrika Utara (FAU), di wilayah dekat Terusan Suez. Mereka adalah Victor•Enus dan Sania•Aturn, agen andalan dari HIA dan Seorang God's Knight.

"Gue benci tempat panas," gerutu Sania sambil mengibaskan Map data dari tangan.

"Kamu bilang itu di Islandia juga waktu kita kejar pembelot Separatis di tengah badai salju," balas Victor sambil tetap menatap layar datanya.

Sania mendengus. "Aku benci tempat ekstrem, oke?"

"hahaha kau benci segalanya Sania"

"Ya termasuk Bekerja dengan mu" Ucap Sania

"Hei cuma kita anggota God's Knight yang tersisa ok jadi mau gk mau lo Sama gua" Jawab Victor

Misi mereka kali ini: menyelesaikan sengketa diplomatik antara FAU dan Blok Eropa soal Masalah blokade jalur Terusan Suez. FAU memberlakukan blokade atas kapal-kapal Eropa di jalur itu karena Pajak pelayaran yang mahal. Dunia internasional menahan napas. HIA mengutus dua agen terlatih untuk Mendiskusikan dan menyelesaikan secara Damai.

Di ruang rapat Gedung Hitam FAU, mereka bertemu Jenderal Omar Khazim, pemimpin militer garis keras FAU.

"Kalian dari Harzenia?" tanyanya, dengan nada mencurigakan.

Victor melangkah maju. "Kami diplomat dari Harzenia kami bisa menyelesaikan masalah ini... dengan tenang, atau tidak tenang. Terserah Anda."

Sania melirik Victor. "Itu kalimat ancaman atau undangan damai?"

"Well tentu saja damai kita di suruh berunding bukan Bertarung"

Jenderal Omar tertawa kecil. "Kalian punya nyali. Tapi blokade tetap berlaku. Kami punya bukti spionase dari kapal-kapal Eropa. Mereka pakai drone siluman kelas Phantom untuk menanamkan alat sadap di pos pantau kami."

Sania mengangkat alis. "Kalau kami bisa buktikan bahwa itu operasi pihak ketiga yang menyamar sebagai Mediterania, apa Anda bersedia buka jalur negosiasi?"

Jenderal Omar berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Kalau bisa. Tapi waktu kalian 48 jam. Kalau tidak, kami akan terus melanjutkan blokade kapal hingga Negara-negara Eropa Kehilangan Jalur Sutra Perdagangan dunia alhasil memaksa kapal-kapal dagang mereka memutari Afrika untuk bisa sampai ke Eropa"

"Kami akan buktikan kurang dari 24 Jam"

"hahaha coba saja"

"Turun tanganmu! Jangan bergerak!" teriak seorang tentara FAU sambil mengacungkan senjata api.

Victor dan Sania langsung berdiri, perlahan mengangkat tangan. Mereka dikepung oleh lima tentara bersenjata lengkap.

"Apa-apaan ini?!" tanya Sania.

Dari balik kerumunan muncul seorang pria berpakaian sipil dengan lencana intelijen FAU. Wajahnya serius.

"Kalian pikir bisa keluar begitu saja setelah mengetahui Rencana kami? Kalian menemukan terlalu banyak."

Victor menatap tajam. "Jadi ini semua... jebakan? Blokade ini sejak awal memang ingin dijadikan alasan untuk konflik, bukan?"

Pria itu tersenyum tipis. "Kalian pintar. Sayang sekali."

Sania menatap Victor. "Vic...oy..Rambut merah ada ide?"

"Cuma satu. Tapi kita harus lari cepat."

Sebelum pria itu sempat memberi aba-aba, Sania menjatuhkan dirinya ke lantai dan menendang lutut salah satu tentara. Victor langsung menyambar kursi dan melemparkannya ke lampu atap, membuat percikan listrik menyilaukan.

Ledakan kecil terdengar. Kaca pecah. Suasana jadi kacau.

"LARI!" teriak Victor.

Mereka meloncat ke sisi atap yang lebih rendah dan menggelinding ke jalanan sempit di bawah. Tembakan terdengar di belakang mereka. Tugas mereka belum selesai. Tapi sekarang, mereka tahu siapa musuh yang sebenarnya—dan mereka tidak akan pulang sebelum mengungkap semuanya.

"Cuy Bener firasat gua kita harusnya membawa alat berubah kita" Ucap Victor

"Lo dongo Ajg dah tau kita misi serius Masih aja ngeyel bawa alat transformasi kita" Jawab Sania

"Hei ku kira misi diplomasi ini akan berjalan mulus" Ucap Victor

"Jan pikirkan itu dulu penting kita kabur dulu" Teriak Sania

Victor dan Sania berlari melintasi pasar malam Alexandria. Mereka menabrak penjual buah, membuat semangka berjatuhan seperti bola bowling. Seorang anak kecil menyodorkan balon gas, dan entah bagaimana Victor tersandung tali dan terseret oleh lima balon raksasa.

"Lepasin balon itu!" jerit Sania sambil melompat melewati keranjang kurma.

"Aku nyangkut, oke! Ini bukan gaya heroik yang aku bayangkan!"

Salah satu tentara tergelincir karena kulit pisang (secara harfiah), dan kepalanya nyangkut di kandang ayam.

"GUE JADI SUPERMAN!" teriak Victor, masih terseret oleh balon sebelum akhirnya meledak di tiang lampu.

"Superman Tolol" teriak Sania

Sania menarik Victor bangun dan mereka berdua melompat ke atas truk berisi karung tepung.

"Gas!" perintah Sania ke sopir truk yang bingung. Pria itu hanya mengangguk dan menginjak pedal gas.

Truk itu melaju meninggalkan kejaran, meninggalkan awan tepung putih tebal seperti ninja kabur dari tempat latihan.

"Kita harus keluar dari Alexandria malam ini juga," ujar Victor dengan wajah penuh tepung.

"Iya, tapi kamu duluan mandi. Kamu kelihatan kayak donat gula jalanan hahaha Donat Strawberry."

"Lo donat Rasa Matcha" Ucap Victor

Sania Pun melempar kan segenggam Tepung ke arah Victor di susul Victor Yang ikut melempar kan Tepung ke wajah Sania Mereka tertawa, meski napas masih tersengal. Dunia belum aman. Tapi untuk sementara, mereka berhasil lolos.

"hahaha tidak Buruk juga Rekan ku" Ucap Sania

"kau juga Rekan" jawab Victor

Dan di tengah kekacauan, Victor tahu satu hal pasti—dia akan terus mengikuti Sania ke mana pun, bahkan jika itu berarti jadi donat tepung untuk kedua kalinya.

Momen itu hampir saja berubah menjadi momen-momen romantis Sejak Berhianat nya Pluto dan Kematian 2 anggota God's Knight Sania merasa tak punya keluarga lagi Yang dia miliki hanya kawan-kawan nya yang ia anggap seperti saudara, Hubungan Victor dan Sania semakin dekat Mereka di tugaskan bersama Semenjak Nari dan Jennah menikah.

"Victor..Kau anggap aku ini apa.." Tanya Sania

"Hah kau ini kenapa Jelas kau ku anggap Rekan dan kawan Seperjuangan" Jawab Victor

Tak lama Sopir truk Tepung ini menyadari keberadaan Victor dan Sania dan merusak momen itu.

"Hei Barang-barang ku APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SANA!!" teriak Sopir Itu

Victor dan Sania Pun Panik

"WADUH KITA KETAHUAN" Teriak Victor

"APA yang kau pikirkan Dongo ayo pergi" Ucap Sania

Mereka pun melompat dari truk itu Dan berlari ninggalin tempat itu Victor Yang Lelah Lari larian Pun memanggil FrankSiatra seorang Pilot Kepercayaan Victor Sejak Perang 100 hari melawan Kekaisaran:

"huh Tampaknya Tugas diplomasi gagal kita harus Segera kembali Ke Vichy untuk melaporkan hal tersebut karna di luar Tanggung jawab kita sebaiknya masalah ini di serahkan Ke Senat"

"Bagus Sekarang kita pulang Pake apa"

"Tenang aku akan panggil seseorang"

Tak lama Victor memanggil seseorang malalui alat komunikasi di jam tangan miliknya

"Frank Halo apa kau bisa dengar aku?"

