NovelToon NovelToon

Dunia Dzaka

DD 01 Hanya Objek

“Bi! Bi Edah! Kenapa Bi Edah diam aja?” desak anak itu tak sabaran.

“Ta-tapi, Den.” Bi Edah terlihat gelisah.

“Dzaka udah gede, Bi Edah. Tahun ajaran baru Dzaka udah masuk SMP. Bi Edah nggak boleh gini terus.”

Anak itu merasa dia harus mendapatkan jawabannya saat ini. Sebab, sudah sejak lama dia menunggu dan terus menunggu.

Wanita paruh baya itu akhirnya menghela napas berat. Mungkin memang sudah waktunya majikan kecilnya itu tahu semuanya.

“Soal itu .... Sebenarnya—"

“Ka! Dzaka! Bangun, woi!”

“Hosh ... hosh.” Cowok itu terbangun dengan napas yang tidak beraturan dan air mata yang tiba-tiba meluruh dari sudut matanya.

Mimpi buruk itu terus-menerus menghantuinya. Jika bisa berkata, dia lelah terus diingatkan pada hal yang sama.

Bukankah dia sudah berusaha untuk melupakannya? Namun, semakin keras dia mencoba melupakan, ingatan itu selalu menjelma menjadi mimpi buruk baginya.

“Lo kenapa, Ka? Hei, kenapa lo nangis?” Cowok yang tadi membangunkannya terlihat begitu heran.

“Bukan apa-apa.” Dia segera berdiri seraya mengusap bekas air mata itu seraya tersenyum singkat. “Gue ke toilet dulu.” Kemudian dia berlalu meninggalkan pertanyaan di benak cowok ber-nametag Tanvir Wafda tersebut.

Dia terus melangkah dengan wajah kusutnya di lorong yang sepi karena pembelajaran masih berlangsung.

Setelah membasuh wajahnya di toilet, cowok itu pun berbelok arah ke tangga menuju rooftop.

Namanya Aaron Dzaka Emir, biasa dipanggil Dzaka. Siswa kelas XII.IPA.1 Sky High School. Cucu sultan--pemilik yayasan--yang cerdas dan tampan, pemilik senyum manis yang menjadi idaman.

Dzaka menatap hamparan langit biru bersih tanpa satu pun awan yang menghiasinya. Begitu damai dan menenangkan.

Hingga air matanya kembali jatuh bersama sesak yang mulai menyebar. Dia terduduk, bersandar pada dinding pembatas seraya memeluk tubuhnya sendiri.

Dzaka membiarkan air matanya meluruh sebanyak mungkin, agar sesaknya hilang dan pikirannya kembali tenang.

Dzaka lelah, tapi dia hanya punya dirinya sendiri—tonggak rapuh yang terus-menerus mencoba bertahan.

Bunyi pintu dibuka membuat Dzaka segera berbalik dan menghapus jejak air matanya untuk kembali bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia menghela napas dalam, kemudian menghembuskan perlahan.

“Udah dibilangin jangan kebanyakan belajar. Stres kan lo sekarang! Ck!” Cowok itu menyodorkan minuman dingin pada Dzaka.

“Kalau gue gak belajar, gue gak hidup,” balas Dzaka dengan senyum manis yang menampilkan lesung di ujung lengkung bibirnya.

Dzaka menerima minuman itu dan duduk di dinding pembatas seraya meminumnya. Air yang mengaliri kerongkongannya terasa begitu menyegarkan. Dingin dari minuman itu mampu menyejukkan pikiran Dzaka yang sejak tadi berkecamuk.

“Kalau pura-pura itu bikin lo lebih baik, gue dukung itu. Tapi lo harus tetap ingat, kalau lo butuh penopang untuk berdiri tegak, ada gue dan Tanvir.” Cowok itu merangkul Dzaka mencoba memberi semangat.

Dzaka terdiam sesaat, lalu menatap hamparan biru bersih itu sekali lagi. “Thanks buat minumannya.”

Cowok ber-nametag Lutfan Raffaza itu tersenyum  tipis. Setidaknya sahabat baiknya itu sudah lebih baik saat ini.

