NovelToon NovelToon

Ghanapurusa

Ganapurusa

“Haha! Ayo susul aku kalau kau bisa, kang Aling. Haha...”

“Jangan jumawa, nyimas. Sebentar lagi kau akan ku menyusulmu...”

Terdengar suara teriakan saling sahut disuatu perbukitan tinggi dipinggir satu desa. Tak lama berselang nampak dua bocah lelaki dan perempuan berlari menaiki bukit tersebut.

Yang pertama, meskipun perempuan dan baru berumur sekitar 7 taunan, namun langkah kakinya ringan tak kalah cepat dari bocah lelaki yang umurnya berusia sekitar 10 tahun. Meskipun baru berusia tujuh tahun namun terlihat paras bocah perempuan itu cantik dengan mata yang jernih dan dagu yang runcing.

“Ya, kau mungkin bisa menyusul ku. Tapi kau tak mungkin dapat mendahului ku...”

“Hhh! Kita lihat saja, nyimas. Kali ini aku tak akan mengalah...”

“Oh ya? Kalau begitu, ayo buktikan...”

siBocah lelaki mempercepat langkah kakinya, pun demikian siBocah perempuan yang bernama nyimas lirih. Ia tak mau kalah, terus mempercepat gerakan kakinya. Dua bocah terus berlarian, orang-orang yang bekerja disekitar ladang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, karena merasa takut kalau sibocah perempuan terjatuh dari jalan setapak yang cukup curam.

“Hup, uh...”

Nampak jarak siBocah lelaki dengan siBocah perempuan makin mendekat. Namun sebelum benar-benar berhasil menyusul, nyimas Lirih sudah tiba duluan diatas bukit. Maka terdengar siBocah perempuan berteriak kegirangan.

“Horree… nyai menang! Nyai menang lagi, horeee...!!!”

Serunya sambil menari-nari dengan riang dan jenaka, sesekali matanya yang jeli melihat kebawah, menatap siBocah lelaki yang nampak makin mendekat, dan akhinya ia pun tiba dan langsung menjatuhkan diri sambil terengah-engah.

“Hey, malah tiduran, ayo tepati dulu janjimu...”

“Hh... hh... ya, ya,ya... pasti akan aku tepati, nyimas. Tapi nanti dulu, tidak kah kau lihat napasku hampir putus! Aku... aku masih cape, nyimas...”

Jawab siBocah lelaki dengan napas yang masih terengah-engah. Namun ada yang aneh, meskipun dia terlihat capek, tapi tidak nampak peluh sedikitpun membasahi wajahnya. Malah matanya tetap terang tanda dia mempunyai stamina yang sangat hebat.

“Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu hingga kau tidak cape lagi...”

siBocah perempuan pun ikut duduk disamping Bocah lelaki yang terus rebahan beralaskan rumput hijau.. matanya menerawang keangkasa menatap langit biru yang berhiaskan awan nan putih.

“Lihat nyimas, diatas sana langit sungguh menakjubkan...”

Sebelum menjawab siBocah perempuan ikut rebahan disamping siBocah lelaki dan ikut melayangkan pandanganya keatas langit yang dipagi itu memang sangat cerah.

Dikejuhan nampak gunung beralak paul dan membiru, beselimut kabut dengan hawa udara yang terasa segar. Sungguh suatu pemandangan yang sangat asri dan menyejukan jiwa. Bahkan terdengar suara burung bersahutan diselingi suara ayam jantan berkokok sesekali.

“Kata ayah saya, bumi kuwlon diciptakan saat tuhan tersenyum. Mungkin inilah alasanya, kang aling...”

“Hm, benar nyimas. Akang pun pernah mendengar, dan inilah surga yang sesungguhnya yang banyak dicari para pengembara. Ow! lihat... lihat nyimas, burung blibis dan elang pun ikut bercengkrama menghiasi angkasa. Lihatlah itu, bukankah suatu pemandangan yang sangat menakjubkan?”

“Hhh! Alangkah senangnya jika kita bisa seperti burung diatas sana ya kang.? Mungkin kita bisa bebas pergi kemanapun yang kita mau....”

