NovelToon NovelToon

Sisie, Kamu Hanya Bisa Jadi Milikku!

Felix, Aku Menyesal Menikahimu!

Cassie Night berdiri di tengah-tengah keramaian pesta, gaun biru tua yang mengkilap menari di bawah cahaya lampu. Suara tawa dan musik menggema di sekelilingnya, menciptakan suasana yang seharusnya penuh kebahagiaan.

Hanya saja, di balik senyuman yang dipaksakan, ada luka mendalam.

Hari ini seharusnya menjadi momen merayakan tujuh tahun pernikahan dengan suaminya, Felix.

Namun, kehadiran Aleena Clark, sahabatnya yang telah menikam bekas luka di jiwanya, membuat segalanya terasa hampa.

Aleena yang mengenakan gaun putihnya megah, menghampiri kumpulan tamu dengan anggun. Senyumnya menampakkan kesenangan, seolah-olah dia adalah bintang utama dalam perayaan yang seharusnya menjadi milik Cassie.

Kenangan akan pengkhianatan yang dilakukan Aleena kini berputar-putar seperti lagu yang tak pernah berakhir di benak Cassie, membuatnya kesulitan menahan amarahnya.

Kepastian bahwa sahabat yang dia percayai telah menjalin hubungan gelap dengan suaminya, seperti belati yang terpaku dalam hatinya.

Cassie memberanikan diri untuk mendekati Aleena, setiap langkahnya dipenuhi ketegangan. “Siapa yang memberikanmu kepercayaan diri untuk datang ke sini?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha mempertahankan ketenangan.

“Tentu saja Felix, suamimu yang memberikannya.” Aleena menjawab dengan senyuman sinis, seolah semua ini hanya sebuah permainan baginya. Ada kepuasan dalam matanya ketika dia mengucapkan kata ‘suamimu’ dengan penekanan yang mengejek.

Setiap kata dari Aleena seperti serpihan kaca yang tajam, menghujam perasaan Cassie lebih dalam. "Jangankan hanya mengundangku ke pesta ulang tahun pernikahan kalian, dia bahkan bersedia meninggalkanmu jika aku memintanya."

Kata-kata itu seperti serpihan kaca yang tajam, menghujam ke dalam jiwa Cassie. Setiap detik yang berlalu mengingatkannya pada kejadian minggu lalu ketika dia tak sengaja melihat Felix dan Aleena bermesraan, membuat dunianya seolah runtuh.

Tawa dan kebahagiaan yang telah dia bangun selama tujuh tahun pernikahan ini seperti sirna seketika, membuat hatinya tersakiti lebih Dalam dari yang bisa diungkapkan kata-kata.

Gelas anggur yang dipegangnya terasa begitu berat, seolah memuat semua beban keluarga dan cinta yang mulai retak.

Dalam diamnya, dia berusaha membendung amarah dan kesedihan yang meluap-luap.

“Oh, ya?” Cassie mengangkat sebelah alisnya, wajah cantiknya berusaha menunjukkan keberanian. Senyum miring menghiasi bibirnya, meskipun di dalam dada a merasa meringis. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak mencoba meyakinkan Felix untuk menceraikan aku?"

Aleena terbungkam, giginya bergemeretak keras hingga rongga mulutnya hampir mengeluarkan darah segar. Dia tahu Cassie telah melayangkan gugatan cerai kepada Felix begitu mengetahui perselingkuhan mereka.

Namun, Felix menolak untuk menceraikan Cassie. Dia bahkan berlutut sehari semalam di bawah hujan salju, memohon agar Cassie memberinya kesempatan kedua.

Bukti cinta yang mendalam, tetapi ironis.

Sialnya, Cassie bersedia memaafkan dan memberikan kesempatan kedua untuk Felix karena tidak ingin kedua putranya kehilangan sosok ayah di usia mereka yang masih sangat kecil.

Aleena dengan erat mengepalkan kedua tangan yang menggantung di kedua sisi tubuhnya, dia memang mampu menggerakkan hati Felix untuk menduakan Cassie.

Namun, meyakinkan Felix untuk menceraikan Cassie belum bisa dia lakukan hingga saat ini.

Cassie dengan anggun berdiri di hadapannya seolah dia tengah merayakan kemenangan.

