“Bi! Bi Edah! Kenapa Bi Edah diam aja?” desak anak itu tak sabaran.
“Ta-tapi, Den.” Bi Edah terlihat gelisah.
“Dzaka udah gede, Bi Edah. Tahun ajaran baru Dzaka udah masuk SMP. Bi Edah nggak boleh gini terus.”
Anak itu merasa dia harus mendapatkan jawabannya saat ini. Sebab, sudah sejak lama dia menunggu dan terus menunggu.
Wanita paruh baya itu akhirnya menghela napas berat. Mungkin memang sudah waktunya majikan kecilnya itu tahu semuanya.
“Soal itu .... Sebenarnya—"
...----------------...
“Ka! Dzaka! Bangun, woi!”
“Hosh ... hosh.” Cowok itu terbangun dengan napas nggak beraturan. Setetes air luruh dari sudut matanya dan jatuh di lipatan lengan. Rasa lelah, karena mimpi yang sama dalam waktu lama tergambar jelas di wajah oval-nya. Bahkan, dia lupa menutupi kesedihannya.
Kalian mungkin mikir kenapa nggak dilupain aja, sih? Udah, kok. Semua cara udah dia coba. Kecuali satu—datang ke psikolog buat mengunci ingatan tentang itu. Kalau ditanya capek nggak? Boleh jujur nggak, sih? Dia capek banget. Otaknya capek belajar, tapi dia nggak pernah bisa tidur nyenyak.
“Lo kenapa, Ka? Hei, kenapa lo nangis?” Cowok yang tadi membangunkannya heran liat matanya basah.
“Bukan apa-apa.” Dia langsung beranjak sambil mengusap bekas air mata di wajahnya. “Gue ke toilet dulu.” Memaksakan senyum tipis di wajahnya sebelum berlalu. Meninggalkan pertanyaan di benak teman sebangkunya—Tanvir Wafda.
Dia melangkah dengan wajah kusut. Untung aja lorong kelas sepi, karena pembelajaran masih berlangsung. Jadi dia nggak perlu pakai topeng—sisi sok kuatnya.
Wajahnya keliatan sedikit segar setelah dibasuh. Tapi, mata yang sedikit sembab jadi bukti kalau dia lagi nggak baik-baik aja. Helaan napas berat terdengar bersamaan dengan langkah kakinya menjauh dari toilet. Nggak mood balik ke kelas, dia berbelok ke tangga menuju rooftop.
Namanya Aaron Dzaka Emir, biasa dipanggil Dzaka. Siswa kelas XII.IPA.1 di Sky High School. Cucu sultan—pemilik yayasan—yang jadi langganan olimpiade matematika. Sosok yang sama sekali nggak bisa dijangkau. Soalnya, prioritas Dzaka selain belajar cuma dua cowok yang jadi sahabatnya.
Dzaka berjalan pelan menuju dinding pembatas. Tatapannya nggak lepas dari langit biru bersih di atas sana. Semakin lama, langkah Dzaka makin berat. Dadanya sesak banget.
Sampai akhirnya ... air mata Dzaka luruh lagi. Dia terduduk, bersandar ke dinding pembatas sambil memeluk tubuhnya sendiri. Dzaka membiarkan air matanya mengalir sebanyak mungkin, supaya sesaknya hilang dan pikirannya kembali tenang.
Dzaka capek banget. Tapi, dia cuma punya dirinya sendiri—tonggak rapuh yang memaksakan diri bertahan.
Derit pintu besi bikin Dzaka reflek balik badan. Buru-buru dia menghapus jejak air mata dan menarik napas dalam. Selagi dia menghembuskan napas perlahan, kesedihan barusan ikut lenyap dari wajahnya.
“Udah dibilangin jangan kebanyakan belajar. Stres kan lo sekarang! Ck!” Sosok itu menyodorkan minuman dingin ke arah Dzaka.
“Kalau gue gak belajar, gue gak hidup,” balas Dzaka dengan senyum manis yang menampilkan lesung di ujung lengkung bibirnya.
