NovelToon NovelToon

Takdirku Di Usia 19

Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek

Diary Mentari – Bab 1

Tahun 1998 di Kampung Karet… Rumahku masih beralaskan tanah. Dindingnya dari anyaman bambu. Kami mandi di sungai, dan dapur masih memakai tungku kayu. Aku suka duduk di depan tungku itu sambil memeluk lutut, menghangatkan tubuh saat udara dingin pagi masih menggigit kulit. Di sampingku, nenek sering duduk sambil mengipasi bara api dan bercerita—kadang tentang masa mudanya, kadang tentang hidup yang tak pernah benar-benar mudah. ‘Hidup itu keras, Nak,’ katanya pelan, ‘tapi kamu harus lebih keras dari hidup. Jangan manja. Jangan mudah menyerah. Hidup boleh miskin, tapi hati jangan.’ Aku hanya mengangguk waktu itu, belum benar-benar mengerti. Tapi kata-kata nenek menetap di dadaku, bahkan ketika beliau tak lagi ada. Di Kampung Karet, dengan dapur kecil dan cerita hangat, aku pertama kali belajar bahwa kuat bukan soal fisik—tapi soal bertahan, dan terus berjalan.”

...****************...

Namaku Mentari. Aku lahir di sebuah kampung kecil bernama Kampung Karet—sebuah tempat sederhana yang dikelilingi kebun dan hutan. Jalan tanah masih menjadi nadi utama di sini. Jika musim hujan datang, tanah berubah jadi lumpur yang menempel di kaki dan sepatu. Jika musim kemarau, debu-debu halus beterbangan ke mana-mana. Tapi itulah kampungku. Tempat aku memulai segalanya.

Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku perempuan, namanya Senja. Kami berbeda tiga tahun. Walau begitu, aku merasa jauh lebih tua darinya, mungkin karena sejak kecil aku dibiasakan untuk bersikap dewasa. Seperti anak sulung lainnya, aku dibebani tanggung jawab sejak dini—tanpa pernah ditanya siap atau tidak.

Ayahku bekerja di perkebunan karet, tempat yang menjadi alasan kenapa kampung ini dinamai Kampung Karet. Tapi sebenarnya, kebun itu bukan cuma dipenuhi pohon karet. Ada kelapa, coklat, jagung, pisang, bahkan beberapa jenis tanaman yang aku tak tahu namanya. Ayah bekerja dari pagi sampai sore, menoreh batang karet dan menampung tetesan getahnya di mangkuk kecil. Pekerjaan itu melelahkan, lengket, dan tak banyak hasilnya. Tapi dari sanalah dapur kami tetap mengepul.

Ibu, wanita paling disiplin yang pernah aku kenal. Ia tak pernah bangun lewat dari jam empat pagi. Meski tubuhnya kecil, gerakannya cekatan dan suaranya tegas. Aku dibesarkan oleh dua tangan yang keras, tapi penuh cinta dengan caranya sendiri.

Jam lima pagi, aku harus sudah bangun. Tak ada ampun. Kalau kesiangan, aku akan dimarahi. “Jangan tidur seperti orang kalah,” begitu kata ibu. Kadang aku iri dengan anak-anak lain yang bisa bangun santai, tapi aku tahu, hidup kami tak bisa disamakan. Aku harus bantu menyapu halaman, mencuci piring semalam, membereskan tempat tidur, dan tidak lupa mebanten serta sembahyang. Semua harus beres sebelum aku ganti baju sekolah.

Sekolahku hanya berjarak satu kilometer dari rumah. Tapi di musim hujan, satu kilometer bisa terasa seperti sepuluh. Sepatu basah, jalan licin, tidak mematahkan semangatku untuk ke sekolah. Di sana, aku merasa seperti punya dunia sendiri. Aku termasuk anak pintar, duduk di barisan depan, dan selalu masuk tiga besar. Tapi aku juga pendiam, bahkan sering dianggap jutek. Aku memang tak banyak bicara. Mungkin karena di rumah pun aku tak terbiasa banyak mengeluh. Kalau lelah, aku diam. Kalau sedih, aku menulis.