Namun, tak lama ponsel Raffa berbunyi. Alunan lagu galau terdengar begitu pelan, tapi berhasil membuat Dzaka menoleh.

“Nada dering ponsel lo jangan aneh-aneh deh, Fa,” kesal Dzaka yang berhasil membuat Raffa tergelak.

Raffa memang punya kebiasaan mengganti nada dering ponsel sesuai mood-nya. Saat pertama kali mendengar lagu itu, entah kenapa Raffa langsung menyukainya.

Ponselnya kembali berbunyi membuat Raffa segera menggeser ikon hijau.

“Fa! Dzaka gak ada di toilet. Padahal tadi bilangnya mau ke toilet. Gue telepon dari tadi gak diangkat-angkat.” Suara di seberang terdengar begitu gusar.

Dzaka dan Raffa menahan tawa mereka sebisa mungkin. Raffa berdehem sebelum memulai berbicara.

“Tenang napa, Vir. Lo kayak induk ayam kehilangan suaminya.” Raffa berucap dengan santai membuat seseorang di seberang menghela napas berat.

“Yang bener induk ayam kehilangan anaknya!” ujar Dzaka mengoreksi ucapan Raffa.

“Eh-eh itu bukannya suara Dzaka, ya? Ka? Lo di sana, kan? Lo diculik Raffa, ya?”

“Astaga, kamu gak boleh gitu sama aku. Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia,” balas Raffa dengan nada manja yang menjijikkan.

Dzaka bergidik ngeri dan menjauh beberapa langkah dari Raffa.

“Gue di rooftop gedung IPA.” Lima kata itu cukup untuk mengakhiri drama antara Raffa dan Tanvir.

Tak lama deritan pintu kembali terdengar. Tanvir benar-benar kacau—rambut yang tak beraturan, napas yang tersengal-sengal dan kancing kemeja yang sudah dibuka menampilkan kaos putih yang membalut tubuh proporsionalnya.

“Se-sejak kapan ... hosh ... rooftop anak IPS pindah ke sini, Fa? Hosh ....”

Tanvir masih berusaha mengatur kembali pernapasannya. Sedangkan Raffa tak menanggapi pertanyaan Tanvir sama sekali.

Dzaka mendekat dan memberikan sisa minuman dinginnya tadi pada Tanvir, yang langsung diteguk habis oleh cowok itu.

Setelah napasnya kembali teratur, Tanvir ikut bergabung duduk di atas dinding pembatas.

“Pulang sekolah ngafe, kuy! Gue butuh refreshing dari OSIS,” ajak Tanvir yang langsung mendapat anggukan persetujuan dari Raffa.

Dzaka terdiam cukup lama, kemudian menghela napas berat. Hal itu berhasil menarik perhatian Tanvir dan Raffa yang sibuk memilih kafe yang akan mereka tuju.

“Gue ada les sampai maghrib. Kalian lanjut aja,” ujar Dzaka dengan senyum tipis. Sebenarnya Dzaka sedikit kecewa dengan dirinya sendiri.

Tanvir dan Raffa saling tatap dengan perasaan bersalah. “Sorry, Ka. Gue gak inget kalau lo ada jadwal les,” sesal Tanvir.

“Gak masalah, Vir.”

Ting Tong!

Ting Tong!

“Eh udah bel. Kalian tunggu gue di lapangan, ya! Awas kalau kalian ninggalin gue lagi!” Raffa langsung berlalu yang kemudian diikuti Dzaka dan Tanvir.

Dzaka dan Tanvir turun setelah mengambil tas mereka di kelas. Namun, tangga begitu sesak membuat mereka memilih menepi terlebih dahulu. Dzaka tidak suka berdesak-desakkan di tangga. Itu terlalu berbahaya.

Setelah sampai di lapangan, mereka menemukan Raffa bersungut-sungut di sana.

Demi menghindari amukan Raffa, mereka mulai berhitung secara bersamaan dan berlarian menuju parkiran.

"Kalian bener-bener, ya!" geram Raffa seraya menghampiri Dzaka dan Tanvir yang ngos-ngosan.

"Tangga sesak, Fa!" balas Tanvir sambil menaiki motornya.

