“Kamu tuh ganteng, Jo. Ganteng banget. Sayang... sayaaang banget. Tapi kok goblok.”
Itu kalimat terakhir yang keluar dari mulut Mbok Sarni, pemilik warung legendaris di Kampung Blimbing, sebelum melempar sebungkus gorengan ke muka Paijo. Tepatnya bakwan. Masih anget.
“Woy, Mbok! Sakit, tahu!” Paijo ngedumel sambil ngelap minyak di pipinya yang mulus level aktor Korea ketuker ojek online.
“Ganteng doang nggak cukup, Jo! Lha wong kamu kerjaanmu cuma nyisir rambut, liatin kaca jendela sambil cengar-cengir, kek orang kesurupan cinta monyet!”
Ya, begitulah nasib Paijo Madindun, 21 tahun, tinggi 185 cm, kulit sawo matang eksotis, dagu belah, mata tajam kayak sinetron jam 7 malam. Sayangnya, dia lahir bukan di Senopati, bukan juga di Menteng. Tapi di belakang kandang sapi Kampung Blimbing. Dan semua potensi ‘kegantengan’ itu kayak nggak ada gunanya.
“Eh, kamu tuh kalo di Jakarta mungkin udah jadi bintang iklan sabun,” kata Paiman, temennya yang gigi depannya hilang gegara main petasan.
Paijo manyun. “Itu dia, Man. Aku mikir... aku harus cabut. Jakarta menungguku.”
“Menunggu kamu jadi gembel?”
Malam itu, Paijo duduk di teras rumahnya yang setengah roboh. Di sebelahnya, Mbok Sarni—neneknya yang galaknya melebihi debt collector.
“Jo, kamu serius pengen ke Jakarta? Kalo kamu diculik truk ayam, Mbok nggak tanggung jawab, lho.”
“Mbok... Paijo ini bukan anak kecil. Paijo ini... calon bintang!”
“Bintang sinetron yang nggak laku?! Lha modalmu apa ke sana? Ganteng doang? Jakarta tuh kejam, Jo. Orang di sana makannya spaghetti, kamu baru aja liat spaghetti langsung bilang 'mie nyasar'!”
“Yaa... siapa tahu Paijo hoki. Jadi model, syuting iklan... atau jadi artis.”
Mbok Sarni ngelus dada. “Terserah kamu lah, Jo. Tapi inget, jangan sampe pulang tinggal nama.”
Dengan restu setengah ikhlas dari Mbok Sarni, dan satu tas ransel butut berisi dua kaus oblong, satu celana jeans sobek, serta pomade, Paijo naik bus ekonomi ke Jakarta.
Perjalanan Paijo pun dimulai.
...****************...
Tiba di Terminal Kampung Rambutan, Paijo turun dari bus dengan semangat menggelegak. Jaket denim dipake, kacamata hitam ditaruh di jidat, jalan sambil sok cool kayak aktor film action.
Lalu dia disapa oleh seseorang.
“Woy, mas! Mau nginep? Hotel murah, AC, ada TV, bisa checkout sejam!”
Paijo bingung. “Lho... saya baru nyampe... bukan nyari hotel...”
“Lah ganteng-ganteng begini, pasti turis luar kampung ya?” cengar pemuda itu sambil nyodorin brosur yang tulisannya lebih gede dari niat hidup Paijo.
Dengan modal Google Maps dan mental nekat, Paijo menuju kos-kosan murah di daerah Tebet yang dia temukan di Facebook. Tapi pas sampe, ibu kosnya malah ngomel.
“Mas Paijo ya? Yang chat semalem? Lah ini bukan kamar kos, mas... ini kontrakan buat keluarga! Wong sampean aja masih bau terminal!”
Akhirnya Paijo menginap semalam di musala. Tidur beralas kardus bekas mi instan, ditemani suara azan subuh dan dengkuran bapak-bapak yang mirip beatbox gagal.
Besok paginya, Paijo muter-muter Jakarta. Dia masuk ke agensi model, bawa foto selfie cetakan warnet. Disambut dengan tatapan bingung.
“Mas Paijo ya... Hmm, sorry, portfolio-nya kayak pas foto buat lamaran kerja di kelurahan. Kita butuh yang lebih... edgy.”
“Edgy itu... nama kecamatan?”
