Dedaunan masih basah oleh embun, rasa dingin masih menembus kulit hingga membuat tulang terasa ngilu, langit masih tampak gelap, meski jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.30 pagi. Suasana hening tak membuat gadis 18 tahun ini terlena dalam tidurnya. Kedua matanya perlahan terbuka, hembusan nafas panjang membuatnya seakan merasa telah berhasil menyingkirkan rasa kantuk. Sesaat setelah itu, terdengar suara adzan subuh dari toa musholla di dekat rumahnya.
Amra —begitu gadis itu dipanggil— beranjak bangun ke posisi duduk. Setelah mengucek kedua matanya beberapa saat ia berdiri dan beranjak untuk mengambil wudhu. Waktu sholat sudah tiba, dan tak ada alasan untuknya menunda. Bersamaan dengan itu, sang ibu membuka pintu kamarnya pula. Kamar itu berseberangan dengan kamarnya
"Aduh.... Ibuk telat bangun nih..." Ujar sang ibu sembari mengucek matanya sejenak, Amra tersenyum
"Ibuk duluan aja...!" Ujarnya dengan suara lembut yang memang dari dalam hati. Setelah mengangguk, sang ibu beranjak ke kamar mandi.
Sembari menunggu sang ibu selesai mengambil wudhu, Amra kembali masuk dalam kamarnya. Menyalakan lampu dan duduk di meja belajar. Sebuah surat bukti kelulusan tergeletak disana. Amra duduk di kursinya dan mengambil surat itu. Rasa syukur tak terkira ia panjatkan, itu adalah bukti bahwa ia telah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Namun terselip rasa sedih di dalam dada.
Ia menghela nafas berat, mengambil sebuah buku dan bolpoin. Kemudian mulai membubuhkan apapun yang ada dalam otaknya diatas kertas putih itu. Separuh ia menyelesaikan tulisannya, sang ibu memanggil dari luar kamar. Amra meletakkan bolpoin yang ia pegang dan beranjak keluar.
Air wudhu selalu berhasil membuat rasa kantuknya menghilang. Setelah merasa benar-benar segar, Amra menggelar sajadah di samping tempat tidurnya, kemudian mulai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Memanjatkan doa terbaik untuk masa depannya. Selesai sholat, Amra kembali beranjak, bersiap untuk mengikuti acara penting di sekolah pagi nanti. Namun sebelum itu, ia masih menyelesaikan separuh tulisannya yang sempat tertunda.
Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Bersama sang ibu, Amra mengeluari rumahnya. Hari ini adalah hari terakhirnya di sekolah. Wisuda kelulusan selalu menjadi yang paling spesial untuk siapapun yang sedang berjuang menuntut ilmu di sekolah. Hari inipun, Amra akan melakukannya. Dengan senyuman mereka berangkat bersama
"Loh mau kemana bu Marni, hari ini gak buka toko?" Tanya salah seorang tetangga mereka, bu Marni —ibu Amra— tersenyum ramah sebelum menjawab pertanyaan tersebut
"Mungkin nanti, sepulang dari sekolahnya si nduk...."
"Oh iya bu Marni..." Bu Marni menganggukkan kepalanya, tak lupa melontarkan senyuman. Kemudian melajukan motor buntut peninggalan ayah Amra. Sementara Amra yang tak bisa mengendarai sepeda motor, duduk di belakang sang ibu sebagai penumpang.
Acara wisuda akan dimulai pukul 09.00 pagi. Lalu mengapa mereka berangkat sepagi ini? Itu karena mereka masih akan mampir ke salon kampung untuk menyewa satu stel kebaya dan sekaligus meminta pemilik salon untuk merias wajah ayu Amra. Namun saat sang perias mulai bersiap, Amra mati-matian menolak, dan memberi pengertian pada sang ibu jika ia tak ingin berdandan
"Ini kan hari spesialmu, nak?"
"Gak apa-apa ibuk, Amra lebih senang jika tidak berdandan...."
Karena sudah membujuk dengan berbagai cara, akhirnya sang ibu menyerah. Ia biarkan putri semata wayangnya ini bahagia dengan pilihannya. Amra tersenyum dan menggandeng tangan sang ibu, meminta maaf karena kali ini tak menuruti kemauannya.