Dzaka mengenakan hoodie dan mulai menghidupkan mesin motornya. "Gue duluan!" pamit Dzaka meninggalkan parkiran Sky High School.

Mereka berpisah karena kali ini tujuan Dzaka berada di arah yang berlawanan. Dzaka membelokkan motornya menuju tempat les yang terletak di dekat Earth High School.

Dzaka memarkirkan motornya dan mendekat ke mobil hitam yang terparkir rapi di tepi jalan.

“Mulai bulan depan kegiatan les akan dialihkan ke rumah! Kami sudah mencarikan guru les terbaik. Jadi, jangan sampai membuat ulah yang akan menyulitkan! Kamu tau apa yang akan terjadi jika terjadi pelanggaran, kan?” Kaca jendela kembali tertutup dan mobil itu perlahan menjauh.

“Setidaknya gue masih diizinin hidup,” lirih Dzaka tersenyum miris menatap mobil itu hingga menghilang di belokan.

DD 02 Manusia Penuh Tipu

Jalanan sore yang sangat sibuk. Kendaraan lalu lalang entah itu untuk tetap berjalan lurus maupun berbelok.

Dzaka baru saja kembali dari tempat lesnya, ikut bergerak di antara keramaian. Kali ini tujuan Dzaka adalah supermarket persimpangan.

Dzaka kesulitan saat harus berbelok di depan supermarket. Tak ada yang mau mengalah dengan mengurangi kecepatan kendaraannya.

Setelah memarkirkan motornya, Dzaka melangkah masuk, mengambil keranjang belanja dan bergerak menuju rak makanan ringan. Dia harus selalu menyiapkan persediaan agar dia bisa lebih konsentrasi saat belajar di malam hari.

Dzaka memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang dan bergerak menuju lemari pendingin. Dia hendak menghilangkan dahaganya, sekaligus membeli beberapa minuman untuk persediaan.

Saat dia melewati rak biskuit dan kue kering, Dzaka melihat ada yang aneh. Rak itu tidak berdiri tegak, melainkan sedikit miring. Namun, Dzaka memilih tak ambil pusing dan kembali melanjutkan langkahnya.

Dzaka mengambil susu kedelai dan meneguknya. Lalu Dzaka mengambil beberapa teh botol dan susu kedelai untuk stok di rumah.

Namun, saat Dzaka berbalik, rak biskuit dan kue kering itu terlihat semakin miring. Terlebih di sana ada seorang gadis yang tak menyadarinya dan terus berusaha menggapai sesuatu di rak itu.

Dzaka meninggalkan keranjang belanjaannya dan berlari menghampiri gadis itu. Beruntungnya Dzaka bisa sampai tepat waktu dan menjauhkan gadis itu dari rak.

Nahasnya, Dzaka yang menjadi korban. Ia tertimpa kue kering dan kaleng-kaleng biskuit yang terletak di rak teratas.

Bruk!

“Ow!” Dzaka mengusap pelipisnya yang tergores oleh kemasan biskuit yang cukup tajam.

Orang-orang mulai berdatangan demi melihat kondisi Dzaka yang kacau menahan rak tersebut agar tak jatuh. Petugas supermarket segera membantu Dzaka menahan rak, sehingga Dzaka bisa melepaskannya.

“Kamu gak pa-pa, kan?” Gadis itu gemetar mengingat apa yang barusan dia lihat.

Dzaka menggeleng meskipun tubuhnya terasa sakit karena harus menahan rak yang cukup berat. Belum lagi kaleng-kaleng biskuit yang menghantam kepala dan punggungnya. Dzaka memungut crackers keju yang tergeletak di hadapannya dan menyerahkannya pada gadis itu.

“Biar aku yang bayar. Ta-tadi, kan, kamu udah tolongin aku.” Gadis itu mengeluarkan dompetnya seraya mengambil lembaran uang berwarna merah.

Sebelum gadis itu menyerahkan uang pada kasir, Dzaka menahannya. Hal itu membuat mereka tak sengaja beradu tatap.

Dzaka segera memalingkan pandangannya dan membayar belanjaannya sendiri.

“Lain kali hati-hati!” peringat Dzaka sebelum keluar dari sana.