“Suatu hari nanti, manusia dapat terbang seperti burung nyimas...”

“Oh iya? Apakah suatu hari nanti manusia akan tumbuh sayap sehingga bisa terbang?”

“Mungkin saja...”

“Tapi bagaimana caranya?”

“Tuhan memberi kita akal budi dan pikiran yang tiada tara dibanding mahluk lainy. Dengan akal dan pengembangan ilmu pengetahuan, suatu hari nanti apa yang kita impikan akan menjadi kenyataan...”

“Ya, ya... nyai percaya sama kang aling...”

“Bagus...”

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Ayo tepati dulu janjimu, menggendong aku sesuai dengan perjanjian kita tadi. Siapa yang kalah akan menggendong pemenangnya...” Kata siBocah perempuan sambil bangkit berdiri.

“Mm... baiklah, akang tepati...”

“Kalau begitu, ayo gendong aku...”

“Ya, ya,ya...”

siBocah lelaki yang bernama Lingga paksi pun bangkit dan berlutut, sedangkan nyimas lirih langsung naik kepunggung kacungnya. Tak lama siKacungpun berdiri, dan mulai berjalan sambil menggendong nyimas lirih.

“Nyimas, bagaimana kalau kita bertaruh sekali lagi...”

“Hhh? Apa kang aling tidak kapok?”

“Apa? Kapok?”

“Ya...”

“Huh, tidak ada dalam kamusnya bagi akang kapok...”

“Kalo begitu, ayo kita mulai. Heya, heya,heya....”

Seru nyimas lirih sambil menggitik bokong kacungnya dengan sebatang ranting pohon yang ia petik di tengah jalan. siKacung berjingkrak-jingkrak mulutnya berterik-teriak meniru suara kuda.

Tak lama berselang keduanyapun tiba ditepi sungai cimahpar. Nyimas lirih turun dari gendongan siKacung dan berkata.

“Ayo.. kang aling mau bertaruh apalagi?”

“Kita berlomba-lomba mengumpulkan batu merah delima yang berada didasar sungai. Siapa yang paling banyak dia pemenangnya...”

“Baiklah, tapi bagaimana peraturanya?"

“Nanti kalau akang menepuk punggung nyai, itulah tandanya kita berhenti mengumpulkan batu merah delima. Bagaimana?”

“Baik, siapa takut! Tapi jangan mewek jika akang kalah lagi...”

“Tidak... tidak... sekali ini akang pasti menang...”

“Kalau begitu, ayo kita mulai...”

“Ya, ya, ya...”

Merekapun lalu mulai melepaskan pakaian yang berupa libatan-libatan kain sederhana, lalu berbekal daun harendong untuk dijadikan wadah keduanya pun mulai bersiap-siap dan tak lama terdengar siAling mulai berhitung memberi aba-aba.

“Satu, dua, tiga..”

Sontak saja keduanya mulai berlari menuju tepian sungai. Dan... byur! Byur..!” siAling beserta nyimas Lirih langsung masuk kedalam air sungai yang jernih.. terlihat keduanyapun mulai menyelam dan memunguti batu merah delima yang berkilauan sidasar sungai.

Namun tak lama berselang, siBocah lelaki muncul kembali ke permukaan air lalu  dengan santai dia berjalan menuju kesebuah pohon besar yang masih berada disekitar tepian sungai.

Setibanya dibawah pohon tersebut, siAling duduk dan terdengar ia bergumam sendiri, sambil menatap nyimas Lirih yang samar-samar masih berada didasar sungai.

--"Ayo nyimas, yang lebih lama menyelamnya. Biarkan akang disini saja sambil duduk, hehe...'---

Gumam siAling sambil bersiul dan tak lama terlihat kedua tanganya dimasukan kedalam lumpur, waktu tanganya dikeluarkan nampak sudah memegang puluhan batu merah delima. Setelah dibersihkan, lalu sialing kembali ke dalam sungai seolah-olah masih dalam keadaan menyelam.

Setelah dirasa cukup, sialing medekati nyimas lirih. Dalam hatinya sang kacung kagum dengan napas nyimas Lirih yang terhitung kuat. Setelah dekat, ia pun menepuk punggung nyimas lirih, tanda sudah cukup mengumpulkan batu merah delima.

