Mentari dan Mafia
Part 1
#mentari
#Addovo
Siapa yang menyangka persembunyiannya demi menghindar dari brandalan yang sedang mabuk malah membawa dia pada masalah yang lebih berat.
Mentari melihat dengan mata kepalanya sebuah pembunuhan yang terjadi malam itu di lorong di sudut kota ini.
Iya berusaha menutup mulut sekuat mungkin agar isak tangis ketakutannya tidak menimbulkan suara. Seorang lelaki yang sudah tidak berdaya tampak diseret dari ujung jalan hingga ke dalam lorong itu.
Dor!
Satu tembakan mendarat tepat di kening lelaki itu. Darah segar menyembur mengenai pakaian serba hitam yang dikenakan pria sadis tersebut.
Pria itu melangkahi mayat tersebut, berjalan dengan santai lalu masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya.
Terlihat dua mobil jenis sedan mewah bergerak meninggalkan tempat ini. Setelah merasa cukup aman Mentari keluar dari persembunyiaan, dan iya berlari secepat mungkin menuju asramanya.
Kejadian pembunuhan itu tidak bisa hilang begitu saja dari pikiran. Masih terbayang baginya bagaimana darah-darah keluar dari luka lecet di sekujur tubuh, tentu itu sangat menyakitkan.
Mentari tidak bisa memejamkan mata sedikitpun, hanya bayang-bayang mengerikan itu menari-nari di pelupuk mata.
Segera ia mengambil gadget, membuka media sosial pribadinya. Berita pembunuhan itu sudah tersebar dengan cepatnya. Ternyata yang menjadi korban adalah seorang Agen Intelagant Negara.
"Siapa pria itu? Kenapa dia membunuh pihak hukum?" tanya Mentari setelah membaca berita tersebut.
***
Di sebuah rumah sangat mewah, yang dipenuhi para penjaga berpakaian hitam. Mobil yang dilihat Mentari tadi memasuki halaman.
Pria tinggi cukup tampan, keluar dari mobil dengan jas yang terkena bercak darah. Dia duduk bersandar di sebuah sofa dengan sandaran yang cukup tinggi. Kaki kanannya diletakkan diatas kaki kiri.
"Di tempat kejadian tadi, ada orang lain selain saya. Seorang wanita. Cepat paksa pemilik bangunan tersebut untuk menyerahkan rekaman CCTV mereka. Jika mereka menolak, bunuh saja!" perintah Addovo kepada anak buahnya.
"Baik, Tuan. Segera kami laksanankan."
Lima orang anak buahnya bergegas meninggalkan ruangan tersebut.
"Tidak sulit mencari wanita itu. Dia kelihatannya keturunan Asia Tenggara. Cari dia, bawa dia kehadapan saya dengan keadaan baik-baik saja!" ucap Addovo.
"Baik Addovo," jawab Guido.
Guido merupakan tangan kanan Addovo. Awalnya mereka hanya anak broken home yang memilih hidup di jalanan. Bertemu dengan seseorang yang saat itu memiliki kekuasaan, dan mengangkat mereka menjadi anaknya. membuat mereka tumbuh menjadi pria-pria ditakuti.
Hingga saat bapak angkat mereka mati diracuni pasangannya, semua tahta kekuasan jatuh ke tangan Addovo.
Sejak itu juga, Addovo tidak lagi memandang wanita sebagai makhluk indah yang harus dijaga. Wanita bagi dia, hanya makhluk lemah yang kapan saja bisa menjadi buas. Wanita hanya objek pemuas nafsu.
***
Pagi ini di sebuah universitas, beberapa pria berpakaian hitam memasuki halaman kampus. Matanya melihat ke sana ke mari mencari wanita yang dimaksud Addova tadi malam.
Bersyukur hari ini Mentari tidak ada jadwal kuliah. Sehingga dia dapat terhindar dari para pria tampan berhati iblis. Tetapi bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Tidak mungkin mereka akan melepaskan begitu saja mangsanya.
Benar sekali ucapan Addovo, tidak sulit mencari wanita-wanita yang berasal dari Asia tenggara di bumi Eropa ini.
Mentari tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengintainya. Walaupun tidak tidur semalaman dia tetap harus berangkat kerja pagi ini. Karena kerja part time-nya disesuaikan dengan jadwal kuliah.