Sekali lagi, Aleena merasakan pedih yang menusuk hati—dia tahu Cassie tak sepenuhnya bahagia, tetapi sosok itu memiliki daya tarik yang tak tertandingi.

Ketika Cassie membuka mulutnya, kata-kata yang keluar seolah menjadi senjata yang menghantam tepat di jantung Aleena.

"Jika kamu mampu, maka mintalah Felix menceraikan aku," ujar Cassie dengan tatapan yang damai, tetapi tajam.

Aleena merasa tenggelam dalam kegundahan. 'Apa yang Felix lihat dari wanita ini? Kenapa dia menolak menceraikannya?' Aleena menatap Cassie dari ujung kepala hingga ujung kaki, membiarkan rasa iri-dengki menyeruak ke setiap sudut hatinya.

Dia akui, Cassie memang terlahir istimewa—tidak hanya memiliki sendok emas di mulutnya—tetapi juga sangat cantik.

Gaun yang dikenakan Cassie berkilau seperti bintang-bintang di langit malam, seolah diambil dari galaksi yang sangat jauh untuk memperindah penampilannya.

Tatapan Aleena tertuju pada kalung berlian yang melingkar indah di leher Cassie. Kalung itu, 'True Love', adalah hasil karya terakhir desainer terkenal Jessica Earl sebelum memutuskan untuk mundur dari dunia fashion.

Hati Aleena berdarah saat mengingat bagaimana Felix, pada malam lelang amal yang berkesan itu mempersembahkan 'True Love' kepada Cassie setelah menawar dengan harga tinggi.

Padahal, Aleena sempat berharap bisa memiliknya.

Namun, dengan harapan yang hancur lebur Felix justru memilih untuk memberikan simbol cinta sejati itu kepada Cassie.

Sebagai gantinya, Felix hanya memberikannya kalung berlian ratusan juta yang masih tidak sebanding dengan True Love.

'Aku juga bekerja keras, tapi kenapa semua hal baik hanya menjadi miliknya?!' Aleena mencoba mengendalikan perasaan iri yang semakin menggerogoti hatinya, dia sangat mendambakan keberuntungan yang mengelilingi Cassie.

Tidak hanya cantik dan glamor, Cassie juga menjadi putri bungsu yang dimanja oleh seluruh keluarga seolah-olah dia adalah harta karun.

Memiliki Felix Murphy yang kaya-raya dan penyayang sebagai suami seakan menjadi pelengkap keberuntungannya.

Aleena menggertakkan giginya dan menggeram di dalam hati. 'Apa Tuhan tidak punya mata sehingga hanya berpihak padanya?'

“Cassie, memangnya kenapa jika Felix menolak bercerai denganmu?” Aleena berusaha menunjukkan keberanian dan mengembalikan kepercayaan dirinya, dia menatap Cassie dengan tatapan tajam. "Bagaimanapun, di hati Felix hanya ada aku!"

Cassie memutar bola matanya, menanggapi dengan nada sinis, “Apa gunanya memiliki hatinya? Selama aku menyandang status sebagai Nyonya Murphy walau sehari saja, kau hanya akan menjadi orang ketiga yang tak akan pernah bisa berdiri dengan penuh percaya diri di sampingnya.”

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk, setiap kalimat Cassie menciptakan luka baru dalam hati Aleena.

"Kau!" Aleena menggeram tertahan, berusaha mengontrol diri meski amarahnya hampir melampaui batas. Dia melihat sekeliling, memastikan tidak ada tamu berpengaruh menyadari ketegangan yang menghangat di antara mereka.

Jika tidak mengingat dirinya tengah berada di keramaian pesta megah yang diselenggarakan oleh Felix, Aleena pasti sudah mencabik-cabik mulut beracun Cassie.

'Cassie, tunggu saja ... aku pasti akan membunuhmu!' Aleena merasakan kilatan kemarahan menggulung di dalam jiwanya.

Namun, dia berhasil meredam emosinya hanya dalam hitungan detik. Dengan sebuah senyuman penuh sarkas, dia berkata, "Dalam suatu hubungan, orang yang tidak dicintailah yang lebih pantas disebut orang ketiga!"

Cassie memutar bola matanya dengan jengah. "Terserah kau saja!"

