Dalam ruangan yang lengang, bunyi ventilator dan mesin oksigen menemani tidurnya Ningrum. Sudah 2 hari, wanita malang itu belum menyadarkan dirinya. Tidak ada satu pun sanak saudara atau keluarganya yang datang berkunjung.
Ningrum adalah seorang wanita yang hidup sebatang kara. Satu-satunya orang yang menjadi keluarganya adalah Putu. Sejak ditinggal mati ayah dan ibunya, Ningrum diangkat oleh kedua orangtua Putu.
Kehidupan Ningrum juga sangatlah memprihatinkan. Ibu Putu selalu menyiksanya, dan sering membedakan mereka berdua. Untunglah Putu tidak berbuat semena begitu, walau kadang dia juga agak egois.
Sementara Wayan adalah teman dari ayah Putu. Lelaki itu sangat kasihan pada Ningrum walau dia selalu bersikap tegas. Itu hanya untuk membuat mental Ningrum kuat.
Pada malam hari, Ningrum membuka matanya perlahan. Tidak ada siapa pun di sana. Cahaya lampu menyilaukan matanya perlahan. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Terlebih area kewanitaannya.
Tiba-tiba Ningrum berteriak, mengingat kejadian malam itu.
Para tim medis berlarian menghampiri dirinya. Ningrum memberontak di atas brankar, dia ingin mati saja. Hanya itu yang dipikirkan. Dia ingin menyusul kedua orangtuanya.
Tubuh ini sudah tidak lagi berharga. Tubuh ini sudah sangat hina! Untuk apalagi dia hidup? Selama ini dia menderita, tapi dia tidak pernah mengeluh. Tapi sekarang, dia harus hidup dalam keterpurukkan yang paling dalam.
“Tenang nona!” bujuk seorang dokter lelaki yang berumur 60an. Nampaknya pria itu sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi masalah seperti ini.
“Periksa tensi darahnya sekarang!” perintah lelaki itu.
Seorang perawat wanita dengan cekatan memeriksa tekanan darah Ningrum dengan alat yang canggih.
“Bagaimana?” tanya dokter itu, sembari menggerakkan stetoskopnya di sekitar dada Ningrum.
“Sangat tinggi dok.”
“Ahh, cepat atur selang infusnya.” Dokter itu langsung menenangkan Ningrum yang masih saja menangis histeris.
Beruntunglah dalam waktu yang singkat, semua bisa ditangani dengan baik.
Dokter itu menyuntikkan obat penenang di lengan Ningrum. Wanita itu kembali tertidur lelap.
“Apa tidak berlebihan dokter?” tanya perawat tadi.
“Hanya ini cara agar dia bisa tenang. Jika kondisi fisiknya sudah membaik, maka kejiwaannya akan lebih mudah ditangani."
Perawat itu hanya menunduk dan merapikan barang-barang medis mereka.
***
Sementara itu, Raka sedang dihadapkan dengan masalah besar. Kedua orangtua Putu memanfaatkan masalah ini agar dapat mengusir Ningrum sejauh mungkin. Mereka juga bisa memperoleh uang yang banyak.
“Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Ratna kakak dari Raka yang juga hadir dalam acara malam itu. Mereka berdua sedang berbincang di ruangan pribadi hotel Mahadewa.
“Bukan aku kak. Ini semua kelakukan Andika dan Radit!” cetus Raka.
“Jangan menyangkal lagi! Jelas-jelas kamu yang terbaring di samping pelayan itu,” Ratna memijat dahinya karena pusing. Apa jadinya jika keluarga mereka yang di Jakarta tahu?
“Aku berani bersumpah kak. Bukan aku!”
“Mana buktinya??” Ratna menyodorkan tangannya meminta bukti itu.
Raka membuang wajahnya jauh, mengingat kebejatan para sahabatnya malam itu. Mereka begitu tega mengkambing hitamkan dia, dan mencuci tangan dari masalah besar ini.
“Seluruh media sudah menayangkan berita itu. Dan aku tidak tahu apakah keluarga kita sudah tahu atau belum!” jelas Ratna dengan suara serak. Ratna sangat menyayangi adik-adiknya.
Ratna anak pertama, sedangkan Raka anak kedua sekaligus lelaki tunggal, dan yang bungsu adalah Rika gadis cantik berusia 17 tahun.
“Jadi aku yang bersalah?” Raka menunjuk dirinya sendiri.