Nyimas lirih menganggukan kepala, lalu keluar dari permukaan air serta merta berjalan ketepi sungai. Setelah kembali mengenakan masing-masing pakaianya, lalu kedua nya pun mulai menjatuhkan hasil perburuanya dan nampak sekilas pandang hasil siAling lebih banyak.

“Wah, kelihatanya punya kang aling lebih banyak...”

“Hitung dulu nyimas, baru ketahuan hasilnya...”

“Ya,ya,ya...”

“Ayo kita mulai hitung, mau siapa dulu...”

“Biarkan punyaku duluan yang dihitung, kang Aling...”

“Baiklah...”

Satu persatu batu kali yang gemerlapan tertimpa sinar matahari pun dihitung, dan ternyata jumlahnya 115 buah.

"Nah, sekarang giliran punya akang nyimas. perhatikan dengan seksama..."

"Ya..."

Sialingpun mulai menghitung, satu demi satu batu dipisahkan tak jauh dari batu milik nyimas lirih.

"115, 116, 117... 151 nyimas..." siAling menutup hasil hitungan nya.

"Tuh, betulkan punya akang aling lebih banyak. Tidak di sangka, kang aling pandai menyelam..."

"He,he,he..." siAling hanya tertawa kecil, sambil berdiri disusul oleh nyimas Lirih.

"Nah, bagaimana? Sekarang sudah terbuktikan bahwa taruhan kali ini akang yang menang?”

"Iya, iya... Nyai mengaku kalah, deh. Sekali ini akang menang..."

BERSAMBUNG

Juragan Subali

"Kalau begitu, ayo! Gendong aku..."

"Iya, baiklah..."

Dan gadis kecil itu pun langsung berjongkok, untuk menggendong sang Kacung. Tak lama...

"Heya... heya...!"

Selanjutnya siKacung berseru kencang, tak ubahnya nyimas lirih tadi saat menggendong dirinya. Yang menakjubkan, tanpa kesulitan nyimas lirih dapat menggendong badan kacungnya yang lebih besar daripada badanya sendiri.

Para bulu taneuh (petani), yang melihat kejadian itu hanya bisa menelan ludah, karena merasa khawatir kalau-kalau nuragan Subali melihatnya.

melihat sikacung digendong oleh anak majikanya..

"Hey, aling. Apa sedang yang kau lakukan? Cepat turun dari gendongan nden Lirih. Atau kau akan celaka jika juragan Subali tahu. Ayo lekas turunkan..." Terdengar salah seorang bulu taneuh mengingatkan.

"Haha... Tidak-tidak! Tidak mungkin juragan Subai marah, pak tua. Kenapa? Karena juragan Subali sangat baik terhadapku. Entahlah kalau pak tua yang melakukanya..."

"Huh, dasar kau bocah. Dikasih tau malah ngeyel..."

"Haha! Lebih baik urus saja urusan mu, pak Tua. Heya... Heya..."

Sialing terus berseru, tak menghiraukan peringatan pak tua tadi. Nyimas lirih terus berjalan sambil menggendong sang kacung, hingga hilang dari pandangan pak tua ditelan perbukitan tanah yang bergelombang tidak rata.

"Ada apa saki, kok malah mencak-mencak sendiri..." Terdengar gumaman seorang perempuan tua dibelakang siLelaki tadi.

"Itu siAling berani-beraninya dia naik kepunggung nden lirih. Dikasih tau, eh malah ngeyel..."

"Yah, namanya juga anak-anak saki. Sudah jangan diambil pusing, urus saja itu pacul sebelum jari kakimu hilang kembali..."

SiBulu taneuh gak bicara lagi, lalu terlihat dia mengayunkan pacul membenahi gundukan tanah yang urug bekas hama babi.***

Siapa sebenarnya kedua bocah tersebut? Dua bocah tersebut adalah tuan dan kacungnya. Yang perempuan bernama nyimas Lirih, dan yang lelaki bernama Lingga pakasi. Nyimas Lirih adalah putri Juragan Subali yang merupakan kepala kampung dusun cikahuripan.

