"Kau tahu? Aku sangat benci padamu. Aku tidak menyangka kau bisa menyakiti aku seperti ini. Aku tidak menyangka kau mengkhianati aku hanya gara-gara cewek itu. Dia sahabat aku sahabat pacarmu sendiri, kau gil4!"
"Maaf, Beb. Aku khilaf, aku tidak bermaksud untuk selingkuh darimu,"
"Apa! Kau bilang kau khilaf?!" Bintang tersenyum sinis. "Basi, alasanmu sangat tidak bermutu! Kita putus!"
"Bintang, tidak bisa seperti itu dong. Aku kan sudah meminta maaf. Bin, Bintang, BINTANG! Arghhh..!" Farel berteriak saat Bintang pergi meninggalkannya begitu saja.
"Kau bodoh, Rel. Kau bodoh!" maki Farel pada diri sendiri. Dia tidak menyangka bahwa hubungan gelapnya dengan sahabat dekat Bintang akan secepat ini terendus padahal baru berjalan satu minggu.
Bintang masuk ke dalam toilet cewek, dia menangis di sana. Hubungannya dengan Farel yang sudah berjalan selama satu tahun ini tanpa di duga akan kandas dengan cara menyakitkan.
Bagaimana tidak menyakitkan? Farel terbukti berselingkuh dengan Rima yang berstatus sahabat terbaiknya dari SD, bahkan rumah Rima dan Bintang bersebelahan alias tetanggaan. Dan perselingkuhan mereka Bintang saksikan sendiri di belakang gudang tadi pagi. Lebih syoknya lagi Bintang menemukan Farel dan Rima sedang berci.uman.
"Huaaaa .... kau jahat, Rel. Kau jahat! Padahal kau sudah mengatakan tidak akan menyakitiku. Kau bohong, kau pembohong!" Bintang menumpahkan tangisnya dengan berbagai makian untuk Farel. Rasa-rasanya Bintang ingin menenggelamkan Farel ke dalam selokan sekolah agar dia ma.ti disana.
Teng teng teng
Bel tanda masuk sekolah terdengar, Bintang segera membasuh wajah dengan air. Setelahnya dia menuju kelasnya dikelas 12 A.
"Bin, kau darimana saja? Aku mencarimu tauk!" tanya Gisel saat Bintang sampai dikelas. Gisel teman sebangku Bintang.
"Dari toilet." jawab Bintang dengan ekspresi datar.
"Toilet sebelah mana? Aku mencarimu disemua toilet juga tidak ada tuh. Kau bohong padaku ya? Ngaku deh," cecar Gisel, dia tidak percaya jika Bintang dari toilet. Secara dia juga mencarinya ke seluruh penjuru toilet.
Bintang mendesah sambil menatap depan kelas. Disana guru matematika sudah masuk. "Nanti aku ceritakan,"
"Tapi janji ya?" Gisel mengacungkan jari kelingkingnya didepan Bintang.
"Ck, iya-iya. Aku berjanji, sudah mirip bocil saja." Bintang membalas tautan kelingking Gisel. Lalu keduanya fokus dengan pelajaran.
...----------------...
"Hah-hah-hah ... mengapa kau mengajakku kesini? Mana nyeret-nyeret segala lagi. Sumpah, napasku seperti sudah ingin habis. Memang telingamu tidak mendengar suara bel?" Rey berkata dengan nafas tersengal.
"Aku diputusin Bintang,"
"WHAT ... !" Rey terpekik mendengar pengakuan Farel. "Kok bisa? Bukankah dia cinta mati padamu, Rel?" tanya Rey masih dengan napas tersengal, tetapi sudah jauh lebih baik.
"Aku ketahuan selingkuh dengan sahabatnya. Dan Bintang melihat aku sedang berciu.man dengan Rima dibelakang gudang sekolah tadi pagi." Farel mengakui lagi kesalahannya.
Jika dengan Rey, Farel tidak pernah menutupi apapun tentangnya dan Rey pun sama, mereka berdua selalu terbuka satu sama lain.
Rey menggeleng tak percaya. "Lagi pula kenapa kau harus selingkuh segala? Memangnya kau sudah tidak cinta lagi dengan Bintang? Menurutku Rima dan Bintang lebih cantik Bintang kemana-mana, Rel," kata Rey.