Gadis itu menyuruh kasir lebih cepat menghitung belanjaannya karena ingin mengejar Dzaka.

Namun, deru motor Dzaka sudah terdengar dan tak lama terlihat bergerak mengikuti arus jalanan yang masih saja padat.

“Padahal aku belum sempat bilang makasih,” lirih gadis itu seraya berjalan lesu ke luar supermarket.

Gadis itu memerhatikan lalu lintas yang masih padat. Padahal waktu maghrib sudah lewat, tapi masih banyak orang yang berada di luar rumah.

Dia bersandar di dinding kaca supermarket, mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar di sosial media untuk mengusir kebosanan. Dia hanya belum ingin kembali ke rumah.

Tangannya meraba-raba isi belanjaan demi mengambil crackers keju, tapi nihil. Gadis itu bahkan mencoba membolak-balik belanjaan di kresek itu, tapi tetap saja tidak ada.

"Kok gak ada sih?" gerutunya dengan kebingungan. Terlebih crackers keju tadi adalah yang terakhir. Ia hanya mampu menghela napas kecewa setelah lelah mencari.

“Ziya!”

Gadis itu segera mengangkat pandangannya demi melihat siapa yang memanggilnya. Dia tersenyum masam saat mendapati seorang cowok melambaikan tangan di seberang jalan. Dia memilih segera melangkah menjauhi supermarket.

Jalanan yang padat membuat geraknya terhambat. Saat dia pikir sudah aman, dia mulai melangkah tergesa.  Namun, deru motor terdengar begitu jelas di telinganya, hingga dia terdiam membisu, padahal motor itu semakin dekat.

Bruk!

...----------------...

Plak!

“Dari mana saja kamu, hah?!” Sosok itu menarik rambut Dzaka dengan kuat membuat sang empunya meringis kesakitan. Belanjaan yang tadi berada di genggamannya sudah berserakan di lantai.

“Kamu pikir saya punya banyak waktu untuk menunggu kamu? Iya?!” Rambut Dzaka dilepas secara kasar membuatnya sedikit oleng.

Belum selesai dia berdiri tegak, kerah seragamnya ditarik kasar, membuat Dzaka kesulitan bernapas. Dzaka tak membela diri sama sekali. Dia biarkan dirinya diperlakukan seperti apa pun.

“Sudah, Tuan! Saya mohon! Kasian Den Dzaka baru pulang,” ujar Bi Edah mencoba menghentikan aksi kekerasan itu.

“Dzaka gak apa-apa, Bi. Bi Edah jangan ikut campur, ya!” pinta Dzaka dengan suara lirih dan senyuman sendu yang berhasil membuat Bi Edah menitikkan air mata.

Sosok itu kemudian mendekatkan wajahnya ke Dzaka, membuat tubuh Dzaka mendadak kaku. “Kamu sudah sadar kesalahan yang sudah kamu perbuat, kan?”

Dzaka mengangguk patah-patah sebagai balasan membuat sosok itu tersenyum miring, kemudian melepaskan cengkeramannya di kerah seragam Dzaka.

Netra Dzaka menangkap kemasan crackers keju di antara barang belanjaannya. Ia ingat bahwa itu milik gadis tadi.

Tanpa berucap sepatah kata pun, Dzaka mengambil crackers keju itu dan berlari menuju motornya kemudian pergi. Dzaka tak mengindahkan sosok yang sedang begitu murka karena tingkahnya.

Dzaka baru saja memarkirkan motornya di depan swalayan. Namun, di depan sana seorang gadis berdiri termangu melihat motor yang semakin dekat dengannya.

Tanpa pikir panjang, Dzaka berlari mendekat dan menarik gadis itu kembali ke tepi.

Bruk!

Meski tubuhnya terasa remuk, Dzaka berhasil menyelamatkan gadis itu tepat waktu. Setelah memastikan tidak ada luka pada gadis itu, Dzaka menghela napas lega.

“Si-siku kamu ....” Gadis itu gemetar menunjuk darah di siku Dzaka. Dia terlihat kebingungan saat akan menyentuh Dzaka.

