NovelToon NovelToon

SENORITA PERDIDA

Bab 1 : Bersabarlah!

...•••Selamat Membaca•••...

Leo memutuskan untuk pindah ke Madrid setelah menerima email anak buahnya yang menyebut bahwa Rayden terlihat di sekitar fakultas kedokteran Universidad Autonoma de Madrid.

Maureen tak banyak protes. Ia sudah tahu, jika Rayden muncul, berarti badai akan menyusul. Dan Madrid bukan hanya sekadar tempat belajar bagi Maula, tempat itu kini menjadi medan pertempuran antara kewarasan, cinta, dan dendam.

Maureen menata ulang furnitur dengan rapi, berusaha menyibukkan diri, sementara Leo memasang kamera pengintai kecil di dalam mobil, di halte dekat fakultas, dan bahkan menyewa dua mahasiswa teknik untuk meretas sistem keamanan gedung kampus secara diam-diam. Tidak ada yang akan menyentuh Maula, bukan ketika Leo masih hidup.

“Aku tidak mau kecolongan lagi, sudah cukup pria brengsek itu membuat masalah dalam hidup putriku.” Leo begitu emosi dengan perilaku Rayden yang semakin berani menunjukkan diri.

Rayden yang dulunya pria baik dengan segala effort yang dia miliki, kini berubah menjadi pria obsesif yang membuat Maula semakin risih.

Jam istirahat digunakan oleh Maula untuk makan di cafe dekat kampus, rasanya begitu lelah hari ini dan ia butuh ketenangan.

Semenjak kejadian di New York dua bulan yang lalu, dirinya tidak pernah lagi bertemu dengan Rayden karena Leo selalu membatasi. Namun, beberapa hari ini Rayden kembali dengan sikap yang jauh lebih posesif dan obsesif pada Maula, dia selalu ingin membawa Maula kabur tapi gadis itu tidak pernah mau.

Maula duduk di cafe sendiri dengan laptop di hadapannya, tiba-tiba Rayden datang dengan pakaian serba hitam menggunakan penutup wajah dan menodongkan pisau kecil ke pinggang gadis yang masih berstatus istrinya.

“Ikut aku, Piccola. Aku ingin bicara berdua, jangan bertindak gegabah karena aku tidak ingin anak buah ayahmu curiga dan terjadi keributan di sini.” Suara Rayden tegas dan mendominasi.

Maula menutup laptopnya perlahan lalu berdiri dan mengikuti langkah Rayden hingga dia sampai di mobil, Rayden membuka pintu mobil dan Maula masuk.

Rayden menutup seluruh tirai mobil dan pergi menuju lokasinya sendiri, sebuah rumah sederhana yang dia jadikan markas Vindex. Maula berjalan tanpa suara, ia masuk mengikuti Rayden ke dalam sebuah kamar yang terlihat sangat rapi dan nyaman untuk ditempati.

Maula duduk di tepi kasur, diikuti oleh Rayden yang kini sudah membuka jaket dan penutup wajahnya.

“Ada apa?” tanya Maula dengan suara dingin dan ekspresi datar.

“Aku merindukanmu, Piccola. Kenapa kau makin hari makin menjauhi aku?” Maula menghela napas dan mengusap wajah lelahnya.

“Aku hanya berpikir realistis Ray, aku tidak mau membuat kedua orang tuaku terbebani lagi, sudah cukup mereka sabar selama ini.”

“Bagaimana denganku?”

“Selama ini aku selalu memikirkan perasaanmu hingga aku abai dengan perasaan kedua orang tuaku. Mereka hanya ingin aku bahagia dan aman.” Nada bicara Maula mulai naik satu oktaf.

“Aku seperti ini juga karena kamu, Piccola. Aku berjuang sejauh ini hanya untukmu, kau tidak bisa meninggalkan aku semudah ini. Kau itu istriku.” Maula menatap datar Rayden.

Ia menjawab dengan ringan, “Ya sudah, ayo kita bercerai. Pernikahan ini tidak akan membawa kebahagiaan apapun dalam hidup kita.” Rayden membulatkan matanya.

“Cerai? Semudah itu? Apa kau sudah mulai menemukan pria lain hah?” Rayden yang tersulut emosi mengcengkeram lengan atas Maula dengan kuat.

“Tidak ada siapa pun Rayden. Aku hanya ingin tenang dengan keluargaku, itu saja.”

“Lalu bagaimana denganku? Aku masih membutuhkan kamu.”

