NovelToon NovelToon

Bidadari Pilihan Zayn

calon istri

“Le, coba pikirkan sekali lagi.”

“Aku sudah mantap, Umi.”

Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.

Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.

Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.

Kyai Munif yang kebetulan baru masuk ke ruangan, ikut urun rembuk. Dia bermaksud menengahi perbedaan pendapat antara dua orang yang berbeda generasi dan gender.

“Sudahlah Bune. Restui saja anakmu menikah. Daripada berzina. Kita juga yang kena dosanya.”

“Bapak ini bagaimana tho. Ini bisa menjatuhkan nama baik pondok kita. Orang pasti akan bilang, Lihatlah anak pak kyai menikah dengan gadis urakan,” kata Umi Shofia berapi-api.

“Terus menurut Bune, baiknya gimana?”

“ Baiknya jangan Zara.” Keputusan Umi Shofia sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat. Bahkan dia rela walk out untuk mempertegas keputusannya.

Zayn tertunduk lesu. Tak tahu harus bagaimana untuk bisa mendapatkan restu dari uminya.

“Abah, pripun?” Kata Zayn dengan bahasa Jawa yang sopan.

“Ya sudah. Kalau menurut mu baik, dan kamu yakin bisa mendidiknya, Abah tak masalah. Umimu hanya khawatir, ia akan mempengaruhi agamamu,” kata kyai Munif.

“Berarti Abah setuju.”

Kyai Munif mengangguk lemah. Sebenarnya dia juga agak keberatan. Tapi bagaimana lagi, Zayn kelihatan kuekeh dengan keputusannya.

“Terima kasih, Abah.” Zayn segera mencium tangan kyai Munif dengan takzim, berulang-ulang dan lama. Saking bahagianya.

“Hari Rabu, kita ke orang tuanya nggeh, Bah.”

Kyai Munif seketika terperanjat. Dia tak habis pikir dengan kemauan Zayn. Sekarang saja sudah Senin, berarti lusa adalah Rabu. Zayn ini ada-ada saja deh....

“Zayn. Pingin nikah  sih boleh-boleh saja segera. Tapi jangan begitu mepet juga. Sepertinya nggak ada waktu lain saja. Lagian, kalau mendadak kasihan orang tua Zara. Nanti nggak siap.”

“Tenang saja Abah. Zara sudah aku beri tahu. Dan katanya orang tuanya juga sudah siap.”

“Abah angkat tangan deh. Terserah kamu lah.” Kyai Munif geleng-geleng kepala, tak tahu harus bagaimana.

“Tenang, Bah. Abah tidak usah khawatir. Dari peningset, hantaran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lamaran, termasuk mobilnya, sarana dan prasarana yang lain, sudah Zayn persiapkan. Abah dan Umi tinggal melamar Zara untuk Zayn.”

“Bagus kalau gitu.” Kyai Munif manggut-manggut.

“Satu lagi, Bah.”

“Apa!!!” bentaknya dengan keras.

“Jangan bilang kalau pernikahannya hari Minggu,” imbuhnya dengan mata melotot.

“Memang hari Minggu, Bah,” jawab Zayn.

“Zayyyyyyyyyyynnnn....” teriak kyai Munif dengan sangat kencang, sampai-sampai mengalahkan suara azan yang keluar dari spiker masjid di lingkungan pondok.

“Maaf Abaaaah...” Zayn segera berlari dengan tangan terangkat. Takutnya, sandal kyai Munif melayang menimpuk kepalanya.

Sekarang yang tinggal di ruangan itu, hanya Kyai Munif seorang. Dia memijat-mijat dahinya. Memikirkan dua anaknya yang diharapkan untuk menjadi penerus pengasuh di pondok pesantren yang dia bangun.

Satu perempuan bernama Khadijah, wanita shalihah, hafal Al Qur’an, tahu fiqih, bisa jadi penerus di pesantren kalau dirinya tiada. Tapi sayang, telah dibawa pergi suaminya. Tinggal Zayn, harapan satu-satunya.