Diusir secara halus, Paijo keluar sambil lemes. Tapi takdir mulai main peran ketika ia duduk di bangku taman, dan dihampiri oleh wanita setengah baya berpenampilan modis, berkacamata hitam, dan bawa anjing pudel warna pink.
“Dek... kamu model ya?”
Paijo tersenyum lebar. “Iya, Bu. Calon.”
“Hmmm... kamu cocok jadi... entertainer. Tante butuh teman ngobrol. Mau nggak ikut Tante ke kafe? Kita ngobrol-ngobrol dikit... siapa tahu rezeki.
Nama wanita itu Tante Rini. Usia sekitar 45 tahun, kulit putih bening kayak hasil skincare 8 juta semalam, rambut dicat merah maroon, dan suara... agak serak-serak syahdu kayak penyanyi jazz gagal audisi. Tapi yang paling mencolok adalah anjing pink-nya yang bernama "Cupcake”.
“Dek... nama kamu siapa?” tanya Tante Rini saat mereka duduk di kafe mahal yang bahkan sendoknya punya merk.
“Paijo, Tante. Tapi kalau susah nyebutnya, bisa panggil saya... eh... Joe.”
“Oh, Joe... cute. Kamu tuh ganteng ya. Tipe tante banget,” ucapnya sambil nyeruput espresso yang rasanya kayak air aki mahal.
Paijo cuma nyengir. “Makasih, Tante. Tante juga... cakep banget, kayak artis-artis Korea yang udah pensiun.”
BLUK!
Tante Rini hampir keselek espresso-nya.
“Duh, kamu ini lucu ya. Tante suka anak muda yang jujur.”
Obrolan mereka lanjut. Dan saat itu juga, Paijo merasa harapan hidupnya naik. Dia pikir, “Ini nih, yang disebut pintu rezeki! Jakarta nggak sekejam kata Mbah!”
“Jadi, gini, Joe. Tante tuh butuh semacam... asisten pribadi. Nggak susah kok. Nemenin Tante kalau ke butik, ke spa, kadang-kadang nemenin makan malam juga. Tante kasih uang saku, fasilitas, dan... mungkin... lebih.”
Paijo mikir sebentar. “Wah, gampang banget! Kayak jadi supir pribadi tapi versi cakep. Ini nih, kerjaan impian!”
“Iya, Tante! Saya siap! Demi masa depan dan... kemajuan ekonomi pribadi saya!”
Besoknya, Paijo resmi mulai “kerja”. Dikasih pakaian rapi, parfum mahal, dan... satu apartemen kecil di Sudirman buat tempat tinggal.
Di sinilah Paijo mulai merasa aneh.
Hari pertama, dia diajak belanja ke butik.
“Joe, menurut kamu warna bra ini cocok buat Tante?”
Paijo mengerutkan kening. “Eh... kayaknya... ungu lebih manis, Tante. Yang pink kayak... Cupcake.”
Tante Rini ngakak. “Kamu ini lucu deh. Tapi jujur. Tante suka.”
Hari kedua, dia diajak spa.
“Joe, bisa tolong pijitin pundak Tante? Duh, pegel banget nih. Abis yoga.”
Hari ketiga...
“Joe... boleh temenin Tante nginep di villa weekend ini? Sekalian Tante ajarin kamu gimana cara jadi cowok yang... profesional.”
Paijo mulai curiga. Tapi karena uang sakunya langsung naik drastis dan sekarang dia bisa makan sushi tiap hari, dia masih cuek.
“Ah, mungkin ini bagian dari pelatihan asisten elit,” pikirnya polos.
Sampai akhirnya dia ketemu dengan Bang Ucok, satpam apartemen, yang memperhatikan Paijo keluar-masuk dengan tante-tante beda tiap minggu.
“Woy, Jo. Gila lu, anak baru udah jadi legenda apartemen. Ganteng sih... pantes.”
Paijo nyengir bangga. “Iya, Bang. Kerja keras nggak mengkhianati hasil.”
Ucok melotot. “Kerja keras apaan? Lu itu sekarang... gigolo, Jo!”
GUBRAK.
Dunia Paijo jungkir balik.
“Apa?! GIGOLO?! Gua pikir ini kerja halal full etika dan estetika??!”
Bang Ucok cuma ngakak sambil tepuk-tepuk punggung Paijo. “Welcome to Jakarta, Bro. Lu bukan cuma cakep, tapi juga laku!”