Konon menurut cerita, juragan Subali adalah bekas senapati kerajaan Sunda yang mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu. Ia merasa dunia perpolitikan sangat kejam dan kotor, lebih baik ia menyendiri hidup bahagia bersama keluarganya disuatu ?desa terpencil.

Selain bekas senapati kerajaan Sunda, juragan Subali terkenal dengan ilmu kanuraganya. Ia adalah lulusan suatu padepokan silat ternama yang berada dipuncak gunung Sanggabuana. 

Kini setelah lama menetap di desa ciKahuripan, namanya pun mulai menghilang dari dunia persilatan atau pun dunia perpulitikan dikerajaan Sunda.

Rumah juragan Subali terletak ditengah desa dan rumahnya pun tergolong paling besar dibanding rumah-rumah yang lainya.

Kendatipun begitu, rumah juragan Subali terlihat bersih, rapih dan asri dengan tumbuhnya berbagai macam tanaman disekitar halamanya.

Bahkan dibagian belakang rumah berdiri pohon Kupa dan manggu, yang usianya sudah sangat tuaLebih tua dari pada rumah besarnya, yang baru dibangun beberapa tahun yang lalu.

"Abah, ambu.. Kali ini nyai kalah bertaruh..." Terdengar nyimas lirih berlari sambil mengadu kepada orang tuanya.

"Oh ya, benarkah?"

"Iya abah, ambu.. sekali ini kang aling hebat.. "

"Hahaha! Bagus-bagus. Nah, begitulah seharusnya menjadi seorang anak lelaki, aling. Sesekali kau harus menunjukan kehebatanmu..."

"I.. iya juragan..." SiAling menyahut, sambil menundukan kepalanya. Ada perasaan bersalah karena ia sudah melakukan kecurangan.

"Memangnya kau bertaruh apa, anaku?" Sahut Juragan Subali seraya mengelus kepala nyimas Lirih.

"Mengumpulkan batu merah delima didasar leuwi (sungai), abah. Dan ternyata hasilnya lebih banyak kepunyaan kang aling dalam hal ini kang aling benar-benar jago menyelam..."

"Oh ya, sejak kapan kau pandai berenang aling?"

"I.. itu... itu... mungkin kebetulan saja, juragan..."

"Haha... tidak usah sungkan, Aling. Jika kau mempunyai sesuatu yang hebat, cobalah tunjukan pada dunia..."

"I... iya juragan..."

"Nyimas anaku, lebih baik kau makan dulu..." Terdengar ibunda nyimas Lirih berkata, "Aling... temani nyimas lirih makan siang..."

"Iya juragan, mangga..." Jawab siAling mengiyakan, karena memang sudah terbiasa melakukan hal semacam itu.

Yang disebut ruang makan ternyata sebuah ruangan yang cukup besar, berada dibelakang rumah berdekatan dengan pawon. Terlihat ditengah ruangan tersebut ada meja kecil lengkap dengan nasi beserta lauk pauknya.

Tidak jauh dari situ, terlihat seorang perempuan paruh baya yang berperawakan sedikit gemuk sedang membereskan piring bekas Juragan Subali beserta istrinya makan, perempuan gemuk tersebut tak lain siBibi pembantu juragan Subali.

"Euleuh... rupanya sienden lirih baru pulang?"

"Iya bibi..."

"Mau makan sekarang? Apa perlu bibi ambilkan, nden?"

"Tidak usah bibi, biar saya mengambil sendiri..."

"Yaya... kalau begitu, bibi tinggal mencuci, ya?"

"Iya bi, silahkan saja..." jawab nyimas Lirih sambil tersenyum, lalu sibibi pergi ketempat penyucian yang berada dipinggir rumah.

Setelah siBibi pergi nyimas Lirih dan kacungnyapun duduk dan mulai menyantap makanan yang sudah tersedia. Terlihat keduanya sangat lahap, mungkin karena sudah seharian bermain, tak heran sampai menambah nasi hingga dua kali.

Setelah makan keduanya terus bermain dihalaman belakang, dibawah pohon kupa yang rindang. Hingga matahari condong kebarat, barulah sialing berpamitan untuk pulang.

