NovelToon NovelToon

100 Hari Mengejar Cinta Suami

Mempelai Pengganti

Hari ini seharusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi keluarga besar Johnson, karena anak kedua mereka, Neil, akan melangsungkan resepsi pernikahan di salah satu hotel milik keluarga.

Namun, kabar mengejutkan datang tepat sebelum acara dimulai—mempelai perempuan kabur saat hendak menuju gereja, membuat seluruh keluarga panik.

“Kenapa dia bisa kabur?!” pekik Neil marah.

“Cari sampai ketemu! Kalau tidak, kalian semua akan tahu akibatnya!” ancamnya kepada seluruh bodyguard yang segera membubarkan diri untuk mencari calon istrinya yang menghilang.

Melinda, sang ibu, mencoba menenangkan Neil meski dirinya sendiri terkejut dan kecewa. Axel hanya menatap anak lelakinya dengan ekspresi sulit ditebak.

“Menikahlah dengan gadis lain, Neil. Dia tidak akan kembali,” ujar Nathan, saudara kembar Neil, dengan suara tenang namun tegas.

“Apa maksudmu?” tanya Neil dengan sorot mata tajam.

“Dia pergi bersama selingkuhannya… dan dia hamil.”

Pernyataan itu membuat darah Neil berdesir. Ia tak percaya. Tanpa banyak bicara, dia pergi meninggalkan keluarganya, bertekad menemukan Livia.

Melinda menangis dalam pelukan Axel. Hatinya hancur. Anak-anaknya seolah dikutuk dalam kisah cinta yang tak pernah berjalan mulus.

Lamunan Neil buyar saat pendeta berkata, “Sekarang, silahkan cium pengantin wanita.”

Dan ya… pada akhirnya, Neil menikah. Namun bukan dengan Livia. Melainkan dengan salah satu pekerja di rumahnya yang dipaksa menjadi pengganti.

"Angkat wajahmu. Jangan biarkan siapapun tahu ini terjadi karena terpaksa," bisik Neil lirih.

Zahira hanya mengangguk samar, memastikan para tamu tidak mencurigai apa pun. Semua berjalan sesuai rencana. Para undangan bahkan tidak menyadari pengantin perempuannya berbeda. Alasan yang mereka berikan hanyalah kesalahan dalam pencetakan nama.

Saat prosesi selesai dan mereka keluar dari gereja, Melinda segera memeluk Zahira dengan erat.

“Terima kasih, Nak,” ucapnya hangat.

“Sama-sama, Nyo—”

“Tidak, panggil aku Ibu… atau Mama… atau Mommy. Terserah kamu. Tapi kamu sekarang menantuku, istri dari putraku. Jadi, panggil aku Mommy, ya?” ujar Melinda sambil mengusap pipi Zahira penuh kasih.

Zahira tersenyum canggung, namun ada kehangatan menyelimuti hatinya. Kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Baiklah… Mom,” sahutnya pelan.

Untuk pertama kalinya, Zahira merasakan pelukan hangat seorang ibu. Sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya. Ia teringat masa kecilnya di rumah sang nenek—sepi dan dingin. Ayahnya tak pernah hadir. Ibunya telah pergi untuk selamanya. Dan Zahira tumbuh… sendiri.

*****

Di malam pertamanya sebagai pengantin, suaminya—yang juga dulunya adalah majikannya—tidak ada di sisinya. Setelah resepsi selesai, Zahira diarahkan ke kamar hotel yang telah dihias cantik oleh pihak keluarga Neil.

Ia menatap sekeliling kamar yang dipenuhi kelopak mawar, aroma aromaterapi menenangkan udara, namun tidak mampu menenangkan hatinya yang masih gundah. Zahira duduk di sofa, enggan merusak kasur yang tertata indah.

“Sekarang aku harus apa?” gumamnya lirih.

Ingatan tentang kejadian sore tadi kembali berputar di kepalanya. Saat itu, keluarga Johnson panik karena pengantin perempuan kabur. Dan di saat yang bersamaan, Zahira yang baru saja keluar dari toilet langsung ditarik oleh Belvana dan Aiyla untuk dipaksa memakai gaun pengantin.

Jika menolak, dia diancam akan dipecat. Dan bukan hanya itu—namanya akan diblokir dari semua hotel dalam jaringan keluarga Johnson.