“Kalau pura-pura itu bikin lo lebih baik, gue dukung itu. Tapi, lo harus tetap ingat, Ka. Kalau lo butuh penopang untuk berdiri tegak, ada gue dan Tanvir.” Sosok itu menepuk pundak Dzaka menyalurkan semangat.
Dzaka terdiam sambil menatap hamparan biru bersih itu sekali lagi. “Thanks buat minumannya, Fa.”
Dzaka sengaja nggak lanjutin percakapan tadi. Perasaan Dzaka masih rapuh. Sedikit aja dia ngasih celah, topengnya bakal terlepas gitu aja. Bahkan sosok itu sekalipun, nggak akan Dzaka biarin tau sisi rapuhnya.
“Fa! Dzaka gak ada di toilet. Padahal tadi bilangnya mau ke toilet. Gue telepon dari tadi gak diangkat-angkat.” Suara di seberang terdengar begitu gusar. Dzaka menoleh kaget. Alisnya berkerut.
“Tenang napa, Vir. Lo kayak induk ayam kehilangan suaminya.” Nada santai itu bikin Dzaka menggulir mata jengah. Bahkan dia bisa dengar helaan napas berat Tanvir di seberang.
"Lutfan Raffaza! Gue gak lagi becanda!" Nada bicara Tanvir langsung berubah bikin sosok itu mengusap hidungnya—merasa bersalah.
“Gue di rooftop gedung IPA." Lima kata dari Dzaka cukup buat mengakhiri kecanggungan barusan.
Deritan pintu kembali terdengar. Tanvir benar-benar kacau—rambut yang nggak beraturan, napas tersengal-sengal dan kancing kemeja yang udah kebuka, menyisakan kaos putih yang membalut tubuh proporsionalnya.
Dzaka tersentak waktu Tanvir mendekat. Tatapan Tanvir nggak kayak biasanya. Dzaka nggak terlalu paham, tapi ... itu tatapan khawatir, kan?
"Gue gak maksa lo cerita apapun, Ka. Tapi ... tolong banget jangan kayak gini. Gue khawatir," lirih Tanvir. Omongan Tanvir langsung sampai ke hati Dzaka. Tapi, apa dia pantas dikhawatirkan kayak gini?
"Gue—"
"Kalau cuma mau bilang gue gak papa, mending gak usah, Ka. Gue udah gak bisa bedain mana yang bener baik-baik aja atau gak baik-baik aja," sela Raffa bikin Dzaka terdiam.
"Udah hampir tiga tahun, tapi ... sampai sekarang gue masih gak mengenal lo dengan baik," lanjut Raffa yang dibalas anggukan oleh Tanvir.
"Ka! Sebenernya lo siapa?" Pertanyaan itu mengudara tanpa balasan. Keheningan tercipta gitu aja.
Kalau mereka nanya ke Dzaka, terus dia harus nanya ke siapa? Dzaka aja nggak kenal sama dirinya sendiri. Nggak ada satupun yang Dzaka tau soal dirinya, selain namanya. Hidup Dzaka udah diatur sedemikian rupa alurnya. Siapa dia dan seperti apa dia harus dikenal? Semua udah ada yang ngatur. Dzaka cuma perlu menjalankan peran sesuai arahan.
"Gue ... Dzaka." Suara lirih Dzaka terbawa angin dan menghilang sebelum sempat didengar siapapun.
Getaran di saku celananya menarik atensi Dzaka. Sebuah notifikasi pesan muncul.
Unknown
Saya tunggu di dekat tempat les setelah jam pulang sekolah
Dzaka mengantongi ponselnya tanpa membalas. Apa itu kehidupan remaja? Pulang sekolah nongkrong di kafe atau ikut ekskul sampai sore? Dzaka nggak pernah ngerasain tuh. Mungkin lebih tepatnya, itu nggak ada di alur kehidupannya.
Ting Tong!
Ting Tong!
“Eh udah bel. Kalian tunggu gue di lapangan, ya! Awas kalau kalian ninggalin gue lagi!” Raffa langsung berlalu seolah-olah keheningan sebelumnya nggak pernah terjadi.