Cassie memutar bola matanya sekali lagi dengan jengah, "Terserah kau saja!" Dia terlalu malas meladeni konfrontasi ini. Lagipula, dia tidak ingin bersaing untuk mendapatkan cinta dari pria yang tidak setia.

Jadi, dia pun berniat pergi.

Namun, kata-kata Aleena selanjutnya berhasil menghentikan niat dan langkah kaki Cassie.

"Cassie, akan kutunjukkan padamu di mana letak hati Felix!" seru Aleena memamerkan senyum liciknya sambil melirik Felix yang sedang berbincang dengan beberapa rekan kerja dan hanya berjarak beberapa meter saja dari mereka.

Tanpa peringatan, Aleena menarik tangan Cassie yang menatapnya dengan bingung.

Cassie terkejut dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, mereka sudah meluncur ke dalam kolam renang. Air dingin mengguyur tubuh Cassie, gemuruh air memecah kesunyian malam dan suara keramaian segera melimpah ke arah mereka.

"Ada yang jatuh ke dalam kolam!" teriak seseorang.

"Itu Nyonya Murphy dan Nona Clark, cepat selamatkan mereka!" S

ejumlah tamu mulai berkumpul di tepi kolam, wajah-wajah mereka cemas dan beberapa berteriak meminta bantuan.

Felix yang berada di antara kerumunan, mendengar kebisingan itu dan jantungnya berdegup kencang. Ketika dia menyadari siapa yang tenggelam, rasa panik melanda dirinya. Cassie dan Aleena.

Dua perempuan yang sama-sama memiliki tempat di hatinya. Kini, dia dihadapkan pada sebuah pilihan yang mengerikan.

"Felix, tolong aku!" teriak Aleena yang sedang berpura-pura tenggelam. Dia melambaikan tangannya, berusaha menarik perhatian Felix dan semakin memperdalam drama yang sedang terjadi.

Felix merasa terjepit antara dua perasaan, kecemasan untuk menyelamatkan Cassie yang tampak berjuang melawan arus, dan rasa bersalah jika mengabaikan Aleena.

Namun, dia harus bertindak segera.

Tanpa pikir panjang, Felix terjun ke dalam kolam. Air dingin menyambutnya dengan cengkeraman dinginnya yang tajam, seolah-olah memperingatkan akan bahaya yang mengintainya.

Ketika menyelam, Felix merasa pandangannya kabur, tetapi tekadnya tidak pudar. Dia melawan arus, berenang dengan sekuat tenaga menuju Aleena yang tampak semakin tenggelam.

Namun, rasa bersalah karena meninggalkan Cassie menyeruak seperti gelombang di dalam hatinya.

Di sisi lain kolam, Cassie merasakan keputusasaannya semakin mendalam. "Felix ... tolong!" suara lembutnya nyaris tenggelam dalam kegaduhan air dan ketakutan.

Dia ingin Felix mendengarnya, ingin agar suaminya itu menyadari betapa dia juga sedang berjuang.

Namun, semua yang dia terima hanyalah pandangan jauh Felix yang terpaku pada Aleena. Dengan setiap detik yang berlalu, Cassie merasa lebih terjebak dalam pusaran air, semakin dalam ke dalam kegelapan

'Felix, kamu tahu aku tidak bisa berenang, tapi kamu malah mengabaikan aku demi menyelamatkan Aleena.' Cassie bergumam, rasa sakitnya semakin menganga dan dia menutup matanya, berusaha menahan air mata yang hendak menyatu dengan air kolam.

'Felix, aku menyesal ... aku menyesal telah memaafkan dan memberikanmu kesempatan kedua, aku lebih menyesal lagi menikahimu.' Dia berbisik dalam keputusasaannya yang dalam dan setiap katanya seperti jaring yang tak terlihat, memisahkannya dari harapan akan masa yang lebih baik.

'Jika kehidupan selanjutnya benar-benar ada, aku berharap Tuhan tidak akan pernah mempertemukan kita lagi ....'

Ayo, Bercerai!

"Felix?" Cassie membuka matanya, sorot bingung pun seketika menghiasi netranya ketika wajah sang suami hampir memenuhi indera penglihatannya yang sedikit buram.