Kuliah di negara ini dengan beasiswa dari pemerintah hanya menanggung biaya pendidikan dan asrama saja. Untuk memenuhi biaya hidup Mentari harus giat bekerja, karena jika mengandalkan uang kiriman dari orang tua itu tidak akan cukup, walaupun sudah sangat berhemat.
"Lebih baik kamu tidak usah bekerja lagi di sini!" ucap pemilik cafe.
"Salah saya apa, Tuan?" tanya Mentari heran.
Jika dia dipecat, akan sulit lagi mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat.
"Saya tidak mau mendapat masalah, mempekerjakan kamu di sini," terang pemilik cafe.
"Maksud Tuan?" Mentari benar-benar heran.
"Kamu tidak perlu banyak tahu, segera bereskan semua barang-barang kamu! Saran saya untuk sementara waktu jangan keluar dari asrama!"
Perkataan pemilik cafe itu tambah membuat dia bingung. Dengan berat hati dia membereskan barang-barangnya di loker, dan pergi meninggalkan cafe.
Beberapa pesangon yang dia terima cukuplah untuk memenuhi biaya hidup menjelang dapat pekerjaan baru.
Mentari berjalan sepanjang trotoar sambil memeluk kardus. Yang jadi pikirannya saat ini adalaha kata-kata pemilik cafe itu, kenapa dia tidak boleh keluar asrama.
Tanpa dia sadari sebuah mobil berhenti di sebelahnya. Satu orang turun, lalu membekap mulutnya dan membawa naik kedalam mobil. Setiap orang yang melihat tidak ada yang berani menolong. Menolong sama saja cari mati. Ya, anak buah Addovo berhasil menemukan Mentari.
"Siapa kalian?" teriak Mentari.
"Kamu tidak perlu tahu siapa kami, turuti saja jika ingin selamat!" ancam Guido yang duduk di sebelahnya.
Mentari tetap saja berteriak minta tolong dan memberontak.
"Diam!" bentak Guido.
Mentari tidak mempedulikan ucapan Guido, hal itu membuat Guido kesal. Ia mengeluarkan sebuah jarum suntik berisi cairan Benzodiazepine.
Mentari berteriak, saat benda tajam menancap di lengannya. Seketika rasa sakit itu hilang. Berganti dengan rasa ngantuk yang begitu berat, hingga tidak sadar diri lagi. Dia terkulai lemas di atas pangkuan Guido.
Pekanbaru 18 September 2020
Mentari dan Mafia
Part 2
*Mengandung beberapa adengan kekerasan
#mentari
#Addovo
Di dalam kamar bernuansa hitam putih, Mentari terbaring, kurang lebih sudah lima jam. Addovo memperhatikan setiap inci wajah Mentari. Wajah yang sama dengan rekaman CCTV itu.
Gadis berkulit kuning langsat, ciri khas kulit wanita Asia. Mempunyai daya tarik tersendiri bagi Addovo karena selama ini dia selalu bergelut dengan wanita berkulit putih ciri khas wanita eropa.
Mentari terbangun dari tidurnya. Dia terkejut, saat m membuka mata, ada wajah pria dengan jarak hanya lima centi dari wajahnya. Reflek, Mentari mendorong pria itu hingga terjatuh.
"kurang ajar kamu, beraninya kamu mendorong saya!" bentak Addovo.
Suaranya keras membuat Mentari ketakutan. Dia menarik selimut dan berusaha melindungi badannya. Berharap pria itu tidak akan berbuat jahat kepadanya.
Antara sadar dengan tidak, dia berusaha mengingat wajah pria ini. Dia teringat, pria ini yang membunuh malam itu. Rasa takutnya semakin menjadi. Takut akan menjadi korban selanjutnya.
"Tolong, jangan sakiti saya!" mohon Mentari.
"Jadi kamu sudah mengingat siapa saya?" tanya Addovo dengan nada datar.
Mentari tidak sanggup lagi mengeluarkan suara. Dia hanya mengangguk.
"Saya tidak akan menyakiti kamu, asal kamu mau mengikuti semua perintah saya. Paham?"
Mentari tetap saja diam.
"Paham tidak?" bentak Addovo.