Zayn, Dia hafal Al Qur’an, pandai berbisnis, punya rumah makan ber cabang-cabang. Sayang, sedikit nyeleneh dan bikin pusing kepala.

“Ah, sudahlah...aku pasrah Ya Allah,”

Kyai Munif meninggalkan ruangan dengan menggaruk-garuk kepala yang gatalnya minta ampun, karena ketombe. Dan semakin gatal lagi karena memikirkan Zayn.

🌺

Hari Rabu pun tiba. Hari yang ditunggu-tunggu Zayn untuk melamar Zara. Wanita yang berhasil mencuri hatinya.

Zeyn senyum-senyum sendiri di depan cermin, sambil mengamati bola tenis di tangannya. Benda yang membuat dirinya jatuh cinta dengan wanita yang kini akan dilamar.

Dia masih mengingat dengan jelas, saat  pertama kali bertemu dengan Zara

 

Satu bulan yang lalu, tepatnya di hari Rabu, dia sedang mengantarkan menu makan siang gratis kepada santri-santri Abahnya.

Saat itu bertepatan dengan kegiatan pengajian ibu-ibu di masjid yang ada di lingkungan pondok. Sehingga mobilnya tidak bisa masuk ke dalam pesantren.

 Dia pun memarkir mobilnya di dalam gang dekat lapangan tenis. Tak apalah, tidak terlalu jauh juga dari pesantren.

Sementara sopirnya memanggil beberapa santri untuk membantu mereka, dia sibuk mengeluarkan kotak nasi dan rantang yang berisi makan siang gratis dari bagasi.

Buk... Tiba-tiba sebuah benda sebesar genggaman orang dewasa menimpuk dahinya.  

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucapnya seketika.

Tidak hanya sampai di situ, bola itu memantul dan mengenai rantang-rantang yang ada di depannya. Alhasil  rantang-rantang itu pun bergoyang-goyang, menari-nari, dan akhirnya jatuh di jalan yang beraspal.

Compyaaanngggg... kira-kira seperti itulah bunyinya. Berisik sekali.

“Masya Allah.” 

Zayn termangu, menatap isi rantang yang berhamburan, tercecer di aspal. Dia hanya bisa mengelus dada sambil bergumam, “Sabar...sabar...”

Zayn benar-benar sial hari ini. Dahi merah lebam, dan harus tersiksa karena mendengar irama yang sangat memekakkan telinga. Ditambah pula makanan untuk ustad-ustadzah pesantren tercecer di aspal.

“Ya Allah jangan siksa diriku. Bila makanan ini aku sedekahkan kepada ayam dan bebek peliharaan para santri. Karena tidak layak lagi untuk dimakan ustadz-ustadzahnya, hiks...hiks...hiks.” bisik hatinya yang sedang sedih.

Andai nasi beserta lauk pauknya bisa mendengar dan bicara, tentu dia akan menangis juga. Karena dirinya harus turun derajat. Tak lagi dimakan oleh ustad ustadzah tapi diperuntukkan oleh hewan-hewan yang kalau makan tidak baca bismillah. Hiks...hiks..hiks....

Dengan bersedih, Zayn segera berjongkok. Dia  mengambil satu persatu rantang yang terlempar.

“Ustadz Zayn. Ada apa ini?” tanya Sapri yang baru tiba dengan beberapa santri.

“Nggak ada apa-apa. Ayo bantu ustaz untuk bereskan ini semua,” kata Zayn.

“Baik, Tadz.”

Mereka pun berjongkok mengikuti apa yang Zayn lakukan.

“Hai kalian tahu nggak, bola tenisku?”

Sontak aktivitas mereka terhenti. Mereka menatap pemilik suara yang merdu dan mendayu itu.

“Astaghfirullahaladzim,” ucap mereka serempak lalu menundukkan kepala kembali. Takut melihat sesuatu yang membuat jantungnya bergetar hebat.

Namun ini tidak berlaku untuk ustadz Zayn. Dia masih terpana. Matanya sama sekali tak bisa berkedip pada wanita yang ada di depannya.

Bukan karena pakaian yang dia kenakan. Tapi karena wajahnya yang polos dan senyum tipisnya yang membuat dirinya tak bisa berpaling.