“Lalu siapa yang akan kau salahkan?”
“Andika!!!” gumamnya dengan penuh amarah.
“Kita harus mengecek kondisi wanita itu Raka!” tegas Ratna.
“Tidak!”
“Kamu harus bertanggung jawab. Wanita itu sangat trauma, aku dengar sendiri dari dokter Fauzan yang menanganinya.”
“Aku tidak peduli dengannya. Mau mati sekalipun itu bukan urusanku!” bantah Raka.
Ratna menghembuskan nafasnya dalam. Sebagai seorang wanita dia sangat tidak tega melihat wanita lain terluka. Ratna sendiri bekerja di lembaga yang melindungi HAM dan Wanita. Apa jadinya jika dia juga lepas tangan. Di mana letak hati nuraninya?
Dengan berat hati, Ratna memutuskan untuk pergi sendirian. Langkah kakinya terasa sangat berat. Dia sendiri yakin Raka tidak mungkin melakukan hal itu. Memang adiknya itu suka sekali bermain wanita, namun semua itu dilakukan tanpa adanya paksaan. Raka bukanlah tipe lelaki yang suka memaksa. Justru para wanitalah yang merelakan tubuh mereka untuk dinikmati secara gratis.
Mata Ratna hampir menjatuhkan air mata, menampakkan pasien kritis itu. Dalam beberapa kasus, Ratna sudah sangat sering berhadapan dengan masalah seperti ini. Dan sebagian besar korban mengalami trauma hingga sakit jiwa.
Ningrum sangatlah cantik bagi Ratna. Kasihan juga jika dia harus diperlakukan kasar. Bekas memar ditubuhnya masih membekas.
Dokter Fauzan masuk, menghampiri Ratna. Mereka sudah saling kenal karena sering bertemu dalam beberapa seminar penting yang membahas tentang HAM dan kejiwaan.
“Kapan dia bisa sembuh dok?” tanya Ratna masih memandang kasihan Ningrum.
“Fisiknya mungkin akan sembuh dalam beberapa waktu ini. Tapi mentalnya, entahlah!”
“Huhhhh, aku tau itu akan sangat sulit.” Ratna menengadah menatap hampa langi-langit ruangan.
“Dia selalu berteriak histeris setiap malam. Dia selalu mengatakan ingin mati!” jelas Dokter Fauzan.
Hati Ratna seperti sangat terpukul. Air mata yang sejak tadi ditahannya mulai jatuh. Tangan kanannya mengusap butiran air itu.
“Baiklah aku pergi dok. Tolong sembuhkan dia, aku akan kembali lagi besok.” Pamit Ratna dan berlalu.
Dokter Fauzan menghelas nafasnya dalam. Dia juga sangat kasihan pada Ningrum. Dari hasil visum, Ningrum mengalami kekerasan fisik yang sangat menyiksa.
***
Ratna melipat kedua tangannya menghadap jendela kamar. Pemandangan laut dari luar sana sama sekali tidak menarik hatinya lagi. Para tamu pesta waktu itu sudah pergi semua. Tertinggal Raka dan kakaknya untuk mengurus masalah ini secepat mungkin.
“Apa yang akan kamu lakukan jika itu terjadi pada Rika?” tanya Ratna.
“Kakak jangan bawa-bawa Rika dalam masalah ini.” Raka bangkit dari duduknya sejak tadi di sofa. Mereka berdua sangat menyayangi Rika.
“Jawab aku!! Apa yang akan kamu lakukan jika itu adalah Rika??” bentak Ratna.
Raka terdiam dan kembali duduk. Dia meremas jemarinya kesal. Kini Andika, Radit dan Fendy terbebas bersih dari perbuatan mereka.
“Jangan membantah lagi, besok kita harus temui dia!” Ratna pun keluar menuju kamarnya.
Raka tersenyum kecut. Dia tidak ingin kekasihnya sampai tahu masalah ini. Bisa-bisa Adelia pergi dari kehidupannya.
Malam yang dilalui Raka kali ini terasa sangatlah singkat. Serasa baru 5 menit memejamkan mata, kini dia sudah dibangunkan Ratna kakaknya.
“Bergegas mandi! Jam 8 pagi kita harus temui dia. Kata dokter Fauzan dia sudah sadar!”
“Apa?” Raka kaget sekaligus senang. Jika begitu, maka Ningrum bisa menjelaskan siapa yang telah memperkosanya.