Dzaka sama Tanvir jalan berdampingan. Tapi, nggak ada yang mulai bersuara sama sekali. Bahkan, sampai di parkiran mereka masih saling diam.
"Ka .... Kalau lo bisa tulus sama orang lain, jangan tutup diri lo dari perasaan yang sama. Kenapa lo selalu nolak afeksi orang lain?" Pertanyaan Raffa aja dia nggak bisa jawab apalagi pertanyaan ini.
Dia cuma ngelakuin apa yang harus dia lakuin. Apa itu tulus? Dzaka ngerasa dia bersikap biasa aja. Jadi dia nggak berhak nerima apapun.
Dzaka mengenakan hoodie dan mulai menghidupkan mesin motornya. "Gue duluan!" pamit Dzaka meninggalkan parkiran Sky High School dan kedua sahabatnya yang masih berdiri menatap kepergiannya sendu.
"Susah banget ya, Vir," lirih Raffa.
"Mungkin butuh waktu lebih lama, Fa," balas Tanvir getir.
Dzaka membelokkan motornya menuju tempat les yang terletak di dekat Earth High School. Dzaka memarkirkan motornya sebelum berjalan mendekati mobil hitam yang terparkir rapi di tepi jalan.
“Mulai bulan depan kegiatan les akan dialihkan ke rumah! Kami sudah mencarikan guru les terbaik. Jadi, jangan sampai membuat ulah yang akan menyulitkan! Kamu tau apa yang akan terjadi jika kamu melanggar, kan?” Kaca jendela kembali tertutup dan mobil itu perlahan menjauh.
“Setidaknya gue masih diizinin hidup,” lirih Dzaka tersenyum miris.
Dzaka menepi sejenak di taman. Sejak tadi dia nggak fokus. Pertanyaan dari Raffa dan Tanvir berhasil bikin dia terganggu. Baru kali ini Dzaka terdistraksi sama pertanyaan kayak gini. Apa dia mulai goyah? Bukannya ini bakal bahaya, ya? Helaan napas berat terdengar. Kejadian tadi siang bikin perasaannya kalut.
Dzaka tersentak karena sesuatu menghantam bahunya cukup keras. Dia melihat sebuah bola menggelinding. Nggak lama, seorang bocah laki-laki mendekatinya dengan ragu. Alis Dzaka berkerut.
"Bang ... maaf, ya. Aku gak sengaja," lirihnya takut. Bahkan dia nggak berani natap Dzaka.
Dzaka mengubah ekspresinya. Senyuman yang jarang dia umbar ke orang lain tiba-tiba terbit. "Ini bolanya." Dzaka menyerahkan bola itu dengan satu tangan dan tangan lainnya mengusap kepala bocah laki-laki itu lembut.
Tatapan berbinar yang ditunjukkan bocah itu bikin Dzaka heran. Tapi, belum sempat dia merespon apa-apa, bocah itu beranjak pergi.
"Abang baik! Terima kasih!" teriaknya setelah cukup jauh. Matanya masih mengikuti arah perginya bocah itu. Sampai ... pemandangan di sana membuat hatinya sakit.
Dia langsung balik ke tempat duduknya dan bersandar. Suara gemerisik daun dan angin terdengar jelas di telinganya. Seolah ngasih ruang buat Dzaka melepas bebannya. Apa yang dia liat barusan memicu rasa sakit yang Dzaka pendam.
"Gue kenapa?" gumam Dzaka menutupi matanya dengan lengan. Getaran di ponselnya bahkan diabaikan. Dzaka lagi pengen sendiri. Merenungi apa yang lagi dia alami.
"Apa gue emang harus ke psikolog, ya?" gumamnya pelan. Kayaknya ini nggak sesederhana mimpi buruk.
...----------------...
Sekarang udah jam tujuh malam. Dzaka nggak sadar sampai ketiduran di taman. Anehnya, Dzaka malah tidur nyenyak. Tunggu ... jangan salah paham dulu. Tidur nyenyak versi Dzaka itu nggak samai ngorok, kok. Tapi, waktu dia bisa tidur dengan tenang tanpa mimpi buruk yang udah menemani dia bertahun-tahun.