Perjalanan di lanjutkan kembali setelah Amra berganti pakaian. Sebenarnya ia juga ingin dirias seperti teman-temannya, meski tak menggunakan make up yang tebal, sebenarnya Amra juga ingin wajahnya dipoles make up di hari spesial ini. Namun, rasanya berat untuk membiarkan sang ibu mengeluarkan uang lebih hanya untuk hal yang tak begitu penting ini. Tho, meskipun tak memakai make up ia tak akan gagal wisuda. Apalagi, hanya untuk menyewa kebaya sederhana itu, sang ibu harus mengeluarkan uang sebesar 100 ribu rupiah, jumlah yang cukup sulit untuk mereka hasilkan. Sudah cukup ia menyusahkan sang ibu dengan biaya sekolahnya yang tak sedikit.
Mereka sampai di sekolah, tepat setengah jam lagi acara akan dimulai. Sesaat setelah turun dari sepeda motor, Amra bergabung dengan teman-temannya
"Ra, kok gak dandan sih?" Amra hanya menggeleng sembari tersenyum menanggapi pertanyaan sahabatnya —Yumni—
"Kenapa?"
"Gak apa-apa, Yum..."
"Sayang banget, padahal kamu pasti keliatan cantik lho..!" Amra tertawa kecil dan duduk di samping sang sahabat sembari menggandeng tangannya.
Menyandarkan kepalanya di pundak Yumni dan menarik nafas beberapa kali. Entahlah, Amra tak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat ini. Rasa seperti ini sungguh tak nyaman, ketika rasa bahagia bercampur dengan rasa sedih.
Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mengukir kenangan bersama mereka, teman-temannya yang super. Super kocak, super perhatian, dan super dari segala yang super. Dan hari ini mereka akan berpisah begitu ijazah mereka terima. Amra menegakkan duduknya kembali dan mengedarkan pandangannya, gerakan matanya terhenti pada satu titik, ia tampak begitu serius memandang sosok itu. Dari kedua matanya terpancar pandangan akhir dari sebuah pertemuan. Beberapa saat kemudian, ia kembali menundukkan kepala.
Sebuah kertas yang sudah ia lipat berada ditangannya. Ia genggam kertas itu dengan sedikit kuat.
Biarlah.....
Semuanya akan berakhir hari ini, rasa kagum, suka, bahkan cinta akan terkubur hari ini. Sosok itu adalah seorang lelaki yang mampu menyentuh relung hatinya yang suci. Sosok itu adalah seorang pria yang mampu membuatnya merasakan jatuh cinta. Tentu berat bagi Amra untuk berpisah dengannya, berpisah ketika perasaan dalam dada meronta untuk tetap bertahan. Namun tentu Amra tak bisa berbuat apapun atas pemberontakan dalam dadanya itu.
Lelaki itu hanya akan menjadi kenangannya saat ini, meski hatinya menangis perih membayangkan cintanya yang tak sampai. Tapi apa yang bisa ia lakukan sebagai seorang perempuan? Ia hanya bisa berharap, sosok itu akan menjadi jodohnya kelak. Amra sendiri tak tahu mengapa ia bisa memiliki perasan sedalam ini saat usianya masih 18 tahun? Benarkah ini perasaan cinta? Benarkah ini perasaan yang tulus dari dalam dirinya? Terkadang pertanyaan-pertanyaan itu merasuki relung hatinya. Rasanya tak mungkin jika dipikir secara logika, namun lain hal dengan perasaannya saat ini.
"Apa itu, Ra?"
"Bukan apa-apa..." Amra segera menarik tangannya ke belakang punggung.
Bukan apa-apa hanyalah kebohongannya pada Yumni, itu adalah sebuah surat yang ia tulis untuk cinta pertamanya. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga ia bermaksud untuk mengungkapkan rasa kepada dia yang telah membuat hatinya porak poranda. Yumni memberinya pandangan menyelidik, dipandang seperti itu membuat Amra merasa salah tingkah. Ia beranjak untuk membuang surat itu.
Pertanyaan Yumni tadi benar-benar menohok hatinya. Memang tak seharusnya ia merendahkan dirinya sebagai seorang perempuan untuk mengemis rasa cinta pada seorang lelaki. Tak seharusnya ia melakukan hal ini. Tak seharusnya Amra mempermalukan dirinya, selepas membuang surat itu, Amra duduk sejenak untuk menenangkan diri. Terhitung, sepuluh menit lagi acara akan dimulai, setelah menarik nafas panjang beberapa kali, Amra berdiri dan saat itulah ia melihat sosok yang ia kagumi berdiri tepat di samping kanannya. Dia akan membuang sampah bekas air minum, Amra segera menundukkan pandangannya
"Ngapain ka....."
