Pagi itu di kediaman Wijaya, terdengar teriakan di depan kamar seorang cewek cantik.
"Lia, Lia... cepat bangun," teriak Pratama sambil terus mengetuk pintu.
"Lia, sudah jam 7 nih... cepat bangun," Pratama berteriak dengan suara yang lebih keras lagi sambil mengetuk pintu dengan kuat.
"Iya Kak, kenapa baru dibangunin sih?" cewek itu menjawab sambil bersungut pelan.
Dia terduduk sambil melirik jam yang ada di atas meja samping kasurnya, dengan panik dia menarik tubuhnya turun dari kasur saat melihat jam menunjukkan pukul 06:12, dia bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah siap dengan seragamnya, dia menyisir rambut hitamnya yang sebahu. Dia tersenyum menatap pantulan dirinya yang ada di dalam cermin meja rias.
Wajah putih mulus dengan mata cantik dan bulu mata yang lentik, hidungnya mancung serta juga bibir mungil berwarna merah muda semakin menambah kecantikannya.
Namanya Emilia Wijaya, cewek cantik yang sekarang duduk di kelas 3 SMA. Selain cantik dia juga seorang yang ramah dan baik hati.
Dengan cepat dia meraih tas sekolah yang ada di atas meja belajarnya, lalu berlari cepat menuruni tangga.
Ternyata semua Wijaya yang lain sudah duduk dan sedang menikmati sarapan di meja makan.
"Selamat pagi semuanya," sapa Emilia sambil meletakkan tas sekolahnya dan duduk di kursi antara mama dan kakak laki-lakinya.
"Pagi juga Lia," jawab papa Darwin dan mama Dewi bersamaan.
"Lia, kamu itu tidur apa pingsan sih? susah banget dibangunin," ucap Pratama sambil tersenyum mengoloknya.
Pratama adalah kakak laki-laki dan juga saudara Emilia satu-satunya. Walaupun kakaknya suka menjahilinya, Emilia tahu kalau kakaknya sangat menyayanginya.
Pratama mempunyai wajah yang tampan. Mata coklatnya yang indah dan tajam itu mampu membuat cewek-cewek di kampus tergila-gila padanya.
"Maaf Kak, semalam Lia lupa setel alarm," Emilia tersenyum malu.
"Wah, ada yang tidak beres nih Ma, jangan-jangan Lia sudah punya pacar ya Ma," Pratama kembali mengolok adiknya.
"Mana ada Kak, lagian apa hubungannya lupa setel alarm dengan punya pacar?" Emilia menepis tangan kakaknya yang sedang mencubit pipinya dengan gemas.
"Siapa tahu kamu semalam keasikan chat sama pacar sampai lupa setel alarm," Pratama terus menggoda Emilia sambil terkekeh.
"Ish Kakak nih," Emilia memutar bola matanya dengan malas.
"Sudah, jangan ribut lagi, cepat habiskan sarapannya," Mama Dewi menengahi mereka.
Emilia dengan cepat menghabiskan makanannya, terakhir menengguk habis susunya.
"Ayo kita berangkat," Papa Darwin bangun dari kursinya.
Sesampai di teras rumah Papa Darwin mengecup kening Mama Dewi dengan lembut dan penuh cinta.
Mereka sungguh pasangan yang bahagia dan bisa bikin iri orang yang melihatnya. Emilia dan Pratama juga berpamitan dengan Mama Dewi.
Karena sekolah Emilia dan kampus Pratama satu arah dengan kantor Papa Darwin, setiap pagi mereka akan berangkat bersama.
Papa Darwin duduk di depan bersama sopir mereka, pak Amat, sedangkan Emilia dan Pratama duduk di kursi belakang.
Papa Darwin adalah seorang pengacara yang cukup terkenal di kota itu. beliau telah memenangkan banyak perkara yang ditanganinya, walaupun perkara yang rumit sekalipun. Istri dan anaknya sangat bangga padanya.
"Aduh, Kak Tama kenapa sih? kebiasaan deh," Emilia menepis tangan Pratama dari pipinya, lalu dia menggosok kedua pipinya yang tampak memerah itu.
"Habis, dari tadi Kakak panggil-panggil, kamunya malah melamun terus," Pratama menggeser posisi duduknya.
"Kan bisa tanpa mencubit pipiku Kak, sakit tahu," protes Emilia.
Papa Darwin menoleh sambil tersenyum melihat tingkah kedua anaknya itu.
