Dia selalu menatapku dengan mata yang meminta." Beri aku uang, aku akan membalasnya dengan cara yang manis."
Namanya Saras, dia memiliki postur tubuh yang anggun, dengan lekuk tubuh yang feminin dan gerakan yang lembut. Setiap langkahnya memancarkan kepercayaan diri dan keindahan alami.
Aku sangat menyukai semua yang ada pada Sarah, kecuali satu hal. Setiap kali aku memberikan uang, dia tersenyum manis dan memeluku erat. Tapi ketika aku tidak bisa memberikannya, dia menjadi dingin dan menjauh.
"Aku merasa kehilangan kehangatan dan kebaikan yang dulu ada dalam hubungan kita. Apa yang terjadi, Sarah? Apakah ada sesuatu yang membuatmu berubah?"
Duduk di ujung kasur yang terasa empuk, aku mulai memandang perlahan ke arah jendela kamar yang belum tertutup oleh gorden sepenuhnya. Malam semakin larut, tak ada tanda tanda sarah menghampiriku, membuat pikiran ini semakin berkelabu.
Mengacak-acak rambutku dengan kasar, seketika kurebahkan seluruh tubuh ini, melihat langit langit kamar. Dan isi ruangan terasa begitu sunyi sepi.
Kret.
Suara pintu terdengar di buka, berusaha kututup kedua mata ini. Berpura-pura tidur, dengan harapan Sarah mendekat menghampiriku.
"Ternyata sudah tidur."
Hanya kata-kata itu saja yang terdengar dari telingaku, Kini langkah kaki Sarah semakin terdengar menjauh, ternyata ia hanya melihatku sebentar, tanpa ada keinginan menemaniku tidur.
Krit, Sarah kembali menutup pintu. Dan kini suara pintu terdengar begitu pelan, seakan tak ingin melihatku bangun.
Setelah pintu tertutup dengan rapi, aku mulai bangun dengan helasan napas yang terasa sesak, menjalar ke dada. Mengusap berulang kali, rasa kecewa dengan sikap Sarah yang akhir-akhir ini berubah.
Pikiranku sekarang semakin tak menentu, aku berusaha bangkit dengan kaki yang terasa lemas. Mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada istriku.
Setelah kaki ini sampai di depan pintu, aku mulai membuka perlahan cop pintu, terdengar suara Sarah sedang tertawa kecil dibalik pintu kamarku.
Memberanikan diri membuka pintu, namun sialnya tanganku seketika kaku, entah perasaan macam apa ini. Sampai tubuhku ikut merespon sesuatu yang membuaku penasaran.
Pintu akhirnya terbuka , perlahan ku lihat Sarah tengah berbicang, dimana tangannya memegang ponsel yang sengaja ia tempelkan pada telinganya.
"Sayang."
Wanita itu seakan terkejut dengan panggilanku, ia membalikkan badan, menjauhkan ponsel dari telinganya.
Bibir tipisnya kini mulai melebar, Sarah memperlihatkan senyumannya.
"Loh, kamu bangun mas?"
Sarah kini menggerakan kedua kakinya, melangkah mendekat ke arahku, tangan lembutnya kini merangkul bahu.
"Kamu sedang mengobrol dengan siapa di telepon?"
Belum aku menjawab pertanyaannya, aku sudah bertanya balik.
"Oh, i-tu!"
Sarah terlihat ragu ragu menjawab pertanyaaku.
"Siapa?" Bertanya kembali, Sarah malah memutarkan posisi tubuhku ke depan pintu. Dengan tangannya yang masih merangkul pundak, Sarah menggerakan tubuhnya untuk membuat aku mengikuti langkah kakinya.
"Kita masuk dulu, biar aku jelaskan."
Mendengar ucapannya membuat aku menurut, kami masuk ke dalam kamar.
Sarah mengerakan lagi kedua tangannya, untuk membuat aku duduk.
Aku yang masih penasaran, mengambil ponsel Sarah dari saku bajunya. Sarah yang terlihat panik, mencoba merebut kembali ponselnya.
"Mas, ini ponselku."