Ya, sejak kecil aku suka menulis. Awalnya cuma coretan di belakang buku pelajaran, lama-lama jadi catatan di buku khusus. Aku menyebutnya “buku diam-diam”. Di sana aku bisa bilang semua hal yang tak bisa aku ucapkan ke orang lain. Tentang marahku pada hidup, tentang iri pada teman yang punya sepeda baru, atau tentang impianku yang terasa jauh: ingin kuliah di kota.

Tapi itu semua masih jauh. Saat itu, tugasku hanyalah jadi anak baik. Anak yang bangun pagi, membantu pekerjaan rumah, rajin ke sekolah, dan tidak banyak menuntut.

Malam hari, aku sering duduk di depan rumah, menatap langit. Kadang Ayah ikut duduk, diam. Kami jarang bicara panjang. Tapi malam-malam di kampungku itu selalu mengajarkan sesuatu—tentang tenang, tentang menerima, dan tentang harapan yang pelan-pelan tumbuh. Dengan cahaya remang lampu minyak yang menenangkan.

Aku tidak tahu hidup akan membawaku ke mana. Tapi sejak kecil aku percaya, aku tidak akan selamanya di sini. Ada tempat lain yang menunggu. Ada kehidupan lain yang bisa aku capai, meskipun aku belum tahu caranya.

Yang aku tahu, pagi-pagi berikutnya aku harus kembali bangun jam lima. Mencuci piring. Menyapu halaman. Dan memakai seragam sekolah dengan sepatu yang belum tentu kering.

Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri

*📝** Diary Mentari – Bab 2**

“Waktu kecil, aku pikir semua anak bangun jam lima pagi dan mencuci piring sebelum sekolah. Aku baru sadar kemudian, bahwa tak semua anak belajar disiplin dari air sungai yang dingin, atau cahaya perakpak yang harus dibakar sendiri agar tak mandi dalam gelap.”***

Pagi-pagi buta, ayam pun belum berkokok. Ibu sudah bangun, menyalakan api di dapur. Asap mengepul pelan dari tungku kayu. Aku bangun saat langit masih gelap, tanpa alarm, hanya dengan suara kayu patah dan derak sendok dari dapur.

“Ayo, Tar, jangan malas!”

Itu suara Ibu. Tegas, tapi tak pernah kasar. Suara itu jadi penanda bahwa hariku dimulai.

Aku mengikat rambutku dengan cepat, meraih perakpak—ikat daun kelapa kering yang sudah kusiapkan semalam. Aku menyalakannya, lalu berjalan menuruni jalan kecil menuju sungai. Tak ada lampu, tak ada listrik, hanya cahaya oranye dari nyala perakpak yang menari-nari di antara pepohonan.

Suara sungai mulai terdengar. Alirannya deras, kadang menabrak batu-batu besar. Udara pagi terasa menggigit kulit, tapi aku sudah terbiasa. Kubiarkan api dari perakpak menyala di atas batu besar di tepi sungai. Cahayanya cukup untuk melihat sekilas air, sabun, dan pakaian. Sambil menggosok tubuh, aku menggigil pelan. Tapi mandi di sungai adalah bagian dari hidup kami. Bukan karena pilihan, tapi karena memang begitu adanya.

Sekembalinya ke rumah, tugas belum selesai. Sapu halaman, cuci piring, isi tempayan dari sumur. Semua harus selesai sebelum aku berangkat ke sekolah. Senja, adikku, baru bangun saat aku menjemur seragam dan menyisir rambut dengan cepat.

“Mentari, roti gorengnya bawa dua ya, satu buat Bu Guru,” kata Ibu sambil membungkus dengan kertas minyak.

Aku hanya mengangguk. Aku tahu kenapa Ibu menyuruhku berbagi. Kami miskin, tapi Ibu selalu mengajarkan untuk tetap berbudi. “Orang miskin jangan pelit,” begitu katanya.

Perjalanan ke sekolah tak pernah mudah. Jalan tanah merah akan berubah menjadi kubangan kalau hujan semalam. Aku harus mengangkat ujung rok seragam agar tidak kotor. Sepatuku sering basah, tapi aku selalu berusaha tampil rapi.