"I-iya, paham, Tuan," jawab Mentari terbatah-batah.
"berapa usia kamu?"
"Dua puluh empat tahun, Tuan. Usia tuan berapa?" tanya Mentari tanpa sadarnya.
"Kamu tidak ada hak mengetahuinya!" Kembali Mentari dibentak.
Setelah menekan salah satu tombol yang berada di dekat kepala tempat tidur, seorang pelayan berpakaian seragam seperti di film-film barat itu memasuki kamar.
Dia menyerahkan sebuah baju, yang warnanya sama dengan yang ia pakai.
"Ganti baju kamu! Sekarang kamu menjadi budak saya."
Setelah pakaian itu di bentang oleh Mentari, dia tidak suka dengan pakaian begini. Roknya terlalu pendek di atas lutut. Walaupun dia tidak menggunakan hijab, tetapi dia tidak suka pakaian pendek begini.
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa memakai pakaian sependek ini." Tolak Mentari.
Addova langsung menjambak rambut Mentari.
"Saya tidak suka dibantah. Pakai atau kamu akan tidak akan saya kasih makan." Ancam Addovo dengan tangan masih menjambak rambut.
"Biar aja saya kelaparan, Tuan," jawab Mentari.
Addovo semakin kesal, dia mendorong Mentari hingga terjatuh, dan kepalanya terbentur sudut nakas yang berada di sisi kiri tempat tidur.
'Apa hidup aku akan berakhir di sini?' bisik Mentari dalam hati.
Air matanya menetes menahan sakit.
"Tuan, biarkan saya pulang ke negara saya, saya janji akan melupakan semuanya," mohon Mentari sambil memegang kaki Addovo.
Pria tidak punya hati itu, mana peduli. Dia menendang Mentari hingga kembali terpental.
Addovo pergi meninggalkan Mentari, dan menyuruh pelayan tersebut juga keluar dari kamar. Tidak ada yang berani melawan perintah Addovo. Pintu kamar lalu di kuncinya.
"Siapa yang berani membuka pintu ini, kalian akan saya bunuh," ucap Addovo.
Addovo tidak segan-segan membunuh siapa saja yang membuat hatinya tidak senang. Entah sudah berapa banyak pembantu yang mati sia-sia hanya karena salah mengikuti perintahnya.
Resiko yang besar berbanding dengan upah yang mereka terima. Bekerja dengan Addovo akan mendapatkan upah lima kali lipat dari upah biasanya di kota ini.
***
Pukul delapan malam Addovo sudah duduk di meja makan. Beberapa hidangan lezat sudah siap ditata para chef terbaik yang sengaja dikontrak untuk berkerja di rumahnya.
"Giano, bawa wanita itu kemari!" Perintah Addovo
"Baik." Giano melangkah menuju kamar Mentari.
Saat pintu kamar dibuka, Mentari sedang duduk di dekat jendela memandangi halaman belakang yang cukup mewah, rumah ibarat hotel berbintang.
'Seandainya aku punya rumah seperti ini, ayah dengan ibu pasti akan senang, berapa puluh anak jalanan bisa ditampung di sini'
Cita-cita ayah dan ibu, ingin memiliki rumah singgah bagi anak-anak jalanan.
"Ayo keluar! Addovo sedang menunggu," perintah Giano.
Perkataannya membuyarkan semua lamunan Mentari akan orang tuanya. Terjebak di rumah ini, sudah membuat Mentari pesimis bisa bertemu lagi sama mereka.
"Ayo buruan, jangan bikin dia menunggu lama!" bentak Giano.
Mentari melangkah keluar kamar dengan ragu. Ternyata rumah ini sangat luas. Sesampai di ruang makan telah menunggu Addovo di kursinya.
"Duduk!" Perintahnya.
Mentari menarik satu kursi yang ada di hadapan Addovo. Addovo memberi tanda agar mereka ditinggalkan berdua.
"Makan!" Kembali Addovo memberi perintah.
Sebuah makanan dengan olahan daging telah terhidang di atas meja.
"Maaf, Tuan. I-ini daging apa?" tanya Mentari terbatah.
Addovo segera memanggil salah seorang chef yang memasak makan malam ini. Setelah dijelaskan, baru diketahui ternyata ini daging ****.