Amra tak ingin mendengar pertanyaan apapun, karena itu hanya akan membuat gairah cintanya membara. Sebagai seorang muslimah, ia harus menjaga izzah dan iffah nya, bukan? Tak seharusnya ia menyimpan rasa melebihi rasa cintanya pada sang maha pemilik kehidupan. Biarlah, ia akan sampaikan rasa cinta ini kepada sang Maha Cinta, sang Maha Penguasa, Allah azza wa jalla.
Lelaki itu hanya bisa memandang kepergian Amra dengan diam. Amra bahkan tak menunggu pertanyaannya selesai untuk menghindarinya. Pasti ada sesuatu yang salah, namun ia merasa jika kesalahan itu tak bisa mereka bicarakan.
***
Ketika matahari perlahan bergerak ke arah barat, anak-anak berlarian mengeluari rumah-rumah mereka. Mereka tampak sumringah, anak-anak laki-laki tampak ganteng dengan setelah koko mereka lengkap dengan peci, anak-anak perempuan juga telah siap dengan setelan busana muslimah mereka. Mereka semua tampak suci dengan pakaian yang mereka kenakan. Dilihat dari posisi matahari, adzan maghrib akan berkumandang sekitar tiga puluh menit lagi.
Di dusun ini, Sido Mulyo namanya. Setiap anak-anak masih mempertahankan kecintaan mereka pada Al-qur'an. Menjelang adzan maghrib, mereka berbondong-bondong datang ke surau terdekat untuk belajar membaca Al-qur'an. Kitab suci kebanggan mereka sebagai seorang muslim. Usia mereka masih muda, sekitar usia SD sampai SMP pertengahan. Meski begitu tak ada protes mereka layangkan. Mereka tetap bersemangat untuk memerangi buta huruf Al-qur'an. Mungkin karena lingkungan mendukung, tinggal disebuah pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk teknologi perkotaan membuat mereka lebih mudah diatur.
Musholla "Al-Falah" adalah surau tempat mereka menimba ilmu agama, bukan hanya belajar membaca Al-qur'an saja. Di surau itu mereka juga belajar menghafal Al-qur'an, tata cara sholat, tata cara berwudhu' dan ilmu tentang fiqih yang lainnya. Selain itu, mereka juga memperdalam aqidah mereka dalam surau kecil itu.
Namun sungguh tak ada paksaan dari siapapun mereka melakukan hal itu, orang tua mereka hanya menyeru dan mencontohkan. Dari contoh baik itulah anak-anak di dusun Sido Mulyo bisa memiliki semangat luar biasa seperti itu untuk mendalami ilmu agama. Meskipun pasti tak semua warga di dusun Sido Mulyo hidup sebaik itu. Pasti ada antagonis disetiap kisah. Namun rata-rata, warga dusun Sido Mulyo begitu taat kepada agama mereka.
Tanah yang subur membuat sebagian besar warga hidup dengan bercocok tanam. Dari itu, sebagian besar warga menanam padi dan jagung, meski beberapa menanam sayuran dan bumbu pokok seperti bawang merah dan juga bawang putih. Meski tampak terasing dari dunia luar warga disini hidup bahagia dengan kesederhanaan.
Jalanan berlubang dan becek adalah kawan setia mereka. Yang menemani mereka pergi bekerja ke sawah dan ladang. Yang akan menemani mereka ke pasar untuk berdagang. Yang akan menemani mereka ke sekolah untuk menuntut ilmu. Namun rasanya jarang terdengar keluh kesah dari mulut mereka. Sebagian dari mereka menerima semua ini dengan lapang dada. Yah, meskipun sebenarnya tak sedikit pula yang mengeluh atas keadaan ini, mereka merasa pemerintah tidaklah adil, bertahun-tahun mereka hidup dengan kesulitan seperti ini. Akses untuk keluar juga cukup sulit. Mereka berharap akan ada pembangunan jalan untuk tempat kelahiran mereka ini.
Tapi setidaknya, udara sejuk nan bersih menjadi nilai plus dari rusaknya jalan. Udara bersih yang akan sulit di temui di perkotaan, ketenangan yang juga akan sangat sulit ditemukan diperkotaan. Ketika malam, suara jangkrik seakan bernyanyi menemani, tak ada suara bising mesin kendaraan bermotor, juga tentunya tak ada polusi. Ketika pagi, suara kicau burung menjadi pembuka hari dan membawa rasa semangat. Menemani para murid pergi ke sekolah, para petani pergi ke sawah, para pedagang pergi ke pasar, dan aktifitas-aktifitas harian yang lain.