“Lupakan aku dan cari saja wanita lain untuk kau nikahi. Aku tidak mau lagi melanjutkan hubungan ini Rayden.” Rayden semakin memperkuat genggaman tangannya di lengan Maula hingga gadis itu sedikit meringis karena lengannya sempat sakit karena cedera saat praktek kemarin.

Tak lama, darah perlahan mengalir dari lengan bekas cengkeraman Rayden sehingga jas putih Maula berubah perlahan menjadi merah darah.

Rayden yang merasa tangannya basah langsung melepaskan cengkeraman tersebut lalu mengambil kotak obat. Ia membuka jas Maula dan mengobati lengan yang terkena sobekan pisau dengan baik lalu kembali memalutnya.

Maula mulai terisak pilu dan Rayden terdiam. Dia mengangkat pandangan dan melihat mata Maula memerah, pipinya basah dan ia sesegukan.

“Maaf... aku tidak bermaksud menyakiti kamu.” Rayden menghapus air mata itu dengan ibu jarinya.

“Kenapa kau masih mengejar aku? Sudah jelas aku tidak akan bisa memberikan apapun padamu. Aku tidak mau melihat kau dibentak dan dipukuli Papaku lagi Rayden.” Tangis Maula akhirnya pecah, Rayden memeluk istrinya itu dan mencium kepalanya.

“Aku cukup mengenali dirimu, kau sangat mencintai aku. Aku akan berusaha meyakinkan papamu dengan hubungan kita, jangan menangis lagi.” Maula menatap Rayden dan menangkup wajah suaminya itu.

“Aku akan coba bicara dengan Papa ya, semoga saja dia mau mengerti dan menerima pernikahan kita. Kau mau bersabar kan?” Rayden tersenyum dan mengangguk.

“Aku akan selalu bersabar, aku akan tetap memantaumu dari jauh, aku hanya ingin kau aman dan terlindungi.”

“Bagaimana dengan New York?”

“Aku memberikan tanggung jawab penuh pada Advait, dia yang mengendalikan semua di sana. Aku akan menetap dan mengurus organisasi di sini sambil memantau dirimu.” Maula tersenyum lalu mencium lembut punggung tangan suaminya, dia merebahkan kepala dengan manja di kedua paha Rayden.

Tangan Rayden mengelus lembut rambut istrinya.

“Aku lelah, dari semalam aku belum istirahat penuh dan nanti sore aku harus kembali ke rumah sakit, tubuhku sakit semua,” keluh Maula dengan manja.

“Mau aku pijat?”

“Tidak.” Rayden terkekeh karena mengerti arah pikiran istrinya.

“Aku tidak akan menyentuh dirimu secara lebih, aku akan melakukan hal itu jika kita sudah meresmikan pernikahan dan mendapat restu dari orang tuamu.”

“Benar ya? Aku tidak mau ada drama tiba-tiba hamil, kuliahku bagaimana nanti?”

“Iya Piccola, aku mengerti kondisimu.”

Maula membuka seluruh pakaiannya dan Rayden memberikan pijatan lembut hingga Maula tertidur. Rayden menutupi tubuh polos istrinya dengan selimut tipis dan berbaring di samping Maula.

Dengkuran halus itu menandakan kalau Maula sudah pulas dan Rayden mengusap pipi istri kecilnya.

“Sabar? Aku akan selalu sabar menunggumu, aku tahu kalau kau mencintai aku sebesar itu Piccola. Kita hanya butuh waktu dan restu, aku akan mendapatkan keduanya. Aku menikahimu hanya untuk mengikat kamu agar tidak dimiliki oleh pria lain, aku terlalu takut menerima kenyataan kalau suatu saat nanti, Leo akan menjodohkan kamu dengan pria lain.” Rayden berkata lirih penuh arti, tatapannya penuh cinta pada istrinya itu.

Perut Maula berbunyi, Rayden tersenyum tapi dia membiarkan Maula istirahat dulu.

Rayden keluar kamar dan memerintahkan anak buahnya untuk mencarikan makanan. Lalu dia masuk kembali dan memilih tidur di samping istrinya sambil memeluk Maula.

...•••Bersambung•••...

Bab 2 : Aku Janji

...•••Selamat Membaca•••...

Leo begitu murka mendengar Maula dibawa oleh Rayden. Sepandai-pandainya pria itu bersembunyi, Leo jauh lebih teliti lagi dan mata-matanya kali ini tidak pernah lengah jika menyangkut Maula.

