Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..”
“Woy Rangsam, sedang apa kau di sana,” ujar salah seorang nelayan.
“Hari ini aku akan berlayar menuju Bintara, aku hendak mendaftarkan diri sebagai Angkatan laut Kesultanan.” Dengan sombongnya pemuda itu berkata lantang, sambil bertolak pinggang.
“Oh begitu ya, baguslah, memang aku dengar pangeran Unus ingin berlayar menuju Malaka, bangsa kuning sudah terlalu merepotkan saudara kita di sana, ku doakan dirimu selamat, dan bawa nama baik Bawean di bawah panji Kesultanan.”
“Itu sudah pasti paman Gendon, kalian tidak perlu mencemaskanku, sepeninggalku, mungkin kalian akan hidup tentram, ha ha ha..”
“Iya, kami akan hidup tentram sekaligus kesepian,” ujar nelayan lainnya, “tidak ada lagi manusia yang membuat onar di kampung kita, kudoakan juga agar kau selamat, jangan lupa memohon pada Tuhan.”
“Trimakasih kalian semua, kalian sangat baik, akan kuingat nasihat kalian”
“ perbekalanmu cukup?”
“Aku rasa cukup paman, Lagi pula aku ini pandai berenang dan memancing, aku tidak akan kelaparan.”
“Ya kalau begitu tidak ada alasan lagi aku untuk mengkhawatirkanmu.”
“Wah kalian baik sekali rupanya, aku jadi berat untuk berlayar.”
“Eh eh jangan, kau pergi saja, jangan hiraukan kami, kami sudah ikhlas melepas kepergianmu.”
“Hmmm.. Bilang saja kalian bahagia bila tidak ada aku, iya kan, mengaku saja?”
“He he sebenarnya kami juga rindu kalau kau pergi, walaupun kau anak yang nakal, tapi kau baik hati, mungkin sifat cerobohmu yang sedikit harus diubah, jangan sampai kau merepotkan pangeran kelak.”
“Tenang saja, aku bisa membawa diri, aku tidak akan ceroboh lagi hehehehe.”
“Mudah sekali kau berucap begitu, kemarin saja kau menghancurkan atap Surau, memang sih niatmu baik, memperbaiki atap, tapi sifat cerobohmu itu loh, aduh, sebaiknya kau dengar baik-baik nasihat kami, jangan sampai kau merepotkan pangeran.”
“iya-iya aku mengerti, baiklah, nampaknya matahari sudah mulai meninggi, paman Gendon, paman Iban, aku pamit dulu, kalian jaga diri baik-baik.”
“Iya, kudoakan keselamatanmu.”
Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka, banyak rakyat Malaka yang menderita, kelaparan di mana-mana, harga barang dan kebutuhan pokok naik pesat. Tidak ada satu pun pemuda Bawean yang berani membela tanah air mereka di bawah komando pangeran Unus Abdurrahman, kecuali satu, Rangsam bin Wiya.
Rangsam adalah pemuda yang ceria, suka menolong dan rajin bekerja, ia tinggal sebatang kara, ayah dan ibunya sudah tiada, ibunya meninggal saat melahirkannya, sedangkan ayahnya meninggal saat Rangsam baru berusia sepuluh tahun. Kemudian Rangsam hidup mandiri dan kuat, berkat bimbingan dari Syech Datuk Bagindo nan ateh atau Syech Abdul Karim. Berbagai ilmu bela diri sudah ia kuasai dari Syech Abdul Karim, bukan hanya bela diri, ia juga belajar ilmu navigasi, seperti membaca bintang dan angin. Dan yang paling utama adalah ilmu agama yang Syech ajarkan kepadanya. Karena sudah seperti anak Syech Abdul Karim sendiri, masyarakat kampung menaruh banyak harapan kepada Rangsam, mengingat usia Syech yang semakin lama semakin uzur. namun harapan itu juga banyak diragukan oleh Tetua kampung, karena sifatnya yang ceroboh dan bertindak semaunya sendiri. banyak orang yang direpotkan olehnya, namun tidak ada satu pun dari warga kampung yang membencinya, justru malah sebaliknya, mereka menyukai Rangsam. dia anak yang manis dan apa adanya, menolong tanpa pandang apa dan siapa, namun jika dikaitkan dengan calon pengganti imam pulau Bawean, Rangsam laksana jauh api dari panggang. tidak ada sedikit pun kharisma dan wibawa yang tersemat pada diri Rangsam. jadi harapan masyarakat dan tetua pulau jatuh pada adik seperguruannya, yaitu Hasanuddin.
Berbeda dengan Rangsam yang berwatak ceria dan apa adanya. hasanuddin adalah sosok pemuda yang pendiam, berwibawa dan mengedepankan pemikiran daripada bertindak yang tidak berdasar.
