NovelToon NovelToon

Kawin Kontrak Sama CEO Galak

Aku dan hidup yang bercanda

Namaku Nayla Adistya. Umur 25 tahun, kerja sebagai editor lepas, tinggal di sebuah kosan sempit di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Kosan ini kecil, cat dindingnya udah mulai pudar, tapi nyaman dan cukup buat aku sama adikku, Nindi, yang lagi sakit ginjal dan harus cuci darah seminggu dua kali.

Hidupku nggak mewah. Tapi aku bahagia—setidaknya dulu, waktu aku masih punya pacar bernama Andra.

Andra itu cowok baik, seenggaknya aku pikir begitu. Kita pacaran dari zaman kuliah, enam tahun lamanya. Aku pikir dia bakal jadi suami aku. Ternyata, aku cuma cadangan.

Hari itu, hari Kamis sore, langit Jakarta lagi mendung. Aku baru pulang dari rumah sakit habis nganter Nindi terapi. Badan pegal, isi dompet tinggal recehan, dan aku lagi mikir keras gimana caranya bayar kos bulan ini yang udah nunggak tiga hari.

Dan di situlah, kabar sial datang.

Telepon dari Andra masuk. Aku angkat dengan semangat karena kupikir dia bakal bilang, “Aku udah dapet kerjaan di Bali, Nay! Kita bisa mulai rencana nikah tahun depan!”

Tapi enggak. Yang dia bilang malah,

“Aku nikah, Nay.”

Deg. Dunia rasanya nge-zoom out. Jantungku turun ke perut.

“Serius?” suaraku pelan, nyaris nggak kedengeran.

“Iya. Aku harus nikahin dia… dia hamil.”

Aku nggak bilang apa-apa. Nggak bisa. Lidahku kelu. Mataku panas.

Setelah telpon itu, aku cuma duduk di lantai kosan, ngelamun. Di luar, hujan turun. Jakarta tambah gelap. Dunia rasanya kayak becanda kejam sama aku.

Aku nangis. Bukan karena kehilangan Andra. Tapi karena... aku capek. Capek berjuang sendiri, berharap sama orang yang akhirnya ninggalin aku gitu aja.

Besoknya, aku bangun dengan kepala berat dan mata sembab. Kupikir itu hari Jumat biasa. Tapi ternyata, itu hari yang ngebuka babak baru dalam hidupku.

Jam 9 pagi, aku dapet telpon dari nomor nggak dikenal.

“Halo, apa ini dengan saudari Nayla Adistya?”

“Iya. Ini siapa ya?”

“Kami dari PT. Mahardika Group. Anda diminta hadir ke kantor pusat jam 10. Ada urusan pribadi yang perlu dibicarakan langsung dengan CEO kami.”

Aku sempet mikir itu penipuan. Tapi karena penasaran (dan iseng juga sih), aku dateng ke alamat yang mereka kasih—sebuah gedung pencakar langit di Sudirman, Jakarta Pusat.

Di situlah aku ketemu Rayyan Mahardika. Cowok tinggi, tajam, dingin, dan galak. CEO PT. Mahardika Group, usia 30 tahun, pewaris tunggal dan musuh semua media gosip karena kelakuannya yang anti sosial.

Dan tanpa basa-basi, dia bilang,

“Aku butuh istri selama 6 bulan. Kontrak. Syaratnya, jangan jatuh cinta sama aku.”

Aku? Menikah? Sama orang asing?

Tapi... dua miliar rupiah buat 6 bulan?

Dan demi adikku yang butuh biaya rumah sakit, akhirnya aku bilang:

“Tanda tanganin kontraknya. Tapi tenang aja, Pak CEO. Jatuh cinta? Jauh banget dari kamus hidupku.”

* Deal Gila di Ruang Dingin*

Ruangan tempat aku duduk sekarang bisa bikin kulkas minder. AC-nya dingin banget, tapi yang lebih dingin adalah... tatapan Rayyan Mahardika. CEO yang dari tadi ngeliatin aku kayak aku ini berkas pengajuan kredit.

Aku duduk tegak, meski jantungku dag-dig-dug nggak karuan. Ini pertama kalinya aku duduk satu ruangan sama cowok setajir—dan sedingin—dia.

"Jadi," suaranya dalam dan tenang, "aku butuh istri kontrak. Hanya untuk 6 bulan. Tujuannya: supaya gue lolos dari rencana perjodohan yang dibuat bokap gue."

Aku ngangguk pelan. "Dan kenapa harus aku? Maksudku... lo punya ribuan pilihan di luar sana. Artis, model, selebgram..."