“Tadz...tadz...ingat dosa, Tadz.” Seorang santri mencoba mengingatkan.

“Bukankah pandangan pertama bisa dimaafkan. Aku kan belum kedip,” kata Zayn dengan tenangnya.

“Yeach... Ustadz. Tetap haram ustaz bukan mahram," jawab Kemal, nama Santri tersebut.

“Kalau melihat calon istri, bagaimana?” tanya Zayn yang sekarang mulai mengedipkan matanya.

"Nggak apa-apa sih. Tapi kan, tetap saja sia-sia. Kan baru calon."

"Jangan berisik. Cepat beresin semua. Aku mau urus calon istriku,"

"Yeach... Ustadz," kata Kemal dengan agak-agak geram.

Dia pun menyerah. Tak mau mengingatkan lagi Gus Zayn yang memang benar-benar antik bin menarik.

Dia hanya bisa berucap doa, "Ya Allah, Lindungilah Gus Zayn dari perbuatan dosa. Kasihan Abah Munif kalau sampai Gus Zayn terseret dosa."

bola tenis untuk calon istri

“Adik cari bola tenis?” tanya Zayn dengan penuh perhatian.

“Iya Gus. Sepertinya bola tenisku terlempar ke sini,” jawab Zara dengan ekspresi polos tanpa beban.

“Oh...jadi yang buat berantakan ini, bola tenis adik ya,” gumam Zayn sambil manggut-manggut.

“Maaf Gus, nggak sengaja,” kata Zara dengan tawa yang renyah dan malu-malu. Membuat Zayn makin jatuh hati.

“Maaf, Saya bantu mencarikan, ya.”

“Tidak Gus, terima kasih.”

Dengan penuh ketelitian Zara mencari bola tenis miliknya. Dengan raket yang ia pegang, dia menyibak tempat-tempat yang sekiranya bola itu dapat bersembunyi. Dari rumput, tong sampah, bahkan got pun tak luput dari perhatiannya. Namun aneh, bola itu belum juga ia temukan.

Hanya tinggal satu tempat yang belum ia jamah. Yaitu mobil Gus Zayn dan sekitarnya. Antara ragu dan malu, dia menuju ke tempat tersebut.

Ia pun menyibak-nyibaknya rantang-rantang dan kotak nasi yang telah dirapikan oleh para santri. Namun tidak ia temukan juga.

Ah, mungkinkah di bawah mobil?

Dengan posisi tubuh berjongkok, dia melihat keadaan yang ada di bawah mobil. Tanpa sengaja menyebabkan roknya tersingkap.

“Astaghfirullah al adzim,” para santri pun segera mengalihkan pandangannya. Mereka malu sendiri atas tindak-tanduk Zara yang bisa menggoda iman.

“Dasar Gus Zayn. Mau kenalan dengan calon bini saja,  sudah membuat kita pusing kepala !” gerutu Kemal.

Bagaimana tidak pusing, jika mereka dipaksa untuk menyaksikan seorang wanita dengan pakaian kurang bahan, mondar-mandir di sekitar mereka.

“Sudah ketemu?” tanya Zain yang melihat suasana sudah tidak kondusif lagi. Dia bisa merasakan kegundahan para santrinya. Kalau diterus-teruskan bisa berbahaya. Kasihan mereka.

“Belum Gus,” Jawab Zara dengan wajah ditekuk.

Gus Zayn selintas melihat ada bola yang nangkring di dekat kaca. Dia tersembunyi di antara kelambu dan kursi. Dia pun segera mengambilnya.

“Apakah ini bola tenismu?”

Dengan senyum yang mengembang dan wajah yang ceria, dia pun berkata,” Bener Gus, ini bola tenisku.”

Zara ingin segera mengambil bola tenis itu dari tangan Gus Zayn. Namun ketika tangannya hendak meraih bola tersebut, Gus Zayn segera menariknya.

“Maaf, bola ini tidak akan saya kembalikan. Karena dia telah membuat kekacauan.”