"Iya, ini aku." Felix tersenyum lembut dan dengan gerakan paling halus dia meletakkan tubuh Cassie yang berada di dalam gendongannya ke atas ranjang besar. "Kamu istirahatlah dulu, aku masih harus menemui klien."

Setelah mengatakan itu, Felix mengecup kening Cassie dengan mesra, sebelum akhirnya menarik selimut untuk menghangatkan tubuh sang istri.

"Klien?" Kerutan di dahi Cassie terlihat semakin jelas.

"Iya, Sayang," kata Felix dengan gemas mencubit pipi Cassie. "Apa seteguk alkohl membuatmu lupa kalau malam ini kamu menemaniku ke perjamuan untuk menemui klien?"

'Tempat perjamuan?' gumam Cassie di dalam hati, kebingungan jelas semakin melanda dirinya. 'Bukankah aku seharusnya berada di rumah sakit?'

Seingat Cassie, dia dijatuhkan ke kolam renang oleh Aleena dan tenggelam karena tidak bisa berenang.

Dia pikir, dirinya bisa bangun karena berhasil diselamatkan dan seharusnya tengah menjalani perawatan di rumah sakit.

Namun, kenapa malah menemani Felix menemui klien?

Tunggu dulu!

Cassie langsung memperhatikan sekeliling begitu sebuah ingatan dan pemikiran melintas di kepala kecilnya.

'Ini ... villa Keluarga Murphy?' Bola mata Cassie tampak membesar, tetapi Felix masih saja tidak menyadari perubahan ekspresi yang terjadi pada sang istri. 'Kalau begitu ....'

Pemikiran Cassie terhenti ketika suara Felix yang diselimuti kasih sayang kembali berkumandang. "Kamu tidur saja dulu, begitu selesai ... aku akan langsung kembali dan menemanimu di sini."

Setelah berbicara, Felix menepuk lembut kepala Cassie seolah-olah wanita itu adalah kucing peliharaannya yang imut dan patuh.

Cassie menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman lembut, tetapi ekspresinya berubah drastis ketika Felix sudah berbalik dan pergi.

Hanya ada sorot dingin yang menghiasi netra Cassie, bahkan bibir tipisnya membentuk senyuman sinis saat dirinya mendengus, "Hah! Jika aku tidak bangkit dari kematian, aku pasti masih tertipu dengan kelembutanmu."

Cassie ingat, di kehidupan sebelumnya dia memang pernah menemani Felix menghadiri perjamuan yang diselenggarakan oleh Keluarga Murphy di Villa Angin.

Malam itu, kejadiannya sama persis dengan yang terjadi saat ini.

Cassie hanya meneguk sedikit alkohol yang disuguhkan oleh Aleena, tetapi tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemah seolah-olah dia telah kehilangan seluruh tenaganya.

Kemudian, Aleena dengan baik hati mengingatkan Felix untuk mengantarkan Cassie beristirahat.

Begitu saja, Felix pun membawa Cassie ke kamar mereka.

Yang terjadi selanjutnya ....

Seorang wanita tiba-tiba saja menarik tangan Felix dan mendorongnya ke dinding.

"Aleena, kenapa kamu di sini?" Felix terkejut karena tindakan Aleena, dia lebih tidak menduga wanita itu akan berani muncul di kamar pribadinya dengan Cassie.

"Kenapa? Apa aku tidak boleh menemuimu?" Aleena memasang ekspresi cemberut di wajahnya, sementara tangannya dengan nakal menjalar di atas jas yang dikenakan Felix.

"Boleh, kamu tentu saja boleh menemuiku kapan pun kamu mau. Namun, tidak di sini ...." bisik Felix sambil ke arah ranjang, dia menghela nafas lega begitu mendapati Cassie masih memejamkan mata dengan damai.

Aleena tersenyum penuh tantangan. "Kenapa? Kamu takut dia mengetahui skandal kita?" katanya, menggoda dengan mata yang berkilau nakal. Dia mengalungkan kedua tangannya di leher Felix, menariknya lebih dekat seakan ingin membius pria itu dengan parfum di tubuhnya. "Tenang saja, dia tidak akan bangun karena aku mencampurkan obat tidur ke dalam minumannya."

"Dia benar-benar tidak akan bangun, kan?" tanya Felix dengan cemas, tidak menyadari rencana licik Aleena yang memberikan obat untuk melemahkan sistem saraf Cassie, bukannya obat tidur.