Leo yang mengetahui markas Rayden langsung menuju ke sana, perasaannya mulai tak karuan lagi. Baru saja sampai di sana, Leo sudah menodongkan pistolnya kepada orang-orang Rayden. Mereka mengetahui siapa Leo, jadi tidak ada yang berani melawan.

Leo mendobrak pintu kamar Rayden, pria itu langsung terbangun dan kaget melihat Leo sudah diambang pintu.

Melihat Maula hanya ditutupi selimut tipis, pikiran Leo sudah jauh ke mana-mana. Dia mendekati Rayden dan memegang kerah baju Rayden dengan kuat.

“Apalagi yang harus aku lakukan untuk membuat kau jauh dari putriku hah? Kau sangat keras kepala ya, Ray.” Rayden mencoba tenang, sementara Maula yang tadi bangun karena kaget tidak bisa berbuat apapun selain menarik selimut tipis untuk menutupi seluruh tubuhnya.

“Papa,” lirihnya penuh rasa takut.

“Maula, ayo pulang, kamu masih ada jadwal sore ini kan?” Leo berkata dengan tegas dan dibalas anggukan oleh Maula.

“Papa tunggu di luar.” Leo menarik Rayden dan keluar dari kamar, dia menghajar Rayden habis-habisan karena benar-benar sangat kesal dengan sikap pria itu.

“Saya hanya merindukan istri saya, Tuan. Itu bukan suatu kesalahan.” Rayden membela diri tapi Leo tak peduli.

“Istri? Kau bahkan tidak meminta dia baik-baik padaku, aku akan mengurus perpisahan kalian secepatnya. Dan jangan harap kalau dia akan menjadi milikmu, sialan.” Leo mendorong Rayden agar menjauh dan tak lama Maula keluar dengan pakaian lengkap.

Tanpa menunggu lama, Leo menarik Maula pergi dari tempat itu. Maula tak lagi menoleh ke belakang, dia pergi tanpa banyak bicara bersama Leo.

Di dalam mobil, hanya keheningan yang terjadi saat ini. Hingga Maula tiba di depan kampus. “Papa akan menunggu kamu sampai selesai di sini, nanti malam kita perlu bicara.” Maula hanya mengangguk dan keluar dari mobil dengan patuh.

Rayden mengompres lebam di wajahnya dengan es batu, pikirannya terus tertuju pada Maula, istrinya. Bagaimana kalau Leo benar-benar memisahkan dia dengan Maula? Tapi bukan Rayden namanya jika dia menyerah begitu saja.

...***...

Malam harinya, Leo bicara berdua dengan Maula di dalam kamar gadis itu. Sementara Maureen sedang menemani Thalia belajar, ini merupakan suasana baru bagi Thalia sejak dia ikut pindah ke Madrid.

Sofia juga menemani Thalia dan mengajarkan beberapa kosa kata Spanyol agar Thalia lebih lancar komunikasi dengan teman-temannya nanti.

Suasana di dalam kamar Maula cukup tegang, Leo duduk di hadapan putrinya yang kini memangku sebuah bantal dan menunduk takut.

“Bagaimana cara membuat kamu itu mengerti, nak? Papa sendiri sudah habis akal memintamu menjauh dari Rayden.” Maula menjawab tanpa menatap mata Leo, suaranya pelan nyaris tersapu angin, “Aku mencintai Rayden, Pa.”

Leo menghela napas dan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatur napas lalu kembali melanjutkan dengan penuh kehati-hatian.

“Selama ini, Papa selalu mementingkan keluarga ini, menjadikan kalian prioritas utama dan mati-matian membuat kalian aman dari siapapun. Apa pernah aku meminta balasan darimu?” Maula mulai terisak dan menggeleng lemah. Kemudian Leo melanjutkan lagi.

“Kalau memang dia yang kau jadikan prioritas, silakan pergi dengannya dan anggap saja kami sebagai keluargamu telah mati. Dengan sikapmu begini, kau tidak lagi memikirkan perasaan kami Maula. Kau hanya mementingkan dirimu dan cintamu tanpa kau bisa menoleh pada cinta kami berdua sebagai orang tuamu. Aku tidak membenci Rayden, aku justru menyukai dia jika bersamamu tapi posisinya saat ini membuat kau dalam bahaya. Aku menangis setiap saat ketika kau hancur dan terluka Maula, aku sakit ketika kau sakit. Tidakkah kau paham dengan cinta yang aku berikan padamu? Lihat Maureen, istriku. Dia mati-matian menjaga kamu sampai seperti ini, berharap kau aman, sehat dan sukses tapi apa yang kau balas padanya? Kekhawatiran setiap saat bahkan rasa sakit akan kehilangan lagi. Itu yang ada di benak Mamamu.” Leo tak bisa lagi membendung air mata, dia menangis dalam isakan tertahan dan itu membuat Maula semakin bersalah.