Soal keilmuan dan bela diri, Hasanuddin satu tingkat di bawah Rangsam. namun dengan segala kelebihan yang menutupi kekurangan itu, membuat Hasanuddin dipertimbangkan oleh Dewan tetua pulau. Mengenai asal usul Hasanuddin masih menjadi misteri, kamituo kampung menemukannya di sebuah perahu yang dipenuhi anak panah menancap, dan di lengan kiri Hasanuddin tertancap belati kecil yang tidak tajam, namun sangat efektif untuk menusuk. Beruntung nyawa Hasanuddin yang saat itu masih sangat kecil, berhasil terselamatkan, hingga saat ini ia hidup dan tinggal di padepokan milik Syech Abdul Karim.
Pada saat datangnya pengumuman dari prajurit Bintara, Rangsam senang bukan main, ia langsung menghambur ke kerumunan serta-merta meninggalkan cangkul dan aritnya berserakan. tanpa basa-basi Rangsam langsung mendaftarkan diri. prajurit Bintara memintanya untuk datang dan berkumpul di selat Muria untuk seleksi selanjutnya. Rangsam yang terbiasa melakukan sesuatu tanpa pikir panjang jelas ia menyetujui dan mengiyakan. Namun, dari balik daun anak pisang yang melambai, terlihat wajah di bawah caping yang memandang prajurit Bintara dengan tatapan yang tajam, entah apa yang bergejolak dalam hati si pemilik tatapan itu, namun segalanya tertutupi dan terpecahkan oleh sapaan suara yang lembut.
“kang Hasan tidak berminat kah?”.
“ Eh, ah.. Anu.. Waalaikumsalam , a.. aku tidak ingin menjadi prajurit”, Hasanuddin menjawab sumber suara itu dengan gelagapan.
.
“ oh iya, maafkan Siti kang, Siti belum mengucapkan salam, Assalamu’alaikum kang Hasan, kenapa kang Hasan tidak berminat menjadi prajurit laut Bintara?”.
“ emm, soal itu, kalau aku dan kang Rangsam mendaftar, lalu siapa yang akan menjaga Syech, dan siapa yang akan mengurus padepokan, dan juga....”
“Dan juga apa kang?”
“ Dan juga, si... Siapa yang akan membantu kamu mengajar ngaji anak-anak”.
“ Benarkah seperti itu alasanmu kang?, jika benar, aku ucapkan banyak terimakasih”.
“ I.. Iya benar, seperti itu yang aku pikirkan”.
“Ndoro Putri, sebaiknya kita pulang, nanti hamba bisa kena marah oleh ndoro Wedana jika pulang terlambat”. Ujar pengawal Kawedanan yang sedari tadi mengiringi Raden Ajeng Siti Zulaikha, Putri dari gusti Wedana Raden Abdullah Suryo Jiwo.
“baiklah kakang Hasanuddin, saya Mohon diri dulu, Assalamu’alaikum”.
“ Wa.. Waalaikumsalam warohmatuloh”.
Siti Zulaikha pun pergi meninggalkan Hasanuddin yang sedari tadi gugup berlinang keringat dingin, tak lupa Zulaikha melemparkan sedikit senyum kepada Hasanuddin, yang kelak membuat Hasanuddin terjaga hingga larut malam, senyum yang seindah bulan sabit di awal bulan Muharram.
Rangsam masih berlayar, sudah satu hari ia meninggalkan kampung. sejauh ini baik-baik saja, toh ia sering berlayar hingga dua hari menuju Jepara, kalau hanya selat Muria, mungkin membutuhkan waktu setengah hari lagi.
“Ya... Hari yang indah, tinggal setengah hari lagi aku sampai di selat Muria. Sepertinya aku akan merindukan kampung. Tapi jiwaku sangat bergejolak, darahku seakan mendidih mendengar kabar bangsa asing itu mulai seenaknya mengusai Nusantara. dianggap apa kami ini oleh mereka, cih..”.
Tiba-tiba dari arah timur, terlihat sebuah kapal yang besar. memiliki layar dengan tiga tiang, lambungnya berlapiskan besi plat yang kemungkinan adalah baja. Rangsam terkagum-kagum dengan kemegahan kapal tersebut. namun rasa kagumnya berubah menjadi kekhawatiran. Tiba-tiba saja kapal tersebut mengubah haluannya, dan dengan kecepatan yang belum pernah dilihat Rangsam sebelumnya, kapal tersebut berhasil mendekati Rangsam. Tampak seperti sebuah bukit yang menjulang, Rangsam mendongak meliat ujung atas kapal itu, terlihat ukiran naga menghiasi sisi kapal. dominasi warna merah menyala adalah ciri khasnya. tidak lama kemudian, muncul sosok-sosok manusia berjumbulan dari geladak, menutupi cahaya matahari, memandang ke bawah tepat ke arah Rangsam berada.
“Nǐ xūyào bāngzhù ma?”
“Nǐ xūyào bāngzhù ma?”
“ Hamba tidak mengerti apa yang tuan-tuan katakan, bisakah kalian berbicara Melayu, dan kumohon segera singkirkan benda besar ini dari perahuku”.