Dia ngelirik tajam. "Karena kamu... nggak menarik perhatian. Gampang dikontrol. Dan... kamu butuh uang, kan?"

Gue kecekik batin. Gila ni orang, mulutnya sadis bener.

“Tapi, kamu bebas. Kalau nggak tertarik, pintu keluar ada di belakangmu,” lanjutnya, santai banget sambil ngelirik jam tangannya yang keliatan kayak bisa buat bayar kontrakan satu tahun.

Aku diem sebentar. Mataku jatuh ke map cokelat di meja. Angka dua miliar tertera di sana. Uangnya cukup buat nyelametin hidup adikku, Nindi. Cukup buat bayar utang. Buat mulai hidup baru.

Tapi apa aku siap hidup serumah sama cowok asing selama 6 bulan?

“Kontraknya gimana?” tanyaku pelan.

Dia buka lembar demi lembar kertas kontrak, dan jelasin satu-satu:

Nggak boleh bawa orang luar tinggal serumah.

Harus ikut ke acara keluarga atau publik kalau dibutuhin.

Harus jaga image suami istri.

Cerai otomatis setelah 6 bulan.

Yang paling penting: jangan jatuh cinta.

Aku senyum miring. “Lo pede banget gue bakal naksir sama lo.”

Dia nyengir sinis. “Kebanyakan cewek begitu. Gue nggak mau hubungan palsu ini jadi drama sinetron.”

Aku tarik nafas panjang. “Baik. Gue setuju. Tapi gue punya syarat juga.”

Dia naikin alis. “Apa?”

“Kalau lo jatuh cinta duluan sama gue, lo bayar bonus satu miliar.”

Dia ketawa kecil. Dingin. “Deal.”

Tanganku gemetar waktu nyentuh pulpen dan ngebubuhkan tanda tangan. Dan begitu aku naruh pulpen itu lagi, satu kalimat melintas di kepalaku:

Gue baru aja ngejual setengah tahun hidup gue... ke cowok paling nyebelin di Jakarta.

Pindah ke dunia sultan

Hari Minggu pagi, aku berdiri di depan gerbang besi hitam gede banget, yang kalau dibuka suaranya kayak pintu istana kerajaan. Beneran deh, rumah Rayyan tuh bukan sekadar rumah… itu mah kastil.

Sopirnya, Pak Herman, ngelirik aku dari spion.

"Silakan, Mbak Nayla. Tuan Rayyan sudah menunggu di dalam."

Gue ngangguk pelan, tarik napas, dan masuk.

Dari luar aja udah megah, dalemnya apalagi. Lantainya marmer putih, plafonnya tinggi, dan ada chandelier segede perasaan yang pernah gue kubur buat mantan. Sumpah, ini rumah apa museum?

Rayyan turun dari tangga spiral, masih dengan setelan rapi—kaus polos abu-abu dan celana hitam, tapi entah kenapa tetep keliatan kayak iklan parfum mahal.

"Turun di depan rumah orang, liat-liat dulu. Nggak usah kagum begitu," katanya ketus.

Gue nyengir kecil. "Maaf, saya baru pertama kali masuk rumah yang kalo dilangkahin satu meter bisa nyasar."

Dia nggak ketawa. Tentu aja.

"Mulai hari ini, kamu tinggal di sini. Kamar kamu di lantai dua, sebelah kanan. Jangan masuk ke ruangan gue tanpa izin. Dan jangan sentuh barang-barang pribadi gue."

"Noted, Pak Bos," jawabku singkat.

Dia melirik tajam. "Di sini, kamu istri gue. Di luar, kamu tetap istri gue. Tapi hanya di atas kertas. Jangan berani bawa-bawa perasaan ke dalam kontrak ini."

Gue tarik napas. "Tenang aja. Gue lebih cinta kasur gue sendiri daripada lo."

Dia jalan pergi, masuk ke ruang kerja tanpa jawab.

Pas masuk kamar, aku langsung duduk di atas kasur empuk yang bisa bikin orang lupa masalah hidup. Kamar ini luas banget. Ada jendela gede, lemari segede lemari IKEA, dan... kamar mandi yang lebih besar dari kamar kosanku.

Gue ngaca. Mukaku masih sama. Tapi hidup gue udah berubah. Mulai hari ini, gue adalah istri kontrak Rayyan Mahardika, CEO sultan dengan wajah dingin dan mulut pedas.

Dan entah kenapa, gue punya firasat... ini bakal jadi 6 bulan paling kacau dalam hidup gue.