Farel merenungkan perkataan Rey. Dan setelah dipikir-pikir perkataan Rey ada benarnya. "Aku juga tidak tahu bisa mau-mau saja dengan Rima. Aku menyesal Rey, tolong bantu aku dong." pinta Farel pada Rey dengan tatapan memohon.
Rey menggaruk sisi kepala. Kali ini dia tidak bisa memberi solusi karena kasus perselingkuhan didalam suatu hubungan adalah tindakan yang sangat fatal.
"Maaf, Rel. Aku tidak bisa membantumu." kata Rey.
Farel menatap Rey dengan tatapan menghunus. "Kenapa?"
"Kau tinggal membayangkan saja. Jika Bintang yang berselingkuh dan ketahuan sedang berciu.man dengan sahabatmu, apa kau masih bisa memaafkannya?" kata Rey.
Tatapan menghunus Farel meredup, berganti dengan sorot sedih dan penuh penyesalan. Farel sungguh-sungguh tidak ingin putus dengan Bintang, Farel sangat mencintainya, Bintang adalah cinta pertamanya.
Farel mengepalkan kedua tangan. "Aku tidak mau tahu. Pokoknya kau harus membantuku!"
Rey mendesah dan hanya bisa pasrah. "Baiklah, terserah kau saja."
...----------------...
Mata pelajaran sudah selesai dan bel pulang sekolah terdengar nyaring. Semua murid-murid berhambur keluar dari kelas mereka masing-masing.
.
Termasuk Bintang, dia sedang berjalan bersama Gisel menuju tempat parkir sambil menceritakan kejadian dibelakang gudang sekolah saat tidak disengaja Bintang melihat Farel dan Rima melakukan hal tak senonoh.
Mendengar cerita Bintang, Giska menutup mulut tak percaya. Bagaimana mungkin Farel yang dulu menyatakan cinta pada Bintang didepan semua murid dengan kata-kata indah dan romantis kini justru mengkhianatinya.
Gisel sangat tidak percaya dengan itu semua. Gisel berharap telinganya hanya salah mendengar.
"Kau berkata apa tadi? Ya robb, itu tidak mungkin, Bin. Mungkin telingaku sudah kotor sehingga aku salah mendengar." seru Gisel sambil menggosok kedua telinganya.
"Kau tidak salah mendengar!"
Deg
Itu suara Farel. Bintang dan Gisel spontan menatap ke arah dia, dan benar saja, dia memang Farel dengan Rey yang mengekor dibelakangnya. Namun, Bintang segera membuang pandangan saat kedua mata bertemu pandang dengan Farel.
Bintang tidak ingin menatap wajah pengkhianat seperti Farel. Melihat wajahnya sama saja mengingatkan Bintang pada adegan di gudang tadi pagi.
"Sel, aku ingin berbicara dengan Bintang. Bisa kah kau pergi dulu dan menunggu di mobilmu," seru Farel dengan menatap Bintang penuh penyesalan.
"Tidak bisa!" seru Bintang. "Aku dan Gisel harus segera pulang. Ayo Sel," Bintang menggandeng lengan Gisel dan segera menuju mobil Gisel karena tadi pagi mereka berangkat bersama.
Bintang sengaja menghindari Farel dan tidak ingin berbicara lagi dengannya. Rasanya muak sekali melihat bibir Farel yang sudah ternoda oleh Rima.
Gisel paham akan keadaan hati Bintang. Secepatnya, Gisel melajukan mobil pergi meninggalkan sekolah.
Melihat mobil Gisel pergi dengan membawa Bintang di dalamnya, Farel mendesah frustasi. Dia benar-benar merasa terabaikan, semuanya terasa bertolak belaka, dulu Bintang yang selalu menghampirinya selalu manja dan perhatian padanya, lalu sekarang? Semua itu hilang karena kesalahannya.
"Arghhh!" Farel menendang angin, dia melampiaskan kekesalannya. "Bintang, tolong maafkan aku. Kumohon kembalilah,"
"Sabar, Rel." seru Rey, dia menepuk bahu Farel, memberinya kekuatan.
...----------------...
Di dalam mobil, Bintang menumpahkan tangis. Dadanya terasa sesak mengingat pengkhianatan Farel. Dia masih tidak percaya dengan apa yang tadi pagi dilihatnya.
Bayangan di saat Farel yang tersenyum manis padanya, menggenggam erat telapak tangannya, dan selalu pulang sekolah bersama. Semuanya justru semakin membuatnya tersakiti. Ternyata Farel juga melakukan hal tersebut dengan cewek lain, bahkan lebih jauh.
