NovelToon NovelToon

Istri Si Tuan Kursi Roda

Awalan

Setelah penutup matanya dibuka, ia terlihat semakin angkuh dan dingin.

Detak jantung Freya semakin cepat.

“Aku tidak takut.”

Ia menatap pria itu dan suaranya penuh keteguhan. “Kamu telah menyelamatkan nenekku, jadi kamu adalah penolongku.”

“Aku akan menepati janjiku dan akan melahirkan anak-anakmu. Aku akan merawatmu seumur hidupku!”

Wajah wanita itu yang mempesona terlihat sangat serius.

Luca diam-diam mengamatinya.

Beberapa saat kemudian, ia tertawa sinis. “Kalau begitu, bantu aku mandi.”

Setelah hening sejenak, Freya berkata, “Baiklah.”

Setelah berjanji kepada keluarga Moretti bahwa dia akan menikahi Luca, dia sudah menyiapkan diri untuk tidak menyesal.

Setelah mereka menerima surat nikah, dia sudah menjadi istri sahnya.

Suaminya adalah seorang penyandang disabilitas. Karena itu, wajar baginya, sebagai istri, untuk membantu memandikannya.

“Aku akan menyiapkan air mandinya.”

Setelah mengucapkan itu, dia pergi ke kamar mandi.

Melihat punggungnya, Luca mengerutkan kening.

Ia telah meminta beberapa orang untuk menyelidiki Freya.

Informasi tentang gadis itu sangat sederhana: dia adalah wanita miskin dari desa pegunungan. Ia rela menikah dengan pria yang dikenal sebagai pembawa sial demi membayar biaya pengobatan keluarganya.

Tiga calon istri Luca sebelumnya adalah wanita bangsawan muda dari Kota Ayrith. Mereka berasal dari keluarga kaya dan terpandang.

Sayangnya, mereka dibunuh secara diam-diam dengan cara berbeda sebelum pernikahan.

Freya begitu bodoh dan polos. Ia justru bertahan hidup dan bahkan tidur bersamanya di malam pernikahan mereka.

Entah dia benar-benar sepolos itu sampai tak ada yang mau mencelakainya, atau dia hanya sedang berpura-pura.

Ketika Luca sedang tenggelam dalam pikirannya, ia mendengar pintu kamar mandi terbuka.

Ia menengadah, dan seberkas keterkejutan melintas di mata hitamnya.

Di tengah uap tebal dari kamar mandi, seorang wanita mungil perlahan muncul.

Rambut hitam panjangnya basah karena uap, dan beberapa helai rambutnya yang menempel di tulang selangka tampak bergerak nakal saat ia berjalan.

Handuk mandi yang melilit tubuhnya sudah basah kuyup dan menempel erat, memperlihatkan lekuk tubuhnya.

“Tunggu sebentar.”

Ia berjongkok dan menarik koper dari bawah tempat tidur.

Bagian atas koper itu berisi pakaian pribadinya yang sudah tersusun rapi.

Ia menarik satu set pakaian dalam renda putih dan melepas labelnya sebelum mengenakannya.

Mungkin karena dia mengira Luca buta, dia berganti pakaian di depannya tanpa ragu sedikit pun.

Namun, gerakan seperti itu memiliki makna yang lebih dalam dan sensual bagi seorang pria.

Apakah dia sedang menguji apakah Luca benar-benar buta?

"Huh!"

Setelah berpakaian, dia berjalan mendekat. Lalu, dia mendorong kursi roda Luca ke depan pintu kamar mandi dengan alami.

Setelah membantunya masuk ke kamar mandi, dia mulai membuka pakaiannya, satu per satu.

Luca menyipitkan mata memandangnya dari balik uap pancuran.

Freya menundukkan kepala dengan ekspresi penuh perhatian. Tidak ada perasaan apa pun di sepasang mata jernih dan polos itu. Gerakannya begitu serius seolah-olah dia sedang mengerjakan tugas sekolah di kelas.

Dia melepas jam tangannya, bajunya, lalu...

Akhirnya, Freya menarik kembali tangannya dengan sedikit rasa tidak nyaman sebagai pertahanan terakhir. “Kau... Bisa memakai ini saat mandi?”

Luca memandangnya, dan ada sedikit keisengan di matanya. "Aku tidak bisa membersihkan beberapa bagian kalau pakai itu."