Baru juga dua hari tinggal di rumah Rayyan, gue udah hafal satu hal: cowok itu kerja kayak robot. Bangun jam 5 pagi, sarapan sendiri (nggak pernah ngajak), terus langsung masuk ke ruang kerja yang kayak zona larangan. Gue? Dilarang ganggu.

Hari ini, gue iseng turun ke ruang tamu buat nonton TV sambil ngemil keripik. Baru juga duduk, pintu depan kebuka… dan masuklah cewek cantik banget, tinggi semampai, baju modis, dan heels yang bikin bunyinya cetak-cetek kayak lagu EDM.

Gue bengong. Dia liat gue, gue liat dia.

Detik berikutnya, suaranya langsung naik dua oktaf.

“Siapa lo?!”

Gue berdiri kaku. “Ehm... Nayla. Saya... eh... istri Rayyan.”

Cewek itu langsung nyengir miring, sinis banget. “Lo lucu juga. Ngaku-ngaku jadi istrinya Rayyan. Gue tuh tunangannya.”

Waduh. Waduh. Waduh...

Belum sempat gue jawab, suara pintu atas kebuka. Rayyan muncul di atas tangga, mukanya udah kelihatan males duluan.

“Livia, lo ngapain ke sini?”

Oalah… berarti bener. Ini yang namanya Livia, tunangan asli Rayyan yang katanya dijodohin bokapnya.

Livia langsung nyamperin, berdiri deket banget sama Rayyan, sampe parfumnya nyebar ke mana-mana.

“Kita kan belum resmi putus, Ray. Lo nggak bisa seenaknya nikah sama perempuan... kayak gini!” Dia ngomong sambil ngelirik gue dari atas sampe bawah, kayak gue ini noda di karpet mewahnya.

Rayyan ngeraut wajah males. “Gue udah nikah. Sah. Dengan Nayla. Lo boleh periksa ke pengadilan kalo mau.”

Livia melotot. “Karena cewek ini? Karena dia?!”

“Karena gue udah muak dijodoh-jodohin,” jawab Rayyan datar.

Gue cuma bisa berdiri diem, berusaha tetep tenang walau dalam hati udah kayak sinetron: "Mertua Tak Diundang, Menantu Bikin Keributan".

Akhirnya Livia ninggalin rumah dengan bantingan pintu yang bisa bikin maling takut. Rayyan turun tangga, duduk di sofa, trus ngelirik gue.

“Maaf. Dia emang gitu. Anggep aja kayak gangguan nyamuk.”

Gue duduk pelan, masih bingung. “Dia masih sayang sama lo, Ray.”

Dia nyengir dingin. “Masalah dia.”

Aku ngehela napas. Dalam hati, mulai muncul pertanyaan:

Apa gue kuat hidup di tengah dunia Rayyan yang penuh drama dan dendam masa lalu?

Tapi satu hal yang bikin aku nggak boleh mundur: uang kontrak ini satu-satunya cara buat nyelametin Nindi.

Istri kontrak masuk dunia glamour

Hari Sabtu sore, gue lagi selonjoran di kamar, nonton drama Korea sambil makan mie instan (yang katanya bisa bikin awet jomblo), tiba-tiba HP gue bunyi.

Rayyan:

“Siapin diri lo. Jam tujuh malam kita harus dateng ke acara gala dinner. Penampilan lo harus... layak.”

Gue nelen mie mentah-mentah. “L-layak?”

“Gue kirim tim stylist. Jangan pake baju kaus kayak biasa.”

Klik. Diteleponin orang galak emang nggak pernah manis. Tapi ya... itulah kontraknya.

Setengah jam kemudian, tiga orang cewek kece masuk ke kamar gue, bawa koper gede, alat make up segambreng, dan satu set gaun malam yang... wow.

“Ini desainer langsung dari Milan, Mbak Nayla. Kita dandanin ya, harus cetar.”

Gue cuma bisa pasrah dijadiin boneka hidup. Rambut gue dicatok, muka dipoles sampe glowing kayak bintang iklan skincare Korea, trus gaun malam warna merah marun itu... sumpah, pas banget di badan. Ngepasin tapi sopan. Cantik, elegan, dan... gue nyaris nggak ngenalin diri sendiri pas ngaca.

Jam tujuh malam, mobil sedan hitam udah nunggu di depan rumah. Rayyan keluar dari ruangannya, pakai tuxedo hitam, rambut klimis, dan... wow. Cowok ini emang menyebalkan, tapi visualnya tuh nyebelin banget juga.