"Jelas sekali Bro aku berhasil mendengar mu" Ucap frank

"Hei kau bisa jemput kami akan ku kirim koordinat nya pada mu"

Victor pun mengirim koordinat lokasinya berada sekarang

"Hmmm Malas" ucap Frank

"Lah kok" ucap Victor

"ya males aja" ucap Frank

"pls lah bro bantu" ucap Victor

"Males cuy harus jalan sejauh 4 meter ke lokasimu" ucap Frank

"huh" jawab Victor

"liat aja belakang mu"

Setelah Victor menoleh ternyata kawannya sedari tadi berada di belakang nya tempat nya di sebuah toko kecil sambil Meminum minuman nya

"bjir lo di situ ternyata" ucap Victor

"yup" jawab Frank

Setelah perbincangan yang singkat akhirnya Frank sepakat untuk membawa mereka pulang ke Harzenia, di dalam Pesawat Jet T milik Frank Victor dan Sania berbincang-bincang Soal Liburannya Besok

"Hari ini melelahkan Aku benci bekerja seperti ini terus Kita seperti alat bagi pemerintahan untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan" Ucap Victor

"aku juga tahu itu oke" Ucap Sania

"Huh untungnya aku dapat jatah libur untuk pergi mudik" ucap Victor

"Aku tahu itu Vic Karna agensi menyuruh ku untuk ikut bersama mu!" Ucap Sania

"Yap Padahal aku ingin beberapa hari tanpa dirimu eh Agensi malah menyuruh kita Pergi bersama Jujur bosan gua njir Kemana-mana sama elu terus" jawab Victor

"Huh Sama Vic... Males liat Rambut merah mu"

tak lama Frank memotong pembicaraan mereka:"Aku tidak ingin menggangu tapi kita sebentar lagi memasuki jalur hyperspace"

"Ok Frank" ucap Victor

"Baiklah kita mulai" Ucap Frank

Mereka pun melesat dengan kecepatan yang Sangat cepat hampir menyamai kecepatan cahaya Dengan sekejap Mereka pun sampai di kota Vichy,Harzenia.

Lokasi: Gedung Senat Harzenia, Kota Vichy, Langit siang tampak kelabu di atas kubah perak Gedung Senat Harzenia. Di dalam, ruangan oval besar penuh sesak oleh perwakilan dari berbagai negara. Bendera Harzenia, Uni Eropa, dan Federasi Afrika Utara terpasang berdampingan. Di tengah ruang duduk Victor dan Sania, mewakili HIA.

Pengeras suara memanggil,

“Majelis akan mendengar laporan dari perwakilan Harzenia mengenai insiden diplomatik di Terusan Suez.”

Victor berdiri terlebih dahulu. Dengan jas diplomatik berwarna biru tua dan wajah serius, ia melangkah ke podium.

“Yang terhormat para senator dan delegasi,” ucap Victor. “Saya datang bukan untuk menuding, melainkan memperjelas.”

Sania duduk di belakang, menyilangkan tangan dan menghela napas. “Gaya pidatonya lagi-lagi kayak orator dari abad ke-18,tu orang Sok sokan bijak” gumamnya.

Victor melanjutkan,

“Kami menyusup ke wilayah blokade FAU dengan izin terbatas, untuk menyelidiki klaim spionase oleh kapal-kapal Uni Eropa. Tapi temuan kami justru membuka skenario lebih gelap: keterlibatan pihak ketiga—Atau pihak misterius yang mendalangi Sengketa ini—yang memanipulasi kedua belah pihak.”

"Dan dugaan ini berdasar dari Temuan kami, ada kami temukan file yang mengatakan kalau Blokade ini berniat untuk melemahkan Ekonomi dan Kekuatan Uni Eropa"

Delegasi Uni Eropa saling bertukar pandang.

“Dan Anda bisa membuktikan itu?” tanya seorang perwakilan Eropa berkacamata bundar.

Sania berdiri, berjalan ke sisi Victor.

“Kami membawa rekaman, laporan digital, dan saksi lokal. Tapi... sebelum data, izinkan saya bertanya satu hal.”

Ruangan hening.

“Kita sudah berkali-kali menjadi pion dalam konflik proksi. Hari ini di Suez, besok bisa saja memicu operasi militer Berapa lama lagi kita membiarkan konflik palsu ini membentuk sejarah yang salah?”

Beberapa senator mulai bertepuk tangan pelan.

Victor menyisip, “Federasi Afrika Utara telah memulai restrukturisasi dalam tubuh militernya setelah insiden tersebut. Kami ingin resolusi damai, bukan drama politik. Karena setiap perang yang dicegah… adalah kemenangan.”

Ketukan palu Ketua Senat mengakhiri sesi.

Setelah sesi selesai, Sania dan Victor duduk di bangku luar aula, meminum teh.

“Hebat juga pidato kamu,” ucap Sania, “Walau agak berlebihan bagian ‘setiap perang yang dicegah itu kemenangan’.”

Victor menyeringai. “Kamu aja tadi pakai gaya retoris ala drama politik.”

“Kita cocok ya kalau bikin teater diplomasi,” kata Sania sambil tersenyum kecil.

Victor menatap langit sore Harzenia. “Yah, setidaknya hari ini kita menang... tanpa menembakkan satu peluru pun.”

Ruangan itu sunyi, hanya suara pendingin udara yang berdengung. Di meja bundar kayu ebon hitam, empat delegasi Harzenia duduk berhadapan dengan tiga perwakilan Kekaisaran Imperial.

Victor duduk tegak, Di sebelahnya, Sania bersandar malas, menatap langit-langit dengan ekspresi skeptis. Di hadapan mereka duduk Lord Arvent Vallos, penasihat tertinggi urusan luar negeri Imperial, yang mengenakan mantel panjang bersulam benang emas.

“Sebagai perwakilan resmi Imperial,” ucap Arvent, “kami menilai tindakan Harzenia terlalu agresif dalam menyelidiki konflik Terusan Suez, tanpa koordinasi penuh dengan sekutu. Kalian melanggar protokol.”

Victor menatapnya tajam. “Kami tidak pernah melanggar protokol. Kalian hanya tidak suka ketika kami menemukan sesuatu yang tidak sesuai rencana kalian.”

Ruangan mendadak hening.

Arvent menyeringai. “Rencana? Apa Anda menuduh Kekaisaran Imperial menyabotase stabilitas regional?”

Sania menyelutuk sambil menyeruput kopi, “Kalau bukan sabotase, mungkin... ‘rekayasa terarah’?”

Salah satu delegasi Imperial menepuk meja. “Kami telah menanggung dampak ekonomi karena Harzenia merilis dokumen investigasi ke publik! Dan kamu juga terdampak langsung akibat blokade mana mungkin kami terlibat”

Victor menyandarkan punggung. “Dokumen itu menyelamatkan banyak negara dari krisis besar. Termasuk Imperial, kalau kalian mau jujur.”

Arvent berdiri pelan. “Tuan Victor, saya harap hubungan kita tetap dalam jalur diplomasi. Jangan lupa siapa yang menyuplai sistem pertahanan udara ke Harzenia selama tiga dekade terakhir.”

Victor tersenyum tipis. “Dan jangan lupa siapa yang menyelamatkan kapal induk kalian di Laut Siberia dari serangan Abyss dua tahun lalu dan ingat siapa orang yang menyelamatkan dunia dari abyss 2 tahun yang lalu dan dari mana negaranya!?.”

Ketegangan naik.

Tiba-tiba, Sania mengangkat tangan. “Aku tahu kalian ini suka saling gertak, tapi bisakah kita balik ke poin utama? Soal pengelolaan wilayah netral pasca krisis Suez.”

Delegasi hening Arvent menghela napas, lalu duduk kembali. “Baik. Imperial bersedia mundur dari penempatan logistik di sisi barat Suez. Tapi sebagai gantinya, kami meminta Harzenia menangguhkan pembangunan stasiun radar di Laut Merah selama enam bulan ke depan.”

Victor dan Sania bertukar pandang.

“Setuju,” ucap Victor, “asal Imperial membuka semua jalur komunikasi interintelijen dengan aliansi Vichy dan kami ingin Harzenia dan Imperial bisa menjalani kerja sama dengan baik.”

Arvent terdiam. Ia tahu itu permintaan besar. Tapi juga tahu Harzenia akan tetap jalan, dengan atau tanpa izin mereka.

Akhirnya ia mengangguk. “Kesepakatan tercapai Vichy dan Berlin mencapai kesepakatan yang mutlak.”

Sania berdiri dan merapikan jasnya. “Akhirnya... politik tanpa ledakan.”

Di luar gedung, wartawan sudah menunggu.

Victor dan Sania melangkah keluar, disambut sorot kamera dan pertanyaan tajam.

“Pak Victor! Apakah Imperial dan Harzenia kembali berseteru?”

Victor menatap lurus ke kamera.

“Tidak. Kami hanya berdiskusi dengan suara lebih keras dari biasanya. kami tidak berniat menyulut konflik atau semacamnya karna kami selalu berpegang pada moto kami '1000 kawan terlalu sedikit dan 1 musuh terlalu banyak' Harzenia ingin menciptakan perdamaian bukan peperangan.”

Sania menyusul dengan senyum nakal,

“Dan tenang saja… belum ada yang saling menampar.”

setelah wawancara itu Mereka pun pulang ke apartemen mereka untuk beristirahat sejak Perang melawan abyss mereka sudah tinggal bersama karna keterbatasan ekonomi semenjak perang.