Di sekolah, aku anak pendiam. Banyak teman mengira aku jutek. Padahal aku hanya tidak pandai bicara. Aku lebih suka menulis. Di balik buku tulis, aku mencatat perasaan—tentang rumah, tentang sungai, tentang keinginan besar yang tak bisa kuucapkan lantang.

Aku ingat suatu siang sepulang sekolah, aku kembali duduk di dapur bersama nenek. Api di tungku masih menyala. Nenek sedang mengupas singkong.

“Nek,” aku berkata perlahan, “Mentari ingin kuliah nanti…”

Nenek tidak langsung menjawab. Matanya menatap api, seperti mencari kata yang tepat dari nyala bara.

“Bagus itu,” katanya akhirnya. “Tapi jangan cuma ingin. Harus siap susah. Sekolah tinggi itu bukan soal uang saja, tapi soal kuat hati. Kamu kuat, Tar. Tapi jangan lupa juga, doa dan kerja keras harus jalan bareng.”

Aku mengangguk. Kata-kata nenek masuk seperti air ke tanah kering. Tenang, tapi meresap dalam.

Malamnya aku menulis lagi:

“Aku mandi di sungai, membawa cahaya dari perakpak. Aku belum punya lampu. Tapi aku punya harapan. Suatu hari, aku ingin jadi cahaya itu. Bukan cuma untukku, tapi untuk keluarga, untuk Kampung Karet.”

Waktu terus berjalan. Aku tumbuh dalam pola yang sama: bangun sebelum fajar, bekerja sebelum belajar, lalu kembali ke rumah dengan tubuh lelah tapi hati tetap penuh harap. Sekolah adalah pelarianku. Tempat di mana aku merasa dihargai karena nilai, bukan karena nama belakang atau uang saku.

Aku ingat suatu hari, seorang guru berkata di depan kelas:

“Anak pintar itu banyak. Tapi yang bisa bertahan sampai sukses, cuma sedikit. Bukan karena bodoh, tapi karena hidup tak memberi semua anak kesempatan yang sama.”

Aku terdiam. Seolah kata-kata itu ditujukan langsung padaku.

Sore itu, langit mulai memerah. Senja duduk di sampingku, main boneka dari kain perca. Di depan kami, Ibu sedang menjemur pakaian. Nenek memanggil dari dapur, minta tolong ambil daun pisang.

Aku berdiri dan berjalan menyusuri jalan kecil. Langit jingga menggantung di atas pohon kelapa. Aku berhenti sebentar, menatap awan yang berubah warna. Lalu berkata pelan dalam hati:

“Kalau langit bisa berubah… aku juga bisa.”

"Jika langit gelap aku bisa buat cahayaku sendiri"

Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi

*📝** Diary Mentari – Bab 3**

“Dulu aku berpikir, cinta orang tua seperti cahaya lilin di ruang gelap: cukup untuk kami berdua—aku dan Senja. Tapi kemudian datang orang baru, dan aku mulai bertanya… apakah cinta itu bisa dibagi tanpa membuat siapa pun merasa kehilangan?”***

Tahun 1998. Usia kami makin bertambah, tapi kehidupan seakan tak berubah banyak. Rumah kami masih kecil, berdinding bambu, berlantai tanah. Tapi kini ada yang berbeda. Hari itu, seorang anak laki-laki datang dari Sulawesi. Namanya Raka. Dia adalah anak dari kakak ayahku. Usianya sekitar tiga tahun lebih tua dariku. Ia datang dengan tas kecil berisi pakaian lusuh dan sepasang sandal yang sudah mulai menipis.

“Mulai sekarang, dia tinggal di sini,” kata Ayah singkat.

Aku hanya mengangguk. Jujur, dalam hati aku senang. Aku tak punya kakak laki-laki, dan entah mengapa, kehadirannya seperti membawa angin baru di rumah kami. Tapi aku juga sadar, hidup kami tidak sedang mudah. Dan sekarang, harus dibagi lagi.