“Segeralah bersiap!” Ratna melempar handuk pada adiknya dan keluar lagi.
Raka dengan cepat melakukan apa yang diperintahkan tadi.
Tidak sampai 30 menit, dia sudah selesai. Hanya tinggal menunggu Ratna. Bahkan sarapan yang terhidang di meja kamarnya dia abaikan.
Tangannya mengutak-atik ponselnya. Sejak kejadian itu, ketiga temannya sama sekali tidak bisa dihubungi. Seluruh akun sosmednya bahkan diblokir.
Ningrum duduk menatap hampa lantai ruangan penginapannya. Sejak tadi, dokter Fauzan melarang siapa pun masuk. Mereka hanya membutuhkan Ratna, karena dia ahli dalam berkomunikasi dengan orang yang memiliki trauma seperti Ningrum.
Wayan dan Putu, memutuskan untuk menjenguk Ningrum hari ini. Namun mereka hanya diijinkan untuk melihat dari balik pintu yang terbuat dari kaca tersebut. Putu hanya bisa menangis, melihat temannya yang sekarat begitu. Dia sangat menyesal karena malam itu membiarkan Ningrum pergi sendiri.
Lalu Wayan memilih duduk di kursi yang disediakan dekat ruangan itu. Lelaki paruh baya itu menatap nanar dinding di hadapannya dengan perasaan bersalah. Jika dia menyuruh pelayan lelaki, mungkin semua akan baik-baik saja. Bahkan wanita yang telah dianggapnya anak itu, tidak akan semenderita sekarang.
“Selamat pagi.” Sapa Ratna dengan senyum tipis pada Putu dan Wayan.
Raka sama sekali tidak mengubah ekspresinya, masih tetap dingin. Dia mengenal siapa Wayan, tapi dia tidak kenal Putu dan Ningrum.
“Selamat pagi.” Jawab Wayan dan Putu hampir serempak sambil menundukkan kepala.
Raka melirik Wayan, tapi kemudian kembali cuek seperti biasanya.
“Apa dokter Fauzan ada?” tanya Ratna.
“Dia sedang keluar nyonya. Mungkin sebentar lagi, beliau datang.” Jawab Wayan.
Ratna menggangguk lalu melirik Raka yang terlihat sangat cuek. Raka benar-benar benci harus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Kakaknya hanya menghela nafas sebentar, lalu duduk di dekat Wayan. Keadaan kembali hening, masing-masing hanyut dalam pikirannya.
Seketika, suara teriakkan Ningrum mengagetkan mereka semua. Ratna langsung berlari masuk, memeluk Ningrum yang terus memberontak.
“Aku benci diriku!!! Lepaskan aku, ahhhh!!!” Ningrum berusaha mendorong tubuh Ratna.
“Sabar... kamu harus kuat!”
“Lepaskan aku!!! Hahhhhh, aku benci diriku!!”
Dari balik pintu Raka mengintip. Dia bisa melihat dengan jelas seperti apa kehancuran yang tertampak di wajah Ningrum. Rasa bersalah pun timbul dalam hatinya. Kalau saja malam itu, dia melarang teman-temannya, tentu mereka akan menurutinya.
‘Sehancur itukah hatimu?’ batin Raka.
Wayan dan Putu menunduk, meremas jemari. Putu bahkan masih saja menangis. Jika waktu bisa diulang lagi, dia akan menemani Ningrum atau dia akan memaksa pelayan pria untuk melakukan itu.
Dokter Fauzan berlari memasuki ruangan dengan wajah cemas. Raka kembali mengintip, betapa susah payahnya Ratna dan dokter itu membujuk Ningrum untuk tenang. Namun wanita itu kembali memberontak, memegang kepalanya dengan kedua tangan sambil terus menggeleng.
“Aku ingin mati!! Tolong biarkan aku mati!!”
Ratna hampir saja putus asa. Dia memikirkan kata apa lagi yang tepat untuk bisa menenangkan Ningrum. Tiba-tiba, Ratna teringat 2 orang yang bersamanya di luar tadi.
“Teman dan pamanmu sedang menunggumu di luar.”
Ningrum terdiam. Dia mengalihkan pandangannya pada pintu yang tertutup itu. Namun matanya justru tertuju pada Raka. Bayangan wajah yang tidak peduli dengannya kembali hadir. Hatinya kembali sakit, malam itu dia masih bisa selamat jika Raka melarang perbuatan teman-temannya. Ningrum menangis dalam diamnya, kali ini dia tidak memberontak.