Menghela napas pelan, Zahira mencoba menerima semuanya. Ia tahu pernikahan ini bukan pilihan. Neil, pria yang sekarang menjadi suaminya, adalah sosok dingin yang hanya bisa bersikap hangat pada ibunya dan Livia—perempuan yang memilih pergi.

Lelah melanda. Masih dalam gaun pengantin, Zahira pun tertidur di sofa.

****

Di tempat lain, Neil melampiaskan amarah dan kecewanya di bar, bersama dua sepupunya, Theo dan David.

“Sudahlah, Neil. Jangan minum terus. Lo teler, kita juga yang repot,” keluh Theo, menatap tiga botol kosong di meja. Neil, memang kuat minum.

Namun Neil tak menggubris. Ia kembali menenggak satu gelas penuh.

“Bukannya malam pertama di kamar, malah di bar. Ngaco,” gerutu David. Ia merebut botol dari tangan Neil.

“Cukup, Neil. Lo harus balik ke kamar. Kasian istri lo,” ucap David, lebih tegas dari biasanya. Meski usianya tiga tahun lebih muda dari Neil dan Theo, dia dikenal disiplin.

“David!” pekik Neil, mencoba merebut botolnya kembali.

“Gue bilang berhenti ya berhenti, Neil! Minum enggak bakal bikin Livia balik. Yang ada malah hidup lo tambah kacau,” omel David.

Neil mendecak, memijat pelipisnya yang mulai pening. Theo dan David akhirnya membantunya bangun dan membawanya kembali ke kamar.

Saat tiba, kamar pengantin ternyata tidak dikunci.

“Teledor banget,” gumam David sambil membuka pintu.

Mereka terkejut melihat Zahira tertidur di sofa, masih mengenakan gaun pengantin.

“Akhirnya! Pegel juga gue,” keluh Theo setelah merebahkan Neil di ranjang. “Berat banget si Neil. Keberatan sama dosa.”

David tertawa mendengarnya, lalu mendekati Zahira. Sebuah ide iseng muncul di kepalanya, dan ia membisikkannya ke Theo. Keduanya pun tertawa geli.

“Gue setuju. Ide lo lumayan juga,” ujar Theo, masih tertawa.

Dengan hati-hati, David mengangkat Zahira dan membaringkannya di tempat tidur yang sama dengan Neil. Tak jelas apakah mereka melakukan sesuatu—yang pasti, setelah itu mereka keluar kamar dan menutup pintu rapat-rapat.

****

Keesokan paginya, Zahira menggeliat pelan. Ia membuka mata dan menatap sekeliling—menyadari bahwa dirinya kini resmi menjadi istri dari anak majikannya.

Namun, ada hal aneh.

Seingatnya, semalam ia tertidur di sofa dan masih memakai gaun pengantin. Tapi sekarang, ia berada di ranjang, dan tubuhnya hanya tertutup selimut tebal.

Zahira menjerit kecil. Ia menyibakkan selimut, dan mendapati dirinya hanya mengenakan bra dan celana dalam.

“Tidak... tidak mungkin! Tuan Neil?” lirihnya panik.

Matanya langsung menatap Neil yang tertidur pulas... dalam keadaan tanpa sehelai benang pun.

Zahira kembali menjerit pelan, kalut. Tapi Neil tidak bergeming.

“Tidak... pasti tidak terjadi apa-apa,” gumamnya panik.

Ia turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Ia memeriksa dirinya... dan bersyukur saat mengetahui bahwa tubuhnya tidak ternodai.

“Hhh... masih perawan. Syukurlah,” desahnya lega. “Siapapun yang melakukan ini… keterlaluan.”

Setelah mandi dan menenangkan diri, Zahira bersiap untuk sarapan bersama keluarga Johnson—sebuah tradisi pagi setelah pesta pernikahan.

Sayangnya, Neil masih terlelap, dan Zahira tahu, ia tidak bisa pergi tanpa suaminya.

Bersambung...

Maaf typo

Selamat datang di karya baru ku, jangan lupa dukungannya makasih 🙏

100 Hari

Sementara itu, Neil masih terbuai di alam mimpi, sementara Zahira sudah rapi dengan dress bunga berwarna biru. 

Dengan polesan make-up tipis dan rambut yang tergerai, dia terlihat lebih cantik. Dia dengan sabar menunggu Neil bangun, meski perutnya sudah mulai lapar.

Lima menit kemudian, Neil mulai bergerak, menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Dengan tubuh polos, Zahira buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain saat Neil duduk dan menatap ke arahnya sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing.