Jantungnya berdetak lebih cepat waktu liat panggilan di ponselnya. Baru aja Dzaka ngerasa sedikit hidup, udah ada masalah baru yang nunggu dia. Ponselnya bergetar lagi, tapi Dzaka malah nyimpan ponselnya di kantong celana dan menaiki motornya beranjak pergi.
Sebelum komplek perumahannya, ada minimarket langganan Dzaka. Berhubung stok camilannya menipis, dia mampir. Melupakan fakta kalau di rumah mungkin udah ada yang nungguin dia.
Kalau belajar, kalian butuh apa? Kalau Dzaka sih camilan. Bahkan di kamarnya tersedia kulkas mini khusus buat camilan. Soalnya, Dzaka harus belajar berjam-jam di kamar. Pastinya butuh asupan.
Dzaka mengambil keranjang belanja dan bergerak menuju rak makanan. Dzaka melihat ada yang aneh. Rak biskuit dan kue kering di depan sana kok makin miring, ya? Apalagi di sana ada seorang gadis. Kayaknya gadis itu nggak sadar dan terus berusaha menggapai sesuatu di rak.
Dzaka melepas keranjang belanjaannya dan berlari menuju rak itu.
Bruk!
“Ow!” Dzaka mengusap pelipisnya yang tergores kemasan biskuit. Kondisi Dzaka keliatan kacau sambil menahan rak supaya nggak jatuh. Petugas minimarket langsung sigap mengambil alih keadaan.
“Kamu gak papa, kan?” Suara gadis itu bergetar. Kayaknya masih syok karena kejadian barusan.
Dzaka menggeleng. Tapi, badan Dzaka terasa sakit. Soalnya, raknya cukup berat. Belum lagi kaleng-kaleng biskuit yang menghantam kepala dan punggungnya. Dzaka memungut crackers keju yang tergeletak di hadapannya dan menyerahkannya ke gadis itu.
“Lain kali hati-hati!” peringat Dzaka sebelum keluar dari sana. Dia nggak jadi belanja dan memilih buat langsung pulang.
Gadis itu nyuruh kasir lebih cepat menghitung belanjaannya supaya bisa ngejar Dzaka. Tapi, deru motor Dzaka terdengar dan bergerak mengikuti arus jalanan yang masih padat.
“Padahal aku belum sempat bilang makasih,” lirih gadis itu seraya berjalan lesu ke luar.
Matanya sibuk memerhatikan lalu lintas yang masih padat. Dia bersandar di dinding kaca supermarket, mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar di sosial media untuk mengusir kebosanan. Dia cuma belum pengen pulang.
Tangannya meraba-raba isi belanjaan demi mengambil crackers keju. Bayangan kejadian tadi terlintas lagi di pikirannya pas liat crackers keju ini. Juga, wajah pemuda yang nolongin dia.
“Ziya!”
Gadis itu segera mengangkat pandangannya ngeliat siapa yang manggil. Dia tersenyum masam saat mendapati seorang pemuda melambaikan tangan di seberang jalan.
Jalanan yang padat bikin geraknya terhambat. Pas dia pikir udah aman, dia mulai melangkah tergesa. Tapi, deru motor mendekat dengan kencang terdengar jelas di telinganya. Dia cuma diam membisu, padahal motor itu semakin dekat.
Bruk!
...----------------...
Dzaka langsung putar balik pas ingat kalau stok yogurt nya abis. Makanan satu itu nggak boleh sampai kosong di kulkas mininya. Baru aja Dzaka turun dari motor, matanya udah nangkap kejadian menegangkan. Tanpa pikir panjang Dzaka langsung lari ke sana.
Bruk!
Meski tubuhnya remuk, Dzaka berhasil menyelamatkan gadis itu tepat waktu. Setelah memastikan tidak ada luka pada gadis itu, Dzaka menghela napas lega.
“Si–siku kamu ....” Gadis itu gemetar menunjuk darah di siku Dzaka. Dia terlihat kebingungan saat akan menyentuh Dzaka.