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
Paijo pulang ke apartemen malam itu dengan perasaan campur aduk. Dia duduk termenung di bawah lampu apartemen yang sengaja diredupkan bagai warung remang-remang di pinggir Kalimalang.
Di satu sisi, rekeningnya tiba-tiba berisi puluhan juta. Di sisi lain, harga dirinya kayak habis digoreng dan dilumur sambal.
Tapi dia mulai terbiasa. Apalagi saat permintaan datang bertubi-tubi: Tante Wati—janda properti, Bu Mega—istri komisaris, Kak Caca—dosen psikologi suka brondong, Dan tentu saja... Cassandra, mahasiswi rich girl yang ngajak "main roleplay" dan terakhir si Madam Sofie yang gila drama Korea.
Paijo si pecundang mulai menjelma jadi Joe the Gigolo.
Meski awalnya tak sadar dirinya sedang jadi lelaki pemuas kesepian di kota besar, Paijo — atau nama panggung barunya, “Joe” — perlahan mulai menguasai dunia malam penuh rahasia itu. Siapa yang tidak kenal dengannya? Namanya sudah menjadi favorite semua member Klub Brondong Lovers.
Dia bukan lagi pemuda kampung yang makan tempe murni garam, tapi sekarang tiap hari sarapan croissant dan cappuccino… meski kadang gak ngerti itu makanan apa.
Berikut adalah daftar klien tetap Paijo, lengkap dengan keunikan, “layanan”, dan interaksi kocaknya.
1. Tante Rini – Founder Klub Brondong Lovers
Usia: 45 tahun
Latar: Janda kaya raya, bisnis klinik kecantikan.
Keunikan: Suka cowok ganteng yang bisa "bikin dia ketawa dulu, baru... yang lain menyusul."
Permintaan khusus: Nemenin spa, mijit kaki, main uno stacko sambil dipijit.
Motto: “Kalau belum keringetan, belum ada gregetnya.”
📌 Interaksi kocak:
“Joe... Tante mau permainan baru malam ini.”
“UNO lagi, Tante?”
“Bukan... Ludo. Tapi kalau kamu kalah, baju copot ya.”
“Tante... Paijo juara Ludo kampung. Siap tempur!”
2. Ibu Mega – Istri Pejabat Boring
Usia: 38 tahun
Latar: Istri komisaris BUMN. Suami terlalu sibuk proyek.
Keunikan: Suka ngajak dinner ala film, minta Paijo jadi tokoh film Hollywood.
Permintaan khusus: Jadi “Jack” dari Titanic tiap malam minggu.
Motto: “Say ‘I’m the king of the world!’ sambil buka baju, Joe!”
📌 Interaksi kocak:
“Joe... malam ini kita roleplay ya.”
“Oke, Bu. Jadi apa?”
“Kamu jadi Dilan, aku Milea.”
“Bu... Dilan tuh SMA, kita beda generasi...”
“Mulutmu kayak warung pecel, rame banget. Roleplay aja!
3. Caca – Dosen Psikologi Spesialis Daddy Issues
Usia: 33 tahun
Latar: Dosen kampus swasta, mantan aktivis.
Keunikan: Suka curhat sambil main tarot.
Permintaan khusus: Jadi “terapis spiritual” dan baca kepribadian Paijo tiap ketemu.
Motto: “Kamu tuh... inner child-nya luka. Sini Tante rawat.”
📌 Interaksi kocak:
“Joe... kamu tuh sebenernya insecure sama figur ayah.”
“Saya gak punya ayah, Bu. Emang ilang.”
“Lihat kan? Trauma!”
“Ini kok jadi konsultasi psikologi campur gombal, sih?!”
4. Clara – Janda Influencer Selebgram
Usia: 29 tahun
Latar: Selebgram 1,2M followers, suka flexing.
Keunikan: Tiap kencan harus difoto candid dan diselipin quotes motivasi.
Permintaan khusus: Jadi “pacar palsu” buat konten IG Story.
Motto: “Hidup itu indah... asal punya brondong estetik.”
📌 Interaksi kocak:
“Joe... senyum dikit dong. Caption-nya: 'He completes me, but also ruins me.'”
“Bu... ini kita makan nasi goreng pinggir jalan.”
“Aesthetic-nya dapet, Bro. Trust me.”
5. Debby – Tante Mistis
Usia: 41 tahun
Latar: Kolektor batu akik dan penganut ilmu kebatinan.
Keunikan: Suka ngajak ritual tengah malam di taman kota.
