NovelToon NovelToon

Keira Nama Baru Di Kehidupan Kedua

Bab 1 – Pernikahan Tanpa Sentuhan

Hujan turun tipis saat Gita membuka tirai kamarnya. Udara pagi di kota Jakarta itu terasa lembap dan sepi, seperti perasaan yang telah mengendap di hatinya selama satu tahun terakhir.

 Ia berdiri lama memandangi jendela, menanti keajaiban yang entah akan datang dari mana.

Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang pertama, tapi tak ada rasa bahagia di dalamnya.

Dion, suaminya, sudah berangkat sejak subuh. Dengan alasan yang sama seperti biasanya.

“Sayang, aku lembur. Deadline-nya gila banget.” ujar Dion yang sudah sangat di hafal oleh Gita

Karena ucapan itu sudah Gita dengar sejak awal menikah. Bahkan malam pertama mereka diwarnai dengan permintaan maaf Dion karena terlalu lelah setelah resepsi.

Gita waktu itu tersenyum, mencoba memaklumi, karena ia pikir cinta tak harus dimulai dengan nafsu. Tapi minggu demi minggu berlalu, bulan berganti, dan tak sekalipun Dion menyentuhnya sebagai seorang istri.

Banyak malam Gita menahan air mata sendirian. Kadang ia mengira mungkin dirinya yang tak cukup menarik, atau mungkin Dion hanya terlalu stres dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Ia mencoba jadi istri yang baik—memasak, membersihkan rumah, bahkan selalu menyambut Dion dengan senyum meski hatinya kering.

Teman-temannya pernah bertanya, “Kalian belum mau punya anak?”

Gita hanya tersenyum kecil. “Belum dikasih,” jawabnya.

Padahal, mereka bahkan belum pernah ‘berusaha’ untuk itu.

Hari ini, Gita memutuskan untuk mengambil cuti dari tempat kerjanya. Ia ingin memberi kejutan kecil untuk Dion. Ia memasak makanan kesukaan Dion: ayam panggang madu, nasi liwet, dan puding cokelat. Ia juga membeli kue ulang tahun pernikahan mereka sendiri—meski tak yakin Dion akan ingat hari ini.

Gita berdandan sederhana, mengenakan dress biru pastel, dan membungkus semua makanannya rapi dalam kotak-kotak kecil. Ia bahkan sempat merekam pesan video untuk Dion, berharap bisa memutar rekaman itu saat makan siang nanti.

“Selamat ulang tahun pernikahan, Mas. Gita sayang Mas Dion…” ucapnya di video, dengan senyum yang dipaksakan agar tampak bahagia.

 

Kantor tempat Dion bekerja berada di kawasan Sudirman. Sebuah gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang mencerminkan langit mendung di atasnya. Gita masuk ke dalam dengan membawa tas kue dan makanan. Ia sempat berpikir untuk menghubungi Dion lebih dulu, tapi buru-buru mengurungkan niat itu.

Namanya kejutan, ya harus diam-diam. pikirnya.

Ia menuju lantai 17, tempat ruang kerja Dion berada. Receptionist tidak mencegah masuk karena Gita sudah beberapa kali datang ke kantor suaminya. Dengan langkah ringan, Gita berjalan melewati lorong dan menuju ruangan Dion yang terletak di ujung.

Saat mendekati pintu, ia mendengar tawa. Tawa wanita

Langkahnya terhenti. Ia berpikir mungkin itu rekan kerja Dion. Tapi saat ia mengangkat tangan hendak mengetuk, pintu sedikit terbuka.

Dan apa yang dilihatnya saat itu… memecahkan seluruh isi hatinya.

Dion sedang berdiri memeluk seorang wanita—dan wanita itu bukan orang asing. Itu adalah ibu kandungnya sendiri.

"Hehehe.... Sayang geli.... Jangan nakal" ujar wanita itu

"Itu yang ku mau, agar kau merasa geli dan kita bisa mengulang lagi seperti tadi" ujar Dion

"Kau ini bagiamana jika istrimu yang bodoh itu tau, jika saat ini suaminya sedang memadu kasih dengan ibu kandungnya?" tanya wanita itu dengan senyum genitnya

"Tidak akan tau, aku sangat tergila gila pada ibu sejak awal kita bertemu" jawab Dion

Tubuh Gita membeku. Tangannya gemetar, kue di tangannya jatuh menghantam lantai dan hancur berantakan. Kedua orang di dalam ruangan itu langsung menoleh.