Wanita itu kembali menaruh ponselnya pada saku baju, " Mas, yang tadi nelepon itu-"
Belum perkataanya terucap sepenuhnya, aku kembali mengambil ponsel Sarah, melihat layar ponsel menyala itu dengan kedua mataku.
Ada satu pesan yang belum Sarah buka. Dan pesan itu ternyata? Tagihan sebesar lima juta tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah! Tagihan apa ini.
"Mas, kamu baca apa?"
"Ini apa?"
Aku menunjuk ponsel miliknya, ia hanya tersenyum kecil. Matanya terlihat sayu.
"Tagihan mas, ya apalagi!"
"Tagihan sebanyak ini?"
"Ya. Apalagi, siapa suruh kamu buka ponselku?"
Bukannya aku sudah memberikan semua gajiku padanya, uang hasil bisnisku pun aku serahkan padanya, tapi kenapa dia masih punya tagihan.
Sarah terlihat marah, ia merebut ponselku. Berdiri, lalu pergi begitu saja.
"Kemana kamu Sarah?"
Ia tak merespon panggilanku sama sekali, pergi begitu saja. " Sarah." Berulang kali memanggil namanya, tetap saja dia tak membalikkan wajahnya atau menjauh sedikit panggilanku.
Setelah kepergian Sarah, tanpa sengaja aku melihat sebuah lembar kertas berada di atas lantai, mengambilnya.
Kedua mataku seketika membulat, kertas itu hasil dari transfer Sarah pada nomor bank yang tak aku kenal.
"Aldi. Siapa Aldi, apa hubungan istriku dengan orang ini? Apa tagihan sebayak itu karena ini?"
Aku masih bertanya tanya pada diriku sendiri, sedangkan aku belum mendapatkan bukti sepenuhnya.
Menyimpan kertas putih itu dalam saku celana, aku mencoba menghampiri kembali Sarah.
Keluar dari kamar, Sarah terlihat duduk di atas kursi, sembari menonton tv.
Aku mencoba mendekatkan diri tanpa menyalahkannya atau membahas kejadian tadi.
Duduk di samping Sarah, wanita itu begitu fokus menatap siaran kesukaannya.
"Ngapain kamu ke sini?"
Mengambil uang dari saku celana, lalu memberikan pada Sarah. " Ini, untuk kamu melunasi tagihan."
Kedua mata istriku berbinar-binar, ia terlihat bahagia. Setelah aku menunjukkan berberapa lembaran uang padanya. Dengan rasa bahagianya, ia mengambil uang itu tanpa bertanya.
"Ah, gini dong jadi suami itu harus ngerti. "
Aku hanya mengangguk tersenyum, saat ia tersenyum lebar dengan kebahagiannya ketika memegang uang dariku.
Memeluk erat tubuhku, Sarah kini berdiri. Ia manarik tubuhku. " Ayo mas, kita ke kamar. Kamu mau apapun akan aku berikan."
Sampai di dalam kamar, rasa nafsu itu hilang. Sarah membelai wajahku berulang kali dengan tangan lembutnya.
Menjauhkan diri dari dekapannya.
" kenapa sayang?"
"Sepertinya nggak dulu deh, aku pengen tidur. "
"Ow, ya udah. Mau aku pijitin."
Sepertinya aku tidak boleh menampakan wajah kesalku, sebisa mungkin membuat dia percaya.
Berusaha menunjukkan ekspresi bahagia di depan Sarah." Boleh."
Sampai larut malam, Sarah berhasil membuat aku terlelap tidur dengan pijitan lembutnya, ia memang pandai merayu ketika uang sudah ada di depan matanya.
Terbagun di pagi hari, aku tak melihat Sarah tidur di sampingku. Mengusap ngusap kedua mata, bangkit dari tempat tidur mencari keberadaan Sarah.
"Sayang." ucapku memanggil.
Aku lihat keadaan rumah begitu sepi, tak ada suara anak-anak. "Loh semua pada kemana?"
Mencoba menghampiri meja makan, aku lihat tak ada sedikit pun makanan untuk sarapan di pagi hari.