"Kamu kenapa Lia? kok banyak melamun?" Pratama menatap Emilia penuh selidik.
"Mungkin karena ujian semakin dekat Kak, Lia agak stress," Emilia membuang nafas dengan kasar.
"Loh, stres kenapa?" tanya Pratama dengan tatapan heran.
"Ish Kakak ya, mentang-mentang pintar, otak Lia kan tidak sepintar Kak Tama," Emilia mendengus kesal.
Pratama memang tidak hanya tampan saja, tetapi dia juga jago dalam olahraga dan mempunyai otak yang jenius.
"Lia juga pintar kok, kamu hanya perlu lebih rajin belajar," hibur Pratama sambil mengelus kepala adiknya itu dengan lembut.
Emilia mengangguk pelan, lalu memalingkan wajahnya menatap keluar jendela mobil.
"Apa kamu perlu bantuan kakak? kalau selesai makan malam kan kita masih ada waktu,"
"Nggak usah Kak, Lia juga tahu Kak Tama lagi sibuk skripsi, nanti kalau ada yang Lia tidak ngerti, Lia akan tanya sama Kakak," Emilia tersentuh dengan perhatian kakaknya itu.
Pratama mengangguk sambil tersenyum hangat menatap adiknya, tanpa terasa mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah.
Di atas gerbang nama SMA Mulia Jaya terlihat jelas, SMA ini merupakan salah satu sekolah elit di kota ini. Kampus Pratama berada tepat di sebelah sekolah Emilia, universitas Mulia Jaya tempat Pratama kuliah adalah satu yayasan dengan sekolah Emilia.
Mereka berdua berpamitan dengan papa Darwin sebelum turun dari mobil.
"Selamat belajar ya," papa Darwin menyemangati mereka berdua.
"Iya Pa," jawab Emilia dan Pratama bersamaan.
Mereka berdua melambaikan tangan pada Papa mereka sambil turun dari mobil.
"Lia duluan ya Kak," Emilia berlari dengan cepat saat melihat pak satpam mulai menutup gerbang sekolah. Pratama hanya tersenyum sambil menatap adiknya yang semakin menjauh.
Pratama melangkah dengan santai sambil menikmati angin pagi yang bertiup lembut membelai wajah tampannya. Diapun masuk ke dalam gerbang Universitas Mulia Jaya yang bersebelahan dengan gerbang sekolah adiknya.
Emilia semakin panik dan mempercepat larinya saat melihat tidak ada siswa lain selain dirinya, itu berarti semua siswa sudah masuk ke kelas masing-masing.
Akhirnya dia sampai juga di depan ruang kelasnya yang berada di paling ujung. Sambil mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan, Emilia mencoba mengintip ke dalam kelas.
"Syukurlah, gurunya belum datang," Emilia mengelus dadanya karena merasa lega.
Dia segera masuk dan berjalan ke bangkunya, terlihat seorang cewek cantik dengan rambut panjang terurai melambai kepada-nya dengan semangat.
Sambil tersenyum manis Emilia membalas lambaiannya, lalu dia menjatuhkan diri di atas kursinya sambil memasukkan tas ke dalam laci mejanya.
"Lia, tumben kamu terlambat?" tanya cewek itu.
Dia adalah sahabat Emilia, namanya Veronica Halim biasanya Emilia memanggil dia Ve. Veronica duduk tepat di belakang Emilia.
"Semalam aku lupa setel alarm Ve," jawab Emilia sambil sibuk mengelap keringatnya dengan tisu.
"Kok bisa? mikirin apa sih kamu?" Veronica menatap wajah Emilia dengan heran.
"Entahlah," Emilia mengangkat bahunya dengan malas.
"Makanya Lia, jangan hanya sibuk mikirin pacar, alarm nya juga harus ingat disetel," ucap Jimmy sambil terkekeh.
Jimmy adalah teman sebangku Emilia, dia juga sahabat Emilia selain Veronica. Dia pujaan hati semua siswa cewek di sekolah ini, ya tidak semuanya juga sih, akan tetapi sebagian besar siswa cewek di sini tergila-gila padanya. Bagaimana tidak, selain berwajah tampan Jimmy juga pintar, baik hati dan ramah.
"Pacar dari mana Jim?" jawab Emilia dengan malas.
Belum sempat Jimmy menjawab, wali kelas mereka sudah melangkah masuk ke dalam kelas. Mereka pun mulai mengikuti pelajaran dengan tenang.