“GI—GITA?!” Dion panik. “Tunggu! Ini—ini nggak seperti yang kamu lihat!”

Ibu Gita melangkah maju dengan ekspresi kaget yang tak bisa ditutupinya. Tapi tak ada rasa malu atau menyesal di wajah wanita itu. Hanya rasa terganggu karena rahasianya ketahuan.

Gita menatap mereka berdua, matanya memerah, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar.

“Mas…” bisiknya pelan, “Ibu… kenapa…?”

Jantungnya berdentum keras. Dunia seakan runtuh menimpa dadanya. Selama ini, ia terus menyalahkan dirinya sendiri atas dinginnya Dion. Tapi ternyata, suaminya tidak menyentuhnya bukan karena terlalu lelah atau terlalu sibuk.

Bukan karena tidak punya waktu. Tapi karena dia menyukai wanita lain—dan wanita itu adalah ibunya sendiri.

Gita berbalik dan lari. Ia tak tahu ke mana. Ia bahkan tidak sadar saat Dion mengejarnya, memanggil-manggil namanya. Ia hanya berlari keluar gedung, melewati jalanan, tak peduli dengan mobil, hujan, atau siapa pun yang memandangnya.

Tangisnya pecah. Air matanya bercampur dengan rintik hujan. Jalanan di depannya kabur.

Dion sempat mengejar sampai keluar lobi, tapi ia tergelincir di tangga basah dan terjatuh. Saat kembali berdiri dan melihat ke jalan, Gita sudah tak ada.

 

Gita terus berlari.

Langkahnya limbung. Napasnya sesak. Hatinya seperti robek. Ia tak peduli saat klakson mobil meraung keras, tak sadar saat seberkas cahaya terang menyilaukan matanya.

BRAKKK!!!

Tubuh Gita terlempar ke aspal. Darah mengalir dari kepalanya. Matanya terbuka sesaat, lalu perlahan menutup.

Orang-orang mulai berkerumun.

Seorang wanita muda dengan jas putih keluar dari mobilnya. Wajahnya pucat.

“TUHAN! Aku menabraknya!” teriaknya panik.

Wanita itu langsung jongkok, memeriksa denyut nadi. Tangannya gemetar. Ia menghubungi rumah sakit tempatnya bekerja dan meminta ambulans segera.

“Bertahanlah… bertahanlah… aku mohon…”

Ia menggenggam tangan Gita erat.

 

Beberapa menit kemudian, di rumah sakit, Gita langsung dilarikan ke UGD. Dokter-dokter berlarian. Alat monitor jantung memperlihatkan detak jantungnya yang melemah. Hingga akhirnya…

BIP… BIP…

BIIIIIIIIIIP.

Satu garis lurus. Detak jantungnya berhenti.

Dokter wanita yang membawanya—namanya dr. Amanda—berdiri terpaku. Ia ingin menangis. Semua usaha pertolongan dilakukan: CPR, kejut jantung, bahkan injeksi darurat. Tapi Gita tak merespons.

“Tidak…” bisik Amanda, suaranya gemetar. “Jangan mati… tolong…”

Beberapa detik berlalu. Diam. Hening. Semua orang di ruang UGD mulai kehilangan harapan.

Tiba-tiba—

BIP… bip… bip… bip…

Detak jantung kembali. Perlahan. Tapi pasti.

Gita mengerjap pelan. Matanya terbuka.

Namun tatapan itu adalah tatapan yang berbeda. Mata itu tajam. Tenang. Seperti mata seorang pemimpin.

“Aku… di mana ini…?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Suara itu bukan suara Gita yang biasa. Masih suara yang sama, tapi nadanya berbeda—lebih berat, dalam, dan tegas.

dr. Amanda menangis lega. “Kamu hidup… syukurlah…”

Gita menatap sekeliling. Lalu menatap Amanda.

(Wanita ini… dia menabrak tubuh ini. Tapi bukan karena niat. Dia merasa bersalah. Dia… wanita baik.)