Pintu apartemen terbuka perlahan. Sania menjatuhkan jaketnya ke sofa tanpa melihat ke belakang. Victor masuk menyusul, melepas sepatu dengan ekspresi seperti habis menyelamatkan dunia—lagi.

“Gue bener-bener muak sama politikus Imperial,” gumam Victor sambil membanting tubuh ke kursi. “Gaya ngomongnya kayak baca puisi, padahal ngancem.”

Sania membuka lemari es dan mengambil dua botol teh dingin. “Kamu juga sih, tiap diskusi selalu melempar ‘jasa masa lalu’. Kamu pikir itu kartu sakti? dengar ya kita emang berjasa saat perang dulu tapi bukannya berlebihan kalau kau terus memakainya dalam debat?!.”

Victor menerima botol dari Sania. “Setidaknya berhasil, kan?”

“Kalau nggak ada aku, tadi kamu udah lempar dokumen ke muka Arvent,” Sania mengomel sambil melepas heels-nya dan duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang.

Suasana hening sebentar. Hanya suara jam digital dan hembusan AC.

Victor memandang Sania. Rambutnya kusut, raut wajah lelah, tapi tetap Sania. Sama seperti pertama kali mereka sekamar karena terdampak Perang melawan Kekaisaran abyss—hanya saja, sekarang sudah jadi kebiasaan karna sudah sering sekamar.

“Boleh nanya satu hal nggak?” tanya Victor pelan.

“Boleh asal bukan soal kenapa kamu nggak dikasih selimut semalam.”

“Bukan. Tapi... kamu betah nggak tinggal bareng gue gini?”

Sania menoleh, ekspresinya datar. “Hah?”

Victor garuk kepala. “Maksudnya... kita satu apartemen, satu kamar, satu kasur. Gue Islam, kamu Ateis. Dunia kita beda. Tapi tiap malam gue bangun, dan lo di sebelah gue, tidur kayak bayi, gue jadi mikir... ‘apa ini salah? secara agama gua emang salah tapi bagaimana lagi Karna keterbatasan ekonomi kita harus sekamar dan se apartemen’”

Sania mendesah panjang, lalu meneguk tehnya.

“Vic, kalau itu salah... berarti kita udah salah sejak lima misi lalu. Tapi kita tetap hidup, tetap bangun bareng, dan tetap... saling ngeledek tiap pagi.”

Victor tertawa kecil. “Itu romantis ya? Atau tragis?”

“Romantis tragis. Genre kesukaan kita.”

Ia naik ke ranjang, duduk di tepinya sambil melepas rambutnya yang diikat.

Victor ikut duduk di sampingnya.

“Aku nggak akan maksa kamu soal agama. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak punya keyakinan.”

Sania mengangguk. “Dan aku juga nggak bakal pura-pura percaya. Tapi... aku percaya sama kamu. Itu udah cukup, kan?”

Mereka saling diam sebentar. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Hanya sunyi yang hangat dan mengerti.

Sania mematikan lampu.

Victor sudah rebahan lebih dulu, sementara Sania masih duduk menatap langit-langit tak lama Victor mengajak Sania berbicara untuk Curhat perasaan nya.

"Hei Sania Jujur" Ucap Victor

"ada apa Kalau lo mau modus gua gedik palak kau" ucap Sania

"enggak cuma Rindu ama Kawan-kawan kita, para anggota God's Knight Bendi Melissa Nari dan Jennah." Ucap Victor

"kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu" ucap Sania

"well sebenarnya aku rindu dengan Jennah jujur sebelum Jennah menikah dengan Nari aku sempat Nyimpan perasaan ke dia" Ucap Victor

"Lo bisa jatuh cinta rupanya" ucap Sania

"jelas lah Gua kan juga laki-laki, laki-laki juga bisa jatuh cinta cuma ya mau bagaimana lagi gua telat ungkapin perasaan ke dia Jennah pun dah nikah" Ucap Victor

"huh Gitu ternyata 'Mr Loverman'." ucap Sania

"Jujur ya Vic.... aku juga punya perasaan ke Pluto sebelum ia berhianat" ucap Sania

"njir masih mending gua cintanya kandas ama orang lain lah elu Cintanya ke binatang" Ucap Victor

"Ya ya ya" ucap Sania

walaupun Sering berbeda pendapat ternyata mereka Sama di 1 hal sama-sama jomblo ngenes,Tak lama Sania Memper-tanyai Victor sesuatu yang membuat nya terkejut.

“Vic,” gumamnya.

“Hmm?”

“Kalau suatu saat kamu... nikah sama aku. Kamu nggak takut?”

Victor terkejut mendengar pertanyaan itu karna tiba-tiba saja Sania menanyakan hal seperti itu kepada nya Victor tertawa pelan. “Takut. Tapi lebih takut kalau suatu hari kamu nggak ada.”

"Lagi pula kita cuma Rekan gk lebih" ucap Victor

"Aku cuma bercanda ok aku mau nikah sama kamu hmpp" Jawab Sania dengan tersipu malu

"Ahhaha iya deh Rekan ku Si rambut Lumut" Ucap Victor ke Sania yang sedang bete

Sania menoleh, melihat wajah Victor yang hanya diterangi cahaya jam digital. Ia tersenyum kecil, lalu membaringkan diri. Perlahan ia geser sedikit... mendekat.

“Kalau kamu ganggu gue malam ini, kamu tidur di sofa,” bisiknya.

Victor tertawa. “Aye, kapten.”

Mereka pun berbaring di kasur Yang gk Kecil dan gk sempit banget itu Sambil Memegang selimut Victor kembali Berkata:

"hum Sania Makasih ya" Ucap Victor

"Untuk?" Ucap Sania

"karna udah nemenin aku dan membantu ku membayar sewa apartemen ini..." ucap Victor

"Ye" jawab sania

Lampu padam. Dunia tenang. Dua agen terbaik Harzenia—berisik di rapat, diam di hati dan malam itu berlalu dengan tenang dan damai.

Keesokan hari yang cerah di musim panas tahun 2036, Victor terbangun pukul 3 pagi karena suara dengkuran Sania yang sangat keras, ditambah jebakan kaki otomatis di kamar yang terus aktif, membuatnya tidak bisa tidur Sania tampaknya Bermimpi tentang mantannya.

“Woi, apa-apaan ini, Sania?!” seru Victor.

Betapa terkejutnya Victor saat sadar Sania sudah berada di atas tubuhnya.

“Sania tampaknya sedang mengigau...” gumam Victor.

Tanpa aba-aba, Sania mencium Victor sambil bergumam, “Pluto... akhirnya kau kembali... muach... *mpph.”

Tiba-tiba Sania terbangun dan menjerit, “Dasar cabul!!!”

Dengan setengah sadar dan bingung, Victor mencoba menjelaskan, “Aku gak bermaksud... itu juga bukan salahku!”

Tapi Sania malah mencekiknya lalu memukulnya bertubi-tubi.

“Aduh! Lo yang nyosor, gua yang kena!” rintih Victor.

“Gua yang nyosor elu?! Bohong! Gua aja masih punya perasaan ke Pluto!” bentak Sania.

“Yang lo maksud si penghianat itu?” ucap Victor sambil memegang pipinya yang lebam.

“Tarik ucapan lo itu!” ujar Sania dengan mata berkaca-kaca. “Masih ada sisi baik dalam dirinya.”

“Dia literally hampir ngebunuh kita! Dan lo masih bilang dia baik? Apa lo lupa, tanpa Bendi kita pasti udah mati!” jawab Victor, kesal.

“Nyeyeye, bodo amat...” balas Sania seenaknya.

Sudah Dua tahun sejak insiden Solar Pillar. Dunia memang kembali tenang, tapi tidak untuk mereka. Sejak Bendi dan Melissa meninggal, dan Nari menikah dengan Jennah, hanya Victor dan Sania yang masih aktif sebagai agen HIA Dan menjadi Diplomator dan Penjaga Perdamaian.

Karena kejadian itu tadi, mereka harus tinggal bersama. HIA tak mau kehilangan agen hebat lagi setelah insiden besar tersebut.

Hari ini hari ke-15 puasa, dan Victor ingin mudik ke kampung halamannya. Tapi HIA tidak mengizinkannya pergi sendirian. Maka dari itu, ia harus mudik dengan satu syarat: Sania harus ikut.

“Sialan, Pak Volgov, kenapa juga gua yang harus ikut lo sih?” gerutu Sania.

Sambil menyantap sahurnya, Victor berkata, “Ini perintah langsung dari Pak Volgov. Kita harus ikut, mau gak mau. Lo mau gak digaji? Biaya hidup sekarang mahal.”

“Iya juga sih. Aku gak mau makan di jalan,” ucap Sania.

“Nah, gitu dong,” jawab Victor.

Seminggu sebelumnya...