Dzaka menyembunyikan lengannya di balik badannya. Jujur aja rasanya perih banget. Tapi, Dzaka coba tahan supaya nggak meringis. Saking perihnya, tangan Dzaka gemetaran.
“Ayo! Gue antar pulang!” titah Dzaka yang mendapat gelengan dari gadis itu.
“A–aku harus obati ka–kamu dulu. Itu pasti perih banget.” Gadis itu langsung berdiri dan berniat pergi ke apotek yang nggak jauh dari sana.
Dzaka menarik lengan baju gadis itu dan menggeleng pelan. "Gue gak papa. Ayo gue anter pulang," ajak Dzaka lagi. Baru sekali ketemu gadis ini udah bikin badan Dzaka remuk dua kali. Wajar dong dia menawarkan bantuan buat nganterin, takut ada kejadian part ketiga.
“Dia pulang sama gue!” sela seseorang yang muncul dengan kaca helm yang masih tertutup.
Dzaka memicing curiga melihat gelagat sosok itu. Sedangkan gadis itu hanya menatap lesu.
“Kalau lo bukan siapa-siapanya dia, gue gak akan biarin dia pulang sama lo!” balas Dzaka tegas.
“Gue abangnya! Jadi, gue berhak, kan, buat bawa adek gue balik?”
Dzaka merasa familiar sama suara itu. Tapi, helmnya beda, sih. Terus nada suaranya lebih dingin. Apa cuma perasaan Dzaka, ya?
“Buka dulu kaca helm lo!” suruh Dzaka yang membuat sosok itu gelisah.
“Hmm, lo bisa tanya dia langsung,” putus sosok itu.
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya gadis itu mengangguk pelan pada Dzaka, mengiyakan ucapan sosok berhelm itu.
"Vir .... Itu lo, kan?" monolog Dzaka.
Lantas kalau memang sesuai tebakannya, seharusnya sosok itu bertingkah kayak biasa, bukannya menyembunyikan diri. Aneh banget.
Dzaka tersentak setelah ingat sesuatu.
"Adek? Adeknya Tanvir udah balik?" gumam Dzaka dengan pandangan lurus ke arah perginya motor Tanvir.
"Pipi lo lebam gini, pasti abis ciuman sama telapak tangan nih." Raffa masih memperhatikan lebam membiru di pipi kiri Dzaka. Mereka masih duduk manis di atas motor nunggu Tanvir yang belum keliatan.
“Ini pelipis lo kena gores apa? Ini juga kok lebam?” Raffa nggak berhenti menunjuk bekas lebam di wajah Dzaka.
Dzaka cuma diam dan menaikkan tudung hoodie-nya. Angin dingin menusuk kulitnya dan bikin tulang-tulangnya terasa ngilu.
"Argh!" erang Dzaka setelah Raffa mukul bahunya dengan keras. Rasa sakit itu bahkan menjalar ke seluruh tubuh dengan cepat. Dzaka reflek menjauh menghindar dari jangkauan tangan Raffa.
"Kenapa lagi sekarang?" tanya Raffa to the point yang nggak digubris Dzaka sama sekali.
Sekuat tenaga Dzaka menahan ringisannya biar nggak keluar lagi. Buku-buku jarinya sampai memutih saking kuatnya Dzaka mengepal tangan.
Dzaka mengalihkan perhatiannya dengan mengeluarkan ponsel dari kantong hoodie dan membuka aplikasi game offline terseru versi Dzaka—game cacing. Hal itu berhasil bikin Raffa menghela napas berat.
Raffa merampas ponsel Dzaka dan menyembunyikannya di balik tubuh tegapnya. "Jawab dulu pertanyaan gue. Lo kenapa babak belur gini?"
Dzaka akhirnya berdecak pelan. Inilah sisi Raffa yang baik sekaligus merepotkan. "Bukan apa-apa, Fa!" Dzaka menyempatkan diri mengembangkan senyuman tipis untuk meyakinkan Raffa.
“Ka—”
Sebuah mobil putih berhenti nggak jauh dari mereka. Sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul. Dengan amat sangat terpaksa—tolong digaris bawahi—Raffa menghentikan interogasinya.