"Hmm.. masuk akal.."

Freya mengangguk sebelum mengulurkan tangannya.

Luca sedikit terkejut.

Terpaku, dia memandangi ekspresi serius wanita itu. Akhirnya, dia mengernyit dalam.

"Apakah wanita ini benar-benar sebodoh itu, atau dia hanya berpura-pura?"

"Apa dia tahu apa itu malu?"

"Ayo masuk ke bak. Lewat sini."

Freya tampaknya tidak melihat perbedaan antara tubuhnya dan tubuh Luca. Dengan khidmat, dia menopangnya dan menempatkannya ke dalam bathtub.

Meski begitu, wajahnya tetap memerah tanpa bisa dikendalikan.

Dia menepuk wajahnya untuk menenangkan diri lalu bertanya, "Kamu tidak takut sakit, kan?"

"Hmm".

Dia menyibakkan rambut basahnya ke belakang telinga. Lalu dia berbalik dan mulai mencari-cari di dalam lemari.

Tak lama kemudian, dia mengambil sarung tangan mandi dan berbalik.

Urat biru di dahi Luca berkedut tak terkendali.

Dia ingin... menggosok tubuhnya di malam pertama pernikahan mereka?!

Freya bahkan tidak meminta persetujuan. Dia langsung mengangkat tangannya dan mulai dari punggung.

"Kalau sakit, bilang ya. Aku akan lebih lembut."

Luca tidak bisa berkata apa-apa.

Freya menggosok punggungnya dengan keras dan penuh keseriusan.

Sebelum menikah dengan Luca, dia sudah bertahun-tahun merawat neneknya yang lemah dan sakit-sakitan. Neneknya sangat suka jika Freya menggosok punggungnya. Katanya, dia merasa sangat nyaman setelah digosok dan tidurnya jadi lebih nyenyak setelah mandi.

Jadi Freya pikir Luca pasti akan menyukainya juga.

Dia berjongkok di sebelah bak mandi dan berusaha keras menggosok setiap bagian kulitnya.

Meskipun tidak begitu lembut, bagi Luca, sensasinya paling banter hanya terasa gatal.

Meski begitu, dia bisa merasakan keseriusan dan usaha keras dari Freya.

Tak lama kemudian, Freya mulai berkeringat.

Luca mengernyit dalam.

Saat itu, dia tiba-tiba mulai bertanya-tanya apakah dia telah meragukannya tanpa alasan.

Bagaimanapun juga, dia adalah wanita yang begitu sederhana... Bagaimana mungkin dia sedang merencanakan sesuatu?

"Ini"

Setelah mencuci semua bagian lainnya, Freya memerah dan menunjuk ke satu tempat. "Kamu mau aku bersihkan bagian sini juga?"

Luca menatapnya dengan mata yang dalam. "Menurutmu bagaimana?"

Freya mengerutkan dahi dan berpikir sejenak. "Hmm... Kalau begitu, mari kita lanjutkan."

Dia mengambil sarung tangan dan mengulurkan tangan ke arah tempat itu...

Tangan wanita itu dihentikan di tengah jalan oleh Luca.

Suasana pun segera menjadi tegang.

Freya tidak mengira sarung tangan itu bisa menyakitinya. Dengan wajah polos, dia bertanya, "Bagaimana aku bisa membersihkannya kalau kamu pegang tanganku?"

Sedikit kilatan dingin muncul di mata hitam Luca. "Keluar.”

Bab 2

Freya bingung. "Kalau aku pergi, kamu bisa mandi sendiri?"

"Tapi bukankah dia buta?"

Pria itu tidak menjawab.

Namun, udara di sekitarnya menjadi lebih dingin.

Freya menyadari suaminya mulai kesal, jadi dia pun menyimpan sarung tangannya dan pergi. "Hati-hati. Panggil aku kalau kamu butuh bantuan."

Keluar dari kamar mandi, Freya merasa tidak tenang. Ia terus melirik ke arah kamar mandi dari waktu ke waktu, dengan perasaan ragu.

"Kamar mandi licin sekali... Bagaimana kalau dia jatuh dan terluka parah? Bagaimana kalau dia... mati?!"

Dia baru saja menikah dan tidak ingin kehilangan suaminya secepat itu.

Saat berdiri dengan gelisah, ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi video masuk dari Zoey Taylor, sahabatnya.