Aleena hanya tersenyum sembari mengangguk, terlalu bangga dengan ovasi berbahayanya.

Mendengar kata 'tidur', Felix merasakan ketidakpastian mencengkeram jiwanya. Cassie—istrinya yang lembut dan penuh kasih—telah menjadi pusat hidupnya.

Bagaimana jika dia mengetahui apa yang terjadi?

Namun, saat melihat Cassie yang terlelap, ketegangan itu mulai menghilang.

“Karena kamu terus mengabaikanku untuk memanjakan Sisie hingga membuat bayi kita tidak senang, maka kamu harus memberikan kompensasi yang layak untukku,” goda Aleena dengan suara menggoda.

Seperti ikan yang disuguhkan umpan, Felix tampak bersemangat mengambil alih kendali. Dia berbalik mendorong tubuh Aleena ke dinding, lalu mulai menyerangnya dengan ganas. Dalam pikirannya, semua yang terjadi antara dia dan Aleena hanyalah kesenangan semata.

Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dan kelam di balik senyum licik Aleena

‘Cassie, seharusnya kamu menyerah, kan?’ Aleena menikmati serangan demi serangan yang diluncurkan Felix, sementara tatapannya jatuh ke arah ranjang, tempat di mana Cassie berusaha untuk menyembunyikan luka. 'Hanya jika kamu menyerah, aku dan bayi dalam kandunganku akan menikmati kemewahan.'

Cassie yang teronggok di sudut ranjang, berpura-pura tidur. Air mata mengalir di pipinya, merasa setiap detik berlalu seperti jarum yang menenun benang kesakitan di hatinya.

Dia telah mengalami pengkhianatan ini sebelumnya, tetapi setiap rasa sakitnya seolah terulang kembali dengan lebih menyakitkan.

Dia tidak ingin bertindak gegabah, tidak ingin berakhir dalam pusaran kemarahan yang tidak dapat ditarik kembali.

Cassie ingat di kehidupan sebelumnya, dia turun dari ranjang dengan langkah berat seolah-olah ada beban tak terlihat terikat di kakinya dan menuntunnya menuju realitas yang pahit.

Aleena memandangnya dengan tantangan yang mencolok dan senyum penuh sindiran menghiasi wajahnya, seakan menantang Cassie untuk melakukan sesuatu.

Namun, Cassie memilih untuk mengabaikannya. Dia melangkah mendekat, menghentikan diri tepat di belakang Felix.

"Felix ...." Suara Cassie mengalun tenang, menentang semua gejolak yang berkecamuk di dalamnya.

Mendengar suara familier yang begitu tenang, Felix menghentikan aksinya dan menegang sejenak, sebelum akhirnya segera berbalik.

"Sisie ...." Felix menatap Cassie dengan gugup, lalu melirik Aleena dengan tatapan menyalahkan sambil mengeluarkan suara yang cukup pelan. "Bukankah kamu bilang dia tidak akan bangun?"

"Aku juga tidak tahu kenapa bisa begini," balas Aleena memasang ekspresi takut yang dibuat-buat.

Berbeda dengan Felix, Cassie sangat tenang seperti kapal yang berlayar di tengah badai dengan kesadaran penuh bahwa ini adalah pertempuran yang harus dihadapi.

Melihat ketenangan Cassie, rasa guncangan dalam diri Felix justru semakin besar seolah ombak besar menghempas dari segala arah. "Sayang, kenapa kamu bangun?"

Tanggapan Cassie langsung memicu perubahan dalam atmosfer ruangan. "Kalau aku tidak bangun, bagaimana aku bisa mengetahui perbuatan kalian yang sangat menjijikkan ini?" Sarkasme terukir dalam suaranya, sementara tatapan jijik yang dilayangkan kepada Felix dan Aleena seolah-olah dia menatap hama yang merusak kebun harapannya.

"Sayang, ini tidak seperti yang kamu lihat ...." Felix mencoba mendekat, berusaha meraih pergelangan tangan Cassie.

Namun, langkahnya ditahan oleh tembok ketidakpercayaan yang sekarang mengakar di antara mereka.

Cassie melangkah mundur, menjaga jarak yang semakin melebar.