“Dengan menikah diam-diam, menjadi istri pria yang selalu membawa kau dalam bahaya. Kau sudah menempatkan kami berdua dalam jurang neraka. Kini terserah padamu, kalau kau tetap ingin bersama Rayden, pergilah! Papa izinkan dan Papa akan membawa Mama serta Thalia kembali ke Indonesia. Kami akan mulai hidup tanpa memikirkan kamu lagi dan jangan pernah berharap kau bisa menemui kami.” Leo mempertegas ucapannya lalu berjalan keluar kamar.

Tangis Maula pecah, tak sanggup berkata lagi karena apa yang dikatakan Leo benar adanya.

Leo kembali ke dalam kamar, dia menatap Maureen sejenak lalu masuk. Maureen peka dengan suaminya, Leo sedang tidak baik-baik saja.

“Sofia, Tante titip Thalia dulu ya.”

“Iya Tante.”

Maureen melangkah menuju kamar mereka dan mengunci pintu, Maureen berlutut di depan suaminya yang tampak begitu lelah dan kecewa.

“Sudah, cukup. Kalau memang Maula tidak bisa diberi pengertian, ayo kita pulang! Dia sudah dewasa dan bisa menjaga diri, aku tidak mau melihatmu terbebani sepanjang waktu, Leo.” Leo tak banyak berkata, ia memeluk Maureen untuk menumpahkan segala kegundahan hatinya.

“Bersiaplah, besok pagi kita akan pulang. Aku tidak peduli lagi dengan Maula, aku lelah Maureen, sangat lelah. Dia dan Rayden akan terus berusaha untuk bersama dan kita berdua akan terus mendengar kabar buruk dari anak kita.” Maureen mengangguk.

***

Keesokan paginya, sekitar pukul 6 pagi, Maula tidak melihat lagi adik dan kedua orang tuanya. Di meja makan hanya ada Sofia.

“Mama sama Papa mana Sof? Biasanya udah di meja makan.”

“Mereka udah pergi ke bandara, sekitar lima belas menit yang lalu. Katanya mau pulang ke Indonesia.” Maula tersentak lalu meninggalkan rumah dan memacu mobil menyusul Leo ke bandara.

Di pertengahan jalan, dia melihat mobil kedua orang tuanya dan menghadang mobil tersebut. Maula segera keluar dan mengetuk kaca mobil, Leo mau pun Maureen tidak menggubris sama sekali, mereka diam menatap ke depan tanpa peduli dengan teriakan Maula di luar.

“Pa, tolong buka Pa, jangan pergi.” Maula terus memukul kaca mobil dan akhirnya Leo membuka.

“Mau apalagi kamu? Bukannya kamu mau bebas?” Leo berkata tanpa menatap anaknya itu.

“Jangan pergi, Ma, Pa. Aku akan mendengarkan kalian, kumohon tetaplah di sini. Aku akan berpisah dari Rayden, aku janji, aku tidak akan membangkang lagi.” Mendengar perkataan putrinya itu, hati Leo sebagai seorang ayah akhirnya luluh dan Maureen memegang tangan suaminya.

“Apa ucapanmu itu bisa dipercaya?” Maula mengangguk.

“Papa bisa buktikan semuanya, aku akan minta cerai pada Rayden. Aku akan menjauhi dia, Pa.” Maula menahan tangan ayahnya.

“Oke. Masuklah, mobilmu biar sopir yang bawa.” Maula masuk dan duduk di bangku depan, kali ini Leo yang mengemudi dan mobil Maula dibawa oleh sopir.

...•••Bersambung•••...

Bab 3 : Peluru Untuk Yang Dicintai

...•••Selamat Membaca•••...

Maula duduk terdiam di dalam kamarnya sambil memegang marriage certificate dengan nama yang jelas tertulis dirinya dan Rayden. Hari ini Leo akan mengajak putrinya mengurus perceraian Maula dan Rayden, tak peduli seberapa keras Rayden berusaha tapi bagi Leo, keselamatan putrinya jauh lebih penting dan tidak peduli seberapa cinta Maula tapi kebahagiaan orang tuanya juga jauh lebih penting.