Judul videonya adalah "Bahan Belajar."

"Bahan belajar?" Freya mengernyit heran, lalu mengklik video itu, "Masih lama ujian akhir tahun, kenapa dia kirim bahan belajar sekarang?"

Begitu dia menekan video itu, langsung muncul adegan tidak senonoh yang membuatnya refleks menghela napas.

Wajahnya langsung memerah. Panik, dia buru-buru mencoba mematikan video. Tapi sialnya, ponsel murahnya justru nge-lag saat itu juga!

Saat dia sedang berusaha keras mematikan video, pintu kamar mandi terbuka.

Luca baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung disambut suara tidak senonoh.

Wajahnya menggelap. "Kamu sedang apa?"

Freya begitu gugup sampai keringat dingin mengalir di pelipisnya. Karena panik, dia hampir saja melempar ponselnya ke lantai.

Dengan tangan gemetar, dia menyembunyikan ponselnya di bawah selimut. Volume video menurun sedikit, tapi suara wanita dari video itu masih terdengar—lebay dan menggoda.

"Kamu..." Luca menatapnya tajam, alisnya mengernyit.

"Aku... sedang nonton video pijat!" Freya gugup, menekan selimut dengan tubuhnya sambil mencoba menghentikan suara.

Wajah Luca yang biasanya tenang terlihat sedikit berubah. "Video pijat?"

"Iya," jawab Freya sambil terus menekan selimut dengan kuat. Dia bahkan menyeka keringat dari dahinya karena terlalu tegang.

Luca tak berkata apa-apa.

"Selain mengira aku buta, dia juga pikir aku bodoh?"

Untuk sesaat, suasana kamar menjadi sunyi senyap.

Suara wanita dari video masih terdengar samar dari bawah selimut. Freya, yang hanya mengenakan baju tidur, kini berada dalam posisi aneh saat menekan selimut menutupi ponsel,

Cahaya lampu pijar menerangi kulit putihnya. Tubuhnya ramping, wajahnya kemerahan karena malu. Penampilannya—tanpa sengaja—terlihat menggoda.

Napas Luca mulai memburu dan tatapannya mengeras.

Freya hampir gemetar menahan posisi. Ini pertama kalinya dia merasa menekan selimut bisa seberat ini.

Untungnya, video itu tidak berdurasi panjang. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, suara itu menghilang.

Dia menyeka keringat dari dahinya sebelum mengambil ponselnya, yang kini menjadi hangat karena tertahan di bawah selimut.

Pria itu duduk di samping ranjang dan menatapnya dengan senyum tipis. "Aku penasaran, apakah kau sudah selesai dengan video pijatannya?"

Freya tersenyum kikuk. "Hmm, sepertinya sudah..."

Luca tidak tahu harus berkata apa.

Karena tak mendapatkan balasan lagi, Freya menghapus video itu dengan rasa bersalah. Dengan kesal, dia mengirim pesan ke Zoey

[Aku bisa dapat masalah gara-gara kamu!]

Zoey langsung membalas

[Dasar tidak tahu terima kasih! Dibalas kebaikan dengan cara seperti ini!]

[Bukannya kamu bilang suami barumu itu cacat?]

[Itu video edukasi yang aku cari khusus buat kamu! Kamu perhatikan nggak?]

Freya memerah dan membalas,

[Pergi ke neraka kau! Zoey]

Karena yakin Luca tidak bisa melihat, Freya tidak repot-repot menyembunyikan layarnya.

Namun, Luca membaca semua pesan itu... dengan jelas.

[Aku sudah coba matikan videonya secepat mungkin, tapi HP-nya nge-freeze dan dia dengar semuanya!]

[Dia tanya aku lagi ngapain, tapi aku berhasil bohong! Untung dia buta. Kalau enggak, aku bakal malu setengah mati!]

Luca tidak berkata apa-apa.

[Ha! Ha! Frey! Kau pasti bercanda!]

[Ya udah, ya udah. Malam pertamamu itu berharga banget. Aku gak mau buang waktu kamu dan suami buta kamu yang hot itu!]

Luca mengernyit sedikit.

"Suami buta yang Hot? Itu terdengar menyebalkan."

Freya menarik napas panjang dan menutup ponselnya. Lalu menatap Luca.

"Ayo... mulai."

Pria itu menatapnya tanpa suara.

Tangan Luca mengepal di sisi tubuhnya.