Permintaan khusus: Dipegangin lilin sambil dia mantra-mantra.
Motto: “Energi kamu terlalu maskulin... kudu diseimbangkan chakra-nya.”
📌 Interaksi kocak:
“Joe... kamu mengandung energi leluhur.”
“Ya Allah, ini tante mau nyantet saya apa gimana?”
“Tenang. Tante cuma mau buka aura kamu... biar lebih... nendang di kasur.”
💭Catatan Harian Paijo (yang jadi Gigolo Setengah Hati)
“Setiap wanita punya keunikan. Ada yang ngajak karaoke, ada yang minta dipijat sambil bahas politik, bahkan ada yang ngajak main catur bugil (aneh banget, tapi nyata). Tapi satu hal yang sama: mereka semua butuh perhatian. Dan dari situ aku mulai mikir... mungkin hidupku bukan cuma soal duit. Tapi soal... dicintai?”
6. Madame Sofie – Sultanah Pecinta Drakor & Brondong
Usia: “Rahasia negara” (perkiraan 50+ tapi kulitnya kayak porselen—hasil facelift tiap dua bulan)
Latar: Janda 3x, pemilik butik tas Hermes second dan saham tambang batu bara.
Keunikan: Obsesif sama Drakor, suka manggil Paijo "Oppa", dan punya 12 kucing angora dengan nama karakter K-Drama.
Permintaan khusus: Harus tinggal di rumah mewahnya di Pondok Indah sebagai “Oppa Rumah Tangga”.
Motto: “Kalau Hyun Bin bisa punya Son Ye Jin, kenapa aku gak bisa punya kamu, Paijo?”
📌 Interaksi kocak & absurd:
Suatu malam di rumah megah bergaya Korea fusion, Paijo duduk pakai piyama sutra warna pink, dikelilingi 12 kucing yang duduk rapi kayak pengawal kerajaan.
Madame Sofie: “Oppa... hari ini kita latihan adegan Crash Landing on You, ya?”
Paijo: “Yang mana, Bu?”
Madame Sofie: “Waktu Yoon Se-ri jatuh dari parasut, terus Ri Jeong-hyeok tangkap dari belakang.”
Paijo: “Tapi saya gak lihat parasut, Bu. Paling-paling saya tangkap cucian jemuran.”
📦 Fasilitas yang Diterima Paijo:
Kamar pribadi full interior Korea style (poster BTS & EXO tempel di dinding).
Dikasih mobil Alphard cuma buat beli cilok.
Sarapan wajib kimchi dan nonton drama bareng.
Gaji: gak jelas jumlahnya karena Madame selalu kasih cash di dalam tas merek mahal, kadang diselipin di nasi goreng.
Dilarang keluar rumah tanpa izin & harus laporan 3x sehari dengan video call.
📌 Momen absurd puncaknya:
Suatu malam, Madame Sofie manggil Paijo ke ruang tamu.
Madame: “Oppa, aku punya pengumuman. Mulai besok, kamu gak boleh kerja ke klien lain lagi.”
Paijo: “Lho? Kenapa?”
Madame: “Aku udah daftar kamu ke biro nikah palsu. Kita pra-pernikahan spiritual. Mulai sekarang, kamu pasangan rumah tangga contract base.”
Paijo: “ASTAGA, IBU MAU BIKIN SAYA JADI SUAMI FREELANCE?!”
💭 Catatan Paijo (setengah ketawa, setengah stres):
“Saya kira gigolo itu cuma kayak teman makan dan nyanyi karaoke. Tapi ini... saya disuruh jadi suami semi-permanen buat janda crazy rich pencinta drakor. Kadang saya pengin balik jualan pisang goreng di kampung...”
Bonus Fakta:
Madame Sofie punya:
CCTV 24 jam di semua sudut rumah.
Robot pel rumah yang dinamai “OppaBot”.
Playlist lagu galau Korea yang wajib diputar tiap malam: kalau Paijo gak nyanyi, gajinya dipotong.
Dengan Madame Sofie jadi langganan VIP Platinum, Paijo makin kehilangan arah hidup... tapi tetap dijalani karena rekening makin gemuk.
Ya, walau duit ngalir kayak warisan turunan jin, Paijo makin sadar: hidup begini enak, tapi hati kosong. Sekosong dompetnya dulu saat masih jadi kang bakwan di kampung. Dompet yang hanya selalu terisi hembusan angin.