Jika sebelumnya Cassie senang dipanggil 'sayang' oleh Felix seolah-olah dialah wanita yang paling dicintai di muka bumi ini, sekarang panggilan itu malah terasa sangat menjijikan.

“Jadi seperti apa? Apakah Aleena yang merayumu, atau kamu dalam keadaan tidak sadar saat ini?” Cassie melontarkan pertanyaan itu dengan nada sinis, pandangannya penuh kebekuan yang membuat samudera di dalam hati Felix semakin bergelora.

Dia berusaha mengumpulkan kata-kata, tetapi semuanya terhambat oleh rasa bersalah yang membelenggu mulutnya.

“Felix, sebelum kamu memberikan alasan, pastikan kamu sendiri mempercayai alasan yang kamu buat.” Suara Cassie menyayat, dengan tegas dia berdiri di sana hanya untuk menunggu jawaban yang tidak mungkin datang.

Dia kini melihat Felix bukan sebagai pria yang dicintainya, tetapi sebagai pengkhianat yang telah merusak segala sesuatu yang mereka bangun bersama.

Aleena di sudut ruangan mencoba berbicara dengan senyum yang dulu bisa membuat hari-hari gelap Felix menjadi cerah.

Namun, senyumnya saat ini hanya menambah kesedihan dalam suasana. “Sisie, jangan salahkan Felix ... salahkan saja aku.”

"Kau diam!" bentak Cassie, amarah mulai menyulut dirinya. "Tidak ada tempat untukmu berbicara di sini!"

"Felix ...." Aleena menatap Felix dengan mata berkaca-kaca, berharap pria itu mampu menegakkan benang-benang yang hampir putus di antara mereka.

Tetapi alih-alih membela, Felix justru mendelik tajam sambil memperingati, “Diamlah.”

Mana mungkin dia masih punya waktu membujuk Aleena, sementara Cassie saja belum ditangani dengan baik.

Aleena menunduk dengan hati yang terguncang, dia mengepalkan kedua tangan di samping tubuh, menyembunyikan kemarahan dan kecewa yang membara. “Cassie sialan!” gerutunya dalam hati, merasa dikhianati oleh pria yang seharusnya melindunginya.

"Sayang, dengar—"

"Felix, ayo, bercerai," sela Cassie masih dengan sikap tenang yang membuatnya tampak berkelas. "Besok aku akan meminta pengacaraku mengurus kontrak perceraian, mari kita menyelesaikan prosedurnya secepat mungkin."

Setelah mengatakan itu, Cassie langsung meninggalkan Villa Angin tanpa memperdulikan senyuman kemenangan yang menghiasi wajah Aleena.

Dia juga tidak menghiraukan panggilan dan kejaran sang suami di belakangnya, bahkan tatapan ingin tahu dari orang-orang sekitar pun tak diindahkannya.

Namun, Cassie malah bimbang bercerai dari Felix begitu sang suami mendatanginya bersama kedua anaknya dan mengatakan mereka membutuhkan keluarga yang utuh.

Keteguhan Felix saat berlutut di tengah hujan salju selama sehari semalam semakin membuat hati Cassie goyah, hingga akhirnya dia luluh dan bersedia memaafkan sang suami serta memberikan kesempatan keduaa padanya.

Di kehidupan ini ....

"Aku akan mengubah takdirku sendiri dan tidak akan membiarkan jalan9 itu mendapatkan apa yang diinginkannya!" Cassie diam-diam mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

"Felix, aku juga tidak menginginkanmu lagi!" tambah Cassie sambil memejamkan matanya, membiarkan suara-suara menjijikkan Aleena menghiasi indera pendengarannya hingga menghujam jantung hatinya.

"Anggap saja pengabdianku sebagai seorang istri selama tujuh tahun ini seperti memberi makan pada anjin9!"

Nyonya, Apa Yang Terjadi?

"Nyonya Murphy, ini adalah dokumen kematian palsu untuk Anda dan kedua anak Anda yang dijadwalkan seminggu kemudian." Petugas wanita yang mengenakan pakaian formal menyodorkan sebuah dokumen ke arah Cassie.

Tanpa ragu, Cassie mengambil alih dokumen itu dan membacanya sejenak.

"Nyonya, apa yang terjadi? Kalian berdua jelas pasangan paling bahagia di dunia."