"Oh iya kang, tadi abah Subali menanyakan lagi..."

"Tentang apa, nyimas?" Lingga Paksi pura-pura tidak tahu.

"Apakah ibu akang sudah memberi izin untuk menemaniku berlatih silat?"

"Oh soal itu, mm... belum nyimas. Ibuku tetap bersikukuh tidak memberi ijin. Entahlah kalau kedepannya..."

"Harusnya akang lebih pandai merayu, toh silat banyak gunanya..."

"Iya nyimas akangpun mengerti, tapi... pandangan ibu Ratna memang berbeda dari pandangan yang lainya. Karena menurut beliau, silat hanyalah jalan menuju kekerasan..."

"Tapi tak bisakah kang Aling meyakinkannya?"

"Akang berjanji nyimas, kedepannya akang coba lagi..."

"Nah, harus begitu..."

"Ya..." Setelah itu Lingga Paksi pun pulang menuju rumah yang tak seberapa jauh dari kediaman juragan Subali.

Di sepanjang jalan Lingga Paksi sering bertemu orang desa lainya, kebanyakan diantara mereka baru pulang dari ladang atau kebun palawija.

Setiap orang yang bertemu langsung menyapanya dengan ramah dan bersahabat. Tak seberapa lama, akhirnya Lingga Paksi tiba dirumah orang tuanya. Meskipun sangat sederhana, namun terlihat resik dan terawat.

Nampak seorang wanita sekitar umur 35 an sedang menyapu halaman depan, meskipun sudah tidak lagi muda namun masih nampak keelokan dan kecantikanya.

"Sudah pulang anaku?"

"Iya mak..."

"Apa kau sudah makan?"

"Sudah tadi, mak. Tapi..." kata Lingga Paksi tak laju.

"Tapi kenapa?"

"Hhh... sebelum pulang, nyimas Lirih menanyakan kembali tentang izin belajar silat. Apakah Ibu sudah memberi ijin?"

"Terus.. apa jawaban mu?"

"Ya tentu saja aku menolaknya secara halus...”

"Hm, bagus anaku. lebih baik sementara ini kau tolak dulu permintaan nyimas Lirih tersebut..."

"Tapi mau sampai kapan, mak?"

"Sampai kau mampuh mengendalikan kekuatan yang ada dalam dirimu, karena jika tidak kau akan membahayakan banyak orang, terutama orang-orang berada disekitarmu termasuk emakmu sendiri..."

Lingga Paksi hanya tertunduk lesu, lalu berucap pelan.

"Baiklah, mak. Aku mengerti..."

"Baguslah kalau begitu, sekarang, istirahatlah..." Lingga Paksi mengangguk kembali, sambil melangkahkan kakinya menaiki gelodok rumah panggung.***

Menyembunyikan identitas

Setelah berada didalam rumah Lingga Paksi langsung duduk ditepian bale bambu, sedangkan ibunya pergi ke dapur lalu datang kembali sambil membawa nampan beeisi jagung dan ubi Rebus.

"Dalam situasi seperti ini, kau harus bersabar, anakku. Belajarlah hidup sederhana, jangan mengundang perhatian orang banyak.. apalagi orang-orang persilatan. Karena jika sampai ada yang tahu siapa dirimu, maka hidup kita akan sulit sebelum waktunya..."

"Tapi sampai kapan kita bersembunyi, ibu?"

"Sampai kau dewasa, dan bisa mengendalikan kekuatan Ghanapurusa mu. Ingat suatu hari nanti, tugasmu akan sangat berat. Hanya kau yang akan sanggup menghentikannya..."

"Apakah ancaman pengikut Rama Angkawijaya?"

"Bukan hanya itu saja, tapi masih ada lagi satu ancaman besar yang akan terjadi dimarcapada ini..."

"Maksud ibu, ancaman besar bukan hanya bersumber dari Rama Angkawijaya?”

"Benar sekali anakku, maka dari itu kau harus menyiapkan segala-galanya. Dengan kekuatan Ghanapurusa yang kau miliki, ibu yakin kau akan dapat mengatasinya. Maka dari itu, berhati-hatilah dalam menjaga sikap..."