‘Apa aku bukan manusia, sehingga kau membiarkan aku diperlakukan demikian?’
‘Atau karena aku hanyalah seorang pelayan di hotelmu, sehingga bagimu aku hanyalah setitik debu?’
Kedua mata itu saling menatap, antara benci dan ibah. Meski Raka menatapnya dengan tatapan dingin, namun hati kecilnya merasa kasihan.
“Sepertinya kita panggil saja kedua orang itu masuk.” Usul dokter Fauzan.
“Ya, memang dalam keadaan seperti ini, kehadiran orang terdekat sangat dibutuhkan.” Tutur Ratna.
Dokter Fauzan menggangguk dan bergegas memanggil Putu dan Wayan. Mereka berdua masuk dengan raut wajah sedih.
Ningrum tersenyum tapi juga menangis. Putu langsung berlari memeluknya. Wanita malang itu menumpahkan segala kesedihannya dalam pelukkan Putu. Keadaan sudah lebih baik dari sebelumnya. Ningrum mulai lebih tenang. Sebuah garis datar terbentuk di wajah Ratna, antara senang dan sedih.
“Nak, keadaanmu sudah membaik. Jika kamu mau mendengar saran saya, besok kamu sudah bisa keluar.” Saran dokter Fauzan dengan penuh perhatian.
Ningrum menatap Putu, meminta persetujuannya. Temannya itu menggangguk dan tersenyum simpul. Kemudian Ningrum beralih pandang pada dokter Fauzan sambil manggut.
“Baiklah. Kita semua diharapkan keluar, ada hal yang ingin disampaikan Mbak Ratna.” Kata dokter lagi, pada Wayan dan Putu.
Ratna melihat 3 orang yang sudah keluar itu, menunggu sampai pintu ditutup. Barulah dia menarik kursi dan duduk di sebelah brankar tempat Ningrum duduk.
“Haiii, boleh aku menggenggam tanganmu?” seperti dihipnotis, Ningrum pun menggangguk.
Hati Ratna merasa sedikit tenang. Dengan begitu, komunikasi akan berjalan lebih baik. Ratna sendiri adalah seorang ahli Psikolog. Namun, dia juga salah satu wanita yang malang. Dia adalah seorang janda anak 1. Bercerai dengan suaminya, yang kepergok selingkuh.
“Berapa umurmu sekarang?” tanya Ratna lirih sambil menggenggam tangan itu.
“20 tahun.” Jawab Ningrum tanpa ekspresi.
“Ohh, bagaimana suasana hatimu mendengar apa yang dokter katakan tadi?”
“Aku senang. Aku sangat menderita di tempat ini. Bayangan para ******** itu terus saja menghantuiku.” Ningrum ingin memberontak, tapi Ratna semakin mempererat genggaman itu, sehingga membuat Ningrum menurut.
“Baiklah. Para ********?” Ratna mengerutkan dahinya.
“Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Apa kamu mau?”
Ningrum mengedipkan matanya. Masih bingung, kira-kira siapa yang akan datang ini? Ningrum pun menggangguk setuju.
Ratna tersenyum, dan langsung memanggil Raka masuk.
Baru melihat kemunculan Raka, Ningrum langsung menangis dan melempar bantal tepat mengenai wajah tampan itu.
“Heiii??” Raka berusaha menahan amarahnya. Baru kali ini ada wanita yang berani melempar sebuah benda di wajahnya.
“Pergi kamu!!” Ningrum menangis, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menggeleng tidak mau melihat wajah kejam itu.
“Raka! Kamu harus bisa mengerti dengan keadaannya. Dan asal kamu tahu, dia adalah tanggungjawab kamu sekarang.” Tegas Ratna.
“Apa? Aku sama sekali tidak menyentuhnya, tanyakan saja!”
Ratna menarik nafasnya dalam, dan mendekati Ningrum. Menanyakan hal itu padanya.
“Dia! Semua karena dia!!” tunjuk Ningrum, yang membuat Ratna bingung.
“Aku?” lelaki itu mendelik kesal.
“Dia...” berkali-kali Ningrum menunjuk Raka.
Ratna menatap Raka dengan tatapan tidak suka. Dia bahkan meminta lelaki itu untuk keluar segera.
“Apa yang dia lakukan padamu sayang?” tanya Ratna, begitu Raka pergi.