Gita mengedip. Ia tidak mengerti dari mana ia tahu isi hati Amanda. Tapi semuanya terasa jelas di kepalanya. Bahkan ia tahu bahwa salah satu dokter di ruangan itu sedang menyesali pilihan hidupnya.

bersambung

Bab 2 – Jiwa yang Terbangun

Dan saat ia memejamkan mata, bayangan demi bayangan bermunculan: masa lalu Gita, Dion, dan sang ibu. Tapi tak hanya itu—ada ingatan lain. Ingatan tentang tahta, kerajaan, perang, cinta, pengkhianatan.

(Aku… dimana?)

Tubuh Gita adalah Gita. Tapi jiwanya bukan. Ia adalah seseorang dari masa lalu yang jauh. Seorang ratu yang dikhianati. Yang memiliki kemampuan melihat masa lalu, masa depan, dan menembus isi pikiran manusia.

Ia adalah Xia Huan ratu dari kekaisaran selatan, meninggal karena penghianatan, ia masuk ke tubuh Gita karena portal terbuka akibat dari kesedihan yang sama.

Namun di dunia ini… ia harus menyembunyikan semuanya.

Tak seorang pun boleh tahu.

Ia kini hidup kembali. Tapi bukan sebagai Gita sang istri. Melainkan sebagai ratu yang kembali untuk menemukan tujuannya—dan menentukan takdir barunya.

Udara di ruang perawatan itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara mesin detak jantung dan napas lemah dari tubuh Gita yang kini terbaring dengan infus di tangan. Di luar, malam mulai turun. Lampu-lampu kota menyala gemerlap, kontras dengan keheningan batin yang berkecamuk dalam tubuh Gita.

dr. Amanda duduk di kursi pengunjung, tak beranjak sejak membawa Gita ke sini. Ia menolak pulang meski sudah disuruh rekan sejawatnya. Rasa bersalah masih membelenggu.

“Dia hidup… tapi kenapa rasanya seperti… ada yang janggal, semua hasil normal?” gumam Amanda lirih.

Seolah menjawab, tubuh Gita mulai bergerak perlahan. Kelopak matanya yang terbuka. Mata itu menatap langsung ke Amanda yang duduk di sana—dan lagi-lagi, tatapan itu bukan milik perempuan biasa.

Gita bangkit pelan, menopang tubuhnya dengan tangan. Satu tangan mencabut infus dari punggung tangan tanpa meringis sedikit pun.

“Eh! Hei! Kamu jangan gerak dulu—tubuhmu belum pulih!” seru Amanda panik, bangkit berdiri.

Gita hanya menoleh. “Tubuh ini lemah. Tapi jiwaku… Tidak selemah itu”

Amanda menatapnya Gita dengan was was

Gita tak bicara apapun lagi. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan pelan menuju jendela, mengamati langit malam yang bertabur lampu.

“Satu dunia… tapi tidak satu jiwa,” gumamnya sangat pelan. “Aku tahu tempat ini bukan kerajaanku. Tapi ada yang harus kulakukan.” lanjut Gita pada dirinya sendiri.

Amanda mendekat hati-hati. “Kamu—apa kamu… mengalami gegar otak? Atau… kamu kehilangan ingatan?”

Gita menoleh dan tersenyum samar. “Aku ingat segalanya, aku tidak gegar otak seperti yang kau katakan.”

Amanda pun mengangguk mengerti dan lega

"Dokter Amanda, apa aku bisa minta bantuan darimu?" ujar Gita

"Tentu saja, aku akan lakukan yang aku bisa" jawab Amanda cepat

"Terima kasih, dokter.... Tolong Carikan aku rumah atau semacamnya untuk aku tinggal, tapi tolong jangan beri tau siapa pun, aku ingin menjauh dari suami penghianat ku" ujar Gita

"Ya tentu aku akan menjaga rahasia ini dan apa aku boleh tanya, siapa kamu dan kenapa kamu menyebrang tidak hati hati?" tanya Amanda

Mendengar itu Gita terdiam lalu mulai berbicara.

"Aku Gita, hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan ku yang ke 1 tahun, aku kira, itu adalah hari yang sangat membahagiakan tapi ternyata itu hati kehancuran ku dimana aku di khianati ganda, karena sedih aku tidak bisa melihat keadaan dan kau tau apa yang terjadi" Jawab Gita yang menjawab dari gambaran yang ia dapat.

Amanda yang mendengar itu sangat terkejut dan juga tidak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi pada wanita di depannya ini.