Emilia Wijaya
Bel tanda istirahat berbunyi, para siswa berhamburan keluar kelas. Emilia menggerak-gerakkan jarinya yang pegal.
"Sini, aku pijitin," Jimmy menarik tangan Emilia lalu memijatnya dengan lembut.
"Deg, kok jantungku tiba-tiba berdebar tidak karuan ya?" batin Emilia.
Emilia menundukkan kepalanya tidak berani menatap wajah Jimmy. Veronica berdiri di samping Emilia sambil merenggangkan tubuhnya.
"Wah, enak banget Lia, aku juga mau dong Jim," Veronica menjulurkan kedua tangannya kearah Jimmy.
"Ayo, sambil kita jalan ke kantin," ucap Jimmy sambil melepaskan tangan Emilia dari genggamannya, lalu dia berjalan mendekat ke Veronica.
"Sret, ada yang aneh dengan diriku, ada rasa tidak senang saat Jim langsung melepas tanganku. Aku ini kenapa? padahal Jim biasanya juga bersikap seperti ini," Emilia bertanya-tanya dalam hatinya.
"Bagian mana yang mau dipijitin Ve?" goda Jimmy.
"Jari-jari ini Jim, memangnya di mana lagi," Veronica dengan cepat mengulurkan tangan kanannya ke arah Jimmy. Jimmy menarik tangan Veronica sambil tertawa pelan.
"Ayo Lia," Veronica menarik tangan Emilia untuk mengikutinya.
Begitu sampai di pintu kelas, Veronica dengan cepat melepaskan tangannya dari pijatan Jimmy.
"Udah Jim, terima kasih ya," Veronica tersenyum manis pada Jimmy.
"Benar? ini baru mulai pijat," Jimmy menatap Veronica dengan heran.
"Aku tidak mau terbunuh oleh tatapan mata para penggemarmu Jim," Veronica pura-pura memasang wajah yang serius.
"Bisa saja kamu Ve," Jimmy menggeleng sambil tertawa mendengar jawaban Veronica.
"Aku serius Jim, coba kamu lihat," Veronica menunjuk dengan matanya, beberapa cewek yang lewat di depan kelas mereka, sedang menatap Emilia dan Veronica dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Biasa saja Ve, cowok ganteng pasti selalu dikagumi di mana-mana," ucap Jimmy sambil tertawa lalu melangkah pergi ke kantin.
Emilia dan Veronica ikut tertawa sambil mengikuti Jimmy dari belakang. Bisa dilihat banyak cewek yang mencuri pandang ke arah Jimmy, bahkan ada beberapa yang melambaikan tangannya pada Jimmy.
Tentu saja Jimmy membalas lambaian cewek yang menyapanya, itulah Jimmy, dia ramah lingkungan. Ups! maksudnya, dia memang ramah terhadap semua orang.
Banyak dari antara cewek itu menatap tidak suka pada Emilia dan Veronica. Maklumlah, karena mereka berdua ini menjadi korban dari ketenaran Jimmy, ketenaran yang sudah sekelas dengan artis papan atas.
"Kalian berdua mau makan apa?" tanya Jimmy begitu sampai di kantin.
"Aku mau nasi goreng saja Jim, dan es teh," jawab Emilia.
" Aku sama Jim," jawab Veronica sambil melirik ke sana-sini mencari meja kosong.
"Oke, kalian berdua cari meja dulu, aku yang pesan makanannya," ucap Jimmy, lalu dia pergi ke tempat pemesanan makanan.
Di ujung ruangan tampak seorang cowok sedang melambaikan pada Emilia dan Veronica. Ternyata Anton, teman Jimmy dari kelas sebelah, Veronica segera menarik tangan Emilia untuk mendekati Anton.
"Kalian bertiga lama banget sih? untung aku sisain tempat buat kalian," ucap Anton sambil mengunyah makanannya.
"Ton, kelas kamu ngapain aja tadi?" tanya Veronica sambil duduk di samping Anton.
"Apa lagi kalau bukan mencatat, dari kemarin-kemarin mencatat terus kerjaan kita," jawab Anton.
"Sama Ton, kelas kita juga, tanganku rasanya seperti mau patah," ucap Veronica sambil mengerucutkan bibirnya.
"Mungkin minggu depan kita sudah bisa masuk ke latihan soal-soal," timpal Emilia.
"Hai Ton, sudah lama ya?" sapa Jimmy sambil duduk di samping Emilia.