Hanya sebuah kertas berisi tulisan dari istriku.
(Mas, aku pergi dulu sama anak anak. Kalau kamu mau makan, masak mie aja sendiri ya. Soalnya kamu kan belum kasih aku jatah dapur, cuman kasih buat tagihan doang.)
Meremas kertas putih yang baru saja aku baca, melemparkannya pada tong sampah. Mendudukan tubuh, menahan rasa kesal setelah membaca tulisan kertas dari istriku.
"Sebenarnya mereka pergi ke mana?" ucapku dalam hati.
Kepergian istri dan anakku membuat perasaan ini tak karuan, pikiran negatip mulai terbayang pada otak kiri. Membuat kaki ingin sekali melangkah menghampiri mereka.
Aku bergegas menganti pakaian, untuk segera mencari keberadaan mereka. Hanya saja pikiran ini kembali termenung, seketika aku merasa bingung sendiri.
Bergumam dalam hati, (Bodoh kamu Rendi, mau cari kemana mereka.)
Memarahi diri sendiri, lupa jika aku tidak mempunyai petunjuk, untuk mencari tahu keberadaan mereka.
Aku berusaha berpikir keras, mengutak ngatik ponsel yang terasa tak karuan. Berusaha tetap tenang, hingga aku mengingat akan satu hal.
"Bukannya Sarah mempunyai sosial media. Ah, aku bisa cari tahu dari sana."
Pas sekali, setelah membuka sosial media yang tak pernah aku buka. Aku menemukan semua yang aku ingin tahu dari sini, terlihat poto Sarah bersama anak-anak sedang bermain di suatu tempat.
Suatu mall besar yang sudah tak pernah aku kunjungi bersama Sarah dan anak-anak, terakhir kali berbelaja di mall besar saat usia Lulu lima bulan. Karena kesibukan pekerjaan membuat aku lupa rasanya berpergian bersama mereka, hanya sekedar jalan jalan menghirup udara segar pun aku tak sempat.
"Apa mungkin mereka ada di mall ini. Tapi tunggu."
Terlihat suatu kejanggalan dari poto yang baru saja aku lihat, sengaja jari tangan ini memperbesar poto yang bergambar istri dan anakku.
"Ini siapa?"
Ada sebuah gambar kepala yang terlihat jelas pada poto istriku, poto yang sengaja di edit dan di buang sebagian.
"Sialnya wajahnya tak terlihat!"
Tak ingin mengeluarkan banyak waktu, aku bergegas pergi untuk segera menemui mereka.
"Semoga saja mereka ada di mall."
Aku bergegas menaiki mobil, menutup pintu mobil dengan keras. Perasaan saat ini benar benar tak karuan, terlebih lagi setelah melihat poto istriku di sosial media.
Menginjak pedal gas, sengaja mengendari mobil dengan kecepatan tinggi agar segera sampai.
Hingga gedung besar sudah terlihat, gedung yang bertuliskan mall mentari.
Memarkirkan mobil, bergegas keluar dari mobil untuk segera masuk ke dalam mall besar itu. Hatiku semakin tak karuan, pikiran negatif terus mengelilingi isi kepala.
"Dimana ya mereka."
Kedua mataku terus memindai kerumunan yang ada di mall, sebari mencari keberadaan Sarah dan anak-anakku. Berkeliling kesana kemari aku tak menemukan keberadaan mereka.
"Kemana mereka."
Aku mulai menatap kembali layar ponsel, melihat poto istri dan anakku, mencari tempat dimana mereka berpose.
"Ini, mereka sempat berpoto di sini."
"Rendi."
Tangan lembut tiba tiba menyentuh bahuku, dengan suaranya yang memanggil namaku. Menoleh ke arah belakang.
Wanita itu tersenyum lebar, kedua matanya berbinar.
"Lidia?"
Wanita berambut panjang berwajah tirus itu menganggukan kepala. Ia kembali memegang lengan tanganku." Ternyata kamu masih ingat namaku. Gimana kabarmu?"