Di Bali, anak laki-laki adalah penerus keluarga. Mereka yang akan tinggal dan merawat orang tua di masa tua. Aku tahu itu sejak kecil. Bahkan saat aku belum tahu arti menikah, aku sudah diberi tahu bahwa suatu hari nanti, aku akan “ikut” suamiku. Dan rumah ini bukan lagi tempatku. Maka ketika Ayah memutuskan mengangkat Raka sebagai anaknya, semua orang tampak setuju. Terutama Kakek dan Nenek. Mereka bahkan terlihat bahagia. Rumah kami jadi lebih ramai.

Raka agak nakal, dan banyak bicara. Tapi walaupun nakal dia sigap membantu. Ia ikut menyapu halaman, memotong kayu bakar, bahkan menemani Ayah ke kebun. Aku tak bisa membantah—kehadirannya memang meringankan beban. Tapi di balik semua itu, aku mulai merasa sesuatu berubah.

Dapur kami kini harus berbagi lebih banyak. Makanan yang tadinya pas-pasan, harus dibagi lagi. Kacang saur, lauk favoritku—kacang tanah goreng dengan kelapa parut kering yang dibumbui gurih—sekarang harus aku bagi. Dulu, satu wadah kecil bisa aku nikmati dengan Senja, kadang bisa kusembunyikan sedikit untuk malam. Sekarang, itu tak mungkin lagi.

Aku tahu, ini bukan salah Raka. Tapi perasaan tak enak itu tetap muncul. Seperti bayangan yang tak mau pergi dari benakku.

Malam-malam pun berubah. Dulu, Ayah suka duduk di sampingku, menceritakan kisah masa kecilnya di kebun. Ibu sering bercerita tentang mimpi-mimpinya yang tak kesampaian. Tapi kini, Ayah lebih sering berbicara dengan Raka. Tentang kebun, tentang alat pertanian, tentang tanah warisan. Aku duduk mendengarkan, kadang tertawa kecil, tapi dalam hati seperti ada yang retak.

Ibu juga jadi lebih sering sibuk. Ia harus mencuci lebih banyak, memasak lebih banyak, menyiapkan keperluan lebih banyak. Wajahnya lelah, langkahnya cepat, dan suaranya kadang tak semanis dulu. Aku tahu, bukan karena dia tak sayang lagi. Tapi karena lelah. Dan mungkin, karena waktu kami memang sudah habis terbagi.

Suatu malam, aku duduk sendiri di dekat tungku. Api menyala kecil, hanya cukup untuk menghangatkan tangan. Nenek datang dan duduk di sampingku.

“Kamu diam saja malam ini,” katanya pelan.

Aku mengangguk.

“Kamu merasa kehilangan, ya?”

Aku tak menjawab. Tapi mataku mulai panas.

“Begini, Tar… Dalam hidup, kadang cinta tak berkurang. Tapi memang terbagi. Sama seperti nasi di piring. Bukan berarti ibu kamu tak cinta. Tapi karena perut semua orang di rumah ini harus kenyang juga.”

Aku memandang nenek. Kalimatnya sederhana, tapi menusuk.

“Yang penting, jangan simpan iri. Karena rasa itu kalau disimpan, bisa membuat hati keras.”

Aku diam. Lalu bertanya pelan, “Kalau aku tidak iri, tapi merasa tidak penting lagi… itu salah, Nek?”

Nenek tersenyum. “Itu manusiawi. Tapi jangan percaya sama rasa itu. Karena kadang, rasa bukan cerminan kebenaran. Hanya perasaan sesaat.”

Hari-hari berikutnya, aku berusaha menerima. Aku mulai melihat Raka bukan sebagai ‘saingan’, tapi bagian dari keluarga. Meski tak semua hari mudah, aku mencoba. Aku tetap bangun pagi, tetap ke sungai dengan perakpak, tetap menyapu dan mencuci seperti biasa. Hanya saja, kini ada satu tambahan: aku belajar menerima kenyataan baru.

Di buku diary-ku malam itu, aku menulis:

“Cinta orang tuaku mungkin tak lagi utuh untukku sendiri. Tapi mungkin itu memang harus terjadi. Aku harus belajar membagi, seperti nasi di piring, atau lauk favoritku yang kini tak bisa kuhabiskan sendiri. Kalau aku ingin jadi cahaya, aku harus bisa menyinari walau tak lagi jadi pusat.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!