Dzaka menyembunyikan lengannya di balik tubuh. Meski terasa perih, Dzaka mencoba menahan agar tak meringis. Sedangkan seseorang di seberang yang menyaksikan itu menutup kaca helmnya saat mengetahui ada Dzaka di sana.

“Ayo! Gue antar pulang!” titah Dzaka yang mendapat gelengan dari gadis itu.

“A-aku harus obati ka-kamu dulu. Itu pasti perih banget.” Gadis itu kembali berdiri dan berniat pergi ke apotek yang tak terlalu jauh dari sana. Namun, lengan bajunya ditarik Dzaka. Dzaka menggeleng pelan.

“Dia pulang sama gue!” sela seseorang yang muncul dengan kaca helm yang masih tertutup.

Dzaka memicing curiga melihat gelagat sosok itu. Sedangkan gadis itu hanya menatap lesu.

“Kalau lo bukan siapa-siapanya dia, gue gak akan biarin dia pulang sama lo!” balas Dzaka tegas.

“Gue abangnya! Jadi, gue berhak, kan, buat bawa adek gue balik?”

Dzaka masih tak percaya. Namun, yang lebih aneh lagi, Dzaka merasa familiar dengan suara itu.

“Buka dulu kaca helm lo!” suruh Dzaka yang membuat sosok itu gelisah.

“Hmm, lo bisa tanya dia langsung,” putus sosok itu.

Dzaka dibuat kebingungan dan memilih diam.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya gadis itu mengangguk pelan pada Dzaka, mengiyakan ucapan sosok berhelm itu.

Dzaka akhirnya mempersilakan mereka pulang. Saat mereka sudah di seberang, Dzaka teringat bahwa ia harus mengembalikan crackers keju milik gadis itu. Dzaka mengambil motornya dan memutar arah.

“TUNGGU!” teriak Dzaka sekeras yang dia bisa dan berhasil membuat motor di depannya berhenti.

“Gue cuma mau balikin crackers keju ini. Tadi kebawa di belanjaan gue.”

Setelahnya, motor itu bergerak meninggalkan Dzaka. Saat motor itu sudah berbelok Dzaka menyadari sesuatu. Dia merasa sangat familiar dengan suara itu.

Lantas jika memang sesuai tebakannya, seharusnya sosok itu bertingkah seperti biasa, bukannya menyembunyikan dirinya.

“Ah, mungkin cuma perasaan gue,” ujarnya bermonolog meski penuh keraguan.

DD 03 Bertemu Kembali

"Pipi lo lebam gini, pasti abis ciuman sama telapak tangan nih." Raffa masih memerhatikan lebam yang membiru di pipi kiri Dzaka. Mereka masih duduk manis di atas motor menunggu Tanvir yang belum kunjung datang.

Dzaka hanya diam, ia sedang malas menanggapi Raffa. Ia menaikkan tudung hoodie-nya saat angin yang berhembus menusuk kulitnya dan membuat tulang-tulangnya terasa ngilu.

"Argh!" erang Dzaka saat Raffa memukul bahunya dengan keras. Rasa sakit itu bahkan menjalari tubuhnya dengan cepat.

"Diapain lagi lo?" tanya Raffa to the point yang tak digubris Dzaka sama sekali.

Dzaka mengalihkan perhatiannya dengan mengeluarkan ponsel dari kantong hoodie-nya dan membuka aplikasi game offline terseru versi Dzaka--game cacing. Hal itu berhasil membuat Raffa menghela napas berat.

Raffa merampas ponsel Dzaka dan menyembunyikannya di balik tubuh tegapnya. "Jawab dulu pertanyaan gue. Lo diapain lagi?"

Dzaka akhirnya berdecak pelan. Inilah sisi Raffa yang baik sekaligus merepotkan.

"Bukan apa-apa, Fa!" Dzaka menyempatkan diri mengembangkan senyuman tipis untuk meyakinkan Raffa.

Beruntung sebuah mobil berhenti tak jauh dari mereka, sehingga Raffa tak melanjutkan interogasinya. Setelahnya sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul.

"Tumbenan lo bawa mobil, Vir." Raffa mendekat ke arah mobil Tanvir, tapi saat pintu mobil terbuka, dia terkejut.