“Udah siap?” tanya Leo yang dibalas anggukan lemah oleh Maula. Maula berdiri dan menggenggam tangan ayahnya, mereka keluar dan akan mengajukan perceraian di Juzgado de Familia. Maula akan mengajukannya secara pribadi dan Leo sudah menyewa seorang pengacara untuk proses ini.

Sepanjang perjalanan, Maula hanya diam menatap pemandangan cerah di luar sana tapi pemandangan itu sama sekali tidak mengobati dirinya kala ini.

Gedung Juzgado de Familia menjulang dingin di tengah deretan bangunan tua. Ketika mereka turun dari mobil, angin musim semi yang masih menggigit meniup ujung rambut Maula.

Di tangga marmer menuju pintu masuk, ia sempat berhenti, memejamkan mata sejenak. Di dalam, akan ada pertanyaan. Akan ada pengingat akan janji yang pernah ia ucapkan di hadapan salib dan lilin, janji yang telah berubah menjadi luka hari ini.

Mereka duduk bersebelahan di ruang tunggu. Leo menoleh ke putrinya, melihat bagaimana Maula menggenggam tangannya sendiri, berusaha tenang.

Baginya, Maula bukan lagi gadis kecil yang ia ajari mengayuh sepeda di halaman rumah. Dia sekarang perempuan dewasa yang terluka, tapi tak hancur.

“Papa lakukan semua demi kebahagiaan kamu, bukan Rayden rumah untukmu pulang nak,” lirih Leo dalam hatinya.

Petugas memanggil nama. “Senorita Maula Chulpan Maximillian.”

Maula berdiri. Kakinya mantap, tapi Leo tahu hatinya pasti gemetar. Ia bangkit juga, berdiri di sisinya, dan menatapnya dengan mata yang hangat namun kuat.

“Papa di sini. Sampai kamu selesai, Papa tetap di sini,” bisik Leo, sebelum Maula melangkah masuk ke ruang sidang.

Pintu tertutup di belakangnya dan Leo hanya bisa menunggu. Satu babak hidup Maula akan ditutup hari ini. Bukan karena ia kalah, tapi karena ia memilih untuk tak terus tinggal dalam kebisuan yang menyakitkan.

Di luar jendela ruang tunggu, langit Madrid mulai merekah biru. Mungkin, seperti hidup Maula yang akan segera kembali menemukan cahayanya tanpa Rayden.

Selesai sidang awal, Maula mendapatkan beberapa dokumen untuk ditanda tangani oleh Rayden selaku suami sah Maula saat ini.

“Biar Papa yang antarkan padanya.” Maula menelan saliva dan menatap Leo dengan tatapan memohon.

“Untuk kali ini aja Pa, biar aku yang berikan padanya ya, please.” Tak selamanya Leo kuat, dia setuju dan mengantarkan Maula ke rumah Rayden yang tak jauh dari rumahnya juga.

Beberapa blok setelah perumahan mewah Maula, mereka sampai di blok rumah Rayden. Terlihat lebih ramai dari biasanya karena sekarang beberapa anggota Rayden juga tinggal di sana.

Kedatangan Leo dan Maula disambut baik oleh mereka, seakan mereka tunduk dan patuh pada Maula yang dianggap sebagai ratu. Maula keluar dari mobil sambil membawa sebuah map cokelat sedangkan Leo menunggu di dalam mobil, dia enggan masuk menemui Rayden.

“Rayden mana?” tanya Maula pada pelayan.

“Ada di ruang kerja Ny. Maula, silakan masuk.” Maula melangkahkan kaki masuk ke ruang kerja Rayden, pria itu tampak sedang frustasi entah itu karena pekerjaan atau hal lain.

Melihat kedatangan istrinya, senyum langsung merekah di bibir Rayden, semua karyawan keluar dan membiarkan Maula berdua dengan Rayden.

Maula berdiri tegas dan tegap, amplop itu masih dia dekap dengan kaut. Rayden berdiri dan memeluk istrinya, menumpahkan rasa rindu pada Maula.

“Aku merindukanmu, Piccola.” Maula diam tak bergeming, dia tak membalas pelukan Rayden juga.

“Aku ke sini ada kepentingan denganmu, bisa kita duduk.” Rayden membawa istrinya itu duduk dan Maula memberikan amplop cokelat tersebut pada Rayden.

Mata Rayden sedikit melotot dan hatinya tak karuan setelah melihat surat kesepakatan cerai yang diberikan oleh Maula padanya.