Freya belum mengenal pria di depannya ini lebih dari dua puluh empat jam.

Dan jelas terlihat pria itu tidak menyukainya.

Tapi meski begitu...

Luca langsung melingkarkan tangannya ke pinggang rampingnya. "Tidak menyesal?"

Wajah Freya memerah dan mengangguk pelan. "Kamu suamiku. Aku tidak akan menyesal."

Luca menatapnya. Kali ini, tatapannya dipenuhi kelembutan.

Keesokan paginya, dua pelayan yang sedang dalam perjalanan menyiapkan sarapan membuka pintu besar menuju kediaman keluarga Moretti dengan mata masih mengantuk.

"Istri barunya sepertinya polos dan lugu banget. Dia buta dan kakinya juga nggak sehat. Apa mereka... baik-baik saja semalam?"

"Kayaknya sih baik-baik aja. Kata bodyguard, lampunya masih nyala sampai tengah malam."

"Serius? Padahal kelihatannya wanita itu polos banget. Nggak nyangka..."

Mereka berjalan ke dapur sambil bergosip pelan.

"Selamat pagi!"

Mereka terkejut. Seorang wanita muda dengan wajah bulat, berkacamata, dan celemek pink sudah berdiri di dapur dengan ceria, meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja makan. "Apa kalian selalu mulai kerja sepagi ini?"

Suasana seketika menjadi canggung, dan dua pelayan itu saling menatap bingung.

Setelah memastikan bahwa Freya tidak mendengar percakapan mereka sebelumnya, mereka langsung menghampirinya dan mengambil barang-barang dari tangannya. "Nyonya, kenapa bangun sepagi ini?"

Freya tersenyum ceria dan melirik jam di dinding. "Ini nggak terlalu pagi kok. Udah lewat jam enam pagi!"

Sebenarnya, dia tidak tidur nyenyak semalam. Jadi justru bangun lebih pagi dari biasanya.

Para pelayan panik. "Apa kami datangnya terlalu lambat?"

Dalam kepanikan, mereka hendak menyiapkan sarapan, tapi tiba-tiba menyadari meja sudah tertata rapi.

Ada telur rebus, lauk dingin, dan beberapa pancake.

Para pelayan itu terpaku. "Nyonya, ini..."

"Aku yang masak!" Freya tersenyum ceria. "Aku nggak tahu suamiku suka makan apa, jadi aku buat beberapa hidangan yang biasa aku masak buat nenekku."

Saat berbicara, dia berlari dan mendorong pancake ke arah para pelayan. "Aku nggak nyangka kalian datang secepat ini, jadi aku nggak buatkan buat kalian."

"Kenapa kalian nggak mulai makan dulu saja?Nanti aku bikin yang lain lagi!”

Bab 3

Setelah berkata begitu, Freya berbalik hendak kembali ke dapur. Namun dua pelayan segera menghampirinya dan menghentikannya. "Nyonya, tidak perlu repot-repot."

Mereka dibayar untuk datang ke kediaman Moretti setiap pagi demi menyiapkan sarapan. Tapi Freya telah lebih dulu menyelesaikannya. Apakah mereka akan kehilangan pekerjaan jika Tuan Luca mengetahuinya?

“Nyonya,” salah satu pelayan berkata dengan nada sedikit tidak senang, “baik Anna maupun aku bertanggung jawab untuk membuat sarapan di sini. Anda baru saja datang dan belum begitu memahami kebiasaan makan Tuan Moretti. Sebaiknya jangan membuat masalah di sini.”

Pelayan lain segera menimpalinya, “Benar, Nyonya Grant tidak salah. Tuan Moretti tidak pernah sarapan seperti ini. Tolong jangan memasak sembarangan.”

Nyonya Grant memandang sarapan keju yang disiapkan Freya dengan jijik. “Tuan Moretti selalu makan susu, ham, dan roti lapis, sesuai dengan latar belakang keluarganya. Nyonya, Anda memasak bubur dan lauk dingin untuknya. Bukankah itu terlalu rumahan?”

Wajah Freya berubah. Warna merah muda di pipinya memudar, digantikan rona suram.

Dia menunduk dan menjawab singkat, “Kalian benar.”

Orang-orang kaya memang menyukai hal-hal yang mewah.