"Lo apa-apaan sih, Kak?! Gue gak bisa keluar nih," kesal gadis yang masih berada di dalam mobil itu.

"Eh ada Beb Qeela. Jangan jutek-jutek gitu, Qee, nanti aku pergi kamu nangis." Raffa tersenyum geli melihat raut masam gadis itu.

"Bang Vir! Bilangin sama temen lo! Kalau cuma niat bikin baper gak usah dekat-dekat gue." Gadis itu akhirnya membuka paksa pintu mobil, lalu membantingnya sebelum meninggalkan Dzaka, Raffa dan Tanvir.

"Tuh udah denger sendiri, kan? Jadi gue gak perlu ngulang lagi." Tanvir segera melangkah meninggalkan parkiran disusul Dzaka dan Raffa.

Pemandangan pagi yang menyejukkan mata kaum hawa. Trio TDR yang tampan dan berprestasi.  Tanvir si smart boy yang cool dan cuek--ketos SMA Bina Jaya; Dzaka si smart and cool boy yang memiliki lesung di ujung lengkung senyumannya--cucu pemilik yayasan dan langganan juara olimpiade sains;dan Raffa si smart boy yang ramah dan suka tebar pesona.

Bunyi notifikasi terdengar pelan, membuat Dzaka segera mengeluarkan ponselnya dari kantong hoodie.

Orang Itu:

Pulang sekolah ke rumah saya.

Urusan kita kemarin belum selesai

07.10

Read

Dzaka menghela napas gusar. Baru saja hari ini di mulai, tapi ia sudah harus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi saat pulang sekolah nanti.

...----------------...

"Les sampai jam berapa, Ka? Gue mau main ke rumah lo." Raffa merangkul Dzaka seraya terus melangkah menuju parkiran.

"Gue gak les. Ada urusan. Datang aja jam lima." Dzaka langsung menaiki motornya dan memasang helm. Lalu ia melajukan motornya meninggalkan Raffa yang menatap kepergiannya dengan sendu.

Dzaka memelankan motornya saat ia hampir sampai di tempat lesnya. Ia hanya akan meminta izin secara langsung, lalu pergi ke rumah 'orang itu' untuk menyelesaikan urusannya.

Namun, Dzaka melihat kerumunan yang aneh. Ucapan-ucapan kasar juga mulai memasuki indera pendengarannya-seperti sedang menyudutkan seseorang. Dzaka ingin membantu, tapi ia harus bergegas agar tak mendapat masalah baru.

Saat Dzaka selesai meminta izin, kerumunan itu masih terlihat. Suara gaduh terdengar begitu jelas. Dzaka tak bisa tenang. Entah mengapa hatinya menolak abai pada apa yang dilihatnya kali ini.

Seorang gadis meringkuk gemetar di hadapan gadis lain yang terus memaki bahkan menarik-narik seragam dan tas sekolahnya.

Dzaka mempercepat langkahnya dan berhasil sampai tepat sebelum gadis itu dipukuli.

"Masih ada aja orang yang sok berkuasa di negara hukum ini," sarkas Dzaka menatap tajam pada gadis-gadis yang melakukan pem-bully-an.

Tatapan Dzaka semakin tajam melihat sosok yang dikenalinya. Tak hanya satu, tapi tiga sekaligus. Dzaka bahkan tak menyangka akan hal itu.

"B-Bang Dzaka. Syifa gak lakuin apa-apa, kok. Syifa cuma ikut-ikutan Syilla ke sini," ujar gadis bernama Syifa yang tak lain adalah tetangga Dzaka.

Gadis lain yang bernama Syilla tidak terima dirinya disalahkan, akhirnya mencoba membela diri.

"Bukan Syilla, kok. Lo kalau salah jangan suka melimpahkan kesalahan ke orang lain dong," sewot Syilla.

Dzaka memerhatikan gadis yang berdiri paling depan seolah menunjukkan diri bahwa ia lah ketuanya. "Setidaknya lo tau gimana frustrasinya saat semua orang memojokkan lo atas kesalahan yang gak pernah lo lakuin," sindir Dzaka pada gadis yang berdiri paling depan--Ayunina Bonanza Calya, teman SMP Dzaka.