“Gus, jangan Gus. Bola ini bola terakhir yang aku punya. Bagaimana  aku akan latihan tenis jika tidak ada bola, padahal seminggu lagi aku mau tanding,” kata Zara dengan wajah sedih.

“Tidak bisa. Bola ini harus dihukum.”

“Lho Gus. Bola kok dihukum. Dia kan hanya benda.”

“Lalu siapa yang menanggung semua ini?” tanyanya serius memandang sisa-sisa nasi dan lauk pauk yang ada di sekitar mobilnya.

“Hehehe... Yang punya bola, Gus. Tapi aku kan nggak sengaja,” jawab Zara.

“Yaaaaa...tak apa-apa. Sebagai gantinya, kamu bekerja di restoran ku selama sehari saja. Bantu-bantu masak di dapur.”

Zara terkejut, mendengar penawaran Gus Zayn.

“Gus, aku nggak sengaja. Jangan hukum aku. Minggu depan aku harus bertanding. Aku harus banyak latihan nih,” jawab Zara dengan wajah ketakutan. Selain itu, dia tidak pernah tahu urusan dapur.

Gus Zayn tersenyum. Terlintas dalam pikirannya sebuah ide, agar dia selalu dapat bertemu dengan Zara.

“Begini saja. Bola ini boleh kamu pergunakan untuk latihan, tapi setelah latihan tolong kembalikan ke saya. Karena ini sudah jadi milik saya. Bagaimana?”

Zara terdiam. Kelihatannya itu adalah pilihan yang baik. Tapi....

“Baiklah Gus. Tapi aku malu Gus, kalau disuruh ke pesantren.”

“Malu kenapa?”

“Aku orang awam, Gus. Aku tidak punya baju yang panjang-panjang.”

“Oh gitu...Itu masalahmu. Yang penting kamu harus bertanggung jawab dengan semua yang kamu lakukan. Kekacauan ini akibat kelalaianmu. Kamu tahu nggak makanan ini untuk siapa. Ini untuk para ustad ustadzah di pesantren. Dengan kejadian ini dipastikan mereka tidak bisa makan siang. Atau mungkin makan siangnya tertunda entah sampai kapan. Mungkin sampai sore kali. Bagaimana menurutmu?...Aku rasa konsekuensi yang aku berikan padamu itu sudah sepadan dengan efek dari kelalaian mu.” Kata Zayn dengan sedikit berapi-api. Seolah-olah Dia sedang memarahi santrinya.

Zara tersentak dan tidak bisa berkata-kata lagi.

“Hiks...hiks... Baiklah. Gus. Setelah latihan, bola ini akan saya kembalikan,” kata Zara dengan wajah sedih.  

Gus Zayn tersenyum lalu mengembalikan bola tenis itu pada Zara.

“Oh ya siapa namamu?”

“Zara, Gus.”

“Baiklah Zara. Maafkan aku, jika tadi memarahimu.”

“Tidak apa-apa Gus. Memang saya yang salah.”

“Pergilah. Aku doakan kamu nanti menang dalam pertandingan. Tapi jangan lupa bolanya dikembalikan ya...”

“Aamiin...baik Gus.”

“Tahu kan mengembalikan kepada siapa?” Zayn khawatir kalau Zara akan salah orang.

“Tahu lah Gus. Jenengan kan putra kyai Munif. Gus Zayn. Saya tidak mungkin salah mengingat orang.”

Zahra tidak mungkin, tidak kenal dengan lelaki satu ini. Karena sering muncul di YouTube. Dan kebetulan dia sudah subscribe dengan video-videonya. Untuk belajar agamalah....

“Okelah kalau begitu, deal?” kata Zayn.

“Deal.”  

Zara segera berlari kembali ke lapangan untuk latihan, meninggalkan Zayn yang menatapnya dengan senyum mengembang penuh kebahagiaan. Dia tak berpaling sehingga bayangan Zara menghilang.

“Repot-repot...dekat ustaz Zayn. Bikin orang polos seperti saya ini jadi berdosa,” celetuk Kemal.