Dzaka nggak langsung mendekat. Kejadian kemarin melintas lagi di pikirannya. Kenapa Tanvir sampai menyembunyikan identitasnya di depan Dzaka?
"Tumbenan lo bawa mobil, Vir." Raffa mendekat ke arah mobil Tanvir. Tapi, dia dikejutkan dengan pintu mobil yang terbuka.
"Lo apa-apaan sih, Kak?! Gue gak bisa keluar, nih," kesal seorang gadis dari dalam mobil.
"Eh ada Beb Qeela. Jangan jutek-jutek gitu, Qee, nanti aku pergi kamu nangis." Raffa tersenyum geli melihat raut masam gadis itu.
"Bang Vir! Bilangin sama temen lo! Kalau cuma niat bikin baper gak usah dekat-dekat gue." Gadis itu akhirnya membuka paksa pintu mobil, lalu membantingnya sebelum meninggalkan Dzaka, Raffa dan Tanvir.
"Tuh udah denger sendiri, kan? Jadi gue gak perlu ngulang lagi." Tanvir segera melangkah meninggalkan parkiran disusul Dzaka dan Raffa.
Pemandangan pagi yang menyejukkan mata kaum hawa. Trio TDR yang tampan dan berprestasi. Tanvir si smart boy yang cool dan cuek—ketos Sky High School; Dzaka si smart and cool boy yang memiliki lesung di ujung lengkung senyumannya—cucu pemilik yayasan dan langganan juara olimpiade matematika; dan Raffa si smart boy yang ramah dan suka tebar pesona.
Bunyi notifikasi terdengar pelan, membuat Dzaka segera mengeluarkan ponselnya dari kantong hoodie.
Orang Itu
Pulang sekolah ke rumah saya.
Urusan kita kemarin belum selesai
07.10
Read
Dzaka menghela napas gusar. Baru aja hari ini dimulai, tapi dia udah dikasih beban pikiran baru. Meraba-raba rasa sakit kayak apa lagi yang bakal diterima nanti?
...----------------...
"Les sampai jam berapa, Ka? Gue mau main ke rumah lo." Raffa merangkul Dzaka hati-hati.
"Gue gak les. Ada urusan. Datang aja jam lima." Dzaka langsung menaiki motornya dan memasang helm. Dia melajukan motornya meninggalkan Raffa yang menatap kepergiannya dengan sendu.
Dzaka memelankan laju motornya, karena hampir sampai di tempat les. Hari ini dia izin nggak ikut les. Sebelum masalah makin besar, dia harus pergi ke rumah 'orang itu'.
Tapi, Dzaka melihat kerumunan nggak jauh dari tempat dia berdiri. Sayup-sayup omongan kasar dan penghinaan masuk ke pendengaran Dzaka. Suara gaduh terdengar makin jelas.
Seorang gadis meringkuk gemetar di hadapan gadis lain yang terus memaki bahkan menarik-narik seragam dan tas sekolahnya.
Dzaka mempercepat langkahnya dan berhasil sampai tepat sebelum gadis itu dipukuli. "Masih ada aja orang sok berkuasa di negara hukum ini," sarkas Dzaka menatap tajam pada gadis-gadis yang melakukan pem-bully-an.
Tatapan Dzaka semakin tajam liat sosok yang dikenalnya. Nggak cuma satu, tapi tiga sekaligus.
"B–Bang Dzaka. Syifa gak lakuin apa-apa, kok. Syifa cuma ikut-ikutan Syila ke sini," ujar gadis bernama Syifa—tetangga Dzaka
Gadis yang bernama Syila itu langsung membela diri, nggak terima tiba-tiba disalahkan gitu aja.
"Bukan Syila, kok. Lo kalau salah jangan suka melimpahkan kesalahan ke orang lain dong," sewot Syila.
Dzaka berbalik melihat gadis yang tengah menangis dalam diam. Dia nggak enak menginterupsi tangis seseorang. Tapi, Dzaka harus buru-buru. Jadi dia narik tali tas gadis itu pelan. Dia bisa liat perubahan drastis raut wajah gadis itu. Ternyata nggak cuma Dzaka yang suka pakai topeng.