Tiiiiiiinnnnnn
Gubrak
"Astaghfirullah, Bin! Aku menabrak orang!" Gisel memekik.
...----------------...
"Aduh! Bagaimana ini, Bin? Aku takut," Gisel mondar-mandir didepan pintu ruang rawat.
Setelah menabrak orang tersebut, Gisel dan Bintang membawa orang tersebut ke rumah sakit. Sepertinya tidak parah hanya saja orang tersebut tidak sadarkan diri.
Karena tidak tega dan takut bermasalah Gisel sudah menghubungi kedua orang tuanya dan mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit ini.
Bintang yang sejak tadi duduk dikursi tunggu, berdiri dan memeluk Gisel. Dia memberi usapan lembut dipunggungnya, memberinya ketenangan.
"Tidak apa-apa, Sel. Tenangkan pikiranmu dan jangan takut. Kita tunggu saja kabar dari dokter. Duduklah," kata Bintang.
Sebenarnya Bintang juga takut dan khawatir, tetapi dia masih bisa berpikir jernih. Lagi pula Gisel melajukan mobil dengan santai, jadi Bintang yakin jika orang yang Gisel tabrak akan baik-baik saja.
Ketakutan dan kekhawatiran Gisel teralihkan ketika mendengar suara pintu terbuka dan dokter keluar dari sana.
"Dok, bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Gisel sambil berjalan menghampiri dokter.
Dokter tersenyum melihat raut wajah panik Gisel. "Tidak apa-apa, Dek. Pasien sekarang sudah sadar, hanya ada luka memar dan sedikit syok saja. Permisi ya," kata dokter.
"Silakan, Dok. Terima kasih." balas Gisel. Setelah dokter pergi dia menyeret lengan Bintang dan mengajaknya masuk ke dalam ruang rawat.
"Hai, maaf ya. Aku tidak sengaja menabrakmu." seru Gisel, dia sudah berdiri disisi ranjang pesakitan bersama Bintang.
"Iya, tolong maafkan kami. Apa kau baik-baik saja?" kata Bintang.
"Tidak semudah itu memaafkan kalian." jawab remaja yang masih menggunakan seragam SMA. Dia adalah Zo Paksa, putra bungsu dari pasangan Sera Paksa dan Victor Paksa.
Bintang dan Gisel terkejut, mereka berdua beradu pandang dan kembali menatap Zo. "Bukankah kau tidak terluka parah? Jadi, tolong maafkan kami." mohon Bintang.
Bukan Bintang yang menabraknya, tetapi dia juga berada disana. Jadi Bintang juga merasa itu adalah salah mereka berdua. Bintang juga tidak ingin Gisel merasa takut sendirian.
"Aku memang tidak berdarah-darah. Tetapi dadaku terasa sesak. Jadi kalian harus membawaku ke dokter spesialis." kata Zo, menatap dua cewek didepannya.
Kening Bintang dan Gisel menukik tajam. Keduanya kembali beradu pandang. Lalu kembali menatap Zo. "Kau ingin memeras kami?" seru Bintang dan Gisel, ternyata mereka mengarah pada hal yang sama.
Mendengar kekompakan cewek didepannya dahi Zo mengerut tajam. Mengapa mereka nyolot. "Aku tidak memeras kalian. Aku hanya ingin memastikan dengan baik keadaanku ini. Apa itu salah?"
Gisel meneguk ludah, dia takut karena remaja tersebut terlihat tidak bersahabat. Dari pada keadaan menjadi rumit lebih baik Gisel mengiyakan saja, semoga orangtuanya akan setuju dengan permintaan remaja tersebut.
"Baiklah, kita tunggu orang tuaku datang. Dan kau bisa mengatakan itu pada orangtuaku nanti." kata Gisel.
Bintang yang mendengar keputusan Gisel seketika melotot tajam, Bintang segera menatap Gisel dan menggenggam tangannya. "Hei, Sel. Kau hanya dibodohi dia. Lihatlah, dia baik-baik saja. Aku yakin dia hanya memerasmu."
"Hei, siapa yang memeras kalian! Aku hanya ingin memastikan keadaanku, itu saja! Kenapa kalian berpikir negatif tentangku?" Zo tidak terima mereka mengatakan jika dirinya tengah memerasnya. Dada Zo memang sesak sungguhan.