“Kudengar kau mau mudik, Victor?” tanya Pak Volgov.

“Iya, Pak,” jawab Victor.

“Kau boleh, tapi dengan satu syarat. HIA ingin Sania ikut dalam perjalananmu.”

“Hah?! Apa?!” seru Victor dan Sania bersamaan.

“Pak Volgov bercanda, kan?” tanya mereka.

“Tidak. Ini demi keselamatan kalian dan Harzenia!” jawab Volgov tegas.

“Emoh! Gak mau!” protes Sania.

“TIDAK ADA TAPI-TAPI. INI PERINTAH! PAHAM?!” hardik Pak Volgov.

Kembali ke masa kini...

Selesai sahur, Victor menyuruh Sania bersiap-siap.

“Hei Sania, cepetan mandi. Dan jangan lupa pakai hijab ya. Kau tahu keluargaku Muslim semua.”

“Iya, iya, aku tahu...” jawab Sania.

Victor pun berkata, “Maaf ya, udah bikin kamu terlibat.”

“Ini juga bukan sepenuhnya salahmu,” balas Sania.

Waktu menunjukkan pukul 6. Mereka harus pergi ke bandara sebelum jam 9. Tapi sudah sejam Victor menunggu, Sania belum juga keluar dari kamar mandi.

Tok tok tok!

“WOI Sania! Gercep lah! Bandara jauh, lo mau ketinggalan pesawat?!”

“Iya, lagi siap-siap nih,” jawab Sania.

Begitu pintu terbuka, Victor terdiam. Gadis berambut hijau yang tadi memukulnya kini muncul bagai bidadari, mengenakan hijab hijau dan setelan yang anggun.

“Udah nih, Victor. Aku udah siap,” ucap Sania sambil tersenyum.

“I-iya, aku juga udah siap kok...” jawab Victor dengan wajah memerah.

Belum sempat Victor berkata lebih, Sania langsung menyela, “Oh ya, masalah tadi belum kelar. Jadi jangan senang dulu.”

Victor menghela napas. “Wanita, yang salah dia, yang kena gua...”

“Apa kau bilang?!” bentak Sania.

“Jir! Gua lupa kalo lo bisa baca pikiran!” seru Victor panik.

“Udah-udah, gak kelar masalah ini. Yuk berangkat. Kita mau naik mobil atau pakai kekuatan biar hemat bensin?”

Sania berpikir. “Kau gila ya? Kalau pakai kekuatan kita, nanti malah mencuri perhatian orang!”

“Ya kita bisa teleport, kan. Gak bakal kelihatan,” jawab Victor santai.

Sania pun akhirnya setuju. “Iya deh...”

Victor girang. “Horeee! Makasih Sania!”

"Huh tapi gua make kekuatan kecil gua ok" Ucap Sania

"Napa gk make kekuatan aspirant secara penuh kan kau bisa terbang dan aku naik di atasnya hehehe" ucap Victor

"Lo mau modus lagi gua gedik palak lo lagi pula kita gk make itu" Ucap Sania

"Terus make apa?" tanya Victor

"sebenernya gua pernah di ajarin nari Sihir kecilnya ama ngasih tongkat sihir lamanya mungkin kita bisa make itu Untuk memunculkan Awan terus kita naiki" Ucap Sania

"Perasaan cuma Nari yang bisa memakai sihir di Divisi God's Knight

aku baru tahu kau bisa?" Ucap Victor

"Baru tahu aku lo Magic sensitive lagipula Njir tumben Nari Mau ngajarin orang make kekuatan nya, ya udah terserah Yang penting gas OTW" Tambah Victor

"Sebenernya kita tuh bisa aja Magic sensitive kan kita keluarga kerajaan 'dulu' tapi sekarang susah karna hanya keturunan keluarga kerajaan yang terpilih yang bisa memakai sihir" Ucap Sania

"Ku kira Cuma Nari Doang" Jawab Victor

Setelah Percakapan Singkat itu Mereka pun berangkat ke bandara menaiki awan milik Sania. Jaraknya 15 KM dari apartemen Karna bosan Victor Selama perjalanan,mencoba mengajak mengobrol Sania walaupun di beberapa momen Sania cuek kedirinya.

“Hei, Sania.”

“Apa, Victor? Gua lagi ngendaliin awan nih.”

“Lo pernah mikir gak, kenapa hampir semua keluarga kerajaan dibenci orang-orang? Padahal yang buat ulah cuma satu keluarga.”

“Gua gak tau. Dan gua benci itu,” jawab Sania.

“Kayak keluarga Bendi, deh. Keluarga UMI gak terlibat, tapi ikut dibantai...”

“Aku gak mau bahas itu! DIAM!” bentak Sania.

Beberapa saat hening.

Tiba-tiba Sania berbicara lagi, suaranya pelan.

“Jujur... aku masih trauma soal itu. Keluarga Aturn, keluargaku sendiri, hampir semuanya dibunuh. Hanya aku yang selamat. mereka membunuh keluarga ku saat tahu nama 'Aturn' dibelakang nama keluarga kami, dengan tanpa peringatan mereka langsung Membunuh di tempat di depan mataku sendiri. Aku satu-satunya yang tersisa...Dari pembantaian itu...”

Matanya berkaca-kaca.

“Terima kasih ya, Victor. Udah mau jadi temanku. Aku pikir gak akan punya siapa-siapa lagi setelah ayah mati. Untung ada kamu...”

“Victor? Hei, Victor?”

Sania menoleh—dan melihat Victor sedang buang air kecil dari atas awan.

“Ahh... mantap,” ucap Victor puas.

“HEI APA YANG KAU LAKUKAN, JING?!”

“Pipis lah, apa lagi?”

“Lo bisa minta turun bentar buat ke toilet, tolol!”

“Kelamaan! Dan bisa ketahuan identitas kita!” jawab Victor cuek.

“JOROK, TAU COK! Dan... lo tadi dengerin cerita gua gak?”

“Cerita apa?”

Tanpa basa-basi, Sania mengeluarkan tongkatnya dan menghantam kepala Victor.

“ADUH!” rintih Victor.

“Mangkanya jadi cowok yang bener!” bentak Sania sambil menyimpan tongkatnya ke pocket dimension.

Satu jam berlalu, dan akhirnya mereka sampai di Bandara Internasional Harzenia (Harzenia International Airport).

“Akhirnya sampai juga. Kuharap kau tidak buat ulah lagi seperti tadi, Victor!” ucap Sania dengan nada tinggi Victor pun hanya bisa mengangguk.

Bersambung..... 

Episode 2:Mudik atau liburan?

Setelah mendarat kan Awan milik milik Sania ditempat tersembunyi mereka pun bergegas masuk ke dalam bandara dalam bandara ternyata sangat ramai dengan warga yang hendak bepergian dan para wisatawan asing yang datang dari penjuru negeri. Tampak poster-poster penerbangan menghiasi seluruh dinding bandara. Di lain sisi, Sania dan Victor tampak kebingungan.

"Aduh, di mana nih lokasi cek-in tiketnya?" ucap Sania.

Tak lama, seorang petugas pun datang menghampiri mereka berdua.

"Halo, Kak. Ada yang bisa dibantu?" ucap petugas.

"Oh iya, Kak. Kami kebingungan nih nyari lokasi cek-in-nya," jawab Sania dengan bingung.

"Oh, sebelah sini, Mas, Mbak. Saya tunjukkan," ucap petugas sambil menuntun mereka ke lokasi cek-in.

Saat perjalanan menuju lokasi cek-in, petugas bandara sempat bertanya,

"Mas sudah menikah berapa lama sama Mbaknya?"

Terkejut, Victor langsung menjawab dengan nada malu,

"Eh... kami bukan pasangan, Kak."

Belum sempat Victor menjelaskan lebih lanjut, petugas tersebut kembali berkata,

"Oh, berarti ini saudaranya?"

Sambil memegang kepalanya, Victor menjawab,

"Bukan, kami cuma teman."

Saat menoleh, Victor melihat tatapan sinis dari Sania yang membuatnya langsung gugup.

Sesampainya mereka di tempat cek-in, petugas tersebut meminta maaf atas ketidaknyamanan itu. Victor dan Sania pun memaafkannya. Setelah cek-in, waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 dan pesawat mereka akan datang pukul 09.00. Sambil menunggu pesawat, Sania dan Victor pun melanjutkan perbincangan tadi.

Sania penasaran dengan asal-usul Victor. Ia pun bertanya,

"Oh iya, tadi kau bilang dari mana asalmu?"

"Granada, Andalusia. Emang kenapa?" jawab Victor.

"Gak apa-apa sih, cuma penasaran," jawab Sania sambil tersenyum manis.

Sania lalu melanjutkan,

"Kenapa keluargamu masih ada, sedangkan keluargaku sudah habis tak tersisa?"