"Gak usah ikut campur urusan gue!" Ayu membalikkan badan dan meninggalkan Dzaka begitu saja diikuti antek-anteknya.

Dzaka berbalik melihat gadis yang tengah menangis dalam diam. Saat Dzaka menarik pelan tali tasnya, gadis itu menghapus jejak air matanya dan menoleh dengan wajah datar, seolah semua telah baik-baik saja.

Saat mata mereka beradu, Dzaka terperanjat kaget, begitu pula gadis itu. "Ka-kamu yang semalam, kan?" tanyanya memastikan. Dzaka membalas dengan anggukan dan senyum singkat membuat gadis itu ikut tersenyum.

"Terima kasih sudah menyelamatkan aku lagi," ujarnya tulus membuat hati Dzaka berdesir.

Tak ingin berlama-lama di sana, Dzaka memalingkan wajahnya dan kembali berdiri. "Gue antar pulang!" ucap Dzaka seraya melangkah kembali ke tempat les untuk mengambil motor di parkiran.

Gadis itu mengikuti langkah Dzaka dengan pelan, karena kakinya masih gemetar akibat rasa takut yang menghampirinya beberapa waktu lalu.

"Pegangan di tas aja," ujar Dzaka melihat gadis itu kebingungan. Setelahnya Dzaka melajukan motornya meninggalkan tempat les dan mengikuti arus kendaraan di jalanan.

Tak ada yang memulai pembicaraan sama sekali. Hingga Dzaka merasakan kepala gadis itu bersandar di bahunya. Meski tak terdengar jelas, tapi Dzaka yakin ia mendengar isak tangis.

Dzaka menghentikan motornya dan menatap rumah di hadapannya cukup lama.

"Kok kamu tau rumahku?" tanya gadis itu memicing tajam.

"Rumah sahabat gue," ujar Dzaka pelan, tapi bisa didengar dengan jelas oleh gadis di depannya.

"Sahabat? Kamu sahabatnya Bang Tanvir?" tanya gadis itu dengan ekspresi kaget yang kentara.

Dzaka mengangguk pelan. Ia hanya merasa kecewa saat Tanvir tak memberitahu bahwa adiknya telah kembali ke sini.

"Gue Dzaka. Sahabatnya Tanvir di Sky High School." Dzaka memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.

"A-aku Ziya--Ziyadah Afra. A-aku adiknya Bang Tanvir." Ziya balas memperkenalkan dirinya. Namun, gadis itu terlihat sangat gelisah.

"Bang Dzaka .... Ziya boleh minta tolong gak?" Dzaka berdehem pelan sebagai jawaban.

"Jangan bilang-bilang Bang Tanvir, ya, kalau Bang Dzaka udah kenal Ziya. Bang Tanvir punya alasan kenapa dia menyembunyikan semua ini. Jadi, Ziya mohon, ya, Bang Dzaka." Gadis itu menatapnya dengan puppy eyes yang membuat Dzaka tak tega menolaknya.

Akhirnya Dzaka mengangguk membuat gadis itu menghela napas lega. Mungkin sebaiknya Dzaka menunggu hingga Tanvir sendiri yang menjelaskan alasan itu.

Dzaka menyalakan mesin motornya kembali, karena ia sudah terlalu lama di sini.

"Bang Dzaka!" panggil Ziya sebelum Dzaka benar-benar pergi.

Gadis itu menunduk dalam. "Soal yang tadi, makasih ya, Bang. Soal yang semalam juga makasih. Eh sikunya Bang Dzaka gimana?"

Dzaka memerhatikan wajah Ziya yang mendadak panik teringat akan luka di siku Dzaka semalam.

"Udah gue obati kok. Kalau gitu, gue pergi dulu."

Motor Dzaka melaju meninggalkan Ziya yang masih berdiri memerhatikan kepergiannya.

"Terima kasih, Bang Dzaka," lirih gadis itu sebelum memasuki pelataran rumahnya.

Dzaka tersenyum miris mengingat ucapan dari gadis yang merupakan adik dari sahabat baiknya. "Apapun alasannya, bukannya ini sedikit keterlaluan, ya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!