Saat mereka masih sekolah, murid-murid yang sedikit lebih kaya tidak mau makan bubur dan lauk pauk bersama mereka di kantin, apalagi orang seperti Luca yang berasal dari keluarga terpandang.

Dia benar-benar sudah bertindak bodoh.

Setelah beberapa saat, dia menenangkan diri dan mengangkat kepala. Lalu dia tersenyum cerah kepada Nyonya Grant. “Kalau begitu, aku buang saja makanannya!”

Anna terdiam. Nyonya Grant memang terlalu keterlaluan tadi, tetapi wanita muda itu sama sekali tidak marah. Justru dia bahkan berniat membuang makanannya sendiri.

Melihat makanan hangat yang masih ada di atas meja makan, Anna tidak tega. Dia segera melangkah maju dan menghentikan Freya. “Nyonya, sayang kalau dibuang. Biar para pelayan saja yang memakannya. Asal jangan dibuat lagi ke depannya.”

Freya ragu sejenak. “Baiklah. Aku akan naik ke atas.”

Setelah berkata begitu, dia berbalik dan merasakan sedikit sesak di hidung.

Sepertinya dia memang tidak diterima di rumah ini.

Di kamar, pria tampan itu sedang tidur nyenyak.

Freya berbaring di sisi ranjang, memandangi wajah tampannya. Wajah itu tegas dan berwibawa bahkan saat tertidur. Dia menggigit bibir dan bergumam pelan, “Orang kota memang ribet. Sarapan harus susu, ham, dan roti lapis. Aku bahkan belum pernah makan roti lapis. Mana aku tahu cara membuatnya…”

Sebelum menikah, bibinya telah memberinya banyak nasihat. Dia mengatakan bahwa wanita harus pandai di ranjang atau di dapur.

Mengingat kejadian tadi malam dan semua yang terjadi di dapur tadi, dia merasa semakin sakit hati.

Padahal mereka baru saja menikah. Dia tidak ingin hari-hari ke depan diwarnai ketidakbahagiaan.

Luca tidak melanjutkan apa-apa setelah mencium dirinya sebentar malam itu. Dia masih gelisah, mengira mungkin tubuhnya tidak menarik. Dia pikir tidak masalah kalau tidak terjadi apa-apa, asalkan keahliannya dalam memasak bisa diandalkan.

Namun sekarang, keahliannya memasak pun ditolak.

Apakah artinya dia hanya bisa mulai dari urusan di ranjang?

“Hei!” Dia mengerucutkan bibir dan menatap hidung mancung pria itu. “Kalau kamu tidak bangun sekarang, aku akan menciummu!”

Alis panjang Luca sedikit berkedut, tetapi matanya tidak terbuka.

Melihat wajahnya yang dingin dan menawan, jantung Freya berdetak kencang.

Dia beberapa kali membungkuk hendak menciumnya, tapi akhirnya mengurungkan niat.

Akhirnya, dia menyerah seperti balon kempes.

“Lupakan saja. Mungkin bibi salah. Kebahagiaan tidak selalu bergantung pada apakah seseorang tidur dengan suaminya atau tidak.”

Tapi tetap saja, hatinya resah.

Saat itu, ponsel pria itu berdering.

Itu panggilan dari Diana Hart, bibinya.

Dia meraih ponsel dan berlari ke kamar mandi untuk menjawab panggilan itu.

“Freya, apakah semuanya berjalan lancar semalam?”

Begitu panggilan tersambung, Diana langsung ke intinya.

Pintu kamar mandi sedikit terbuka, dan suara Diana serta suara bening Freya terdengar jelas. “Tidak berjalan lancar.”

“Tidak berjalan lancar? Kalian tidak…?”

“Tidak…”

“Freya,” di seberang telepon, Diana berkata dengan tulus, “kamu harus ingat keadaanmu sekarang. Kamu sekarang adalah menantu keluarga Moretti. Prioritasmu adalah melahirkan anak untuk keluarga Moretti. Jangan lupa bahwa kamu sudah berjanji untuk memberi mereka anak dalam dua tahun!”

Freya menggenggam ponselnya erat-erat. “Bibi, tenang saja. Aku tidak akan lupa.”

Ini hanya karena dia belum punya pengalaman, ini pertama kalinya dia menikah.

“Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin untuk melahirkan anak dengan Tuan Moretti!”