"Baiklah ibu, saya berjanji akan mentaati semua yang ibu nasihatkan..."

"Baguslah nak, sekarang makanlah. mungpung semuanya masih panas.."

"Saya masih kenyang, lagi pula saya ada janji dengan siArsan..."

"Apakah belajar menunggang kuda?"

"Iya bu..."

"Kalau begitu, berhati-hatilah dan ingat apa yang selalu ibu sampaikan..."

"Ya,ya,ya..."

Setelah menganti pakaian, Lingngga Paksi pun pergi keluar menuju sungai.**

TIba dihulu sungai nampak banyak anak yang sebaya denganya sedang mandi dan berenang, diantaranya ada seorang anak laki-laki sedang duduk termenung dipinggir sungai. Matanya menatap seorang gadis cilik yang sedang mandi.

"Hoyaahh..."

"A.. aduh...!"

Anak lelaki itu langsung terkejut ketika Lingngga Paksi menepuk pundaknya dari belakang.

"Ka.. kau... Ini..."

"Haha! Kaget ya? Mangkanya kalau melamun jangan keterlaluan..."

"Huhh, dasar..! Siapapun orangnya kalau ditepuk secara tiba-tiba tentu bakalan kaget, aling..."

"Ah masa..."

"Ya iyalah..." Siarsan cemberut lalu memalingkan muka ketengah sungai.

"Kenapa kau belum mandi?"

"Huh, enak saja. Aku sudah sejak dari tadi, tapi lihatlah disana. Adik perempuanku lama bener mandinya. Dinasihati malah meledek..."

"Haha... Kau harus pandai merayu, Kawan..."

"Uh, males! Capek aku merayu dia..."

"Itulah, makanya adik mu itu membandel..."

"Huh, kalau begitu cobalah kau rayu dia. Suruh keluar dari dalam air, sudah lebih dari satu jam ia masih asik-asikan begitu..."

"Baiklah kalau begitu, akan aku coba..."

"Ya cobalah, aku takut dia masuk angin dan sakit..."

Lalu Lingngga Paksi berdiri, dan menyorongkan kedua tangan didepan mulutnya. Maka mulailah ia berteriak.

"Hey, Rastiti. Ayo menepi, nanti sakit kalau kelamaan didalam air..."

"Tidak mau, nyai masih mau berenang..." Sahut sibocah perempuan yang berumur 6 tahun.

"Bagai mana kalau disitu ada buaya?"

"Apa, buaya? Uh, nyai tidak takut..."

"Lalu apa yang membuat nyai mau keluar dari sungai..."

"Mari kesini, temani nyai bermain..."

"Tapi sesudah itu nyai ikut pulang , ya..."

"Iya, baiklah nyai berjanji..."

Tanpa basa-basa lagi, Lingga Paksi terjun kesungai, lalu mandi dan bermain dengan Rastiti hingga beberapa waktu lamanya. Benar saja tak lama sesudah itu, ia pun mengajak Lingga Paksi keluar dari dalam sungai.

"Nah bagaimana, arsan? Apakah kau percaya?"

"Yaya... aku percaya, aling. Sekarang mari kita pulang, mumpung hari belum terlalu sore. Bukankah kau ingin belajar menunggang kuda?"

"Iya, baiklah..."

"Horee... Kang aling, ikut pulang..."

"Huh, dasar kau Rastiti. Kecil-kecil sudah genit..."

"Biarin, suka-suka nyai. Wew..." Lalu ketiganya pun, mulai meninggalkan hulu sungai.

Keluarga mang odon adalah satu keluarga yang sangat sederhana, hidup seperti keluarga lainya bekerja kepada Juragan Subali. Dan kebetulan mang Odon dipercaya sebagai pengurus kuda.

Sore itu mang odon sudah berjaji, akan mengajarkan bagaimana caranya menunggang kuda dengan benar.

"Kau boleh pilih kuda yang mana saja, aling. Tapi asal jangan yang turangga itu, karena itu kesayangan juragan Subali..."

Terdengar mang odon bicara sambil mengusap-ngusap leher kuda dawuk yang berada dihadapanya.