"Justru karna keluargaku dihormati sebagai keturunan para khalifah Islam yang pernah memerintah Andalusia," jawab Victor dengan semangat.

Sania pun terdiam sesaat, lalu berkata,

"Wah, beruntung banget kamu, ya," ucapnya lirih, lalu kembali murung.

Victor yang melihat sahabatnya sedih pun mencoba menyemangatinya.

"Tak apa, kau masih punya aku. Aku akan selalu berada di sisimu."

Tanpa banyak bicara, Sania tiba-tiba menampar Victor. Plak!

"Kok nampar aku sih?" ucap Victor yang pipinya merah karena ditampar.

"Humpf, biarin," ujar Sania. Ia pun tak berkata apa-apa lagi setelah itu.

Di momen itu, tiba-tiba datang seseorang yang tampak tak asing bagi mereka.

"Hai, Victor. Hai, Sania," ucap gadis misterius itu.

Tak lama, mereka pun menoleh ke arahnya dan menyadari siapa sosok gadis itu.

"Jennah?!" ucap Victor dan Sania serentak.

Victor pun bertanya,

"Jennah? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Oh, kami mau pergi liburan," jawab Jennah dengan nada bingung Victor pun bertanya.

"Kami?" tanya Victor heran.

Tak lama, seseorang lagi datang.

"Hai juga, Victor dan Sania."

Ternyata itu adalah Nari, kawan lama mereka. Dengan wajah senang, Victor menyapanya.

"Oh, Nari? Kau juga di sini?"

Setelah itu, mereka pun berbincang-bincang tentang kenangan masa lalu mereka, saat Nari dan Jennah masih menjadi agen. Sampai di satu topik, Victor bertanya,

"Btw, kalian mau ke mana nih? Tiba-tiba bisa pas banget ketemu di bandara?"

"Oh, kami ingin pulang ke kampung halaman," jawab Nari dengan senyum khasnya.

Kini gantian Nari yang bertanya,

"Btw juga, kalian mau ke mana?"

"Oh, kami cuma mu..."

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Jennah menyela,

"Honeymoon kah?"

Sania dan Victor pun langsung berteriak,

"GAK!! Kami cuma mau mudik!"

"Hahahaha," Nari pun hanya tertawa dan lanjut bertanya,

"Jika kalian benar-benar mudik, kenapa Sania ikut?"

Victor kemudian menjelaskan apa yang terjadi kepada Nari.

"Oh, aku paham. Kalian pergi bersama atas perintah HIA?" Ucap nari 

"Yah, kukira kalian mau bulan madu," ucap Jennah dengan nada kecewa.

"Nggak lah, kami aja bukan pasangan," jawab Sania.

"Benar itu," sambung Victor.

Nari dan Jennah pun meminta maaf kepada Sania dan Victor.

"Maaf ya, semenjak kami pensiun dan menikah, kami pikir kalian juga ikut keluar dari HIA dan mencari kehidupan normal. Ternyata kalian masih bekerja untuk pemerintah Harzenia," ucap Nari.

Victor dan Sania pun memaafkan mereka, lalu menjelaskan alasan kenapa mereka tidak keluar dari HIA.

"Huh... demi uang aku tetap bekerja sebagai agen dan pahlawan. Jujur, aku capek dengan kehidupanku, Nari. Aku ingin hidup normal, tapi kau tahulah... gaji di HIA itu tinggi. Itu kenapa aku tak ingin keluar," ujar Victor.

"Walaupun dunia Sudah Damai, Kami tetap bekerja Untuk menjaganya selagi Menjadi Diplomat Negara Dan Negosiator Untuk pemerintah Harzenia" Ujar Sania

Tanpa disadari, waktu sudah berlalu dan terdengar pengumuman bahwa pesawat yang akan dinaiki Victor dan Sania siap lepas landas.

"Oh, tampaknya kita harus berpisah, Nari," ucap Victor dengan senyum lebar.

Nari pun menepuk Pundak Victor dengan keras di ikuti Jennah yang menepuk Pundak Sania

"Buat apa itu?" Ucap Sania dan Victor

"Hanya Untuk Salam perpisahan saja" Ucap Jennah dan Nari

Victor dan Sania pun berpamitan dengan Nari dan Jennah. Sebelum pergi, Nari sempat berkata:

"Hati-hati ya di jalan. Semoga Allah SWT menyertaimu!"

"Amin," jawab Victor.

Mereka pun berpisah.

Victor dan Sania kemudian berjalan memasuki pesawat.

Di dalam pesawat, Sania tampak bingung melihat Victor yang hanya diam dan murung. Ia pun bertanya dengan nada khawatir,

"Kau nggak apa-apa, kan? Dari tadi kelihatan murung."

Victor menjawab,

"Aku tak apa-apa. Jangan khawatirkan aku."

Namun di dalam hati, Sania berkata,

"Kenapa gue jadi kasihan ya..."

Victor masih terlihat murung. Dalam hatinya ia berkata,

"Mungkin di dunia lain... kau adalah milikku."

Sebenarnya Di lubuk Hati Victor dia masih menyukai Jennah tapi ya takdir berkata lain Jennah sekarang Sudah menikah Dengan Nari Di hati Victor ingin sekali mengatakan aku Mencintaimu tapi Ya semua itu Sudah terlambat sangat² Terlambat untuk bilang itu.....

Si sisi lain Di Bungker Militer Harzenia

Langit tak pernah menyentuh ruangan ini. Lampu-lampu neon menyala redup di atas meja oval baja. Dinding berlapis titanium, sistem pengacau sinyal aktif. Semua perangkat komunikasi non-optik disegel. Ini bukan sekadar rapat rahasia—ini adalah sesuatu yang lebih dalam: konspirasi yang bisa mengubah arah dunia dan apa yang sebenarnya terjadi di balik semau ini.

Empat orang duduk di ruangan itu.

Jenderal Cassian Rydan, pemimpin tertinggi divisi militer strategis Harzenia. Dikenal dingin dan tajam.

Kapten Rydan Jo:Salah satu mantan Pilot Abyss yang pernah

memberontak melawan Kekaisaran abyss.

Komandan Wedge, spesialis operasi laut dalam dan sabotase ekonomi.

Komandan Antiles, kepala satuan intelijen luar negeri.

Cassian memandang ke arah peta holografis yang melayang di tengah meja—gambar topografi Terusan Suez yang diperbesar, lengkap dengan semua titik kontrol dan jalur logistik internasional.

"Apa yang sebenarnya Mereka inginkan dari blokade ini" Ujar Jendral Cassian Rydan

“Terusan ini,” ujar Cassian, suaranya berat, “adalah nadi dunia. Enam puluh dua persen Kapal-kapal Eropa melewati Jalur terusan ini untuk bisa sampai ke Eropa". Jika Jalur ini terus diblokade lama-lama Jalur logistik kita terputus dan kita akan melemah bersama negara-negara Eropa lainnya.”

Kapten Rydan Jo mengerutkan kening. “Pak...dengan hormat. Jika blokade terus-Terusan diSuez, maka kita bukan hanya menjadi lemah tapi Hancur secara perlahan. Dunia akan menganggap kita sebagai provokator karna kita terlibat langsung dalam konflik ini.”

Wedge tersenyum kecil, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Hmm Mungkin memang ada pihak 3 yang mengendalikan Blokade ini dan bertujuan memang untuk Menghancurkan kita secara perlahan tapi pasti.”

Cassian mengangguk ke arah Wedge. “Jelaskan.”

Komandan Wedge menekan sebuah tombol. Yang memperlihatkan statistik Data Dampak Blokade dan Pola Blokade.

“Kau liat lah pola blokade ini bisa-bisanya pas Di Jalur perdagangan internasional Tak mungkin semua ini hanya karna Pajak yang Pemerintah terapkan pada kapal-kapal FAU pasti FAU bekerjasama dengan pihak ke-tiga untuk melemahkan kita.”

Antiles menimpali. “Mungkin saja kau benar soal ini karna Blokade ini memang secara kebetulan melemahkan pasar ekonomi dan Jalur logistik kita.”

Jo bersandar, gelisah. “Kita benar-benar akan memutarbalikkan kenyataan?”

>"Bisa saja Mereka memang melakukan blokade karna pajak yang negara kita terapkan pada kapal-kapal mereka"

Cassian menatap tajam. “Ini bukan soal kebenaran, Rydan Jo. Ini soal kelangsungan Negara kita dan Negara Eropa lainya. Tanpa tekanan dan Gertakan, Federasi Afrika Utara akan terus menguasai jalur energi dan suplai. Eropa butuh kita untuk memaksa mereka keluar dari jalur.”

Jo menatap Hologram statistik itu, ia pun terdiam sebentar.