"Iya, tadi setelah bel, saking laparnya aku langsung berlari ke kantin," jawab Anton sambil menyuapkan bakso terakhir ke dalam mulutnya.
"Kasihan amat Ton, sampai kelaparan gitu?" Jimmy terkekeh, Emilia dan Veronica ikut tertawa mendengar jawaban dari Anton.
Tidak lama kemudian nasi goreng dan es teh mereka pun datang, Jimmy juga memesan makanan yang sama.
"Tidak terasa ya tinggal 1 bulan lagi kita ujian," ucap Anton.
"Iya nih, aku sampai tidak punya waktu buat jalan-jalan," jawab Veronica sambil menyendok nasinya.
"Tidak apa-apa Ve, setelah selesai ujian kita kan bisa liburan," hibur Emilia.
Veronica mengangguk pelan tanpa menjawab, Jimmy dan Anton hanya tersenyum simpul.
"Ton, kamu mau lanjut kuliah di mana?" tanya Jimmy sambil menikmati nasi gorengnya.
"Aku lanjut ke kota P," jawab Anton sambil menopang dagu dengan tangannya.
" Memangnya kamu mau ambil jurusan apa?" tanya Emilia penasaran.
" Manajemen perhotelan, soalnya papaku ingin aku membantu mengurus hotel kami setelah selesai kuliah nanti," Anton menjelaskan panjang lebar.
"Kalau Jim gimana?" tanya Veronica.
"Aku akan masuk jurusan manajemen bisnis sesuai dengan keinginan papa dan mamaku."
"Berarti kamu kuliah di kota lain dong Jim?" Emilia terlihat sedikit kecewa.
"Iya Lia, nanti aku akan kuliah di kota M, tapi tenang saja, kalau liburan aku pasti pulang kok, kota M kan tidak terlalu jauh." Jimmy menepuk pundak Emilia dengan lembut.
"Kalau Lia sendiri mau ambil jurusan apa?" tanya Anton.
"Aku ambil jurusan perbankan di Mulia Jaya." jawab Emilia.
"Iya aku juga sama, aku sampai sengaja memilih jurusan yang sama dengan Lia, supaya kami bisa bersama terus," timpal Veronica.
"Bilang saja kalau kamu pengen kuliah di kampus yang sama dengan Kak Tama," Emilia menatap Veronica sambil mencebik.
"Kok ngomong begitu sih Lia, aku kan serius tidak mau terpisah darimu," Veronica pura-pura merajuk.
"Siapa Kak Tama?" Jimmy menatap Emilia dan Veronica bergantian.
"Mau tahu aja kamu Jim," Emilia dan Veronica tertawa pelan.
"Kasih tahu dong, jangan bikin penasaran," rengek Jimmy sambil menggoyang bahu Emilia.
"Jim, kamu sekarang tuh seperti anak kecil yang lagi minta permen sama mamanya, tahu nggak?" Anton tidak bisa menahan tawanya.
Begitu juga Emilia dan Veronica langsung tertawa mendengar apa yang Anton ucapkan, Jimmy mendelik kesal kearah Anton.
Bel tanda masuk berbunyi, mereka berempat beranjak dari tempat mereka duduk, menuju ke kasir. selesai membayar mereka langsung berjalan kembali ke kelas.
"Siapa sih Kak Tama itu? bikin penasaran saja," ucap Jimmy dalam hati, wajahnya tampak sedikit kesal karena harus menahan rasa penasaran.
Sesampai di kelas mereka langsung duduk di tempat masing-masing, sedangkan Anton sudah masuk ke kelasnya di sebelah.
"Kenapa Jim terus menatapku seperti itu? jantungku jadi berdebar lagi," Emilia berkata dalam hati. dia melirik Jimmy sebentar dan melihat Jimmy masih sedang menatapnya.
"Kenapa Jim, kok lihatin aku seperti itu?" Emilia memutar kepalanya untuk membalas tatapan Jimmy.
"Lia, Kak Tama itu siapa?" katanya Jimmy pelan.
"Aku pikir kamu kenapa, ternyata masih penasaran," Emilia tertawa pelan.
"Dia itu kakakku, dia kuliah di Mulia Jaya, mungkin kamu pernah melihatnya soalnya setiap pagi kami datang bareng," jelas Emilia.
"Oh, ternyata itu kakaknya, aku malah sempat berpikir kalau itu pacarnya, aku merasa lega sekarang," batin Jimmy sambil tersenyum senang.