Wuuuusshhhh
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
Siang itu, Jakarta terasa sangat panas. Paijo melangkah masuk ke sebuah kafe di SCBD dengan wajah sedikit letih. Hari-harinya di ibu kota penuh perjuangan, dan kini dia hanya ingin duduk santai sambil menyeruput kopi.
Semua meja sudah penuh kecuali satu kursi di sebelah seorang gadis yang asyik menatap layar laptopnya. Dari wajahnya yang sedikit muram, jelas terlihat dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik.
Paijo ragu sejenak, kemudian memberanikan diri bertanya, “Mbak, kursinya kosong, ya?”
Gadis itu menoleh, matanya yang cokelat lembut tampak sedikit berkaca-kaca. “Iya, silakan duduk,” jawabnya pelan.
Paijo duduk dan memperhatikan sejenak. Gadis itu terlihat berusaha menahan air mata. Tanpa pikir panjang, Paijo mencoba membuka percakapan, “Saya lihat Mbak kayak lagi ada masalah, ya?”
Gadis itu menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Iya, lagi banyak pikiran. Tugas kuliah menumpuk, dan urusan keluarga yang cukup rumit.”
Paijo mengangguk memahami. “Saya dulu juga sering mengalami hal seperti itu saat baru tiba di Jakarta. Hidup di sini memang tidak mudah, kadang membuat kita ingin menyerah.”
Suzy menatap jauh ke luar jendela, seolah mencari keberanian untuk berbagi lebih banyak. “Kadang, aku merasa keluarga itu seperti beban yang berat. Rasanya aku harus jadi kuat, tapi di balik itu aku juga butuh seseorang yang mengerti dan bisa jadi tempat aku curhat.”
Paijo memandangnya dengan penuh perhatian. Dia bisa merasakan betapa dalam luka yang sedang Suzy pendam. “Kalau mau cerita, saya siap dengerin kok. Kadang, cerita itu bisa bikin beban terasa lebih ringan.”
Suzy tersenyum tipis, sedikit lega. “Makasih, Mas. Jarang banget aku nemu orang yang mau dengerin tanpa menghakimi.”
Percakapan mereka mengalir semakin dalam, dari masalah kuliah sampai tentang harapan dan mimpi yang belum tercapai. Ternyata Suzy berusia 19 tahun dan saat ini berkuliah di UI.
Paijo bercerita tentang kampung halamannya yang jauh, dan bagaimana dia berusaha bangkit dari status pecundang menjadi seseorang yang bisa dibanggakan.
Suzy mendengarkan dengan penuh perhatian. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia merasa sedikit lega dan lebih ringan.
“Nama saya Paijo,” ucapnya sambil tersenyum.
“Aku Suzy,” jawab gadis itu sambil tersenyum kembali, matanya yang tadi sendu mulai berbinar.
Mereka saling bertukar nomor telepon dan sepakat untuk bertemu lagi. Ketika Paijo meninggalkan kafe itu, hatinya terasa lebih ringan. Mungkin pertemuan tidak sengaja ini adalah awal dari sesuatu yang baru.
Sejak pertemuan di kafe SCBD itu, nama “Suzy” muncul di notifikasi WhatsApp Paijo setiap malam. Awalnya hanya ucapan terima kasih dan basa-basi, tapi lama-lama, percakapan mereka mengalir begitu saja. Mulai dari topik makanan favorit, film kesukaan, sampai obrolan ringan tentang Jakarta yang makin hari makin panas.
Suzy ternyata sosok yang hangat dan penuh perhatian. Tapi di balik senyum dan candanya, Paijo masih bisa merasakan ada lapisan luka yang belum sembuh. Dia tidak tahu apa, tapi firasatnya sebagai pria yang sudah “melayani” banyak wanita membisikkan hal itu.
...****************...
Hidup Paijo mulai naik level.
Sejak jadi langganan Madam Sofie (yang hobi ngajak dansa pakai wig warna-warni), tawaran makin banyak. Grup “Teman Curhat Premium” tempat dia dipasarkan makin ramai dengan testimoni absurd seperti:
"Mas Paijo tuh... kayak obat nyamuk elektrik. Gak kelihatan, tapi ampuh mengusir sepi!" — Tante Vina, 52 tahun, CEO skincare MLM.
Suatu malam, HP-nya bunyi.