“Jika FAU Terus melakukan blokade maka kita tak punya pilihan lain selain operasi militer” ujar Wedge, “jika mereka tidak menarik pasukan dari Terusan Suez. maka operasi militer tak bisa dihindari. tapi ini akan memicu Perang lagi seperti dlu”

"Ditambah FAU juga dapat dukungan dari berbagai pihak termasuk dari Luar benua Afrika" Ucap Wedge

"Termasuk Pihak Kiri seperti Republik sosialis Rakyat Amerika juga mendukung blokade ini Sudah jelas Mereka berniat untuk menjatuhkan Kita."

Antiles menambahkan sambil menyentuh berkas digital. “Dan satu lagi: menurut data terbaru,Kapal-kapal kita kebanyakan Juga di palak di Jalur itu sebelum di cegat dan di suruh putar balik. Jika ini benar maka ini sudah keterlaluan.”

"Sial Pihak Komunis juga!? ini sulit, di tambah Kita juga punya hubungan yang buruk dengan mereka pasca Revolusi Amerika dan Perang 100" Jawab Rydan jo

Cassian menutup pembicaraan dengan suara mantap.

“Ini bukan keputusan yang kami ambil dengan ringan. Tapi jika kita tak bertindak sekarang, Eropa akan runtuh bukan karena Konflik ini dan karena diam terlalu lama.”

Jo memejamkan mata. Ia tahu bahwa Jendral Cassian tidak sedang membesar-besarkan. Ia hanya berharap... harga yang akan dibayar dunia tak terlalu tinggi ia tahu dunia... perlahan-lahan berubah arah dan mungkin ada sesuatu yang mengendalikan semua ini dari belakang layar....

Suasana ruang rapat itu begitu dingin dan steril. Lampu putih menyinari dinding besi tebal, dan meja oval besar dipenuhi para petinggi militer Harzenia, berpangkat bintang tiga ke atas. Di ujung meja, Jenderal Cassian Rydan, berdiri dengan tangan di belakang punggung, wajahnya serius namun tak kehilangan ketenangan khasnya.

“Oh ya aku hampir lupa Hari ini bukan rapat biasa. Ini adalah rapat tentang masa depan Harzenia, dan mungkin… masa depan seluruh dunia,” ucapnya perlahan.

Komandan Wedge mengangkat alis. “Kedengarannya seperti apa yang kau ingin bahas lagi Pak.”

Suara tawa kecil terdengar, tapi segera hening saat layar holo menyala di tengah ruangan. Muncul sebuah dokumen rahasia bertanda: PROJECT: CLONE-V. Di bawahnya, logo Kementerian Pertahanan dan Lembaga Biotek Harzenia.

"Rydan jelaskan pada mereka Proyek baru Militer"Ucap Cassian Rydan

"Proyek yang mana pak?" Tanya Rydan Jo

"Pasukan Klon" Ucap Cassian Rydan

"oh ya Proyek itu" Jawab Rydan jo

Rydan menunjuk layar. “Beberapa tahun terakhir, kita menyadari bahwa pasukan manusia biasa memiliki keterbatasan. Moral, stamina, emosi... dan kematian. Tapi bagaimana jika kita bisa menciptakan tentara... yang tak kenal lelah, tak mempertanyakan perintah, dan lahir dengan kemampuan tempur paling sempurna yang bisa kita desain?”

"ide ini juga digagas oleh Wakil Supreme leader sendiri Pak Fransiskaw" Ucap Kapten Rydan jo

Komandan antiles, bersandar di kursi. “Kloning. Sudah dilarang di banyak negara Di asia. Bahkan Dewan Antar-negara timur tengah dan Asia timur melarang proyek seperti ini.”

"Kenapa bisa-bisa wakil Supreme leader Punya gagasan seperti ini" Jawab Komandan Antilles

Rydan mengangguk. “Aku tidak tahu Tapi Harzenia bukan anggota dewan itu kita bukan bagian dari Mereka. Dan kita tidak melanggar hukum... kita menulisnya. dan juga ini perintah seperti nya akan di setujui oleh Supreme leader”

Semua hening sesaat setelah mendengar itu.

Layar berikutnya menampilkan gambar DNA spiral. Di bagian bawah tertulis: SUBJEK: RY-J0.

“Ini?” tanya Jenderal Cassian Rydan.

Rydan menghela napas. “Saya.”

Gelombang keheningan kembali menyeruak.

“Kenapa kau?” tanya Komandan antiles.

“Karena saya satu-satunya subjek hidup yang telah melalui 73 operasi militer tanpa cacat. Imun terhadap 89% racun biologis. Pernah tertembak di lima titik vital dan tetap hidup. Dan... saya steril.”

Mata beberapa dewan militer membelalak.

“Saya cocok. Secara biologis. Dan secara politik... saya rela.”

Lalu muncul gambar laboratorium bawah tanah—tangki kaca, embrio, dan tubuh-tubuh setengah jadi. Musik latar ruang rapat terdengar seperti detak jantung. Beberapa dari mereka bergidik.

“Berapa banyak yang ingin kamu buat?” tanya Wedge.

“Batalion pertama: 1000 unit. Semua akan dikembangkan dengan akselerasi pertumbuhan. Dalam satu tahun, kita punya prajurit usia 25 tahun yang siap tempur.”

“Pikiran mereka?” potong Wedge cepat.

Rydan menekan tombol. Muncul tulisan:

NEOCORTEX NEUTRAL PROGRAMMING v3.1 – Loyal to Harzenia, Adaptif, dan Kritis dalam pertempuran sebuah chip pengendali Para klon.

“Memori dan Chip pengendali?” tanya Wedge lagi.

“Sebagian tertanam. Sebagian dididik. Tapi semua diberi identitas masing-masing. Mereka bukan robot. Mereka manusia... yang kita arahkan sesuai apa yang kita mau.”

Komandan antiles mendesis. “Dan jika mereka memberontak?”

Rydan menatapnya tajam. “Mereka hasil dari saya. Kalau mereka memberontak... saya akan menyelesaikannya.”

"Mereka cuma klon Tak lebih dari sekedar alat" Ucap Jenderal

Cassian Rydan

>"Supreme leader harusnya akan menyukai Projek ini selain karna Wakilnya sendiri yang mengajukan gagasan ini di tambah juga Klon lebih efektif daripada prajurit biasa dan lebih Penurut"

Semua terdiam melihat hal tersebut.

Kembali ke Victor dan sania di dalam pesawat, Victor tertidur lelap

Sementara Sania sibuk membaca Pesan di Ponselnya dan Ngescroll Sosial media

Tak lama Victor Yang tertidur mengeluarkan suara ngorok yang mengganggu Sania

"Jir ni anak Ngoroknya Keras bet"

Sania hanya bisa geleng-geleng kepala dengan hal itu tak lama kepala Victor jatuh dan menyender di pundak Sania, Sania pun merespons dengan mengembalikan kepala Victor ke posisi awal

namun Lagi-lagi Victor kembali melakukan hal yang sama Sampai-sampai Sania Risih dengan hal itu dan membuatnya

menyumpeli Makanan di mulut Victor.

"Makan ni Ajg" seru Sania

Victor pun terkejut dengan hal itu Pun terbangun dengan kesal

"hey Apa yang kau lakukan mengganggu saja" ucap Victor

"Kau yang ganggu ajg Lo udah dengkur keras Pala lu Nyender kegua

Risih gua cok" Saut Sania

"Yaelah cuma senderan gitu"

Mereka pun sempat Cekcok sebentar sebelum pada akhirnya mereka Akhirnya Ketiduran Bersama.

Bersambung..... 

Episode 3:awal yang baru

2 Jam berlalu Terus berlalu Dan akhirnya, mereka pun tiba di Selvila, Andalusia Sebuah kita futuristik berbaur Keindahan ornamen islam Khas kekhalifahan Umayyah.

"Akhirnya sampai juga di Andalusia," ucap Sania.

"Sabar, ini masih pemberhentian pertama," jawab Victor dengan nada datar.

Victor masih tampak murung sejak di pesawat, entah kenapa.

Cuaca saat itu sangat panas, membuat Sania merasa gerah saat mengenakan hijabnya Walau panas dan gerah, Sania tetap mengenakannya karena ingin menghormati adat setempat.

Untuk mencairkan suasana, Sania mencoba mengajak Victor berbicara.

"Bandara ini unik banget," kata Sania, karena meski ini adalah bandara, tampaknya lebih mirip kastil yang megah dengan ornamen dan kaligrafi Islam di tembok-temboknya.

"Tempat ini lebih mirip kastil," ujar Sania, tapi Victor masih tetap berwajah datar dan tak tersenyum sedikit pun.

Tak lama, Victor akhirnya berbicara,

"Jujur, bandara ini milik keluargaku."

Sania pun terkejut mendengarnya,

"Bandara ini milikmu?" tanyanya penasaran.

"Iya," jawab Victor singkat, lalu melanjutkan,

"Jujur aja, meski ini milik keluargaku, aku nggak terlalu suka datang ke bandara ini."

Sania kembali bertanya,

"Kenapa emang?"