Mata mereka nggak sengaja beradu, bikin Dzaka terperanjat kaget, begitu pula gadis itu. "Ka–kamu yang semalam, kan?" tanyanya memastikan. Dzaka membalas dengan anggukan singkat, bikin gadis itu tiba-tiba tersenyum.
"Terima kasih sudah menyelamatkan aku lagi," ujarnya tulus memunculkan desiran aneh di hati Dzaka.
Dzaka memalingkan wajahnya dan kembali berdiri. "Gue anter pulang!" tegas Dzaka sambil melangkah kembali ke tempat les untuk mengambil motor di parkiran.
Gadis itu mengikuti langkah Dzaka dengan pelan, karena kakinya masih gemetar akibat rasa takut yang menghampirinya beberapa waktu lalu.
"Pegangan di tas aja," saran Dzaka setelah ngeliat gadis itu kebingungan. Setelahnya Dzaka melajukan motornya meninggalkan tempat les dan mengikuti arus kendaraan di jalanan.
Nggak ada yang pembicaraan sama sekali. Sampai … Dzaka merasakan kepala gadis itu bersandar di bahunya. Meski nggak terdengar jelas, tapi Dzaka yakin mendengar isak tangis.
Dzaka menghentikan motornya di depan rumah dua lantai berwarna krim dengan pagar hitam. Matanya juga bergulir ke arah taman yang udah kehilangan warnanya. Ternyata waktu udah berlalu cukup jauh, ya.
"Loh, kok kamu tau rumahku?" tanya gadis itu memicing tajam.
"Rumah sahabat gue," gumam Dzaka pelan, tapi bisa didengar dengan jelas oleh gadis di depannya.
"Sahabat? Kamu sahabatnya Bang Tanvir?" tanya gadis itu dengan ekspresi kaget. Mata bulatnya membola.
Dzaka mengangguk pelan. Ternyata benar dugaan dia kemarin. Adiknya Tanvir udah balik. Tapi … kenapa Tanvir sampai menyembunyikan ini dari dia dan Raffa? Helaan napas kecewa terdengar jelas.
"Gue Dzaka. Sahabatnya Tanvir di Sky High School." Dzaka memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.
"A–aku Ziya, Ziyadah Afra. A–aku adiknya Bang Tanvir." Ziya balas memperkenalkan dirinya. Tapi, kegelisahan di matanya nggak bisa dia sembunyikan.
"Bang Dzaka .... Ziya boleh minta tolong gak?" Dzaka berdehem pelan sebagai jawaban.
"Jangan bilang-bilang Bang Tanvir, ya, kalau Bang Dzaka udah kenal Ziya. Bang Tanvir punya alasan kenapa dia menyembunyikan semua ini. Jadi, Ziya mohon, ya, Bang Dzaka." Gadis itu menatap Dzaka dengan mata bulat yang mulai berlinang.
Akhirnya Dzaka mengangguk singkat, tapi cukup buat bikin gadis itu menghela napas lega. Mungkin Dzaka emang harus nunggu. Sampai Tanvir sendiri yang menjelaskan semuanya.
Dzaka menyalakan mesin motornya kembali, karena dia udah terlalu lama di sini.
"Bang Dzaka!" panggil Ziya sebelum Dzaka benar-benar pergi.
Gadis itu menunduk dalam. "Soal yang tadi, makasih ya, Bang. Soal yang semalam juga makasih. Eh sikunya Bang Dzaka gimana?"
Dzaka memperhatikan wajah Ziya yang mendadak panik teringat akan luka di siku Dzaka semalam. "Udah gue obati kok. Kalau gitu, gue pergi dulu."
Motor Dzaka melaju meninggalkan Ziya yang masih berdiri memperhatikan kepergiannya. "Terima kasih, Bang Dzaka," lirih gadis itu sebelum memasuki pelataran rumahnya.
Dzaka tersenyum miris mengingat ucapan dari gadis yang merupakan adik dari sahabat baiknya. "Apapun alasannya, bukannya ini keterlaluan, ya?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!