"Baiklah aku berjanji akan membantu untuk menjauh dari pria gila itu, dia tidak pantas bersama mu Gita. Apa kau juga butuh pengacara untuk membantu jalan perceraian jika kau mau aku bisa bantu"ujar Amanda

Gita memejamkan matanya untuk mencerna ucapan Amanda, ia mencari tau, agar ia bisa menjawab dengan tepat.

" Iya aku membutuhkannya, maaf merepotkan dirimu" ujar Gita pelan

"Tidak aku tidak merasa di repotkan, sebaiknya sekarang kau istirahat dulu tubuhmu masih lemah, dan luka lukamu masih basah. Aku minta izin untuk mengurus sesuatu dulu" ujar Amanda

Dan di angguki Gita lalu ia kembali ke tempat tidurnya, sebenarnya sangat mudah bagi Gita atau Xia Huan untuk menyembuhkan luka itu tapi ia sengaja membiarkan karena tidak mau orang kaget.

...----------------...

Keesokan harinya pagi pagi saat Gita sedang memandang keluar jendela terdengar ketukan pintu dan itu adalah dokter Amanda.

Dokter Amanda datang membawa hasil scan MRI. Tapi belum sempat dokter Amanda bicara Gita justru langsung berkata,

"Tulang belakangku tidak patah. Tapi ada retakan mikro di bagian bawah tengkorak. Dokter sebaiknya pastikan pemulihan saraf tidak terganggu." ujar Gita

Amanda tertegun. Itu isi laporan yang baru saja ia baca.

Belum sempat hilang keterkejutan dokter Amanda, terdengar pintu yang di ketuk lagi

Tok....tok..... Tok....

"Gita?" Itu suara Dion. Dia datang.

Dr. Amanda yang membukakan pintu menatapnya penuh curiga. "Dia belum bisa diganggu dan siapa anda?" tanya Amanda

"Saya... hanya ingin lihat dia sebentar. Saya suaminya." jawab Dion tanpa rasa malu.

Kata "suami" membuat Gita tertawa kecil. Tapi tawanya bukan tawa bahagia. Tawa dingin.

"Biarkan dia masuk, Dokter Amanda," ujar Gita dari dalam.

Amanda menatap heran, tapi menuruti. Dion melangkah masuk, dengan ekspresi cemas dan bersalah.

"Gita... aku minta maaf. Aku... aku nggak tahu harus bilang apa. Aku khilaf. Aku..."

Gita menatapnya tajam. Dion terdiam. Ia merasa seolah sedang ditelanjangi hanya oleh sepasang mata itu.

"Kamu tidak khilaf," kata Gita pelan. "Kamu membuat pilihan sadar. Pilihan yang kamu ulang lebih dari sekali."

Dion membatu. Wajahnya pucat.

"Dan Mama? Sudah berapa lama kalian melakukannya?"

Dion tergagap. "A-aku..."

"Dua bulan sebelum pernikahan kita, bukan? Kamu sudah tidur dengannya bahkan sebelum aku jadi istrimu."

Wajah Dion membelalak. "K-kamu... bagaimana kamu tahu?"

Gita menunduk. "Aku bisa melihat..."

"Melihat apa?"

Gita menatap langsung ke mata Dion. "Semua kotoran dalam pikiranmu."

Dion melangkah mundur, takut. Wajah Gita terlalu... asing. Terlalu kuat.

"Gita... kamu berubah. Kamu bukan Gita yang aku kenal." ujar Dion gugup

Gita tersenyum tipis. "Mungkin kamu tidak pernah benar-benar mengenalku. Tapi mulai sekarang, aku akan mengenal dunia ini dengan cara baru. Aku tidak akan lagi menjadi perempuan yang diam dan menunggu."

Dion keluar buru buru, tubuhnya gemetar.

Dr. Amanda masuk setelahnya, menatap Gita dengan penuh tanya. "Kamu tidak apa apa?"

Gita mengangguk. "Aku baik baik saja.... Semua sudah selesai"

Beberapa hari berlalu.

Gita dipulangkan ke rumah. Tapi tidak ke rumah Dion—melainkan ke apartemen sederhana yang diam-diam Amanda sewa untuknya. Ia sepakat untuk membantu Gita sembuh secara legal sebagai dokter penanggung jawab

Bersambung

Bab 3

Dion sempat menghubungi rumah sakit dan mendatangi rumah sakit lagi tapi Gita sudah tidak ada. Ia hanya bertemu Dr. Amanda, tapi Amanda hanya menjawab, “Pasien atas nama Gita telah keluar dari rumah sakit dan tidak tau kemana. Kami tidak menemukan data kelanjutan karena keluarganya menarik laporan.”