"Males," jawab Victor singkat sambil menenteng koper mereka.

Meski sudah diajak bicara dan dihibur oleh Sania, Victor tetap terlihat murung.

"Udah ah, kita harus ke stasiun sebelum pukul dua," ucap Victor dengan alis berkerut.

"Tapi kau terlihat murung—"

Belum sempat Sania menyelesaikan kalimatnya, Victor langsung menyela,

"Diam, Sania! Aku lagi lelah, oke? Jadi jangan ganggu."

Nada kesal Victor membuat Sania terkejut. Orang yang tadi paling semangat, sekarang berubah menjadi temperamental.

Waktu pun berlalu, dan mereka akhirnya tiba di stasiun.

Saat hendak menukarkan tiket, mereka dikejutkan oleh sebuah pengumuman bahwa kereta yang ingin mereka tumpangi mengalami kerusakan dan keberangkatan ditunda hingga besok siang.

"Apa!? Keretanya diundur sampai besok siang?!" ucap Victor dan Sania bersamaan, kaget.

"Iya, keretanya diundur sampai besok," jelas petugas kereta.

Lalu petugas menjelaskan bahwa sebagai kompensasi, pihak PT Kereta memberikan tempat menginap sementara beserta uang ganti rugi untuk setiap Customer yang Terkena keterlambatan atau Delay.

Victor dan Sania pun menyetujuinya. Mereka diberi alamat hotel tempat menginap dan uang kompensasi, lalu mereka meninggalkan stasiun tersebut .

Diluar stasiun

"Huh, untung aja dapet kompensasi ama tempat nginep. Kalau nggak, udah tidur di jalan kita," gumam Sania.

Mereka pun memesan taksi dan segera meluncur ke hotel yang dimaksud.

Di dalam taksi, sopir bertanya,

"Mas-nya mau ke mana tadi?"

"Hotel Rey Souyu, Pak," jawab Victor ramah.

Sopir tak berkata apa-apa, hanya tertawa kecil.

Sania penasaran,

"Kenapa ketawa, Pak?"

Sopir hanya mengangguk-angguk sambil tertawa kecil, tanpa memberi penjelasan.

Tak lama kemudian, mereka pun tiba di hotel.

Di luar hotel

Betapa terkejutnya mereka setelah tahu hotel seperti apa yang mereka tempati ternyata bukan hotel Biasa...

"Selamat menikmati malam ini ya, Mas," ucap sopir sebelum pergi.

"He-Hei, ini hotel apaan nih?!" ucap Victor terkejut.

Tak lama kemudian, seorang petugas hotel datang menghampiri.

"Mas-Mbak, ada yang bisa saya bantu?" ucapnya ramah.

Victor bertanya dengan bingung,

"Mbak, saya kan tadi dapat kompensasi dari PT Kereta berupa tempat menginap sementara. Ini bener kan hotel Rey Souyu?"

"Iya, Mas, ini tempatnya. Emang kenapa?" jawab petugas.

Victor terlihat heran dan berkata pelan,

"Mbak, ini kan hotel..."

"Iya, Mas. Ini hotel khusus pasangan, hotel bulan madu," jawab petugas jujur.

Sania pun terkejut,

"Mbak, beneran nih?"

"Iya, Mbak. Beneran," jawab petugas.

"Tapi... kami bukan pasangan suami-istri," ucap Sania dengan wajah memerah.

"Oh, berarti kalian saudara?" tanya petugas.

Belum sempat Sania menjawab, Victor langsung menutup mulut Sania dan cepat berkata kalau Mereka sebenarnya Beneran Suami istri (gadungan/ngaku² ceritanya),

"Iya, iya! Kami sebenarnya beneran suami istri!" ucapnya dengan wajah memerah.

Sania hanya bisa diam dan mengikuti alur walaupun dia tampak kesal dengan Victor yang Ngaku² sebagai Suaminya. Petugas pun mempersilakan mereka masuk ke lobi untuk registrasi.

Setelah itu mereka diberi kunci kamar dan dituntun ke kamar oleh seorang petugas pria.

Di kamar Hotel no 625

"Ini kamarnya, Mas. Kalau ada apa-apa, panggil aja," ucap petugas.

"Iya, Mas. Terima kasih," jawab Victor.

Mereka pun masuk ke kamar dan beristirahat. Victor yang kelelahan langsung rebahan di ranjang.

"Huh... capek gue," ucapnya lega.

Tak lama, Victor memanggil Sania, menanyakan apakah dia mau ikut beli makanan untuk berbuka puasa.

Sania keluar dari kamar mandi dan menjawab,

"Apa? Ya gue ikut," ucapnya agak ngelantur.

"Tampaknya dia ngambek sama gue," gumam Victor.

Ia pun menghampiri Sania yang sedang duduk sambil bermain ponsel.

Victor kembali minta maaf atas sikapnya tadi Sania tidak mau memaafkan Victor kali ini kecuali, dengan syarat Victor membelikannya makanan terenak yang ada di negara bagian ini baru Sania mau memaafkan nya.

"Janji ya?" tanya Sania.

"Janji kok," jawab Victor.

Tiba-tiba, Sania melepas bajunya, hanya menyisakan bra dan celana pendek.

Terkejut, Victor berteriak,

"He-Hei! Apa yang kau lakukan?!"

"Apa? Panas tau!" jawab Sania.

"Aku lagi puasa tau, jangan bangkitin nafsuku!" ucap Victor sambil menutup mata dengan lengannya.

"Ohh... jadi lu napsu sama gue?" goda Sania.

"Enggak!" jawab Victor cepat.

"Lah terus kenapa lu liatin tetek gue?"

"Heii!! Apa sih yang kau bicarakan?! Udah woy!" ucap Victor, panik.

"Hahaha, aku cuma godain kamu. Dasar rambut merah!" jawab Sania sambil tertawa.

"Sialan lo! Dasar kepala lumutan!" balas Victor.

Sania hanya geleng-geleng kepala melihat kawannya yang ternyata gampang digoda dengan dada besarnya.

"Tadi lo ngaku² Suami gua kan Ya udah ayo Jadiin beneran" ucapnya dengan bercanda

"aku gk ada maksud apa²Sania, kau tau kan tadi cuma untuk.. "

sebelum Victor sempat melanjutkan bicara Sania memotong pembicaraan nya

"Huh, ya udah. Lo pergi dulu aja, gue lagi gerah makanya buka baju," ucap Sania.

Victor mengangguk setuju dan bersiap pergi.

Sambil berjalan keluar, ia berkata,

"Kalau udah pukul 9.30 malam, aku udah pesan tempatnya."

"Iya, sayang," goda Sania lagi.

"Hiii..." Victor menjawab dengan geli sambil kabur

Sania Tampak sedang Ingin mengoda Victor tapi sayang nya iman Victor lebih kuat dari pada godaan itu, Menghadapi hal itu Victor lebih memilih untuk menonton Televisi dari pada meladeni Sania Yang sudah seperti Cegil Rakus pada umumnya.

"huh Dasar Sania Dia sendiri gk mau deket-deket gua eh dianya malah godain gua" Seru Victor sambil menonton acara Favorit nya

Iklan pun muncul Yang mengabarkan kalau acara Eurovision akan segera Tayang sebentar lagi Di jam 10.00 Malam Mendengar hal itu Victor Pun senang karna acara Tahunan itu akan segera Tayang.

Tak lama Sania datang Kali ini Dia berulah lagi....

"Apaan tuh.." ucap Sania

"Oh ini Cuma Acara Euro.. Hell nawh dude" teriak Victor Sambil menutupi matanya

"apa ada yang salah?" Jawab Sania

"tadi kau cuma Make Bra dan celana Pendek, KENAPA SEKARANG KAU CUMA MAKE BRA DAN CAWET COK?!" Uca Victor

Ternyata Sania datang dalam keadaan Sexy Dan hanya Memakai pakaian dalam Berwarna Kuning, Orange mencolok Dan itu mengejutkan Victor yang sedang menonton TV.

"Gua mau mandi" ucap Sania

"Ya minimal Hargain gua yang lagi Puasa cok" Jawab Victor

"Oh ya lupa Kalo gua Tobrut dikit jadi lo agak Napsu ama gua"

"Kau dan aku hanya rekan Jadi jan macam-macam lah"

>"pergi sana Sania Pls jangan ganggu gua"

"Iya-iya Gua pergi nih" Ucap Sania sambil membawa anduk Dan pergi ke kamar Mandi

Victor pun kembali lega setelah itu Dia hanya bisa geleng-geleng kepala karna Teman atau Rekan Wanita nya itu Ingin Berniat Menggoda nya entah apa maksud nya tapi Dia Lega akhirnya bebas kembali.

Di dalam kamar Mandi Sania Terus bergumam tentang Victor Sambil Mandi.