Terhitung sudah tujuh tahun lamanya Amra lulus dari SMA. Tujuh tahun pula ia hanya luntang lantung tak memiliki kesibukan kecuali membantu sang ibu di kios. Dua buah plastik besar ia bawa, Amra baru saja pulang dari pasar, membeli beberapa barang jualan di kios sang ibu yang telah habis
"Assalamualaikum..." Ucapnya sembari memasuki rumah. Sang ibu yang tengah melayani pembeli menoleh dan tersenyum kepada Amra yang langsung memasuki kios dan meletakkan belanjaan disana
"Waalaikumussalam.."
"Amra siap-siap dulu ya buk...!"
Amra beranjak menuju kamarnya setelah sang ibu tersenyum dan mengangguk.
Sudah tujuh tahun Amra menjalani hari-hari santainya sebagai pengangguran. Sekolahnya telah tamat, sudah tak ada kegiatan apa-apa lagi yang bisa ia lakukan. Melanjutkan kuliah rasanya tak mungkin, kendala biaya menjadi batu sandungan terbesar baginya. Otaknya tak terlalu pintar tetapi juga tak termasuk kurang pintar. Namun akan sulit juga baginya untuk memperoleh beasiswa. Ibunya hidup sendirian menghidupinya sejak ia masih SMP, itu karena sang ayah telah berpulang. Rasanya berat jika Amra harus membebani sang ibu lebih lagi.
Alhasil, hanya inilah yang bisa dilakukan Amra sehari-hari. Sepulang dari belanja di pasar, ia akan membantu sang ibu menjaga kios di rumahnya. Kemudian di sore hari, ia gunakan waktunya untuk mengajari anak-anak di dusun Sido Mulyo, mengaji. Mengamalkan ilmu yang ia miliki. Tak ada gaji besar untuk ini, pembelajaran seperti ini, tak sama seperti yang ada di kota besar. Dimana akan ada gaji bulanan dan itu bisa dijadikan pekerjaan yang lumayan bisa mencukupi. Namun di dusun kecil yang terpencil ini, hanya melihat anak-anak pandai membaca Al-qur'an saja itu sudah menjadi bayaran yang sangat memuaskan.
Ibu Amra, anak-anak memanggilnya seperti itu. Mereka menghormatinya sebagai guru. Dari sini Amra masih bisa bersyukur, setidaknya meski ia tak kaya harta, ia masih bisa dibilang kaya ilmu. Tak mengapa meski ia tak mendapatkan uang untuk kebaikan hatinya ini, akan ia jadikan ini amal jariyah yang akan menolongnya di kubur nanti. Tapi setidaknya, orang tua dari anak-anak muridnya tak lepas tangan begitu saja, suasana dusun yang sebagian besar hanya dihuni oleh petani, membuat mereka lebih sering membawakan sebagian hasil panen mereka untuk Amra setiap musim panen tiba. Tentu saja sebagai ucapan terimakasih karena Amra telah mengajari anak-anak mereka.
Hidup seperti ini, tak lantas membuat Amra patah semangat. Sebagai seorang manusia biasa ia juga ingin taraf hidup keluarganya membaik. Hanya dengan menulis ia berharap bisa memperbaiki ekonomi keluarga. Ini adalah hobinya sejak ia masuk SMA. Mengirim beberapa hasil karyanya ke penerbit, berharap mereka mau mencetak karangannya itu. Dari dusun inilah ia dilahirkan, dari dusun yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moral, dari dusun inilah ia dibesarkan, dan dari dusun yang penuh kenangan akan ia, ibu dan ayahnya inilah ia mulai merajut asa. Bermimpi menjadi seorang penulis ternama.
****
Gemericik air hujan terdengar hingga ke dalam rumah. Rumah kecil dan kuno itupun tentu tak kedap suara. Sejak pagi tadi hujan terus mengguyur dusun Sido Mulyo, meski sempat reda, namun hanya sebentar saja. Hingga malam ini, hujan masih tenang menyirami tanah subur dusun Sido Mulyo. Bisa dipastikan jalanan akan berlumpur tebal esok hari. Tak hanya suara hujan di luar, suara tetes air yang mengenai ember pun terdengar di tengah kesunyian malam di pedasaan. Hal itu mampu membuat Amra tak bisa memejamkan kedua matanya.