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa memakannya. Di agama saya, ini termasuk makanan yang dilarang," jelas Mentari dengan kepala masih tertunduk.
"Kau mengacaukan selera makanku." Air di dalam gelas disiram kearah Mentari.
Sontak Mentari terkejut, tetapi tetapi tidak berani menegakkan kepalanya. Addovo memanggil pelayan untuk membereskan semua makanan yang baru beberapa menit terhidang.
"Biarkan dia kelaparan! Jangan ada yang memberi dia makan. Sampai kapan dia akan bertahan," titah Addovo kepada semua pelayan di rumah ini.
Semua mengangguk mengerti. Seorang stylist pribadi Addovo datang membawakan pakaian ganti untuk Mentari. Dia membawa Mentari dalam satu ruangan. Yang isinya khusus pakaian pribadi Addovo. Ruangan ini layaknya disebut butiq. Semua pakaian-pakian mahal berjejer rapi menurut jenisnya.
"Ini pakaian untuk kamu, segera bersihkan diri kamu!" Sang Stylist menyerahkan beberapa kantongan berisi pakaian.
"Baik, Tuan," jawab Mentari.
"Kamu bisa mendapatkan kemewahan jika kamu menuruti semua maunya Tuan Addovo. Seperti kami ini." Jelasnya lagi.
***
Pukul satu malam, pintu kamar Mentari kembali dibuka. Walaupun berada di kamar yang super nyaman, tetapi dia tidak bisa tidur.
"Jangan kau pernah berpikir bisa kabur dari sini." Suara bariton itu sangat menakutkan bagi Mentari.
"Saya mau pulang, Tuan. Saya bersumpah tidak akan bercerita apa pun. Biarkan saya pulang ke negara saya," mohon Mentari.
Tidak akan semudah itu lepas dari tangkapan Addovo. Namun, entah apa yang ada dipikirannya kali ini. Kenapa tawanannya yang ini diberi kamar mewah. Biasanya mereka akan langsung dihabisi.
Addovo melangkah mendekati Mentari. Seakan ingin melahap Mentari bulat-bulat. Satu langkah maju Addovo, disambut dengan satu langkah mundur Mentari. Hingga akhirnya terhenti, sudah tidak bisa lagi bergerak. Dia sudah berada di sudut ruangan.
"Temani aku tidur malam ini." Tangan Addovo dengan keras menarik pinggang Mentari hingga dia kini berada dalam pelukan Addovo.
"Jangan Tuan, saya mohon Jangan!" Mentari mengiba.
Air matanya tidak bisa lagi dibendungnya. Tidak bisa dibayangkan betapa kecewa orang tuanya jika mereka tahu, Mentari tidak bisa menjaga keperawanannya.
Addovo tidak peduli dengan tangisan Mentari.
"Tolong jangan Tuan! Tuan boleh lakukan saya sebagai budak tapi jangan pemuas nafsu Tuan. Saya mohon Tuan, saya masih perawan."
Mendengar kata-kata perawan membuat Addovo menghentikan serangannya. Bukan karena iba, tetapi merasa heran. Masih ada wanita dua puluh empat tahun yang masih perawan.
"Itu bagus, saya belum pernah mendapatkan perawan di sini." Addovo kembali menagkap Mentari yang berusah berlari.
Dia terjatuh di lantai tanpa alas, rasa sakit di tubuhnya tidak dirasakannya lagi. Tubuhnya meronta-ronta dan berhasil menendang perut Addovo.
Addovo terkejut. Melihat Mentari berani melawannya, membuat amarahnya naik kepuncak. Tangan kekar itu menampar Mentari berkali-kali hingga darah seger keluar dari sudut bibirnya.
"Ini lebih baik, Tuan," ucap Mentari dari sela teriakan kesakitannya.
Mendengar ucapan itu, Addovo merasa ditantang. Ia membuka sabuk pinggangnya, lalu mengayukan ke tubuh Mentari, entah berapa banyak ayuanan itu. Tidak sanggup lagi menerimanya, Mentari tersungkur, dan pingsan.
Addovo menekan kembali tombol yang ada di atas tempat tidur. Tidak perlu menunggu lama, salah satu pelayan sudah datang ke kamar itu.