"Dasar Victor Enak saja manggil gua Sebagai istrinya mana sudi"

>"lagian dia juga Cuma rekan Ku Mana mungkin aku bakal naruh perasaan ke dia Lagi pula Ganteng Pluto ketimbang dia aww ^\=^"

>"Rasain tuh baru gua Goda bentar udah Lemah imannya ahahah"

>"eh Dari pada gua urusin dia Mending Lanjut Berendam Seger"

Sania pun berendam di bathtub hotel sampai lupa Waktu Dan lupa Dunia Saking keenakannya berendam dengan Air hangat.

Diluar Victor sedang duduk di Balkon hotel sambil memandangi Kota Selvila yang begitu indah di waktu menjelang malam Hari, Langit Andalusia malam itu jernih. Dari balkon kamar lantai 7 Hotel Roy Soyu, Victor memandang gugusan lampu kota yang menyala lembut. Suara air mancur dari taman hotel samar terdengar. Angin membawa aroma bunga jeruk khas musim panas di Selvila.

Di sisi Sania Ia sudah selesai Mandi dan sekarang ia Berada Di dalam kamar, Sania sedang duduk di sisi tempat tidur, diam. Rambutnya masih basah setelah mandi, wajahnya tanpa ekspresi. Tangannya memainkan pinggiran seprai putih, seperti ada yang ingin dikatakannya tapi tak menemukan kata Victor menoleh, menatap punggung Sania yang memantulkan cahaya lampu kuning hangat dari plafon.

“Ingat Besok Bangun pagi” ucap Victor pelan. “Entar kita ketinggalan Kereta.”

Sania mengangguk Tapi tak menjawab. Hanya keheningan Victor masuk ke kamar, duduk di kursi dekat jendela. Hening itu tetap menggantung, namun tidak canggung. Lebih seperti ruang yang dibiarkan terbuka, seakan menunggu seseorang untuk mengisinya.

“Selvila... terlalu tenang,” ucap Sania akhirnya.

Victor menoleh. "Ya sangat Tenang.”

“Bukan soal itu,” ia menggeleng pelan. “Tenangnya seperti... memaksaku mendengar diriku sendir di masa lalu saat aku bermain dengan sepupu ku dulu.”

Victor memandangnya lebih lama.

“Apa yang kau dengar dari dirimu?” tanya Victor.

Sania menatap Victor sejenak. Pandangannya tidak keras seperti biasa. Tidak kaku. Justru rapuh.

“Aku tidak tahu... apa aku pernah benar-benar hidup,” katanya.

Victor tak menjawab langsung. Hanya duduk lebih dekat. Suara jam digital di dinding berdetak pelan.

“Kau hidup, Sania. Kau hanya belum sempat memilih.”

“Dan kau?” balasnya. “Kau terlihat seperti seseorang yang sudah memilih arah hidupmu. Tapi kenapa masih sering diam dan menatap jauh?”

Victor menghela napas, menunduk.

“Aku punya tujuan,” katanya. “Tapi... kadang aku lupa untuk merasakannya. Aku terus bergerak. Seperti mesin.”

Mereka sama-sama diam lagi.

“Victor,” kata Sania pelan, “apa menurutmu... seseorang seperti kita pantas bahagia?”

Victor menatapnya. Waktu terasa berhenti.

"jelas layak walaupun Nama keluarga kita belum di bersihkan"

“Aku tidak tahu, harus berbuat apa lagi” jawabnya jujur. “Tapi... aku tahu aku ingin mencoba.”

Sania memejamkan mata sejenak, lalu berdiri. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di karpet, di hadapan Victor. Kini hanya satu lengan yang memisahkan mereka. Keduanya tak berbicara. Tapi udara di antara mereka padat. Sarat perasaan yang tak diucapkan.

Victor menunduk, tangannya terangkat sedikit, seolah ingin menyentuh tangan Sania — tapi urung. Ia tahu batas, dan tidak ingin memaksa.

Namun, Sania sendiri yang lebih dulu bergerak. Perlahan, ia menyentuh jari Victor. Menautkan satu. Tak menggenggam sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat waktu terasa berhenti.

“Huh Malam ini,indah sekali ya" bisik Sania.

Victor mengangguk, suaranya hampir tak terdengar.

“Iya indah.”

Sifat mereka seketika berubah di titik ini Seperti sepasang pasangan Tak Gaduh seperti biasa nya Mereka masih duduk di tempat yang sama. Tak ada kata. Tak ada keputusan. Tapi untuk malam itu, keduanya tahu — mereka tidak sendiri Stelah momen itu Victor teringat satu hal bahwa sebentar lagi memasuki waktu buka puasa dan mengingatkan Sania untuk bersiap-siap untuk sebentar lagi Mereka keluar untuk Pergi membeli Makanan.

"Oh ya Ngab jam lupa entar jam 9.15 Menjelang maghrib Kita siap-siap nyari makan keluar" Ucap Victor

"Iya-iya, aku tahu" jawab Sania

"sip" Ucap Victor

"Yang penting Makanannya enak" Jawab Sania

"Aman gua tahu Restoran terbaik di kota ini Percaya aja sama gua"

Karna Pukul mulai mendekati Waktu Berbuka Puasa Sania pamit untuk BERSIAP-SIAP Setelah Pembicaraan singkat jelas padat dan sangat berfaedah itu Sania pun pergi meninggalkan Victor dan masuk untuk bersiap-siap di Kamar Mandi di sisi lain Victor izin keluar untuk membeli snack dan minuman di Mini market tak jauh dari Hotel.

Malam telah turun di kota Selvila, Andalusia. Cahaya lampu jalanan merambat tenang di antara bayangan gedung tua bergaya Moor, memantulkan warna kekuningan di atas aspal yang masih hangat oleh matahari siang tadi.

Victor menyelipkan tangannya ke dalam saku jaket, berjalan santai meninggalkan Hotel Roy Soyu. Langkahnya menyusuri trotoar sepi, menuju sebuah minimarket kecil yang masih buka 24 jam. Suara langkah sepatunya bergema lembut di gang-gang yang kosong.

Ia keluar bukan karena lapar tapi mencari Waktu sendiri Pikirannya gelisah. Bukan karena misi. Bukan karena ancaman Abyss. Tapi karena satu nama yang terus muncul di benaknya, dengan wajah tenangnya, sorot tajam matanya, dan suara datarnya yang entah mengapa kini terasa... hangat.

Victor menghela napas pelan, berusaha mengalihkan pikirannya sambil mengambil keranjang kecil di minimarket itu. Jemarinya menyentuh bungkus keripik kentang, lalu cokelat batang, dan sebotol air soda dingin. Tapi tetap saja, bayangan Sania terus berputar di kepalanya.

Sania barusan di kamar... ia tampak lelah lelah dengan Perjalanan ini, tapi tetap menjaga sikap dinginnya seperti biasa, pikir Victor Entah sejak kapan, Victor mulai memperhatikan hal-hal kecil darinya. Cara Sania menyisir rambutnya dengan cepat setelah mandi. Cara ia menatap jendela dengan diam selama perjalanan. Atau bagaimana ia kadang menyelipkan senyum kecil ketika melihat anak-anak kecil bermain di jalanan.

Victor tahu Sania ateis. Ia tahu Sania keras kepala, tak ramah, dan sering melontarkan komentar yang blak-blakan. Tapi justru itu semua... yang membuatnya jujur. Apa adanya. Tidak dibuat-buat.

Dan itu membuat hati Victor... goyah Namun ia segera menepis pikirannya “Dia hanya rekan satu tim,” gumamnya sambil meletakkan barang-barangnya di meja kasir.

Hatinya membantah, namun ia terus membungkamnya.

Keluar dari minimarket, Victor berdiri sebentar di depan pintu. Ia menatap langit malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan udara kota kecil ini begitu bersih dan segar.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan kembali menuju hotel.

Setibanya di lobi, ia berhenti sebentar. Tangannya masih menggenggam plastik belanjaan, matanya menatap ke arah lift yang sunyi.

“Victor,” bisik hatinya. “Sania...bukan sekadar partner lagi. Kau tahu itu Di sudah menemaniku dari lama.”

Victor hanya tersenyum tipis, pahit.

“Aku tahu,” jawabnya dalam hati. “Tapi aku juga tahu, cinta kadang berbahaya dalam dunia seperti ini.”

Lift terbuka. Ia melangkah masuk dan menekan lantai tempat kamarnya Sesaat sebelum pintu lift menutup, ia menatap pantulan dirinya di kaca logam Wajahnya tetap tenang Tapi matanya... menyimpan terlalu banyak hal yang belum terucapkan.

Malam di kota Selvila kembali sunyi Dan di dalam hatinya, Victor menyimpan satu hal yang tak ingin ia akui Bahwa di balik semua misi dan pelatihan keras, Ia hanyalah seorang pria yang mulai jatuh hati.....pada wanita yang paling tidak terduga.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!