"Sudahlah, kalian ini adalah cewek yang tidak bertanggung jawab! Aku sangat berharap tidak akan pernah bertemu dengan kalian lagi!" Zo bangun dari ranjang pesakitan. Dia segera keluar dari sana dengan sedikit sempoyongan, selain dadanya yang sesak kepala juga terasa pening.
Brug
"Aaa..!"
Terdengar teriakan dari depan ruangan, Bintang dan Gisel bergegas kesana dan melihat apa yang terjadi. Ternyata pemuda tadi bertubrukan dengan orang tua Gisel.
"Mami," seru Gisel, dia membantu Zo berdiri dan membantunya duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari sana.
Mia, Maminya Gisel meminta maaf pada Zo yang tidak sengaja tadi menubruknya. Dengan rasa kesal menumpuk di dada, Zo terpaksa memaafkannya karena tidak ingin dicap tidak sopan.
Bintang yang masih berdiri di sana melipat kedua tangan didada sambil memperhatikan mereka bertiga duduk bersebelahan. Bintang melihat wajah Zo yang terlihat memerah dan sedikit pucat. Mungkin Zo benar-benar menahan sakit. Seketika Bintang merasa bersalah.
"Mi, dia yang tadi tidak sengaja aku tabrak." seru Gisel, dia menatap Maminya meminta bantuan. Berharap Mami akan membantu menyelesaikan problem ini.
"Boleh tahu siapa namamu anak muda?" tanya Mami Gisel pada Zo yang memegangi sisi kepala.
"Namaku, Zo, Tante. Aku juga meminta maaf karena terburu-buru dan berakhir bertubrukan dengan Tante." jawab Zo jujur.
Mami Gisel tersenyum lembut. "Baiklah, kau masih perlu istirahat, Zo. Mengapa kau berkeliaran di luar?"
"Pfff ..." Gisel dan Bintang membekap mulut menahan tawa mendengar ucapan Mia.
"Ehem..!" Bintang menetralisir hatinya dan menatap Zo dan Mami Gisel serius. "Tante, tadi Zo meminta untuk dibawa ke dokter spesialis."
Mami Gisel terkejut dan menatap Zo disampingnya. "Baiklah, ayo kita ke sana sekarang. Demi memastikan keadaanmu." khawatirnya.
...----------------...
Pukul 17:00, sore.
Setelah ikut mengantar Zo ke dokter spesialis. Bintang akhirnya sampai ditempat tinggalnya diantar oleh Gisel. Bintang merebahkan badan diatas kasur dengan helaan tipis setelah menaruh tas diatas nakas.
Badannya terasa lelah, begitu juga dengan pikirannya. Bintang memeluk guling dengan posisi miring, setelahnya Bintang terlelap.
Dirumah lain, remaja yang tidak lain adalah Zo sedang mendengarkan ultimatum dari sang Papa yang sudah dia anggap sebagai angin lalu.
Semua perkataan yang Papa lontarkan padanya seakan debu yang beterbangan diterpa angin. Wusss ... Hilang tak bersisa.
"Zo, apa kau mendengar Papa?" tanya Victor, dia Papanya Zo. Mereka sedang duduk diruang keluarga hanya bertiga saja dengan Sera, Mamanya Zo. Sedangkan Abangnya Zo dia sudah menikah dan tinggal dirumahnya.
Dengan malas Zo menjawab. "Hm,"
"Yasudah, belajar sana!" seru Victor.
Dengan senang hati, Zo pergi dari ruang tengah menuju kamarnya dilantai atas. Dia bergegas mengunci pintu kamar dan ambruk keatas tempat tidur. Zo menggosok telinga kanan dan kirinya dengan kedua tangan.
"Ya robb, telingaku panas sekali," lirihnya, Zo sudah hafal dengan tabiat Papa dan Mamanya. Mereka selalu saja seperti itu, sepulang sekolah pasti mereka menanyakan berapa nilai pelajaran dan berakhir mengeceknya.
Sialnya, jika nilai Zo hanya mendapat tujuh, mereka pasti akan memberinya ultimatum seperti tadi, mungkin satu jam, dan itu sangat membosankan.
Zo terkadang tak habis pikir dengan kedua orangtuanya, otak manusia itu kapasitasnya tidak sama dengan manusia yang lainnya. Tetapi kenapa mereka selalu memaksanya untuk mendapat nilai seratus?