"Yang mana saja buat saya gak masalah, mamang. Yang penting saya bisa belajar menunggang kuda..."

"Baiklah kalau begitu, Arsan. kau ajarkan sialaing menunggang kuda yang benar..."

"Bailah pak..." sahut siarsan semangat.

"Kakak, nyai ikut, yah..."

"Tidak, kau diam saja disini. Hari sudah terlalu sore buat anak seusiamu..."

"Pokoknya nyai ikut..."

"Jangan keras kepala..." Sahut siArsan berdecak kesal.

"Nyai, betul kata kakak mu. Hari sudah sore, tidak baik bagi anak seusiamu. Begini saja, akang janji besok-besok jika akang sudah pandai kau akan ku ajak jalan-jalan..."

"Benarkah?" Raut wajah cilik itu terlihat sembringah mendengar perkataan Lingga Paksi.

"Tentu saja benar, ucapan orang ksatria berat bagai gunung...”

"Baiklah kalau begitu..."

"Nah begitu, baru anak yang baik.."***

Pagi harinya, seperti biasa sebelum pajar menyingsing, Lingga Paksi sudah keluar dari rumah untuk mengambil air dari hulu sungai untuk keperluan memasak dan mandi juragan Subali sekeluarga.

Meskipun jalanya cukup curam dan jauh, namun bagi Lingga Paksi tidak terlalu sulit. Padahal beban yang dibawa beratnya hampir 50 kg. Entahlah, mungkin sudah biasa atau mungkin dia mempunyai kekuatan fisik yang hebat.

Umur Lingga Paksi sebenarnya belum genap sepuluh tahun, akan tetapi dia sudah sanggup bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarganya.

Tiap pagi dan sore, Lingga Paksi harus menyediakan beberapa tong air, meskipun terhitung berat, namun baginya tak jadi masalah karena memang sudah terbiasa.

Hampir setiap hari, ia mengambil air menggunakan tabong. Tabong adalah sejenis pohon bambu yang masih panjang dan ruas atau buku-bukunya sudah dilubangi hingga mirip sebuah lodong.

"Sudah beres, Aling?" terdengar sibibi bertanya sambil membawa nampan berisi makanan hangat.

"Sudah bi..."

"Kalau begitu, tolong sekalian bawakan makanan ini untuk sarapan Juragan Subali..."

"Baiklah, bi..."

"Terimakasih, Aling. Kau anak yang baik..."

"Tidak perlu sungkan, bi..." sahut Lingga Paksi sambil menerima nampan isi makanan hangat, lalu ia pun melangkah pergi menuju juragan Subali yang sedang duduk sambil memperhatikan anaknya.

Tiba dihadapan juragan Subali, Lingga Paksi menganggukan kepalanya lalu mulai meletakan isi nampan satu-persatu diatas meja kecik yang berada dihadapan juragan Subali.

"Apa kau sudah beres mengisi tong air, Aling?"

"Eu... sudah juragan, bahkan tempayan yang berada didepan rumah pun sudah penuh..."

"Bagus Aling, kau memang anak yang rajin. Sekarang kau perhatikan nyimas Lirih yang sedang berlatih ilmu silat. Karena mungkin kelak ada gunanya..."

"Baik juragan..."

Setelah itu, maka Lingga Paksi pun duduk dilantai kayu tidak jauh dari juragan Subali. Matanya yang tajam melihat nyimas Lirih yang semakin semangat memperagakan jurus-jurus silat ciptaan ayahnya itu.

"Hait, ciat.. hait, ciat..!!" Terdengar nyimas Lirih berteriak, sembari menendang dan memukul atau meloncat ke udara dengan ringannya.

Terlihat juragan Subali manggut-manggut tanda puas. Sambil sesekali mengusap-ngusap dagunya yang kelimis.

Sedangkan jurus yang sedang diperagakanya disebut jurus Belibis Putih. Meskipun terlihat seperti menari, namun bahayanya jangan dikira. Sebab selain penuh perubahan gerak yang tidak terduga, namun selalu mengandung tenaga yang cukup kuat. Sementara nyimas lirih terus mengasah kemampuanya, terdengar juragan Subali berkata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!