"Urus dia!" Perintah Addovo.
Dia meninggalkan Mentari dan pelayan di kamar itu. Mungkin dia akan menemui wanita lain untuk melampiaskan hasratnya.
By: Yati Suryati
Mentari dan Mafia
Part 3
#Mentari
#Addovo
Sinar matahari pagi masuk dari celah gorden jendela. Dengan kesal Addovo membuka kain penutup jendela kamar Mentari.
"Dasar wanita pemalas," upat Addovo kesal.
Mentari masih tertidur di dalam selimut putih. Terlihat jelas memar di wajahnya. Addovo memggoyangkan tubuh Mentari, agar dia bangun. Namun mentari juga tidak bangun.
Saat dia menepuk pipi wanita itu, telapak tangannya terasa panas.
"Kau sakit?" tanya Addovo.
Perlahan Mentari membuka matanya, karena sinar cahaya matahari pagi menyilaukan.
"Ampun Tuan," mohon Mentari.
"Tenang! Kau tidak akan kusakiti lagi. Kau berarti bagi kami sebagai sandera. Kepolisian akan berpikir untuk menangkapku, karena ada warga sipil yang akan mati. Jika kau sampai mati, kepolisian dari negara kau pasti akan mengusut. Itu sangat memperburuk hubungan kerja sama dua negara," terang Addovo.
Seorang pelayan bernama Ros membawakan semangkok sop.
"Suapkan dia!" perintah Addovo
"Tidak usah, Tuan. Saya masih bisa sendiri," tolak Mentari
Addovo kesal mendengarnya. Apa pun perintah Addovo jangan pernah dibantah.
"Kalau kau tidak mau, biar aku yang menyuapkan." Mangkok berisi sop ditarik oleh Addovo dari tangan Ros.
Ros, pamit meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Situasi ini sangat membuat Mentari takut. Rasa sakit atas siksa kemarin malam saja belum hilang, apa mungkin mau ditambah lagi?
Sesondok sop diarahkan ke mulut Mentari. Terlihat ia ragu untuk membuka mulut.
"Tenang, aku sudah menyuruh satu chef khusus memasak makanan untuk kau." Seolah Addovo mengerti apa yang membuat Mentari ragu.
"Saya bisa makan sendiri, Tuan."
"Jangan membantahku!" bentak Addovo.
Mentari pun menghabiskan satu mangkok sop tersebut, tidak ada satu kata yang terucap. Takut jika itu salah lagi.
"Ponsel kau ada denganku. Kemarin Bapak Herman mengirim pesan, belum bisa mengirim uang bulanan, karena mengalami gagal panen." tutur Addovo.
Mentari membesarkan matanya, bagaimana pria kejam ini mengetahui nama ayahnya.
"Jangan menatapku begitu! Aku sudah mengirim sejumlah uang ke rekening Bu Halimah untuk biaya sekolah Bintang dan Bulan," jelas Addovo.
"Maaf Tuan, bagaimana Tuan tahu keluarga saya?" tanya Mentari nyaris berbisik.
"Itu hal yang sangat mudah bagiku. Jadi kau jangan macam-macam. Kalau kau berulah, mereka akan mati." Ancam Addovo.
Mendengar ancaman Addovo, semakin memupuskan harapan Mentari untuk terbebas dari pria kejam ini.
"Nanti aku akan menyuruh dokter memeriksa kau, aku tidak mau di rumah ini ada yang sakit."
Sebelum pergi, Addovo mengatakan bahwa Mentari boleh keluar kamar. Tugas apa saja yang harus Mentari kerjakan semua sudah diberi tahukannya kepada Ros.
Tidak lama setelah dia pergi, seorang dokter yang cukup cantik datang memeriksa Mentari. Setelah memberi beberapa obat dan vitamin dokter tersebut pamit.
***
Merasa bosan sepanjang hari berada di kamar ini, Mentari memberanikan diri keluar kamar. Rumah yang begitu mewah tidak akan pernah sepi. Entah ada berapa banyak pelayan di rumah ini.
Dia berusaha mencari kebaradaan Ros, karena hanya Ros yang mau berbicara kepadanya, meski masih banyak yang terkesan ditutup-tutupinya.