Pengirim: Mbak Jeny (agen langganan Paijo).
Pesannya singkat:
“Klien baru. Gak suka basa-basi. Lokasi: Menteng. Bayar dobel. Syarat: wangi, sopan, gak usah sok lucu. Langsung berangkat.”
Perjalanan ke Menteng, Paijo naik taksi online sambil dandan seadanya. Kemeja putih, celana bahan, parfum mahal hasil bonus bulan lalu.
Di otaknya, “Kali ini tante-tante berkelas nih. Harus kalem. Jangan kayak pas di BSD, yang disuruh jadi tukang urut sambil nyanyi dangdut.”
Mobil berhenti di sebuah rumah tua ala kolonial Belanda. Gerbangnya besar. Ada plakat kecil di samping pintu bertuliskan:
Rumah adalah tempat di mana luka bisa istirahat.
“Halah, ini rumah atau klinik jiwa?” batin Paijo.
Pintu dibuka oleh seorang wanita muda—mungkin asisten rumah tangga, atau mungkin sekretaris pribadi. Tatapannya tajam, gayanya rapi.
“Mas Paijo, ya? Silakan masuk. Madam sudah menunggu di perpustakaan.”
Perpustakaan?!
Baru kali ini Paijo ‘manggung’ di ruangan berisi buku. Biasanya dia di ruang karaoke atau gazebo penuh lilin aroma terapi.
Di dalam ruangan, duduk seorang wanita anggun, usia sekitar akhir 30-an atau awal 40-an. Rambut panjang disanggul rapi. Kalung mutiara melingkar di lehernya. Bajunya sederhana tapi mahal—kelas konglomerat yang ogah pamer tapi dompetnya berisik.
“Selamat malam,” katanya pelan.
“Silakan duduk, Mas Paijo.”
Paijo langsung duduk tegak. Suasana serius. Ada aroma teh melati dan lilin vanilla. Wanita itu menatap Paijo, lama, seperti menilai lukisan.
“Saya pesan kamu... bukan untuk hal-hal aneh. Saya cuma butuh teman bicara. Seseorang yang gak kenal saya. Gak menghakimi," ucap wanita itu
“Saya di sini buat dengerin, Bu. Saya bisa jadi siapa aja. Mau saya jadi tembok? Sandaran? Tempat ngeluh?” jawab Paijo ringan.
Wanita itu tersenyum sedikit, “Kamu lucu. Tapi bukan itu yang saya cari.”
Ia membuka buku catatan kecil, lalu berkata, “Kalau kamu harus meninggalkan seseorang karena masa lalu... kamu akan pergi, atau tetap tinggal?”
Pertanyaan itu bikin Paijo bengong.
"Ini... curhat? Tes kepribadian? Atau... kode keras?"
“Kalau saya... saya mungkin bodoh. Tapi saya lebih suka tetap tinggal. Karena cinta... gak pernah bersih dari masa lalu," jawab Paijo mulai serius, bisa dibilang saat ini adalah kali pertama dirinya mode seserius itu setelah menekuni profesinya itu.
Akhirnya mereka ngobrol hampir satu jam. Topiknya campur aduk—tentang psikologi, anak muda zaman sekarang, dan... pendidikan. Wanita itu sempat bilang:
“Anak saya perempuan. Umurnya 19. Kuliah di UI. Pintar, keras kepala. Kami jarang bicara. Dia gak tahu saya begini.”
Paijo hanya mengangguk, senyum sopan.
Di matanya, wanita ini bukan seperti klien-klien lainnya. Ada luka di balik kecantikan. Sesuatu yang tidak diberi nama.
Sebelum pamit, wanita itu memberi amplop. Dan satu kalimat:
“Saya akan panggil kamu lagi minggu depan, Mas Paijo. Tapi tolong... jangan banyak tanya. Anggap saya seperti buku yang belum boleh dibaca semua halamannya.”
Saat Pulang di dalam taksi, Paijo bengong. Energinya seperti terkuras saat berbicara dengan wanita tadi.
“Anaknya kuliah di UI. Umur 19. Wajahnya... mirip Suzy, gak ya?”
Tapi ia buang jauh pikiran itu.
“Ah, enggak lah. Dunia gak sekecil itu.”
Di tempat lain malam itu, Suzy update story IG. Sebuah foto selfie di balkon dengan caption.
Mood hari ini: pengen peluk seseorang yang ngerti aku apa adanya.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!