“Dia tega tidak menyelamatkan aku. Padahal aku bekerja di hotelnya, melayani semua tamu siang dan malam. Tapi dia justru tega membiarkan tubuhku dijamah lelaki lain.” Jelas Ningrum. Air matanya terus mengalir, tanpa henti.
“Maafkan dia. Semuanya akan aku urus.” Ratna pun masih menenangkan Ningrum.
Sampai wanita itu tertidur, Ratna keluar dan mengajak Raka pulang. Sedangkan Wayan dan Putu, sudah pergi sejak tadi. Sebelum pulang, mereka masih sempat berpamitan pada dokter Fauzan.
“Berapa kali harus aku bilang kak?? Bukan aku yang memperkosanya!” bantah Raka ketika dia dan kakaknya menunggu jemputan di depan rumah sakit.
“Lalu kenapa kamu biarkan hal itu terjadi?”
“Karena aku pikir, dia menyukai hal itu.”
“Terserah apa katamu. Secepatnya kita harus mengurus pernikahan kalian.”
“Menikah?? Dia benci diriku kak, bukankah itu akan semakin membuatnya menderita?” Raka menggeleng kepalanya.
“Lalu siapa yang akan bertanggung jawab untuk masa depannya Raka?”
“Terserah dia.”
“Jangan membantah!”
Begitu jemputan datang, seorang lelaki menarik kerak baju Raka secara paksa, menggiringnya menuju taman depan RS. Dari wajah lelaki asing itu, menampakkan sebuah kemarahan yang sangat besar. Entahlah, siapa lelaki ini?
Sebuah pukulan dilayangkan telat mengenai wajah Raka ketika sampai di tengah taman. Darah segar mengalir dari hidungnya.
Raka mengusap darah itu dengan wajah memerah. Dia pun maju dan membalas pukulan tadi. Sementara Ratna berteriak histeris, meminta bantuan dari tim keamanan RS itu.
Kedua lelaki bertubuh tinggi tegap itu saling balas membalas. Tidak peduli dengan tontonan orang banyak.
Seorang satpam Rumah Sakit, masuk ke tengah untuk melerai keduanya. Untung saja berhasil. Sorot mata lelaki asing itu seperti tidak puas, karena belum membuat wajah Raka babak belur sepenuhnya.
"Siapa lo?" tanya Raka kesal, ingin kembali memukul tapi segera ditahan Ratna.
"Gue Angga, kekasih Ningrum. Cewek yang udah lo perkosa itu!"
Orang-orang menggeleng dan tentu saja langsung mengabadikan momen langka ini di ponsel mereka.
Raka menggertakkan giginya geram. Jelas bukan dia yang memperkosa Ningrum, tapi seluruh dunia menyorot dirinya.
"Bukan aku yang memperkosanya! Tanyakan saja pada kekasihmu!" bentak Raka.
"Jangan mengelak, semua bukti mengarah padamu keparat!"
"Cukup!!!" Ratna menatap Angga kesal.
"Kamu tidak tahu yang sebenarnya. Dan perlakuan kamu tadi, bisa saja membawa diri kamu ke penjara. Semua sedang kami urus, aku yakin kamu juga sudah tidak lagi menginginkan Ningrum bukan??"
"Jelas aku tidak lagi menginginkan dia. Semua karena ulah ******** ini!"
"Maka kamu tidak ada urusan lagi dengan Ningrum!" Ratna menarik tangan adiknya dan pergi.
"Lepaskan aku kak. Aku ingin memukulnya lagi."
"Apa dengan ini bisa menyelesaikan masalahmu?"
"Tolong jangan semakin mempersulit keadaan!" Ratna menarik paksa tangan adiknya.
Angga masih menatap kepergian kedua orang itu dengan kebencian. Dia adalah kekasih Ningrum. Mereka telah menjalin hubungan ini selama setahun lebih.
Angga sendiri kuliah di Jakarta. Kabar buruk ini membawanya pulang untuk bertemu dengan Ningrum, dan ingin memberi pelajaran bagi Aktor sombong itu.
Angga sangat menyayangi Ningrum. Dia mau menerima wanita itu meski sudah diperkosa. Namun seluruh keluarganya melarang hubungan mereka.
Satu pun tidak ada yang mendukungnya. Bagi mereka, Ningrum sudah sangat kotor. Dalam kesedihan mendalam itu, Angga menunggu saat yang tepat untuk melampiaskannya pada Raka.