“Kemaaal... Dan yang lainnya. Ingat nanti habis maghrib, setoran hafalan 1 juz lunas,” ucap Zayn dengan mata melotot.

Mereka semua tersentak dan menatap Zayn dengan terheran-heran.

“Kenapa lihat-lihat, nggak terima?” ucap Zain dengan menaikkan intonasinya.

“Atau kalian mau tambah?”

“Nggak Gus...nggak Gus.”

Satu juz saja sudah bikin pusing apalagi lebih. Bisa-bisa tak sempat makan dan istirahat.

“Tahu kesalahan kalian apa?”

Mereka  terdiam dan menundukkan kepala. Tak ada yang berani menjawab. Kecuali Kemal.

“Yang jelas ustad lah... Pacaran di depan orang.”

“Kemaaal... Pacaran apa harus sembunyi-sembunyi. Itu namanya ikhtilat, nggak boleh tuh. Lagian ustad tadi itu hanya kenalan tidak pacaran. Paham!”

“Paling-paling ustad cemburu karena kita lihat nona Zara,”

“Hemmm... Jawaban kamu ada benarnya juga. 50% lah... Makanya ustadz hukum kalian. Bisa dimengerti,” kata Zayn yang tak ingin memperpanjang masalah.

“Mengerti, Tadz,” jawab Kemal mewakili teman-temannya.

Sebenarnya bukan itu pokok masalahnya. Tapi Zayn kecewa dengan sikap mereka, saat Zara berjongkok, mencari bola di bawah mobil, mereka tidak segera menundukkan pandangan.

Namun demikian Zayn tetap bangga pada santri-santrinya yang segera beristighfar dan memalingkan muka.

“Sudah, sekarang bereskan semua dan bawa semua ke pesantren.”

“Baik, Tadz.”

Kemal dan yang lainnya segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Zayn.

Adapun Sapri, dia minta untuk membeli satu set bola tenis yang nanti akan diperuntukkan untuk Zara dengan menggunakan mobilnya.

 Zayn pun membawa rantang yang terakhir ke pesantren. Dia akan menunggu Zahra selesai latihan tenis dan menyerahkan bola kepadanya.

Semoga saja dia tidak ingkar janji.

 Ternyata Zara adalah gadis yang baik. Dia memenuhi janjinya untuk menyerahkan bola tenis miliknya kepada Zayn.

Saat selesai mengajar di lantai 2, dia melihat gadis yang dia tunggu ada di pos pengamanan pondok, yang dijaga oleh satpam.

Terlihat ada perdebatan yang terjadi di antara mereka. Ya... Mana mungkin pak satpam mengizinkan Zara masuk ke pondok putra.

 Zein pun segera menyuruh salah seorang santri mengambil bola tenis yang ada di mejanya, untuk diberikan kepada Zara, dengan menukar bola tenis yang dibawa olehnya.

Sengaja dia tidak menemuinya. Agar tidak jadi masalah. Namun dia tetap memonitor semua kejadian dari lantai 2 pondok pesantren putra.

“Zayn, ayo cepat ini sudah malam. Kasihan keluarga Zara sudah menunggu.” Suara Umi Sofia membangunkan lamunannya.

“Ya Umi.”

 Zeyn segera menyimpan kembali bola tenisnya ke dalam kotak rahasia.

Lamaran

“Terima kasih, Umi. Akhirnya umi merestui aku mempersunting Zara.” Zayn memeluk erat umi Shofia dengan sangat manja.

Umi Shofia hanya diam. Tak mau menanggapi kemanjaan putra pertamanya ini.

“Tapi ingat janjimu, tidak akan menyentuhnya sebelum hafal surat Al-Baqarah,” kata umi Shofia dengan mata melotot.

“Ya, Umi. Laksanakan,” kata Zayn sambil memberi hormat pada umi Shofia dengan mimik ala-ala prajurit.

“Bune...Bune. kamu itu kalau memberi syarat kok aneh-aneh sih. Masak yang mubah kamu wajibkan. Nggak boleh itu. Menyalahi aturan fiqih,” kata Kyai Munif.