"Baik!" Menjawab dengan singkat, saat ini aku tak ada waktu untuk mengobrol dengan wanita itu. Yang aku butuhkan sekarang mencari keberadaan Sarah.
"Oh ya, Ren. Sudah lama kita nggak ketemu."
Aku hanya tersenyum kecil, saat Lidya memulai kembali obrolan.
"Oh ya, Ren." Wanita itu mulai menoleh ke arah kiri dan kanan, terlihat ia seperti mencari sesuatu.
"Mana anak istrimu, tumben kamu sendirian aja di sini."
Aku ingin cepat-cepat menyudahi percakapan ini, hanya saja aku berusaha menghargainya, karena bagaimanapun dia sahabatku dari kecil.
"Eh, justru itu aku sedang mencari keberadaan istriku, oh ya kamu lihat tidak Lidya?" tanyaku padanya, dengan berharap jika Lidya tak banyak lagi bercakap.
Lidya tampak binggung. " Ehh, aku baru aja datang. Dan nggak tahu keberadaan istrimu!"
"Aku kira kamu lihat, ya sudah aku duluan ya. Aku mau cari istri dan anakku dulu." Melambaikan tangan sambil berjalan pergi.
Tiba-tiba ia menghentikan langkah kakiku." Tunggu, Ren."
Aku berusaha tak mendengarkan teriakannya, berjalan kembali, namun sialnya Lidya malah berlari menghampirku hingga langkah kami berdua sejajar.
"Aku ikut cari istri dan anakmu, udah lama kan aku nggak ketemu kamu, semenjak kamu menikah kita jarang sekali bertemu. "
Menghela napas, lagi-lagi aku merasa tak enak hati menolak keinginannya. Sampai akhirnya aku mengiyakan ucapannya.
"Ya sudah kalau mau ikut cari, sekalian aku perkenalkan istriku dan anak-anakku. Kamu belum kenal mereka kan?"
Aku melirik Lidya yang berjalan di sampingku.
"Ah iya, maaf ya waktu kamu menikah aku nggak datang. Kamu tahukan aku begitu sibuk dengan pekerjaanku."
"Sudah lupakan, aku mengerti kok. Dan sekarang kesempatan aku memperkenalkan istri dan anakku."
"Eh iya."
Langkah kaki Lidya terhenti begitu saja, aku yang menyadari hal itu membalikkan badan ke arahnya. Berjalan mendekat.
"Kenapa, Lidya?"
Lidya terlihat gelisah, sesekali matanya tampak tak fokus menelihat pertanyaanku." Aku lupa Ren, ada urusan. Jadi kapan-kapan aja ya aku ketemu istri dan anakmu."
"Ya sudah kalau begitu."
"Aku pergi dulu ya.*
Lidya terburu-buru pergi, berjalan begitu cepat. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan aneh, membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Ah, lupakan lah. Sebaiknya aku fokus mencari keberadaan Sarah."
Sampai akhirnya aku menemukan keberadaan Sarah dan anak-anakku, mereka berada di lantai ke dua. Terlihat Sarah tertawa gembira sambil menikmati makanan di atas meja.
Begitupun dengan anak-anak yang terlihat senang. Aku bergegas menemui Sarah, menaiki eskalator yang tak jauh dihadapanku.
Hingga di pertengahan eskalator yang sedang berjalan, terlihat jelas, di hadapan Sarah ada seorang laki laki yang begitu menatapnya dalam. Laki-laki itu memiliki rambut yang beruban.
"Siapa dia? kenapa laki laki itu begitu senang ketika menatap istriku. Dan mana mungkin Sarah selingkuh dengan laki-laki tua itu, dimana harga diriku."
Rasanya tak sabar ingin menemui Sarah, menanyakan siapa laki-laki yang duduk berhadapan dengannya.
Mereka berdua terlihat begitu akrab, layaknya sepasang kekasih. Lelaki tua itu memiliki rambut putih dan kaca mata yang tebal, tangannya sesekali membelai kepala Sarah dengan lembut. Gelak tawa mereka terdengar bersamaan, begitupun dengan Lulu dan Revan anakku.