Pratama Wijaya
Di depan gerbang sekolah tampak Emilia dan Veronica sedang berdiri bersama dengan beberapa siswa lain untuk menunggu jemputan.
"Lia, nanti kita jadi belajar bersama kan?" tanya Veronica.
"Iya jadi Ve, jam berapa kamu ke rumahku?" jawab Emilia sambil sibuk dengan ponselnya.
"Jam berapa Kak Tama ada di rumah?" Veronica menatap Emilia sambil tersenyum nakal.
"Ternyata bukan mau belajar bersama ya, tapi mau lihat Kak Tama." Emilia menyentil kening temannya itu.
"Duh, kan menyelam sambil minum air," Veronica tertawa pelan sambil menggosok keningnya.
" Kak Tama tidak pasti jam berapa ada di rumah, belakangan dia lagi sibuk skripsi, jadi kamu mau datang jam berapa?" tanya Emilia.
"Jam 2 saja ya Lia, nanti habis belajar kita ke kafe dekat rumahmu mau ya, kita kan sudah lama tidak nongkrong, temanku bilang makanannya enak."
"Oke, boleh Ve, mau ajak Jim tidak?"
"Jangan Lia, aku hanya pengen berdua saja, girl time gitu loh," Veronica merangkul lengan Emilia dengan manja.
"Baiklah, tapi nanti kamu tanya yang jelas letak kafe dan namanya ya, soalnya aku tidak tahu ada kafe dekat rumahku.
"Pasti, nanti kita jalan kaki saja, hitung-hitung bakar lemak," ucap Veronica terkekeh.
"Terserah kamu saja Ve, udah sana, jemputanmu sudah datang," Emilia mendorong Veronica pelan saat melihat mobil jemputan temannya sudah datang.
"Bye Lia, aku duluan ya, ketemu nanti," Veronica melambai sambil berlari kecil ke mobilnya. Emilia hanya membalas dengan lambaiannya tanpa menjawab.
"Pak Amat kok lama ya?" guman Emilia pelan sambil melirik ke jalan.
"Hei Lia, kok kamu belum pulang?" sapa Jimmy sambil menepikan motornya di samping Emilia.
"Iya Jim, belum dijemput nih, kamu ngapain aja di dalam, kok baru keluar sekarang?" Emilia menatap wajah Jimmy yang tampan itu.
"Biasa Lia, nongkrong dulu di parkiran," Jimmy terkekeh.
"Dasar kamu Jim," Emilia hanya tersenyum melihat Jimmy yang sedang terkekeh.
" Mau ku antar pulang?" tanya Jimmy sambil menyelipkan rambut Emilia yang terjatuh, ke belakang telinga.
"Deg, jantungku mulai berdebar tidak karuan lagi," batin Emilia sambil menunduk karena wajahnya terasa panas.
"Tidak usah Jim, rumah kita kan tidak searah, lagian pak Amat mungkin sudah di jalan," jawab Emilia pelan.
"Baiklah, aku temani kamu ya, ayo duduk dulu kamu pasti sudah capek berdiri," Jimmy mengisyaratkan Emilia untuk duduk di motornya.
" Kamu pulang duluan saja Jim, ini sudah siang loh," Emilia menepuk bahu Jimmy pelan.
"Tidak apa-apa Lia, ayo sini," Jimmy menarik tangan Emilia untuk mendekat ke motornya.
Emilia hanya bisa menurut dan duduk di belakang Jimmy. Jantungnya berdebar semakin kuat, dia berusaha menenangkan hatinya sambil menarik nafas dalam-dalam.
"Lia, nanti kita ajak Anton dan Ve belajar bersama yuk, biar bisa saling membantu,"
" Boleh Jim, kamu atur saja, tapi kalau bisa di rumah aku saja ya."
"Oke, nanti aku coba tanya Anton sama Ve, kalau bisa besok kita mulai," ucap Jimmy dengan semangat, Emilia hanya mengangguk tanda setuju.
Begitu melihat mobil jemputannya datang, Emilia segera turun dari motor Jimmy.
"Aku pulang Jim, sudah dijemput, kamu hati-hati di jalan ya, bye."
"Iya Lia, ketemu besok," Jimmy membalas lambaian Emilia sambil tersenyum manis.
Setelah mobil Emilia berlalu, Jimmy pun segera menyalakan motor lalu meninggalkan sekolah.
Di dalam mobil....
"Kok lama Pak?" tanya Emilia.