“Nggak apa-apa Abah. Ananda ikhlas kok...Demi menyenangkan hati orang tua. Menyenangkan hati orang tua, dapat kemuliaan yang besar bukan?” kata Zayn, membela uminya. Wanita satu-satunya yang sangat ia sayangi saat ini.

“ Tapi, kalau kamu nggak sanggup. Nggak dilarang untuk melanggar. Demi ketenangan kamu dan istrimu.”

“Ggrrrrrr...Zayyyn!!!”

Belum juga Zayn menjawab, umi Shofia sudah mengerang seperti singa yang akan bertarung memperebutkan mangsa.

“Iya Umi,” kata Zayn dengan senyum yang menarik semua ujung bibirnya secara sempurna. Sedangkan ekor mata melirik pada Abah yang ada di sampingnya. Ingin tertawa, tapi takut dosa. Tawanya di sembunyikan dalam hati saja. Kalau diperlihatkan, khawatir akan membuat umi Shofia makin ganas.

“Ya sudahlah,” kata kyai Munif dengan diiringi hembusan nafas seperti badai.

Kyai Munif akhirnya menyerah. Dia tak akan bisa menang melawan istrinya.

“Sudah. Ayo berangkat,”

“Baik, Abah.”

Kyai Munif sengaja tidak mengajak siapa pun dalam acara lamaran ini. Hanya Dia, istrinya, dan Zayn. Satu lagi, Sapri sebagai sopirnya.

Semula ada keinginan untuk mengajak Khadijah dan suaminya, tapi dia urungkan. Karena penyelenggaraan pernikahan yang sangat berdekatan dengan waktu lamaran, pasti akan merepotkan mereka. Harus bolak-balik dari rumah ke pondoknya. Selain itu pula, supaya tidak merepotkan tuan rumah.

Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di rumah orang tua Zara. Hanya perlu waktu setengah jam untuk sampai ke tempat tujuan.

Mereka terkejut saat tiba di rumah Zara. Sambutan keluarga Zara sangat luar biasa. Hampir satu kampung, mereka undang untuk menyambut kedatangannya.

Kyai Munif sampai mengusap alisnya yang tiba-tiba gatal. Lha, ini acara lamaran atau pengajian umum ya....

Ambil baiknya saja lah. Mereka berempat tak perlu lagi membawa hantaran se bagasi penuh mobil Toyota Kijang Innova Zenix yang baru Zayn beli. Ada para ibu dan bapak-bapak yang dengan sukarela berjajar dari mobil hingga ke rumah Zara.

Dapat dibayangkan, betapa capek kaki ini jika harus bolak-balik dari mobil ke rumah orang tua Zara.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh,” ucap kyai Munif begitu Ia turun dari mobil.

Ibu-ibu dan bapak-bapak yang menyambutnya serentak menjawab, “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Kyai Munif, nyai Sofia dan Zayn dengan diantarkan oleh para tetua dan aparat desa, menuju ke ruang tamu yang telah disediakan. Untuk urusan hantaran biarkan diselesaikan oleh Sapri dan ibu-ibu.

Sepanjang jalan menuju pintu rumah Zara, banyak orang yang ingin bersalaman dengan Kyai Munif dan juga nyai Sofia. Kebiasaan yang tak pernah luntur di lingkungan Zara tinggal jika mereka bertemu dengan orang yang dituakan atau para ulama.

Tentu saja Kyai Munif tak kuasa menolaknya. Ia dengan sabar menyambut dan menyalami nya. Bahkan dia membiarkan orang-orang mencium tangannya.

Jarak yang biasanya dapat ditempuh hanya satu atau dua menit saja, maka kali ini harus ditempuh dalam waktu hampir 20 menit. Dan itu pun belum selesai. Hadeh....

Untung saja ada seorang bapak yang cukup berwibawa segera memecah kerumunan orang yang akan bersalaman dengan Kyai Munif dan nyai Shofia.

“Maaf bapak-bapak ibu-ibu, tolong beri jalan pada pak Kyai dan bu nyai ke rumah kami,” ucapnya dengan penuh hormat.