"Apa yang sedang kamu, lakukan disini?" tanya Neil.

"Jika anda lupa, saya sekarang adalah istri anda tuan Neil." Ketus Zahira, mulai sekarang dia tak akan lemah di hadapan Neil. Sebisa mungkin dia akan bersikap tegas dan kuat.

Neil pun kembali mengingat beberapa jam yang lalu, yang telah melakukan pemberkatan pernikahan dengan Zahira. 

Seharusnya, dia menikah dengan Livia. Tapi sang kekasih pergi entah kemana, mengingat itu Neil menghembuskan napasnya dengan kasar.

Neil langsung bangun, tanpa dia tahu bahwa dia tak memakai busana sama sekali. Membuat Zahira menutup matanya dengan rapat, karena sekilas dia melihat sesuatu yang tegak berdiri.

"Astaga, gak tau malu." Omel Zahira, masih bisa didengar oleh Neil.

Neil berhenti melangkah, dan melirik kepada istrinya tersebut. Melihat Zahira yang menutup mata rapat, Neil menatap tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun.

"Shit! Theo, David. Awas kalian," kesal Neil, dia langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Zahira yang mendengar pintu tertutup dengan keras, menghela napas dengan pelan. Entah harus bersyukur atau bagaimana dia sekarang.

Sepuluh menit kemudian, Neil sudah selesai melakukan ritual mandinya. Dia membuka koper yang sudah disiapkan oleh keluarganya. Lalu mengambil baju santai, dan kembali ke kamar mandi.

*****

Terdengar helaan napas dari Zahira, yang memandang pintu kamar mandi dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat asik memandang, terdengar suara bel pintu kamar.

"Sebentar, kenapa gak sabaran sih!" gerutu Zahira, entah mengapa dia merasa kesal setelah menikah paksa.

Pintu terbuka, dan Zahira menatap petugas hotel yang membawa sarapan ke kamar mereka. Di atas dorongan terdapat salad sayur, salad buah, sandwich, omelet, dan waffle yang lezat. Juga jus dan air mineral.

"Tapi, saya belum pesan, Pak!" ujar Zahira.

"Nyonya Melinda menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan ini untuk Anda dan Tuan Neil," jelas petugas hotel dengan sopan. 

Zahira tersenyum dan mengambil alih dorongan makanan. "Oh, terima kasih."

Zahira merasa beruntung memiliki mertua yang baik seperti Nyonya Melinda. 

"Nyonya Melinda memang baik, dia tahu saja kalau aku sedang lapar," pikirnya. Setidaknya dia beruntung memiliki ibu mertua yang peduli, tidak seperti beberapa menantu lain yang mungkin tidak memiliki hubungan baik dengan mertua mereka.

Saat membalikkan badan, Zahira terkejut dengan Neil sudah duduk manis di sofa. Dengan terpaksa, dia pun ikut duduk di sebelah sang suami. 

"Selamat makan," ucap mereka bersama, saling pandang sesaat lalu memutus pandangan tersebut.

Zahira menatap makanan yang ada di depannya, masih lapar karena lidahnya yang Indonesia memang memerlukan nasi untuk merasa kenyang. 

"Kenapa, kamu masih lapar?" tanya Neil, membuat Zahira sedikit kaget dan malu.

"Makan saja semua, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri sarapan seperti itu," kata Neil. 

Zahira mengakui bahwa selama bekerja di rumah Axel, hanya makan malam saja yang menyajikan nasi, dan itu pun nasi merah bukan putih.

"Ba-baik," jawab Zahira, lalu dia menghabiskan salad buah dan sandwich dengan lahap. Neil memperhatikan Zahira dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya tentang istrinya yang baru ini.

*

*

*

*

Setelah selesai sarapan, Neil memutuskan untuk melakukan check-in. Dia membawa Zahira menuju apartemen miliknya, dan dia juga tahu seluruh keluarga besarnya sudah pulang ke rumah. 

Berpuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di Sky Garden Hill, kawasan apartemen mewah yang hampir sebagian keluarga Johnson miliki.

"Selamat siang Tuan dan Nyonya Johnson," sapa penjaga keamanan. 

Neil mengangguk sebagai jawaban, sementara Zahira tersenyum pada penjaga tersebut. 

"Jangan tersenyum," tegur Neil, bukan karena dia terpesona, tapi karena Neil tidak suka melihat Zahira akrab dengan lelaki lain.