'Tidak hanya tuan rumah, para pekerja pun bersikap angkuh.' bisik Mentari di dalam hati.
Tidak ada satu tegur sapa dia dibalas oleh para pekerja di rumah ini.
"Mentari," sapa Ros dari arah dapur.
"Iya, Ros. Apa tugas saya di rumah ini?" tanya Mentari penuh sopan.
"Tugas kamu, hanya membersihkan kamar Tuan Addovo. Tetapi kamu harus yakin kamar itu benar-benar bersih. Jika masih ada sedikit saja debu yang menempel, Tuan bisa marah besar," jelas Ros kepada Mentari.
"Baiklah, Ros. Saya akan berusaha melakukan sebaik mungkin."
Membayangkannya saja dia sudah takut, bagaimana bila hasil kerjanya tidak sesuai keinginan Addovo. Siksaan apa lagi yang akan dia terima.
Kamar ini sangat luas, tempat tidur berukurang besar dengan kasur yang sangat empuk terletak di sudut ruangan. Kamar ini sepertu kamar hotel yang menyediakan sofa dan home teater bagi tamunya. Begitu mewah kehidupan Addovo.
Mentari mulai merapikan dari tempat tidur yang berantakan, mengelap setiap sudut tempat tidut tersebut. Beralih pada meja depan sofa. Meja ini penuh dengan kertas-kertas. Saat merapikan lembar demi lembar. Dia menemukan foto keluarganya.
"Pria ini benar-benar serius," gumam Mentari.
Pasrah menjadi pilihan satu-satunya. Hampir tiga jam di habiskan untuk membersihkan satu ruangan ini saja. Remote TV juga harus benar-benar bebas dari debu. Belum lagi pajangan-pajangan yang lainnya.
Kamar mandi yang sebesar kamar asrama Mentari juga sudah selesai dibersihkan. Sela-sela keramik tidak lupa digosoknya. Biarlah lelah sekarang dari pada nanti kena siksa lagi.
"Ya Allah, lelahnya."
"Apa? Allah?" Suara Addovo mengagetkan Mentari.
Mentari langsung terperanjat dari duduknya. Baru saja dia meletakkan tubuhnya di atas sofa di kamar Addovo. Ternyata yang punya kamar sudah kembali.
"Maaf Tuan," ucap Mentari ketakutan.
Addovo berjalan berlahan dengan tangan kirinya menyentuh semua perabotan yang ada di kamar ini. Sementara Mentari menahan nafas, rasa tegang menjalar keseluruh tubuhnya.
Sekarang kamar mandi menjadi sasaran inspeksi Addovo.
"Cukup baik. Satu permintaan kau akan kuturuti," ucap Addovo.
Mendengar kalimat tersebut, akhirnya tubuh Mentari kembali rileks.
"Maaf Tuan, kalau boleh saya diizinkan pulang ke asarama sebentar untuk mengambil al-qur'an dan perlengkapan salat. Kata ibu saya, apa pun yang terjadi jangan tinggalkan salat."
"Saya tidak akan mengizinkan kau keluar dari rumah ini sendirian." Addovo menarik tangan Mentari keluar kamar.
Mentari berusaha mengimbagi langkahnya dengan tarikan Addovo. Apa maksud pria sadis ini. Sekarang dia mendorong Mentari masuk ke dalam mobilnya. Lalu ia duduk di kursi pengemudi.
"Kau akan ku antar mengambil semua itu. Jangan cari jalan untuk kabur!" bentak Addovo.
Lelaki ini belum pernah berbicara manis kepada siapa pun. Apa dia memang tidak punya hati?
Sesampainya di asrama, semua orang yang berpas-pasan dengan Addovo menghindar. Seketika lorong asrama ini sepi, hanya Mentari dan Addovo yang mengisi dengan derap langkahnya.
"Tuan, Saya bisa jalan sendiri. Jangan ditarik begini. Sakit," bisik Mentari.
"Bisa saja kau mencari kesempatan kabur." sergah Addovo.
"Mana mungkin saya akan kabur, bila keluarga saya dalam ancaman kematian," ucap Mentari lirih.
Addovo menyentakkan tangan mentari. Menyuruh jalan di sebelahnya. Dia tidak akan menyuruh Mentari jalan di depan. Karena bagi dia tidak ada satu orang pun yang boleh menghalangi langkahnya.