“ maaf Kisanak, kami adalah utusan dari Negeri Tiongkok, kami bermaksud menolong Kisanak, apakah Kisanak membutuhkan bantuan?”
“ Oh, sungguh mulia sekali hati tuan-tuan dari Negeri nun jauh ini. trimakasih atas tawarannya, mohon maaf, hamba tidak sedang membutuhkan bantuan dari tuan-tuan, hamba hanya nelayan biasa yang hendak pergi ke Bintara, mohon kiranya tuan-tuan memberikan jalan untuk hamba”.
“oh seperti itu kah, kalau begitu mohon maaf telah mengganggu Kisanak berlayar, perkenankan kami mengawal perahu Kisanak, sekaligus menjadi petunjuk arah bagi kami, kami hendak berlabuh ke Semarang, semoga kisanak berkenan”.
“dengan senang hati hamba akan menuntun tuan-tuan sekalian yang baik hati dan budi ini. namun hamba hanya bisa sampai selat Muria sahaja, selebihnya, teruslah berlayar ke barat mengikuti bibir pantai, maka tuan akan bertemu dengan pelabuhan Semarang”.
Terimakasih, mari sama-sama kita berlayar wahai kisanak”.
Seperti keberuntungan di awal perjalanan, Rangsam bertemu dengan rombongan pelaut dari Tiongkok yang baik hati. entah apa tujuan mereka ke Jawa, namun saat ini Rangsam mendapat perlindungan secara tidak langsung. Hari sudah mulai petang, sang surya pun sudah beranjak dari takhtanya, menuju peraduan yang berselimut gelap, dihiasi bintang-bintang. Setelah menunaikan sholat maghrib, Rangsam pun tiba di selat Muria, akhirnya mereka berpisah, kapal yang megah itu perlahan meninggalkan perahu cadik milik Rangsam, tak lupa mereka melemparkan sedikit bahan makanan ke perahu Rangsam, sungguh orang-orang yang baik dan mulia. begitulah kesan pertama Rangsam kepada pelaut-pelaut Tiongkok itu.
Cahaya lampu minyak mulai terlihat berkerlipan dari jauh, dermaga Muria, sayang sekali pulau gunung Muria tidak nampak jelas, karena malam seakan menjadi jubah sementaranya. Perahu Rangsam terus melaju menuju dermaga, perlahan tapi pasti, bangunan-bangunan persegi mulai terlihat. Itu adalah markas armada laut Kesultanan Bintara. terbuat dari jati terbaik, seakan berani menantang ombak, namun saat ini cuaca terlihat tenang. Dan tidak butuh waktu lama, Rangsam berhasil menambatkan perahunya di dermaga, dengan senyum dan rasa percaya diri, Rangsam melangkah maju, niatnya adalah fii sabilillah , bismillah, segala isi jiwanya, tulang, daging hingga kulit yang membungkus semangatnya, sekarang ia serahkan demi Kesultanan, demi umat, demi agama yang luhur.
Sudah genap tiga hari Rangsam meninggalkan kampung, dan hari ini adalah hari di mana Rangsam mengikuti seleksi dan pelatihan. Embun belum lagi termakan oleh terik, namun anak-anak muda dari penjuru bintara sudah dibariskan menghadap Laut, dan Rangsam berada di antara mereka. Panglima segara Kesultanan bintara hadir memberikan filosofi dan semangat kepada mereka.
“ Bismillahirrahmanirrahim , anak-anakku sekalian, sungguhlah mulia jiwa dan raga kalian, Semoga Allah tempatkan derajat kalian setinggi-tingginya, karena dengan keikhlasan dan kecintaan kepada negara dan agama, kalian semua berada dalam barisan yang aku pimpin. Sudikah kiranya, Anak-anakku memantapkan hati dan pikiran, bahwasanya, laut bukanlah hal yang baru bagi kalian, jadilah menyatu kalian dengannya, cintailah laut, sehingga ia tidak sudi menenggelamkanmu, laksana buah kelapa, seandainya pun habis diterjang angin, dilalap ombak, dan dijilat guntur, tidak akan sedih dan berkesusahan, ia akan tetap sabar terapung, dan akan tumbuh di tempat yang Allah ridhoi, dan akan kembali gagah. Jadilah seperti itu Anak-anakku, jikalau kalian gagal, tetaplah tabah, kerana ada masa dimana kalian akan jaya kembali, akan kuat lagi dan mengukir sejarah baru, ingat kata-kataku, simpan se-rapi mungkin di dalam relung-relung dada kalian, jadikan bekal di kala lapar akan moral, di hadapan sana, laut yang kebiruan, tersambung kepada semua umat Tuhan di mana mereka berada, bersiaplah kalian, jalin silaturahmi, jangan simpan benci, jika kalian di musuhi, basmi, itulah pegangan teguh prajurit laut Kesultanan Bintara Darussalam ing tanah Jawi” .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!