Bukan karena suara itu, tapi lebih pada keadaan yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyaman. Ia adalah putri semata wayang keluarganya, tak ada yang lain yang mungkin bisa membahagiakan sang ibu di dunia ini. Meski tentu materi bukan segalanya, tapi tak bisa dipungkiri, jika materi juga dibutuhkan dalam dunia ini. Bagaimana bisa ia membiarkan keadaan seperti ini terus berlarut-larut? Pertanyaan itu yang terus terngiang dalam benaknya. Meski tak berkata, meski tetap berhias senyum, sang ibu tentu risau melihat kondisi rumah tua yang memiliki banyak titik bocor ketika hujan itu. Bukankah rumah ini sudah terhitung sebagai rumah yang tak layak huni?
Amra bangun ke posisi duduk dan beralih menuju jendela. Ia pandang hujan dari sana. Rasa dingin yang menggigit tulang tak membuatnya ingin cepat-cepat bergelung dalam selimut. Pikirannya tiba-tiba penuh sekarang. Tentang apa yang akan ia lakukan untuk membuat ibunya merasa tenang dihari tuanya. Apa yang bisa ia lakukan? Amra menghela dan memeluk tubuhnya sendiri, kemudian menunduk.
Melanjutkan hidup di "dunia" yang sempit ini, akan sulit membuatnya maju. Tak seharusnya ia berada di dalam zona nyaman ini terus, bukan? Jika ia ingin membawa perubahan, bukankah seharusnya Amra berani mengambil keputusan luar biasa? Tak hanya terkungkung dalam keterbelakangan? Amra kembali menatap hujan, yang seakan tetesan demi tetesan air langit itu akan membantunya membuat keputusan
"Haruskah aku pergi bekerja ke kota?" Gumamnya dalam sunyi.
Mungkin itu bukan ide yang buruk, tapi bagaimana dengan sang ibu jika dia pergi merantau? Tentu sang ibu akan sendirian! Dan lagipula, apakah ibunya itu akan mengizinkan anak gadisnya pergi jauh dari rumah? Tentu ini akan menjadi pertimbangan berat bagi ibunya. Amra kembali menghela
"Aku harus ngomong sama ibuk besok..." Putusnya, untuk membicarakan tentang idenya itu, ia harus pergi tidur sebelum terlambat pergi ke pasar besok.
*****
Berbeda dengan kemarin, langit pagi ini tampak begitu cerah. Burung-burung pun bernyanyi dengan begitu semangat. Hangatnya mentari seakan mengganti rasa dingin satu hari kemarin. Anak-anak berlarian, bermain dengan ceria karena hari ini Minggu. Jalanan berlumpur tak membuat warga dusun malas untuk beraktifitas, ini sudah biasa bagi mereka. Begitupun dengan Amra, disaat sang ibu sedang membuka kedai, ia berpamit pergi ke pasar untuk belanja sayuran.
Ia masih belum mengutarakan keinginannya pergi merantau. Sebenarnya, subuh tadi ia sempat berbincang dengan sang ibu, namun.... Lidahnya selalu tak sampai untuk mengatakan niat hatinya. Akhirnya ia tunda, mungkin nanti ketika ia dan sang ibu siap. Untuk hal ini Amra rasa pasti sulit mendapat restu dari ibunya, terlebih belum ada pekerjaan pasti untuknya.
Amra berjalan sedikit gontai sembari membawa tas anyaman yang biasa ia bawa ke pasar. Pikirannya terus menerka-nerka, apakah ia boleh pergi atau tidak?
Hingga akhirnya ia kembali ke rumah saat matahari sedikit meninggi. Perkiraan jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi.
"Assalamualaikum..."
Seperti biasa sang ibu akan menyambut kedatangan putrinya itu dengan senyuman. Namun kali ini, Amra bisa melihat wajah sang ibu jauh lebih sumringah dari biasanya. Amra meletakkan belanjaan di dalam rumah dan menghampiri sang ibu yang sedang membersihkan toge yang akan dimasak hari ini di teras rumah. Tanpa ada rasa curiga atas sikap sang ibu itu, Amra duduk di sebelahnya untuk membantu
"Buk..."
"Nduk...."
Bersamaan mereka saling memanggil. Amra mengurungkan niatnya untuk bicara dan membiarkan sang ibu menyampaikan terlebih dahulu. Ia tatap wajah ibunya sejenak sebagai sopan santun, tak pernah ia melihat wajah sang ibu secerah itu, mulailah ia merasa ada yang aneh dengan sang ibu
"Ada apa buk?"
"Tadi pak Joko kesini...."