"Maaf Non, tadi ada kecelakaan di simpang dekat kantor tuan," jawab pak Amat.
"Oh, Lia pikir kenapa," ucap Emilia singkat.
Emilia duduk bersandar sambil memejamkan kedua matanya. Tiba-tiba adegan Jimmy merapikan rambutnya muncul begitu saja, Emilia menutup wajah dengan kedua tangannya sambil tersenyum malu.
"Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta sama Jim, bagaimana ini? tidak, ini tidak boleh terjadi," ucap Emilia dalam hati.
Dia menggelengkan mencoba membuang bayangan Jimmy dari kepalanya. Mobil melaju masuk ke dalam pekarangan rumah dan berhenti di depan teras rumah.
"Terima kasih Pak," ucap Emilia sambil turun dari mobil.
"Sama-sama Non," jawab pak Amat sebelum Emilia menutup pintu mobil.
Pak Amat kembali melajukan mobil ke kantor papa Darwin. Setiap siang di rumah Emilia terlihat sepi, karena mama Dewi saat ini juga sedang sibuk di toko kuenya. Keluarganya akan berkumpul kembali saat makan malam.
Emilia melewati ruang tamu dan langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai atas. Dia meletakkan tasnya di atas meja belajar, lalu dia menghabiskan segelas air putih yang ada di atas meja belajarnya.
Emilia merasa sangat gerah dan lengket karena keringat. Dia sudah tidak sabar ingin segera mandi.
"Hmmm, benar-benar lega rasanya," guman Emilia sambil mengeringkan rambutnya di depan meja rias.
Emilia menatap pantulan wajahnya di dalam cermin, wajah Jimmy yang tersenyum manis kembali memenuhi pikirannya.
"Apa benar aku sudah mulai menyukai Jim? kenapa perasaan ini datang mendadak begini sih, padahal selama ini kan kami selalu dekat dan Jim juga sudah biasa lembut seperti tadi, tapi kenapa perasaan seperti ini baru muncul sekarang?" guman Emilia dalam hati.
"Argh, aku harus bagaimana?" Emilia menepuk-nepuk wajahnya dengan frustasi.
"Tidak, aku tidak boleh suka sama Jim, karena Jim tidak mungkin suka padaku, selama ini banyak cewek cantik yang mendekatinya, tetapi tidak ada satupun yang dia sukai, bagaimana mungkin dia bisa suka padaku," ucap Emilia dalam hati.
Dia menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar, setelah menyisir rambutnya, dia menyimpan handuk pada tempatnya.
Emilia mengambil beberapa buku pelajaran dan alat tulis yang nanti akan dia pakai, tidak lupa dia mengambil ponsel dari dalam tas sekolahnya. Tampak ada beberapa pesan masuk.
Veronica : Lia, kamu sudah sampai rumah?
Emilia : Sudah Ve, sorry baru balas, aku baru selesai mandi.
Veronika : Iya tidak apa-apa, aku berangkat sekarang ya.
Emilia : Oke Ve, hati-hati di jalan ya.
Setelah membalas pesan dari Veronica, Emilia membuka pesan lain.
Jimmy : Lia, sudah sampai rumah belum?
Emilia : Sudah Jim, sorry baru balas, aku baru selesai mandi. Kenapa?
Jimmy : Nggak, tanya aja. Kamu sudah makan?
Emilia : Ini baru mau makan. Kamu?
Jimmy: Aku udah makan. Ya sudah kamu makan dulu sana.
Emilia : Oke.
Emilia membalas pesan Jimmy sambil menuruni tangga, dia menaruh buku dan alat tulisnya ke atas meja di ruang tamu. Emilia segera ke ruang makan karena dia sudah kelaparan.
"Non, baru makan? sapa bi Siti dari dalam dapur.
"Iya Bi," jawab Emilia sambil mengambil nasi selalu duduk menikmati sayur yang sudah disiapkan di atas meja makan.
Bi Siti selalu memasak untuk makan siang dan makan malam sedangkan sarapan biasanya Mama Dewi sendiri yang menyiapkan.
Bi Siti sudah belasan tahun bekerja dengan keluarga Wijaya, mereka sudah menganggap bi Siti seperti keluarga sendiri.
selain bi Siti masih ada satu ART lagi namanya Nita, Nita adalah keponakan bi Siti. Nita masuk sekolah siang, sehingga dia bisa menyelesaikan semua pekerjaan nya sebelum berangkat ke sekolah.
Veronica Halim
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!