Akhirnya dia berhasil memukul ******** itu, meski hanya sedikit. Hatinya belum puas, bahkan dia berjanji dengan diri sendiri untuk kembali membalaskan sakit hatinya.
Setelah sekumpulan orang itu bubar, Angga masih berdiri terpaku di tempatnya. Dia sangat ingin menemui Ningrum, tapi hatinya menolak. Akan semakin melukai Ningrum jika melihat Angga.
Padahal, selama ini Angga berusaha menjaga kesucian kekasihnya. Dia sangat menghormati tubuh Ningrum. Namun dalam sekejap, semuanya hancur.
Mimpi mereka untuk menjadi pasangan paling bahagia telah sirna. Hubungan mereka tidak akan mungkin berlanjut lagi. Tapi Angga juga tidak rela, melepaskan Ningrum dengan lelaki lain.
Entahlah, dalam keadaan seperti ini, Angga hanya bisa pasrah. Mungkin ini sudah kehendak Tuhan.
***
Ratna membasuh wajah Raka dengan air es.
"Auhh sakit kak!"
"Tahan! Kamu sih, pake acara balas."
"Yah kalau nggak dibalas aku mati dong!"
"Kan bisa dilerai?"
"Kakak kenapa sih? Kok akhir-akhir ini selalu salahin aku?" Raka berbalik membelakangi kakaknya.
Ratna menghela nafasnya, dan berusaha membujuk Raka.
"Dengar sayang, kakak hanya ingin kamu menjadi lelaki yang bertanggung jawab."
Raka memang sangat menyayangi Ratna. Bahkan dia lebih mendengar perkataan kakaknya daripada kedua orangtuanya. Dari mereka masih kecil, Ratna lah yang selalu ada dan menghibur mereka.
Sedangkan papa dan mamanya sibuk bekerja. Papa Raka juga seorang Aktor terkenal di eranya begitu juga dengan mamanya.
Melihat kesibukkan kedua orangtuanya yang berlebihan, Ratna memilih menjadi orang yang biasa saja. Dia ingin mempunyai waktu yang banyak untuk keluarganya kelak.
"Ahhh kakak, aku akan bertanggung jawab kalau aku yang melakukannya."
"Kamu juga salah satu pelakunya Raka. Ingat, kalau kamu melarang yang lainnya, pasti mereka menurut. Bukankah mereka selalu mengikuti perintahmu? Dan sekarang, apa yang akan kamu lakukan? Semua bukti jelas tertuju sama kamu."
"Lalu aku harus bagaimana kak??"
"Nikahi dia!"
"Tidak!"
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tidak mau. Aku memiliki kekasih, dan lagi dia akan ketakutan bertemu denganku nanti."
"Menikahi dia, sampai hilang traumanya. Kakak juga tidak mau publik menuduh kamu yang tidak-tidak. Kakak percaya sama kamu, tapi kita juga harus menyelamatkan wanita itu."
"Tapi aku sudah memberi sejumlah uang untuk kedua orangtua angkatnya kak."
"Kamu pikir semua masalah bisa diselesaikan dengan uang?"
Raka terdiam. Dia juga tidak pernah membantah perintah kakaknya. Tapi kali ini jelas sangat berbeda.
"Baiklah aku akan menikahinya, sampai traumanya sembuh." jawab Raka dengan berat.
"Baiklah, kakak akan atur semuanya."
"Apa hanya dengan menikah yang bisa menyembuhkan dia kak?"
"Ya, dia perlu ikut dengan kita. Tujuannya untuk melupakan kenangan buruk kota ini. Dia juga butuh seseorang untuk menemaninya."
"Aku sibuk kak."
"Bukan kamu, tapi kakak. Dengan kalian menikah, kakak akan semakin mudah mendekatinya."
"Nikahkan saja dia dengan Azlan!"
Azlan, adalah teman sekaligus manajer Raka.
"Azlan tidak ada urusan dengan semua ini." tegas Ratna kemudian keluar.
Raka membuang wajahnya kesal. Sekarang yang dia pikirkan adalah Adelia. Apa yang akan terjadi jika wanita berharganya itu tahu?
Dering ponsel mengangetkan lamunannya. Raka menatap layar ponsel itu. Dia mengusap wajahnya, antara kesal dan bingung. Kemudian dengan ragu, menerima panggilan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!