Zahira menipiskan bibirnya dan mengikuti langkah sang suaminya menuju lift. Mereka akan menaiki lantai lima, di mana unit milik Neil berada. 

Klik! Tanda kunci terbuka, dan Neil langsung masuk tanpa kata. Zahira mematung di depan pintu, mencium wangi maskulin yang menyeruak saat pintu terbuka.

Nuansa hitam dan abu mendominasi unit milik Neil, pikir Zahira saat masuk ke dalam apartemen. 

"Cepat masuk!" bentak Neil. Zahira segera masuk dan melihat bahwa tidak banyak pajangan di dalam apartemen.

"Kita akan tinggal disini selama kita menikah," papar Neil. 

"Jika Mommy dan Daddy meminta kita menginap, usahakan kamu harus menolak." 

Zahira ingin membantah, tapi Neil melanjutkan, "Tidak ada tapi, aku suami kamu. Kamu harus menurut padaku."

Neil terus saja berbicara, tanpa memberikan Zahira kesempatan untuk bicara.

Pintu terbuka, dan asisten Erik masuk membawa berkas. 

"Tuan, ini surat yang Anda minta," ujar Erik, memberikan surat perjanjian pada Neil. 

Zahira membaca isinya dan menemukan bahwa perjanjian pranikah tersebut berisi tentang hak dan kewajiban mereka selama 100 hari.

Zahira terkejut melihat jumlah nafkah yang diberikan Neil, yaitu dua puluh juta per bulan. 

“Dua puluh juta, banyak sekali.” Gumamnya dalam hati, gajinya saja hanya lima juta di kediaman Johnson. Itu pun, dia harus membayar hutang dan bunganya kepada rentenir bekas Neneknya di rawat.

Dia juga harus merahasiakan hubungan mereka jika ada yang bertanya nantinya. Tapi, rekan kerja Neil sudah tahu bahwa Zahira adalah istrinya.

Setelah membaca surat tersebut, Zahira menandatanganinya dan menyerahkannya kembali kepada Neil. 

Jika Livia kembali, Zahira akan diberikan kompensasi berupa satu buah rumah dan uang dari Neil. 

"Ingat, kita suami istri hanya di depan keluarga besar dan orang tua saja," kata Neil. 

"Panggil aku sayang atau apa pun terserah kamu," sambungnya lagi.

Zahira mengangguk patuh dan menjawab,"Baik." 

Neil pun meninggalkan Zahira sendiri di apartemen, meninggalkan Zahira dengan pikiran yang berputar-putar.

Zahira menatap keluar jendela, memikirkan tentang masa depan mereka. Bisakah dia menaklukkan hati Neil dalam 100 hari? Atau apakah dia akan menyerah sebelum waktu yang ditentukan habis? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Dengan hati yang penuh pertanyaan, Zahira memutuskan untuk menenangkan diri dan menikmati waktu sendirian di apartemen yang megah ini. 

Namun, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari sosok Neil dan perjanjian yang baru saja mereka tanda tangani.

Tapi urusan hati siapa yang tahu, karena Tuhan yang selalu membolak-balikan hati manusia.

Bersambung ...

Maaf typo

Bab.3

Karena tak ada kegiatan lain, Zahira hanya menonton televisi saja. Beruntung televisi milik Neil sudah termasuk televisi pintar jadi dia bisa menonton Drama kesukaannya. 

Dulu saat dia bekerja menjadi pelayan di rumah Neil, dia akan menonton hanya waktu senggang bersama teman pelayan yang lain, jika sekarang dia bebas melakukan apapun yang dia mau.

"Lapar," keluhnya, beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur.

Zahira memutuskan untuk memasak makan siang sendiri di dapur apartemen Neil. Dia membuka kulkas dan menemukan berbagai bahan makanan yang segar dan berkualitas.

Zahira cukup tahu, bahwa Neil, Nathan dan Axel mereka jago memasak. Jadi tak heran, jika isi kulkas milik Neil selalu penuh. Karena Neil sendiri menyukai makanan rumahan, dibandingkan makanan dari luar.

Dengan keahlian memasak yang dipelajari sebelumnya, Zahira mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat hidangan yang lezat.

Dia memasak nasi dan menyiapkan beef slice, sayuran, dan telur dengan cara yang rapi dan terstruktur. 

Bau masakan yang lezat mulai menyebar di dapur, membuat Zahira merasa lapar dan bersemangat untuk mencicipi hasil masakannya.