"Jika Papa dan Mama terus begitu. Aku akan bun.uh diri," Kata Zo penuh tekad.
Malam hari, direstoran milik keluarga Paksa. Dua pasangan dari marga berbeda terlihat duduk melingkari meja bundar dengan aneka hidangan makanan dan minuman untuk menemani obrolan serius mereka.
Mereka adalah Sera dan Victor bersama temannya yaitu Johan dan Talita. Johan adalah teman masa sekolah Victor pada zaman dulu dan Talita adalah istrinya Johan.
Johan dan Talita baru pulang dari luar negeri dua hari yang lalu karena mereka harus mengurus perusahaan barunya disana selama lima tahun. Dan selama itu pula mereka putus kontak bahkan sedari mereka menikah.
Berhubung perusahaan barunya sudah mulai berkembang dan mereka sudah menemukan pemimpin yang pas disana. Johan dan Talita bisa bernafas dengan lega dan bisa kembali ke Jakarta untuk berkumpul dengan keluarga. Termasuk bertemu dengan sahabatnya, Sera dan Victor.
Mereka bisa kembali bertemu dengan Victor pada malam hari ini karena kemarin siang Johan dan Talita mengunjungi restoran ini dan meminta nomor ponsel Victor pada bagian kasir. Dan itu juga tidak mudah, tentu penuh perjuangan untuk mendapat kepercayaan dari pegawai kasir di restoran ini.
Dulu nih, Johan dan Victor sempat membicarakan hal konyol sebelum menikah. Namun, sepertinya itu berlaku hingga saat ini.
"Jadi usahamu sudah bisa ditinggal, Jo? Wah kau memang hebat," Victor kagum dengan kegigihan Johan dalam urusan bisnis.
"Kau benar. Sejak dulu aku memanglah hebat," Johan membanggakan diri.
"Ternyata kau tidak berubah, Jo. Kau tetap seperti dulu. Selalu saja membanggakan dirimu." kata Victor, dan semuanya tergelak mendengar ucapannya.
"Sebenarnya, aku mengajakmu bertemu ada satu hal yang ingin aku bicarakan padamu, Vic." kata Johan. Tatapannya terlihat penuh keseriusan.
"Apa itu?" tanya Victor, penasaran.
"Apa kau masih ingat dengan obrolan kita masa dulu?" tanya Johan.
"Obrolan?" Victor bingung. "Obrolan yang mana?" tanya Victor. Terlalu banyak obrolan bersama Johan dimasa dulu. Victor sampai tidak bisa mengingat satu persatunya.
"Dulu sebelum kau dan aku menikah. Kita pernah membahas tentang perjodohan, bukan? Apa kau masing mengingatnya, Vic? Kau jenius, kuharap kau masih mengingatnya dengan jelas." kata Johan.
Kening Victor menukik tajam. Dia sedang menyelami obrolannya bersama Johan dimasa lalu. Dan setelah beberapa detik menggali obrolan lamanya, Victor akhirnya berhasil mengingatnya.
"Yeah, aku mengingatnya Jo. Lalu, apa kau ingin membahas itu? kudengar kau memiliki anak gadis?" kata Victor, dia menatap Johan dengan tersenyum sumringah.
"Yeah, kau benar. Aku dan Talita memiliki dua putri. Mereka berusia tujuh belas tahun dan empat belas tahun. Dan aku dengar istrimu melahirkan bayi laki-laki, apa dia sudah besar, Vic?" tanya Johan.
Victor dan Sera beradu pandang keduanya tersenyum simpul dan mereka kembali menatap Johan dan Talita bergantian.
"Aku dan Mas Victor memang memiliki dua orang putra. Mereka berdua tidak kalah tampan, dan aku yakin kedua putri kalian pasti juga sangatlah cantik." sahut Sera, dia membayangkan jika putranya dan putrinya Johan bisa menikah. Itu pasti sangat menyenangkan sekaligus menambah erat tali persahabatan mereka.
"Wow, itu sangat kebetulan. Bagaimana kalau kita jodohkan putra-putri kita?" kata Johan bersemangat.
"Maaf, Jo. Putra sulung kami sudah berumah tangga dan hanya tinggal putra bungsu kami yang masih duduk dibangku SMA. Tetapi dia keras kepala, apa kau yakin putrimu bisa menerimanya." kata Victor.