“Aku butuh tanda tanganmu, jangan persulit langkahku karena aku ingin semuanya membaik.” Rayden merobek semua kertas itu yang membuat Maula melotot tajam.

“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, aku menikah bukan untuk berpisah. Kau pasti ditekan ayahmu kan?” Maula bisa melihat emosi di wajah suaminya.

“Kalau kau tidak mau, tidak masalah, perceraian ini akan terus berjalan tanpa tanda tangan darimu.” Maula berdiri dan hendak pergi namun lengannya dicekal oleh Rayden.

“Jangan seperti ini Piccola, kalau memang ayahmu belum menerima pernikahan kita sekarang, aku akan bersabar, tolong beri aku waktu. Jangan perpisahan seperti ini.” Maula melepaskan lengannya dengan kasar.

“Tidak ada waktu lagi, aku jauh lebih peduli dengan ayahku daripada kamu. Permisi.” Maula pergi dan Rayden berusaha mengiringi langkah istrinya.

“Aku akan menemuin ayahmu.” Maula terhenti dan menatap Rayden dengan tatapan tak suka.

“Jangan memperkeruh suasana Rayden, perceraian ini atas kemauanku bukan Papa. Jangan libatkan lagi orang tuaku karena dari awal hubungan ini sudah salah.” Mata Maula menatap Rayden dengan tajam dan menantang.

“Salah? Iya, memang salah. Aku sudah berusaha keluar dari lingkaran mafia tapi kau malah mendorongku ke sana. Lihat! Aku pemimpin Piccola. Tapi setelah itu, kau justru meninggalkan aku begini, dan kau bilang ini suatu kesalahan hah?” Rayden ikut emosi, matanya memerah dan mencengkeram kuat lengan atas Maula.

“Aku tidak peduli denganmu, pergi dari hidupku sebelum aku mengantarkanmu pada Tuhan.” Rayden tersenyum simpul.

“Kau mau membunuh aku? Kau tidak akan melakukannya.”

“Oh ya, kau mau bukti?” Maula menari senjata api dari balik punggung Rayden yang memang selalu dia taruh di sana.

Maula dengan mantap menarik pelatuk itu dan mengarahkannya ke jantung Rayden.

“Silakan lakukan, kalau kau memang memiliki nyali, Piccola.” Bukannya takut, Rayden malah semakin menantang istrinya.

Dor! Dor!

Peluru kedua menembus sisi pinggangnya. Rayden jatuh bersandar ke dinding, terengah, darah mengalir deras dari balik kemeja putih yang ia kenakan tapi Rayden masih hidup.

Maula berdiri diam dengan wajahnya yang pucat. Air mata jatuh, satu per satu. Rayden tumbang bukan karena peluru, tapi karena Maula memang menyakitinya, baik fisik mau pun hati.

Tatapan kecewa jelas terpancar di mata Rayden pada Maula yang kini berdiri dengan satu pistol di tangannya.

“Aku mencintaimu, Piccola,” ungkap Rayden dengan senyumannya.

“Aku tahu,” bisik Maula lirih. “Tapi kadang cinta... harus dikalahkan oleh pilihan dan kali ini, kau bukan prioritas pilihanku, Rayden.”

Ia menjatuhkan pistol ke lantai. Lalu melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

“Maaf.” Maula menghapus air matanya dan kembali ke dalam mobil dengan beberapa percikan darah di tubuhnya.

Anak buah Rayden segera menghubungi dokter. Rayden masih tersenyum karena Maula tidak benar-benar ingin dia mati.

Peluru itu sama sekali tidak mengenai organ vital mana pun, seakan itu hanyalah sebuah gertakan saja.

“Pergilah, Piccola. Aku tidak akan pernah melepaskan apa yang sudah aku miliki. Tidak untuk kali ini, kau akan melihat sisi diriku yang lain. Yang bahkan ayahmu tidak bisa menghadapi itu.” Rayden mengepalkan tangannya, aura seorang pemimpin itu kembali hadir dan cukup menakutkan,

Bagi Maula dan Leo, ini adalah akhir tapi sayangnya, mereka tidak mengetahui kalau setelah ini, beberapa kejutan mengerikan cukup membuat Maula maupun Leo tidak bisa berkutik.

“Jika aku tidak bisa mendapatkan kamu dengan perasaan dan cinta saja, aku akan gunakan kekuasaan untuk itu. Bahkan ayahmu tidak akan bisa menghentikanku.”

...•••Bersambung•••...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!