Senyuman Amra menghilang, ia heran. Untuk apa pak Joko si kaya raya dari kampung sebelah itu ke rumahnya pagi-pagi? Mungkinkah sang ibu berhutang? Namun, tidak mungkin juga wajah sang ibu secerah itu jika berhubungan dengan hutang
"Ada apa buk?" Amra bertanya sembari mulai membantu ibu membersihkan toge diatas tempeh itu
"Dia bilang, tertarik padamu nduk...."
Bagai tersambar petir mendengar pernyataan itu, Amra menghentikan kegiatannya dan memandang sang ibu tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya. Namun bibirnya tak mampu untuk bertanya. Pak Joko sudah memiliki dua istri, apa ibunya rela jika ia menjadi istri ketiga? Setega itukah sang ibu?
"Anak keduanya yang ada di kota sedang mencari istri, dan pak Joko merasa tertarik padamu.... Ibu pikir, dari pada kamu luntang-lantung seperti ini, lebih baik kalau kamu menikah nduk....!" Imbuh sang ibu
Amra menghela, cukup lega, ternyata bukan pak Joko yang ingin menikahinya. Tapi rasanya berat untuk menikah? Meski usianya kini sudah menginjak seperempat abad, ia masih ingin menikmati masa mudanya dan menjelajah. Amra kembali memandang sang ibu lembut
"Amra masih belum siap buk...."
"Lho? Kamu kan sudah 25 tahun nduk? Ibuk dulu menikah saat ibuk umur 15 tahun...." Tutur sang ibu lembut
"Tapi Amra belum siap buk... Maaf, Amra masih ingin kerja..." Kepalanya menunduk, mengisyaratkan rasa bersalah karena menolak keinginan ibunya
"Lho? Pak Joko itu keluarga baik-baik lho nduk ! Apa gak sayang kalau ditolak? Ibuk ini kepingin kamu hidup enak...."
Itulah yang dipikirkan sang ibu, dengan menjadi menantu orang yang dermawan seperti pak Joko, mungkin hidup Amra akan membaik. Naluri seorang ibu yang tak menginginkan putrinya hidup susah. Amra menghela pelan dan lebih mendekat kepada sang ibu, kemudian meraih tangan kurus itu dengan lembut
"Bukannya Amra tidak mau patuh sama ibuk, Amra sungguh masih ingin sukses dan membahagiakan ibuk.... Jika Amra menikah, Amra akan berkeluarga sendiri dan akan jarang bersama ibuk... Maaf buk...."
Sang ibu menoleh padanya dan memandang putrinya itu sedikit kecewa. Namun apa yang bisa ia lakukan? Mengarungi biduk rumah tangga memang sulit, apa mau dikata jika yang bersangkutan masih tak siap?
"Dia pulang lho nduk! Kamu gak kepingin ketemu dulu? Setidaknya buat pertimbangan?" sang ibu masih mencoba peruntungannya membujuk Amra
"Sekali lagi maaf buk, jika hati Amra sudah tidak mantap, ada baiknya kami tidak usah bertemu, daripada nanti membuat luka! Lebih baik kami tidak usah kenal dulu buk..." Sang ibu menghela
"Baiklah... Ibuk tidak akan memaksa, tapi ada baiknya jika kamu pikir-pikir lagi..." Amra hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.
****
"....tapi ada baiknya jika kamu pikir-pikir lagi"
Entah sudah berapa kali Amra memikirkan hal ini. Menikah? Amra sama sekali tak pernah sampai berpikir untuk merajut kisah diatas pernikahan. Ia masih merasa terlalu muda untuk itu. Berita ini sungguh membuatnya merasa terbebani, pikiran untuk pergi merantau rasanya tak sebanding dengan semua ini.
Namun, melihat wajah kecewa sang ibu membuat hatinya terasa remuk. Selama ini ia selalu patuh pada ibunya, ini adalah pertama kalinya ia tak patuh. Ia sungguh masih ingin menikmati dunia luar, ia ingin memiliki banyak pengalaman. Tapi membicarakan keinginannya ini, rasanya kurang tepat untuk sekarang.
Sebenarnya, bukan hanya karena ia tak siap. Tapi karena cinta pertamanya lah yang membuat Amra merasa ragu untuk menikah sedini ini. Meski tak pernah mengungkap dan mencari tahu tentang dirinya, diam-diam Amra berharap dan berdoa agar rasa cintanya ini sampai pada sang cinta pertama. Amra masih sangat mengharapkannya.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!