Dion kaget. Ia sempat datang ke rumah sakit, tapi Amanda tetap dengan cerita yang sama: Gita telah pergi

“Dia sudah mati buatmu,” kata Amanda tegas saat Dion terus mendesak.

Dion pulang dengan hati berantakan. Tapi rasa bersalah tak membuatnya berubah.

Malam-malam berikutnya masih ia habiskan bersama wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya—ibu kandung Gita sendiri.

Sementara itu, Gita—atau sang Ratu—mulai membangun hidup baru. Ia belajar dunia modern dari Amanda: teknologi, bahasa gaul, pakaian, makanan cepat saji. Tapi dalam diam, ia tetap menyimpan kekuatannya.

Tak ada satu pun orang yang tahu bahwa dalam dirinya tersembunyi kekuatan luar biasa. Ia bisa melihat isi hati orang, membaca masa lalu, bahkan membengkokkan kenyataan dalam skala kecil—meski kekuatannya terbatas agar tak mengganggu dunia ini.

“Dunia ini lemah dalam kebenaran,” bisiknya pada Amanda suatu malam.

“Banyak orang tersenyum di luar tapi membusuk di dalam. Termasuk pria yang pernah menjadi suamiku.” ujar Gita

Amanda hanya bisa mengangguk.

Suatu malam, Gita bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Gita yang asli—duduk di padang rumput, tersenyum padanya.

“Terima kasih… sudah menggantikan aku.”

“Maaf… aku tidak bisa mempertahankan hidupku. Tapi tolong, jangan biarkan mereka menyakitimu juga.”

Gita tersentak bangun dengan air mata mengalir di pipi.

Ia tahu, sejak saat itu, kehidupannya bukan lagi tentang dendam. Tapi tentang kebangkitan. Tentang menjadi lebih dari sekadar wanita yang dikhianati—ia akan menjadi wanita yang menentukan takdirnya sendiri.

Hari itu, Gita pergi ke sebuah taman umum. Amanda menyarankan agar ia mulai mengenal dunia luar, membaur seperti orang biasa. Gita menurut. Ia memakai kaus polos, jeans, dan kacamata hitam untuk menyamarkan diri.

Ia duduk di bangku taman sambil membaca. Orang-orang berlalu-lalang. Anak-anak berlarian. Di antara keramaian itu, seorang pria duduk di bangku seberang, meliriknya beberapa kali.

Pria itu tampan. Kalem. Ia membawa buku juga. Tapi matanya tak henti melirik Gita.

Gita menoleh dan tatapan mereka bertemu. Pria itu segera tersenyum kikuk.

“Maaf… saya nggak bermaksud ganggu. Tapi kamu kelihatan familiar.”

Gita tersenyum tipis. “Mungkin karena saya manusia.”

Pria itu tertawa pelan. “Jawaban yang menarik. Aku Ares.”

“Gita,” jawabnya. Tapi hatinya berbisik, “dan aku juga bukan Gita…”

“Boleh duduk di sini?” tanya Ares sambil menunjuk bangku sebelah.

Gita mengangguk. Ares duduk, dan keduanya terdiam sejenak.

“Kamu suka buku filsafat?” tanya Ares sambil melihat buku yang Gita baca.

“Bukan suka. Tapi aku sedang belajar mengerti manusia,” jawab Gita.

Ares mengerutkan dahi, lalu tertawa. “Wow. Jawaban yang berat. Tapi jujur, aku juga suka menganalisis manusia.”

Obrolan mereka mengalir begitu saja. Ares berbicara dengan hati-hati, tapi tulus. Ia tidak menggoda, tidak menghakimi. Gita bisa merasakan isi hatinya—dan ia terkejut. Hati pria ini bersih. Luka, tapi tidak busuk. Seperti tanah subur yang belum tersentuh.

Untuk pertama kalinya sejak ia hidup kembali, Gita merasakan getaran yang berbeda. Bukan karena cinta instan, tapi karena rasa damai. Pria ini… mungkin tidak akan menyakitinya.

Tapi ia belum boleh terburu-buru.