Selesai membereskan semua yang dibutuhkan, dia keluar kamar dengan membawa satu tas berisi beberapa pakaiannya dan buku-buku kuliahnya. Walaupun harapan bisa melanjutkan kuliah itu tidak akan ada lagi.
Eropa malam hari sungguh megah, lampu-lampu menghiasi sudut kota. Mobil melaju tanpa hambatan. Siapa yang tidak kenal dengan mobil bertanda khusus itu.
"Kenapa kau memilih agama yang aku rasa sangat repot," tanya Addovo memecahkan kesunyian.
"Islam tidak repot, Tuan. Islam itu indah. Kehidupan kita sudah ada aturannya di dalam al-qur'an."
"Bagaimana tidak repot, kau harus salat lima kali sehari," bantah Addovo.
"Tidak repot, Tuan. Salat Subuh, itu memang waktunya kita bangun. Salat Dzuhur, itu waktunya kita istirahat bekerja. Salat Ashar, setelah kita pulang kantor atau kegiatan lainnya. Salat Magrib, waktu menjelang kita menunggu makan malam. Terakhir salat Isha, bisa kita lakukan sebelum tidur."
Addovo diam mendengarnya, berusaha mencerna apa yang Mentari sampaikan. Walaupun belum bisa sepunuhnya dia menegerti.
"Mengapa kalian puasa, apa tidak mati seharian tidak makan?" tanya Addovo kembali.
"Kalau berpuasa bikin kita mati, mungkin dari umur lima tahun saya sudah mati, Tuan." jawab Mentari
"Terserah kau saja! Yang terpenting bagiku. Jangan ada yang mengganggu kerja kau di rumahku."
"Tuan, agamanya apa?" tanya Mentari.
"Ada hak apa kau menanyaiku?" Mata Addovo langsung melotot memandang Mentari yang duduk di sebelahnya.
"Maaf Tuan, saya lancang."
Tanpa menunggu waktu lama, saat melihat mobil Addovo datang, pintu pagar segera terbuka lebar. Mobil yang mereka kendarai memasuki istana Addovo. Ini tepatnya istana bukan lagi rumah.
Addovo manatap Mentari yang masih duduk di sebelahnya dengan liar. Kini dia mencoba untuk mencium, tetap saja Mentari memohon jangan pernah lakukan itu. Dengan kesal Addovo mendorong Mentari, hingga kepala terbentur dasbor mobil.
Addovo keluar mobil, dan kembali menarik tangan Mentari. Membawanya ke arah kolam renang, dan mendorongnya masuk ke dalam kolam. Untung saja Mentari bisa berenang sehingga dia tidak akan tenggelam.
"Jangan coba-coba kau keluar dari kolam itu! Aku selalu mengawasi dari sini." Perintah Addovo.
Udara dingin malam bercampur dengan dinginnya air kolam, hanya membuat Mentari bertahan dua jam.
"Tuan kaki saya keram," ucap Mentari dengan bibir bergetar menahan dingin.
Mendengar itu, Addovo tidak peduli, dia masih saja sibuk dengan laptop-nya.
"Tuan tolong!" teriak Mentari.
Barulah Addovo menoleh ke arah kolam, Mentari hampir tenggelam, tangan yang menggapai-gapai minta tolong hanya kelihatan ujung-ujung jari saja.
Sontak, Addovo berlari dan melompat ke dalam kolam renang. Menyelam berusaha menangankap tubuh Mentari yang akan tiba di dasar kolam. Dia berusaha mengangkat Mentari ke tepi kolam.
Mengetahui itu beberapa anak buah Addovo berkumpul di tepi kolam. Pelayan sudah siap dengan handuk dan pakaian ganti untuknya.
Iya menekan-nekan dada Mentari untuk mengeluarkan air kolam yang terminum.
"Kau jangan mati dulu wanita sialan," upat Addovo.
Hingga suara batuk Mentari terdengar baru dia berhenti menekan dadanya. Mentari segera iya dudukkan.
Anak buah dan para pelayan yang berada di tempat saling bertatapan heran. Ada apa? Kenapa Tuan mereka peduli dengan wanita ini?
By yati suryati
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!