Rasa ingin tahu sang petugas begitu tinggi, dia sungguh tidak mengerti kenapa Cassie memilih menghilang dari kehidupan suaminya dengan cara seperti ini.

Padahal, Felix Murphy adalah suami idaman hampir seluruh wanita di dunia!

Bahkan, tidak sedikit pasangan muda yang mengidolakan kehidupan harmonis dalam rumah tangga Felix dan Cassie.

Bagi mereka, Felix dan Cassie adalah pasangan yang dibuat disurga dan layak menjadi teladan.

Sang petugas yakin, jika wanita di luar sana mengetahui rencana Cassie saat ini, mereka pasti dengan senang hati membuat barusan antrian demi menjabat sebagai Nyonya Murphy.

"Ya, kami memang pasangan paling bahagia di dunia." Cassie senyum miris, sebelum akhirnya bergumam di dalam hati. 'Namun, dunia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kami selama tujuh tahun ini.'

Detik selanjutnya, Cassie meraih pena dan berniat menandatangani dokumen yang telah selesai dibacanya.

Namun, petugas wanita itu tiba-tiba saja meletakkan kedua tangannya di atas dokumen tersebut sambil bertanya, "Nyonya, apa Anda tidak ingin mempertimbangkannya lagi?"

Sang petugas mencoba yang terbaik untuk meyakinkan Cassie agar menarik kembali keputusannya. "Tuan Murphy sangat mencintaimu, jika kamu menghilang dengan cara seperti ini ... dia akan mati."

Cassie terdiam, dia sama sekali tidak memungkiri perasaan Felix padanya.

'Memang benar, Felix sangat mencintaiku. Dia bahkan rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanku.'

Saat itu, aku dan Felix berencana menikah pada awal musim semi.

Namun, Keluarga Murphy dari cabang kedua yang merupakan paman Felix tidak menginginkan pernikahan kami diselenggarakan.

Bagaimanapun, Keluarga Night secara alami akan menjadi pendukung terkuat Felix jika putri kesayangan mereka masuk ke Keluarga Murphy.

Dan Leon Murphy tidak rela haknya sebagai pewaris jatuh ke tangan Felix!

Itu sebabnya, Leon menyabotase mobil Felix sehingga kecelakaan pun tak terelakkan.

Ketika terpaksa menghantam pohon besar demi menghindari sebuah truk, Felix dengan cepat memelukku, menjadikan tubuhnya sebagai tameng.

Dalam keadaan berdarah-darah seperti itu, Felix bahkan masih sempat bertanya, Sisie, apa kamu baik-baik saja?

Setahun kemudian, Felix mengambil alih Keluarga Murphy dan hal pertama yang dia lakukan adalah membalaskan dendam untukku.

Namun, tidak peduli betapa dalamnya perasaan itu, tidak akan mampu menahan berlalunya waktu dan godaan wanita muda.

Cassie menarik kedua sudut bibirnya, senyuman yang menghiasi wajahnya tampak begitu menyedihkan.

Dua tahun Felix mengejarnya dengan cara merendahkan diri, lalu membuat lamaran romantis di atas kapal pesiar sehingga membuat hampir seluruh wanita di ibukota cemburu.

Kemudian, kami menikah tujuh tahun lalu dan memiliki dua anak.

Kami selalu menjadi pasangan paling sempurna dan bahagia di mata orang luar, tapi hanya aku yang tahu, laki-laki cerdas yang hanya memiliki aku di mata dan hatinya ... laki-laki yang bertanya bagaimana keadaan Sisie ketika bangun dari cederanya, sudah tidak seperti dulu lagi.

Melihat Cassie hanya diam dan tidak berniat mundur, petugas itu pun menghela nafas pasrah sambil berkata, "Nyonya, jika tidak ada masalah, tolong ditandatangani."

Cassie tersadar dari lamunannya dan kembali tersenyum.

Meski senyumannya tampak lebih lebar, tetapi senyuman itu tidak sampai ke matanya.

Jelas, tidak ada kebahagiaan yang terlukis di wajahnya cantik Cassie!

"Kamu akan mengerti suatu saat nanti bahwa cinta bukanlah satu-satunya hal yang bisa kamu andalkan." Cassie tanpa ragu mengayunkan jemarinya yang tengah memegang pena di atas dokumen.