“Minggir...minggir,” beberapa orang membuat pagar betis agar tidak ada lagi orang yang menerobos, meminta bersalaman pada bu nyai dan pak Kyai.

Langkah kaki pak Kyai, Bu nyai dan Gus Zayn menjadi lancar. Tak lagi ada halangan. Mereka melangkah diiringi oleh seorang bapak yang memperkenalkan diri sebagai Paman Zara dan beberapa orang yang tadi menyambutnya.

“Monggo Kyai, Bu nyai, Gus!” ajaknya. Untuk duduk bersama-sama dengan keluarga Zara, yang telah lama menunggu di ruang tamu. Hanya sesepuh dan pinisepuh yang hadir di ruangan itu.

“Matur suwun sanget,” balas Kyai Munif dengan bahasa Jawa yang sopan. Dan dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Kyai Munif, Bu nyai Sofia dan Gus Zayn segera mendaratkan tubuhnya di karpet yang digelar di ruangan tersebut, dengan senyuman yang tulus.

Mungkin karena banyaknya orang yang harus hadir di tempat itu, sehingga mereka mengeluarkan meja kursinya dan menggantinya dengan karpet.

“Nyuwun agungipun pangapunten Kyai, bile Kyai mboten saget nyaman. Meniko panggonanipun Bapak Sulaiman beserta keluarga, orang tua Mba Zara. Ngapunten sanget, Kyai.” Kata paman Zara untuk sekedar basa-basi.

“Mboten menopo. Kami nggeh remen tindak datang mriki,” jawab Kyai Munif sopan dan dengan senyum sumringah.

“Monggo dipun cicipi riyen hidangan yang ada.” Paman Zara mempersilahkan Kyai Munif dan keluarganya untuk menikmati hidangan yang telah mereka sediakan.

“Nggeh...nggeh. Suwun.”

Kyai Munif segera menyeruput kopi dan mencicipi kue-kue tradisional yang ada di depannya saja.

Meskipun ada banyak variasi kue-kue tradisional yang mereka hidangkan. Dari tetel, nogosari, Mendut, wajik, putri mandi, madu mongso, jenang, lemper, ketan salak, dan lain sebagainya. Belum lagi buah-buahannya. Ada jeruk, apel, salak, kelengkeng, anggur, dan lain sebagainya. Boleh dikatakan, semua macam kue tradisional dan buah-buahan yang ada di pasar dekat mereka, ada di sini.

Mereka hanya datang bertiga tetapi yang dihidangkan keluarga Zara luar biasa. Sampai-sampai Kyai Munif malu dibuatnya.

“Ini bagaimana konsepnya, kok sampai berlebih-lebihan.” Gumaman Kyai Munif yang tersembunyi di balik senyum manisnya. Serta dengan dua alisnya yang tertarik ke atas. Hmmm...

Dia tidak tahu bahwa biaya lamaran ini telah ditanggung sepenuhnya oleh Zayn.

Setelah acara basa-basi dirasa cukup, Paman Zara memberanikan diri untuk minta izin kepada Kyai Munif, memulai acara sesungguhnya.

Meskipun mereka adalah tuan rumah tetapi sangat menghargai Kyai Munif dan keluarganya sehingga untuk memulai acara pun mereka izin dulu kepada Kyai Munif.

“Napa acara saget kito mulai, Kyai?”

“Mangga."

Paman Zara segera mengambil mikrofon yang ada di dekat mereka. Setelah memberi hormat sejenak kepada Kyai Munif, dia pun angkat bicara.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya saya perkenalkan saya ini pamannya Zara. Yang mencoba mewakili keluarga Bapak Sulaiman dalam acara ini untuk sebagai MC saja. Dan saya juga ingin memperkenalkan, bahwa mereka yang di sini baik yang di luar maupun yang di dalam adalah keluarga Bapak Sulaiman. Maaf jika kami sangat heboh, karena banyaknya anggota keluarga kami. Ini belum keseluruhannya. Boleh dikatakan bahwa kami adalah keluarga rawa. Jadi di sini tidak ada orang lain. Semua adalah keluarga.”

Kyai Munif manggut-manggut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!