Sambil menunggu makanan matang, Zahira memikirkan tentang kehidupan barunya sebagai istri Neil. 

Dia merasa bahwa memiliki keleluasaan untuk melakukan apa yang dia mau, di apartemen yang mewah ini adalah sebuah kemewahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Setelah makanan selesai dimasak, Zahira menyajikannya di atas piring dengan sentuhan yang rapi. 

Dia merasa puas dengan hasilnya dan tidak sabar untuk menikmatinya. Dengan senyum yang lebar, Zahira duduk di meja makan dan mulai menyantap makan siangnya yang lezat.

******

Sementara itu, di cafe milik Neil. Dia masih memerintahkan semua mata-mata untuk mencari Livia.

"Bagaimana perkembangan pencarian, Livia?" tanya Neil pada Erik, asistennya.

"Masih belum ada perkembangan apa pun, Tuan. Mata-mata kita masih terus mencari," jawab Erik.

Neil menghembuskan napasnya dengan kasar dan memejamkan mata, mengingat kenangan bersama Livia. 

"Terus lakukan pencarian," titahnya.

"Baik, Tuan. Tapi apa Anda tidak ingin pergi ke perusahaan?" tanya Erik.

"Tidak, di sana ada Nathan. Biar dia yang urus semua. Aku ingin mandiri mendirikan usaha sendiri," jelas Neil.

Erik mengangguk dan pamit keluar dari ruangan Neil. 

"Baik, Tuan." Balas Erik.

Setelah Erik pergi, Neil masih duduk termenung, memikirkan tentang Livia dan keinginannya untuk menemukan kembali kekasihnya yang hilang.

Sementara itu, Erik berjalan keluar dari ruangan Neil dengan menghembuskan nafasnya dengan sepenuh dada.

“Si bos memang keras kepala. Tapi aku tidak bisa berhenti bekerja karena gaji yang lumayan besar. Sabar, Erik. Demi tabungan biar cepat menikah.” Gumamnya, dia tahu mencari pekerjaan sangat sulit di zaman sekarang.

****

"Mommy," panggil Belvana.

"Ana, kok kamu disini sih? Bukannya kamu harus, kuliah?" tanya Melinda.

Belvana hanya tersenyum tipis, dia duduk di dekat sang Ibu. Dan mengintip aktifitas yang dilakukan Melinda.

"Mom, aku dengar dari Erik. Kak Neil dan Zahira ada di apartemen loh!" beritahu Belvana, Erik memang selalu memberi pesan tentang Neil pada Belvana.

“Kakak, Ana. Kakak, Zahira adalah Kakak iparmu.” 

“Iya, iya. Maaf,” balas Ana.

"Oh ya, masa sih mereka sudah pulang? Bukannya mereka tiga hari di hotel?"

"Iya, kalo Mommy gak percaya. Ayo kita datang ke apartemen Kak Neil, gimana?" tanya Belvana.

"Ya sudah, ayo." Ajak Melinda.

Belvana dan Melinda bersiap-siap, untuk mengunjungi apartemen Neil tanpa pemberitahuan. Tak lama kedua wanita beda generasi tersebut, menggunakan mobil menuju apartemen milik Neil.

Dengan menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, Melinda dan Belvana sudah tiba di apartemen milik sang kakak.

"Mom, harusnya aku punya juga apartemen disini!" protes Ana.

"Daddy, gak akan izinkan kamu sayang. Mana tega dia buat kamu tinggal sendiri," jelas Melinda, membuat Ana mencebik.

Tak membutuhkan waktu lama, mereka sudah tiba di depan unit milik Neil. Dengan menekan bel, Ana dan Melinda dengan sabar menunggu pintu terbuka.

"Mo-mommy," ucap Zahira terkejut, pasalnya dia baru saja selesai makan. Dan sedang bersantai hampir tertidur.

"Zahira, apa kabar?" tanya Melinda langsung memeluk sang menantu yang masih saja canggung.

"Baik mom, mommy apa kabar? Mari masuk," ajaknya pada Melinda dan Belvana.

Saat pertama masuk, Belvana mencium aroma masakan yang menggugah selera. Dia tahu, itu masakan Zahira karena hampir setiap hari dia memakan masakan Zahira.

"Kamu habis masak, ka?" tanya Ana.

"Iya, Belvana."

"Panggil aku Ana ka, kepanjangan kalo Belvana." Kekeh Ana.

"Baiklah," ujar Zahira tersenyum lebar.