Karena kehidupan barunya baru dimulai. Dan masa lalu Gita belum sepenuhnya ditutup.

Setelah lama duduk di taman Gita pun pamit pergi begitu juga Ares, mereka pun berpisah.

Gita tidak langsung pulang ia pergi menuju tempat dimana Dion berada saat ini.

Sesampainya di rumah yang dulu di tempati Gita asli, Gita yang sekarang memandang Dion dan ibunya yang sedang bercanda dan juga bermesraan tanpa rasa malu dan juga merasa bersalah.

Mereka justru terlihat bahagia, Gita yang melihat itu hanya bisa memandang sinis pada kedua pasangan gila itu.

"CK.... CK.... CK... Tidak ada otak mereka dan lihat wanita tua itu terlihat sekali tidak tau dirinya. Maaf saja jika kalian sial karena ku karena aku bukan Gita yang masih menghormati mu sebagai ibu tapi aku sang ratu penguasa memandang mu sebagai iblis tua" ujar Gita.

"Sepertinya kau bangga sekali bisa tidur dengan pria muda, bagaimana jika aku beri 100 pria muda untuk tidur bersama mu dalam semalam?" ujar Gita dengan kilat mata tajam nya.

Sedangkan Dion dan ibu Yunita tiba tiba tubuh mereka merasa kaku dan juga merinding.

Setelah itu Gita pun pergi dari sana tanpa menoleh lagi, bersamaan kepergian Gita rumah belakang rumah terjadi kebakaran akibat sambaran petir dan itu membuat ibu Yunita dan Dion sangat kaget dan panik.

Gita tidak perduli dengan yang terjadi di belakang iya justru pergi.

Sesampainya di apartemennya Gita melihat Amanda yang juga baru pulang dari rumah sakit.

Kebetulan apartemennya bersebelahan,

"Gita.... kamu dari mana? Apa tubuhmu baik baik saja, jangan terlalu lama di luar kamu masih masa pemulihan" ujar Manda cerewet

Gita yang mendengar ucapan Amanda hanya tersenyum kecil.

"Aku baru saja dari taman dan melihat dua hama, tenang aku baik baik saja. Tumben kau sudah pulang jam segini?" tanya Gita

"Iya aku baru selesai operasi, aku sangat lelah dan memutuskan pulang apa lagi sedang tidak ada janji temu pasien" jawab Amanda lemas

Gita yang melihat itu menyentuh lengan Amanda

"Jangan terlalu lelah, pergilah mandi dengan air hangat yang sudah di campur remah agar menyegarkan tubuhmu" ujar Gita sembari memberi tau apa saja yang harus di gunakan.

Amanda memandang Gita lekat, " Kamu kok kayak tabib pengobatan tradisional, hehehe tapi baiklah akan ku coba, baiklah aku masuk dulu ingin mandi dan istirahat sebentar, setelah itu kita pergi keluar cari makan apa kamu mau?" tanya Amanda

"Sore saja karena setelah mandi kamu pasti tidur lelap sampai sore" Jawa. Gita

"Hahaha sok tau kamu, mana ada aku tidur, yaudah aku Mauk dulu sampai jumpa nanti" ujar Amanda. Lalu masuk

Sedangkan Gita hanya memandang Amanda dengan diam

"Tidak percaya ya sudah, liat saja sore nanti kamu pasti heboh karena menurut kamu aku seperti cenayang" gumam Gita lalu masuk ke apartemennya.

Sore harinya.

Benar saja setelah terbangun dari tidurnya Amanda datang ke apartemen Gita dengan heboh....

Tok.... Tok.... Tok.... Suara ketukan pintu terdengar Gita yang sudah tau itu Amanda membukanya dan tersenyum.

"Gita kamu.... Kamu bener aku ketiduran sampai gak makan siang, kamu cenayang ya..... Eh..." ujar Amanda di sertai kagetnya karena Gita juga mengucapkan hal yang sama dengannya.

"Kok bisa....?" kaget Amanda

"Iya nebak saja... Dan benar itu yang kamu katakan" jawab Gita lalu berlalu masuk di ikuti Amanda yang kebingungan.

"Sudah jangan bingung, ayo makan aku dah lapar nunggu kamu bangun jadi aku masak," ujar Gita sembari memberikan piring dan sendok.

Amanda mengikuti saja dengan wajah yang Tidka bisa di artikan.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!