Dadaku terasa terhimpit, rahang ini terkatup rapat. Menahan ledakan emosi yang siap meledak, mengepalkan tangan kiri.
"Aku tidak percaya kamu tega melakukan ini."
Pikiran rasionalku bertabrakan dengan emosi yang membara, namun hati berusaha menahan. (Tenang, Rendy. Jangan terburu-buru. Tunggu waktu yang tepat untuk membalas.) Suara hati yang lembut membisikan keraguan.
Niat menghampiri mereka mulai goyah, bisikan hati yang lembut mengambil alih. Tapi aku seorang ayah, jika aku melakukan hal yang aku inginkan, anak-anak akan melihatku sebagai ayah yang gagal. Dengan berat hati, aku menahan diri, menelan kekecewaan
Menahan diri untuk tidak menghampiri mereka, lalu mengambil ponsel dan mengabdikan momen itu dengan mengambil gambar istriku dengan lelaki itu.
Semua sudah kulakukan, aku membalikkan badan pergi, dengan perasaan kecewa. Napasku terasa berat, hatiku sakit.
"Apa salahku hingga Sarah melakukan semua ini?"
Air mata mengalir membasahi pipi. Aku terburu buru masuk ke mobil, tapi seseorang menahanku dari belakang.
"Rendy." Suara Lidya memanggilku dengan lembut. Aku mengusap kasar wajah, menyembunyikan mata yang basah."
Lidya terlihat heran, ia mengerutkan dahinya, menatapku. Tangan lembutnya memegang pipi yang sudah mengering.
"Apa yang terjadi padamu?"
Memalingkan wajah, aku tak bisa mengatakan hal ini pada Lidya. Ini adalah tanggung jawabku untuk menyelesaikan masalah.
"Rendy."
Lamunanku seketika buyar, saat Lidya kembali memanggil namaku. Wanita itu tersenyum lebar, matanya berbinar. Ia memperlihatkan kekuatirannya di depanku.
"Aku tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi pada kamu?"
Dari dulu Lidya selalu mengerti apa yang aku rasakan, ia seakan paham isi hatiku saat ini sedang tidak baik baik saja.
"Tidak ada, aku baik baik saja. Sepertinya aku harus pergi, ada urusan di kantor."
"Tunggu."
Lagi lagi Lidya menahan tanganku.
"Jangan bohong, aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Rendy aku ini sahabatmu dari kecil, jika kamu butuh solusi atau ingin bercerita aku siap membantumu, mendengarkan ceritamu."
Perkataan Lidya, memberikan ruang untuk aku bisa bernapas dan bercerita padanya.
Hanya saja aku malu mengatakan semua yang terjadi, terlebih lagi aku harus menjaga jarak dengan Lidya, karena aku sudah mempunyai Sarah. Takut ada kesalahpahaman di antara kita berdua.
Lidya tiba-tiba mengambil ponsel dari saku bajuku.
"Hey, kembalikan ponselku."
Lidya malah tersenyum, ia membuka kata sandi ponselku dengan begitu gampangnya.
"Loh, kamu masih pakai nomor tanggal lahir kamu?"
"Lidya, cepat kembalikan ponselku."
Entah apa yang ia lakukan di ponselku.
Sampai beberapa menit kemudian, Lidya kembali memberikan ponsel padaku.
"Nih."
Ponsel kini sudah ada di tanganku.
Lidya kembali berbicara, " Aku sudah memasukkan nomor ponselku yang baru, kalau kamu butuh apa-apa, atau mau bercerita tinggal hubungi nomor itu, oke."
Lidya pergi begitu saja, sedangkan aku masih berdiri melihat kepergiannya yang sudah semakin jauh.
Masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin mobil, aku melihat Sarah masih di temani lelaki yang sama.
Aku mencoba menghubungi Sarah, dengan harapan jika ia akan mengangkat pangilan dariku.
Beberapa detik, Sarah akhirnya mengangkat panggilan dariku.
"Halo. Ada apa, mas?"
"Kamu dimana?"
"Bukannya sudah aku bilang, aku sedang berjalan-jalan bersama anak-anak di mall!"