"Mommy dan Ana, mau makan? Biar aku siapkan," kata Zahira.

"Boleh, kamu masak apa?" tanya Melinda, walau makan siang masih lama tapi siapa yang bisa menolak masakan Zahira.

"Tumis beef, capcay sama telur dadar mom." Sahut Zahira, dia menyiapkan piring dan juga nasi untuk ibu mertua dan adik iparnya.

"Kenapa ka Neil, gak ajak ka Zahira tinggal di rumah?" tanya Ana, dia mulai menyantap makanannya.

"Kita ingin mandiri," jawab Zahira, berharap mereka percaya.

"Itu bagus. Tapi, jika ada masalah. Tolong cerita pada mommy oke!" ujar Melinda.

"Iya mom," balas Zahira.

Siang itu Melinda dan Belvana menghabiskan waktu di apartemen milik Neil, bahkan saat sore tiba. Melinda meminta sang suami dan putra sulungnya datang ke apartemen Neil untuk makan malam bersama. 

Zahira di bantu Melinda, memasak makan malam. Melinda juga, memerintahkan Ana untuk belajar memasak.

"Engga Mommy, aku nanti saja belajarnya." Tolak Ana mencari alasan.

"Kapan, kalo kamu nikah, begitu?" omel Melinda.

"Bisa-bisa, suamimu kelaparan makan diluar." Ketus Melinda, membuat Zahira terkekeh.

"Turuti apa kata Mommy mu, sayang." Sahut Axel, membuat Ana cemberut.

“Daddy gak sayang aku.” Kesal Ana.

Dengan terpaksa Ana pun membantu Melinda dan Zahira memasak, walau dengan wajah masam.

Sementara itu.

"Tuan, apa anda tak ingin pulang? Ini sudah waktunya pulang," kata Erik.

"Kalo kamu ingin pulang, pulang saja Erik!" sela Neil, tanpa menatap sang asisten.

Erik menelan ludah dengan gugup, Neil semenjak di tinggal Livia menjadi lebih dingin saja.

"Kenapa masih, berdiri?" tanya Neil, yang melihat Erik diam saja.

"Saya permisi," jawab Erik, dengan cepat dia keluar dari ruangan Neil.

****

Sementara itu di villa pribadi, Livia menatap tajam lelaki berkebangsaan India. Deburan ombak yang terdengar dari luar, menambah ketegangan antara mereka.

"Apa maumu, hah!" bentak Livia.

"Anak, aku mau anak yang ada dalam kandunganmu." Jawabnya dengan santai.

"Tidak, aku tidak akan pernah memberikannya pada mu." 

"Dan anak ini, bukan anakmu." Ucap Livia dengan tegas.

Miller tersenyum miring, dia tak akan percaya dengan ucapan Livia. Dia masih ingat wajah gadis, yang melakukan one night stand dengannya. Dan Miller yakin, bahwa anak yang dikandung Livia adalah anaknya.

"Baiklah, kita akan buktikan dengan tes DNA. Jika usia kandungan mu sudah memasuki usia empat bulan kita melakukan tes, dan tinggal satu bulan lagi." Papar Miller pada Livia.

Lalu tanpa kata, dia meninggalkan Livia dan menguncinya dari luar.

"Sialan, kurang ajar! Lepaskan aku bodoh," pekik Livia dengan kesal.

"Neil." Isak Livia.

Livia menerawang menatap langit-langit kamar dengan kosong. Masih di ingat dengan jelas, dia yang memakai gaun pengantin. 

Namun, saat akan keluar dari kamar hotel di culik dan berakhir di sebuah pantai. Yang jarang sekali orang, menurut pelayan pantai ini. Pantai pribadi, milik Miller khan.

Kini tekadnya sangat kuat, untuk keluar dari pantai tersebut. Dia ingin menemui Neil, dan menjadikan ayah untuk anaknya. 

"Aku hanya ingin Neil, yang menjadi ayah anakku. Bukan yang lain, jika bersama dengan Neil. Aku yakin masa depan anakku akan terjamin." Ucap Livia dengan tersenyum miring.

Sekarang dia akan menjadi gadis yang patuh, agar Miller membawanya jalan-jalan ke kota besar sesekali. Dan di saat ada kesempatan, dia akan kabur dari Miller dan meminta perlindungan dari Neil.

"Neil, tunggu aku. Aku akan kembali ke sisimu." Livia tersenyum dengan miring.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!