Mendengar jawaban tegas dari Freya, Diana menghela napas lega. “Dan juga, jangan terus-terusan memanggilnya begitu. Kalian sudah menikah sekarang. Kamu harus memanggilnya suamimu.”

Wajahnya memerah: “Iya, aku tahu…”

Setelah berkata begitu, dia mendengar pintu kamar tidur terbuka.

Dia mengira pelayan masuk ke dalam. Takut mereka akan mengganggu tidur Luca, dia segera menutup telepon dan keluar.

Namun, kamar itu kosong. Luca yang sebelumnya berbaring di tempat tidur, dan kursi roda di dekat pintu, keduanya tidak ada.

Freya panik.

Ia segera Berlari ke bawah.

Di ruang makan, seorang pria berpakaian hitam sedang duduk di meja makan, perlahan menikmati sarapannya. Matanya masih tertutup kain sutra hitam dan wajahnya terlihat sangat dingin.

“Nyonya, silakan minum kopi pagi ini!” Melihatnya turun, Nyonya Grant langsung menyambut dengan antusias. “Coba cicipi masakan saya, siapa tahu cocok di lidah Nyonya!”

Sikap antusiasnya sangat berbeda dari sebelumnya yang keras.

Freya hanya mengangguk dan duduk.

Di atas meja makan ada ham, susu, dan roti lapis, makanan yang belum pernah ia makan sebelumnya.

Setelah kejadian pagi tadi, Freya tidak bisa meminum kopi yang tidak ia sukai.

Tiba-tiba dia ingat bahwa dia sempat menaruh sepiring acar di kulkas pagi itu.

Luca mungkin tidak suka makanan seperti itu, tapi dia sendiri bisa memakannya, kan?

Lalu dia bangkit dan berlari ke dapur. Kemudian dia meletakkan acar di depannya dan mulai memakannya dengan lahap.

Luca mengerutkan dahi dan bertanya dari seberang meja makan yang lebar, “Apa yang sedang kamu makan?”

Freya mengerucutkan bibir. “Makanan yang tidak kamu suka.”

Pria itu tersenyum tipis. “Bagaimana kamu tahu aku tidak suka itu?”

Dia cemberut dan suaranya terdengar sangat polos, tanpa maksud jahat, “Nyonya Grant yang bilang.”

Nyonya Grant yang berdiri agak jauh langsung merasa punggungnya dingin.

“Begitu?” Dia tampak memikirkan sesuatu, lalu berbicara dengan nada dalam, “Kalau begitu, kenapa makanan yang aku tidak suka bisa ada di dalam kulkas?”

Freya menggigit bibir sedikit, merasa bersalah. “Itu salahku. Aku tidak belajar dengan baik tentang apa yang kamu suka, dan aku tidak tahu kalau kamu tidak makan makanan rumahan seperti itu. Aku memasaknya sesuai dengan kebiasaanku sendiri. Tapi kalau kamu nggak suka…”

“Benarkah?” Luca meletakkan gelas susunya ke meja.

Gelas itu membentur meja makan dengan bunyi nyaring yang membawa aura berbahaya. Suaranya membuat Nyonya Grant hampir berlutut karena kaget.

Nada Luca dingin seperti musim dingin. “Sebenarnya, aku juga baru tahu... kalau aku tidak suka masakanmu.”

Freya belum sempat meresapi makna kata-katanya ketika dia dengan tepat menarik piring acar di hadapan Freya ke arahnya.

Luca pura-pura meraba makanan dengan alat makannya sebelum dengan tepat mengambil sepotong dan mencicipinya.

Rasa acar itu belum pernah ia coba sebelumnya—asam, manis, pedas, berpadu pas.

“Kemampuan memasakmu tidak buruk.” Dia meletakkan alat makannya dengan elegan. “Nyonya Grant, sejak kapan kau tahu aku tidak suka ini?”

Wanita muda itu sempat naik ke atas dengan marah pagi-pagi. Dia bahkan berbaring di sisi tempat tidur dan mengatakan bahwa dia terlalu sombong. Apakah itu karena dia diperlakukan tidak adil oleh Nyonya Grant?

Nada dingin suaranya membuat Nyonya Grant gemetar. Secara refleks, dia bersembunyi di belakang Anna.

Luca melanjutkan, “Nyonya Grant, kamu diam saja. Apa kamu pikir kamu tidak perlu menjelaskan dirimu pada orang buta seperti aku?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!