"Ya sudah, kalau begitu aku mau ke sana."
Terlihat dari ujung sana, Sarah begitu gugup.
"Halo."
"Iya, mas. Kenapa?"
"Sekarang aku jemput kamu!"
"Tidak perlu, mas, ini juga aku mau pulang sama anak-anak. Kamu tidak usah repot jemput kami, pastinya kamu sibuk di kantor."
"Aku cuti hari ini."
"Apa?"
"Halo, kamu kenapa, kaget gitu? Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku?"
Dari kejauhan, Sarah mengusir lelaki tua itu. Ia terus mengibaskan tangannya, menyuruh lelaki tua itu pergi.
"Halo, Sarah."
"Iya, mas?"
"Aku rasa mendengar suara laki-laki, kamu tidak bersama seorang laki-lakikan?"
Aku mencoba memancing jawaban Sarah, berharap jika wanita itu mengakui.
"Haha, pikiran kamu ini aneh banget ya mas. Mana mungkin aku pergi sama laki-laki lain, kamu tahu sendiri, anak-anak ikut denganku."
Sarah menyangkal, ia berusaha menutupi semua dengan kebohongannya.
"Aku segera sampai, kamu tunggu di parkiran."
"Apa. Maksudmu?"
"Kenapa?"
"Ah, tidak. Maksudku , kamu akan menjemput kami secepat itu!"
"Aku sudah berada di parkiran."
Terlihat Sarah tampak panik, ia menatap sekeliling, mencari keberadaanku. Hingga wanita itu menghentikan salah satu taksi untuk membawa lelaki beruban masuk ke dalam mobil taksi itu.
Mobil taksi yang berhenti di depan Sarah, memiliki warna cerah merah dan logo perusahaan taksi yang besar di atasnya.
"Halo. Sarah."
Ia tak menjawab ucapanku dalam telepon, sibuk dengan dirinya sendiri yang mengurusi lelaki tua itu.
Aku pikir lelaki tua itu orang kaya, nyatanya dia pulang memakai taksi yang diberhentikan istriku.
Aku tidak tahu apa yang membuat lelaki tua itu begitu spesial ,sehingga Sarah rela berbuat apapun demi dia. Apa mungkin, Sarah kena pelet lelaki tua itu.
Tapi, mana mungkin, istriku yang biasanya baik dan tegas itu terkena pelet.
Aku mulai turun dari dalam mobil, menghampiri mereka.
"Papah."
Kedua anakku begitu senang melihat kedatanganku, mereka memeluk tubuhku erat. Tapi tidak dengan Sarah, ia berjalan lebih dulu menuju mobil.
Aku mengandeng kedua anakku.
"Papah. Biasanya tidak jemput kami, selalu saja sibuk kerja."
Aku tersenyum getir mendengar ucapan anak pertamaku Lulu, ada rasa sesal karena sudah lama tidak membawa mereka berpergian.
"Kebetulan, papah libur hari ini. Jadi gimana kalau kita jalan jalan?"
Aku melihat langkah Sarah semakin cepat, berjalan seperti seekor kijang yang lari dari predator. Ia menghindar dariku, dan tatapan matanya yang berbelok-belok membuatku semakin curiga. Apa mungkin Sarah takut jika aku akan banyak bertanya?
Sarah menatapku dengan tajam, matanya yang dingin membuat aku seperti sedang diperiksa. Aku sedikit tidak nyaman dan bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya?
Suara anak-anak yang riang gembira kontras dengan suasan tegang Sarah dan aku. Aku merasa seperti sedang duduk di atas laras bubuk yang siap meledak kapan saja.
Sampai salah satu dari mereka menyebut. " Mamah, kapan- kapan main lagi ke mall sama."
Sarah membulatkan kedua matanya ke arah Revan, lalu kembali menatap ke depan, dengan wajah yang tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Tapi aku bisa merasakan ketegangan di udara yang semakin meningkat.
"Kenapa Revan?"
Wajah Revan yang terlihat ketakutan membuatku merasa seperti ada yang tidak beres. Aku semakin curiga dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Sarah dan Revan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!