Dia liat gue sekilas. “Not bad.”

Gue nyengir. “Wow, lo puji gue? Mungkin hujan meteor besok.”

Dia nggak jawab. Cuma narik tangan gue dan masuk ke mobil. Kita melaju ke hotel bintang lima, tempat acara gala dinner digelar. Pas turun dari mobil, wartawan langsung nyorot kamera. Blitz. Suara klik-klik-klik.

Rayyan narik pinggang gue, deket banget sampe gue bisa denger degup jantungnya.

“Inget, lo istri gue. Jalan kayak beneran,” bisiknya pelan di kuping gue.

Dan dengan penuh drama, kita masuk ballroom sambil berlagak jadi pasangan mesra.

Semua mata langsung tertuju ke kita. Bisik-bisik mulai kedengeran.

“Eh, itu istrinya Rayyan, ya?”

“Baru nikah ya? Cantik juga.”

“Gak pernah muncul di berita, lho. Low profile banget.”

Gue nyengir dalam hati. Mereka gak tau aja ini cuma kawin kontrak.

Di tengah kerumunan, gue sadar... hidup gue berubah total. Dari editor freelance jadi istri pura-pura CEO tajir. Dan sekarang, gue lagi berdiri di dunia yang bukan milik gue—dunia penuh kemewahan, kamera, dan kebohongan.

Tapi gue harus tahan. Demi Nindi. Demi semuanya.

Dan tanpa gue sadari, tangan Rayyan masih nempel di pinggang gue. Hangat. Tegas.

Dan jantung gue... mulai berdetak aneh.

Malam itu, gala dinner berjalan kayak di film. Musik jazz, makanan yang namanya susah dieja, orang-orang berdasi rapi dan dandan mewah. Gue cuma bisa senyum-senyum palsu sambil nahan kaki yang mulai pegal gara-gara heels 12 cm.

Tapi yang bikin gue merinding bukan karena heels… tapi karena tatapan satu orang dari ujung ruangan.

Seorang pria paruh baya, dengan setelan abu-abu yang rapi dan aura bos gede. Dia jalan pelan ke arah kita. Dan Rayyan langsung berdiri tegak, mukanya kaku.

“Pak Mahardika,” sapa salah satu tamu.

Oh no. Ini pasti...

“Rayyan,” ucap si pria, tegas.

Rayyan narik tanganku, nyengir tipis. “Pak, kenalin. Ini Nayla. Istri saya.”

Pak Mahardika liat aku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tatapannya... tajam. Kritis. Nggak percaya.

Gue senyum sopan. “Selamat malam, Pak.”

“Baru kali ini saya denger kamu nikah, Rayyan. Tanpa undangan. Tanpa kabar. Bahkan ibumu nggak tahu.”

Rayyan jawab datar, “Saya udah dewasa, Pak. Nggak semua keputusan harus saya laporin.”

Pak Mahardika ngelirik gue lagi. “Kamu kerja apa, Nayla?”

“Editor lepas, Pak,” jawabku jujur.

Dia angguk pelan, tapi dari nada suaranya... gue bisa nebak: Dia nggak percaya sama pernikahan ini.

Dan dugaan gue bener. Pas kita balik duduk, Rayyan bisik pelan.

“Bokap gue curiga. Dia mungkin bakal nyelidikin lo.”

Gue langsung tegang. “Mampus…”

“Tenang. Kita harus main rapi. Jangan kasih celah,” ucapnya sambil ngambil gelas wine dan minum santai.

Gue tarik napas. Oke, Nayla. Ini bukan cuma kawin kontrak lagi. Ini udah jadi misi hidup dan mati (bukan lebay, tapi lo coba deh dilihatin calon mertua CEO kayak lo maling lemari emas).

Jam 11 malam, kita pulang. Di mobil, suasana hening. Tapi kepala gue penuh pikiran.

“Rayyan,” kataku pelan.

“Hm?”

“Kalo bokap lo sampe tahu pernikahan ini palsu… gimana?”

Dia liat ke arahku, matanya dingin tapi... ada sedikit kekhawatiran di situ.

“Maka dari itu, lo harus bener-bener jadi istri gue. Di depan siapa pun. Bahkan di depan hati lo sendiri.”

Gue nyengir pahit. “Susah, Ray. Lo dingin, nyebelin, galak, dan... menyebalkan banget.”

Dia balas nyengir. “Bagus. Jadi lo gak bakal jatuh cinta.”

Masalahnya... kenapa barusan gue ngerasa sedikit kecewa pas dia ngomong gitu?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!