Detikcom selanjutnya, Cassie menyodorkan dokumen itu ke arah petugas sambil berkata, "Uang yang kamu dapatkan dari titik keringatmu selalu lebih dapat diandalkan daripada kata-kata manis pria."

***

Masih mengenakan kemeja putih dan celana jeans, serta kaca mata hitam, Cassie memasuki sebuah gedung bertingkat dengan langkah pasti.

Dia tampak begitu elegan sehingga tidak ada sepasang mata pun yang berani mengabaikan sosoknya, dan itu membuatnya menjadi pusat perhatian.

Cassie menurunkan sedikit kaca mata hitamnya demi nenilik beberapa bangunan miniatur yang dipajang dengan estetik dan rapi.

"Nona, apa yang bisa saya bantu?"

Karena kedatangan Cassie begitu mengundang perhatian, Manager Zhang langsung turun tangan menghadapinya.

"Berapa harga rumah Anda per meter persegi?" tanya Cassie dengan nada dan ekspresi serius.

"Kami memiliki lokasi terbaik di kota, harga rata-ratanya adalah 200.000 per meter persegi."

Mendengar itu, Cassie langsung mengeluarkan sertifikat rumah dari tas tangannya dan melemparkannya ke atas meja. "Tolong lihat rumah ini, kira-kira berapa nilai jualnya?"

Manajer Zhang agak terkejut.

Awalnya, dia mengira Cassie datang untuk membeli rumah.

Tidak tahunya, dia malah berniat menjual rumah.

Manajer Zhang menghela nafas, dia pun mengambil sertifikat itu.

Ekspresi terkejut semakin menghiasi wajah Manajer Zhang, tetapi dia juga tampak bersemangat di detik selanjutnya. "Nona, rumah Anda adalah yang terbaik di lingkungan kami, ini bernilai minimal 50 juta."

Cassie tersenyum puas. "Bantu saya menjualnya seharga 40 juta."

"Kami adalah pusat penjualan, bukan agen real estate." Manajer Zhang membuang wajahnya ke samping, sementara sertifikat rumah masih berada di dalam pelukannya seolah-olah dia tidak rela melepaskan buku berwarna merah itu.

"30 juta."

"Anda menempatkan saya dalam posisi yang sulit," kata Tuan Zhang berpura-pura enggan.

Cassie mendengus dan memutar bola matanya dengan jengah. "20 juta."

Tuan Zhang menjadi bersemangat dan tersenyum sumringah. "Baiklah, saya akan segera mengurus proses jual-beli rumah ini untuk Anda."

Setelah mengatakan itu, Tuan Zhang pun dengan cepat berlalu.

"Ingatlah untuk membayar penuh," kata Cassie setengah berteriak.

Tuan Zhang pun dengan cepat membalas, "Baik, Nona ... jangan khawatir!"

Cassie tersenyum puas, dia berjalan menuju ke sebuah sofa yang dilengkapi meja dan duduk di sana dengan tenang.

Jika dipikir-pikir kembali, memang rugi menjual rumah senilai 50 juta hanya dengan 20 juta.

Namun, ....

'Itu bukan rumahku dan aku tidak mengalami kerugian apa pun!' Cassie tersenyum licik. 'Karena aku tidak lagi tinggal di rumah itu, maka jual saja.'

Setelah kepergiannya, Cassie tidak berniat membiarkan Aleena menjalani hari-hari baik di rumah pernikahannya dengan Felix.

"Ah, aku jadi penasaran bagaimana ekspresi Aleena begitu tahu rumah yang telah dia idam-idamkan sejak lama telah dijual dengan harga murah." Cassie hampir tertawa ketika otak kecilnya mencoba membayangkan wajah murung Aleena.

Meskipun Felix membelinya lagi, Aleena pasti akan tetap kesal, kan?

Bagaimanapun, yang Aleena inginkan bukanlah rumah, melainkan makna dari rumah itu sendiri.

Jika dijual dengan harga murah, bukankah artinya rumah itu tidak berarti bagi Cassie?

"Mereka yang tidak bisa memanfaatkan uang adalah orang bodoh. Rumah laki-laki tidak bisa ditinggali, tapi masih bisa dijual."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!