Talita yang sejak tadi hanya terdiam dan mendengarkan obrolan suami dan sahabatnya, kini bersuara, "Aku rasa tidak ada salahnya jika kita mencoba. Bukankah itu jauh lebih baik?"
"Aku rasa begitu." sahut Sera, dia menatap Victor disampingnya. "Kuharap kau juga setuju."
Victor mengangguk, tidak menolak. "Baiklah, kapan kita akan mempertemukan mereka?"
"Kapan hari aku akan kembali menghubungimu. Aku rasa kita juga perlu membicarakan ini pada putra-putri kita." Jawab Johan.
Victor tersenyum. "Baiklah."
......................
Kedua mata Bintang terbuka ketika mendengar dering dari ponselnya. Dia bergegas duduk dan mencari dimana ponselnya berada.
Kondisi Bintang yang masih sangat mengantuk membuatnya tidak sempat melihat siapa yang menghubunginya. Bintang menguap lebar dan menempelkan ponsel ditelinga setelah menerima panggilan.
"Hallo,"
"Hallo, Beb. Kau dimana? Aku ingin kita bertemu. Kita harus bicara."
Bintang melebarkan mata mendengar suara yang tidak asing dipendengaran. "Farel, untuk apa kau menghubungiku lagi. Bukankah kita sudah putus, dan ingat! Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi aku muak mendengarnya."
Kantuk yang tadi masih menyerang kedua mata Bintang seketika lenyap. Berganti rasa gemuruh dan sakit hati. Padahal Bintang sudah terlupa dengan pengkhianatan itu, lalu mengapa Farel kembali mengingatkannya. Mungkinkah dia sengaja?
"Oke, fine. Aku terima kita putus. Tetapi bisakah kita putus dengan cara baik-baik setidaknya kita masih bisa berteman baik." kata Farel, memohon.
Bintang tersenyum sinis, tanpa terasa dikedua matanya sudah penuh dengan genangan air asin.
"Apa katamu? Berteman baik?" Bintang tertawa getir. "Jangankan berteman, melihat wajahmu saja aku tidak sudi. Kurasa mimpimu terlalu tinggi." kata Bintang, dia memutus panggilan.
......................
"Arghhh, keterlaluan! Kenapa Bintang keras kepala!" seru Farel, dia hampir saja membanting ponselnya dilantai jika tidak teringat bahwa ponsel tersebut adalah pemberian Bintang saat ulang tahun dua minggu yang lalu.
"Sabar, Rel. Semuanya butuh proses. Kuharap kau masih banyak memiliki stock itu." Rey menepuk bahu temannya tersebut, memberinya ketenangan.
"Sampai kapan aku harus bersabar, Rey! Aku mencintai Bintang. Aku tidak terima jika Bintang membenciku!" kata Farel, dia sangat kehilangan sosok yang cantik, selalu ceria, manja, dan perhatian padanya. Farel tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini.
Rey menghela. "Kau harus bersabar sedikit, Rel. Bintang butuh waktu untuk menerimamu lagi. Apa kau lupa dengan luka yang kau torehkan padanya? Mikir pakai ot.akmu. Bintang juga punya hati dan punya perasaan, sama seperti dirimu."
Posisi mereka berdua sekarang berada disalah satu warung seblak. Mereka berdua sejak pulang sekolah memang berencana untuk main ditempat tersebut sekaligus membahas tentang Bintang. Lalu mereka memikirkan langkah apa yang harus Farel ambil untuk membuat Bintang kembali masuk dalam pelukan Farel.
...----------------...
"Hiks ... Hiks ... berteman baik?" Bintang menggeleng. "Tidak! Aku tidak sudi! Dia terlalu dalam menancapkan belatinya didadaku. Hatiku terlalu sakit. Mustahil aku akan memaafkannya."
Cek-klek
"Bintang kau sudah tid--hei! kau kenapa Sayang? Mengapa menangis?" Johan yang baru saja pulang dari restoran terkejut mendapati putrinya sedang dalam keadaan bersedih.
Tadinya Johan ingin menemui Bintang dan memberinya oleh-oleh. Tetapi Johan justru diperlihatkan dengan keadaan Bintang yang sedang kacau.
"Kau kenapa? Jangan membuat Daddy khawatir," ~ Johan.
Bintang menghentikan tangis. "Aku ingin pindah sekolah."
Johan terkejut. "Pindah sekolah? Apa yang terjadi?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!