Langit pagi itu cerah, sinar matahari memantul di permukaan kap mobil sport hitam mengilap yang melaju angkuh di jalan protokol ibu kota. Di balik kemudi, duduk seorang pemuda tampan dengan kacamata hitam bermerk, senyum puas menghiasi wajahnya. Galih — lelaki berusia dua puluh lima tahun dengan rahang tegas dan tubuh atletis — menjalani hidup seperti yang hanya bisa diimpikan sebagian besar pria.
Hari ini bukanlah hari yang berbeda baginya. Setelah semalam menginap di penthouse salah satu ‘Tante’ langganannya, Galih kini menuju kampus untuk sekadar ‘menampakkan diri’ dan menjaga statusnya sebagai mahasiswa. Akademik bukan prioritas. Kehidupan glamor, pesta, dan wanita, itulah dunianya.
Mobilnya berhenti saat lampu merah menyala. Dia menguap malas, melirik ponselnya, membalas pesan dari seorang wanita paruh baya yang memintanya datang malam ini ke restoran bintang lima.
*BRAK!*
Tubuhnya sedikit terlempar ke depan. Galih refleks menginjak rem kuat-kuat, jantungnya berdegup kencang karena terkejut. Ia segera turun, wajahnya berubah kesal melihat bumper belakang mobilnya penyok cukup parah.
"Astaga...!" gumamnya.
Dari balik mobil sedan putih yang menabraknya, pintu terbuka, dan keluar seorang wanita muda. Rambut hitam tergerai indah, wajahnya bersih, dan tubuhnya dibalut gaun panjang berwarna biru pastel. Tidak mencolok, tapi justru memikat dalam kesederhanaannya.
Tatapan Galih terpaku. Dunia seakan berhenti berputar.
"Maaf ya," ucap gadis itu dengan nada panik namun tetap lembut. "Aku beneran nggak sengaja. Aku buru-buru banget, ada kelas penting. Tapi aku janji akan ganti rugi."
Galih masih diam. Ia merasa seperti baru saja ditampar kenyataan — bukan karena mobilnya rusak, tapi karena sosok gadis itu mengusik sesuatu yang selama ini ia matikan: rasa.
“Oh ya, mobil gue penyok. Lu mesti ganti rugi,” sahut Galih, suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Iya, aku ngerti. Tapi beneran aku nggak bisa lama. Ini kartu nama aku. Kalo ada apa-apa, hubungi aja, ya.”
Gadis itu menyerahkan kartu nama, lalu buru-buru kembali ke mobilnya dan pergi.
Galih menatap kartu nama itu.
Lauren Handoko.
Sudah seminggu berlalu sejak insiden di lampu merah. Tapi nama Lauren Handoko masih terpatri jelas di kepala Galih. Entah kenapa, sejak hari itu, wanita-wanita yang biasanya membuat hidupnya begitu bergairah justru terasa membosankan.
Senyum tante-tante yang biasanya memikat, kini terlihat palsu. Pelukan hangat mereka kini terasa dingin. Bahkan mobil mewah yang biasa dia banggakan kini seperti tak lagi mampu mengangkat egonya.
Galih, lelaki yang tak percaya cinta, kini duduk termenung di balkon apartemennya dengan secangkir kopi hitam yang mulai dingin. Di meja, kartu nama Lauren tergeletak. Berkali-kali ia hampir membuangnya, tapi selalu ragu di detik terakhir.
Hingga akhirnya…
Ia meraih ponselnya, membuka aplikasi pesan, lalu mulai mengetik:
Hai, ini gue Galih, yang mobilnya ditabrak minggu lalu.
Gue cuma mau pastikan lo serius soal ganti rugi. Bisa ketemu?
Ia ragu beberapa detik, lalu menekan tombol kirim.
Belum ada lima menit, balasan masuk.
Hai Galih. Ya, tentu. Aku juga ngerasa nggak enak dari kemarin.
Gimana kalau ketemu di kafe dekat kampus? Sore ini?
Galih menatap layar. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang bahkan dia sendiri tidak sadari.
Sore di Kafe Lantai Dua
Kafe itu tidak mewah. Interiornya sederhana, dengan aroma kopi dan kayu manis yang mengambang di udara. Bukan tempat yang biasa Galih datangi. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa... nyaman.
Saat ia masuk, Lauren sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan sweater abu-abu dan jeans. Rambutnya digerai seadanya. Tidak ber-make up. Namun justru itulah yang membuat Galih terpana. Cantiknya tidak dibuat-buat.
“Maaf aku telat,” ucap Galih sambil duduk di hadapannya.
“Nggak apa-apa. Aku juga baru datang,” jawab Lauren sambil tersenyum sopan.
Galih memandangi wajah itu. Ada ketulusan di balik matanya. Bukan seperti wanita-wanita yang biasanya dia temui—yang pandai bermain peran, pandai menggoda, tapi tidak pernah benar-benar jujur.
“Gue udah bawa estimasi biaya bengkel,” kata Galih, menyerahkan selembar kertas.
Lauren mengambilnya, membaca cepat, lalu mengangguk. “Oke, aku akan transfer malam ini. Tapi... boleh aku minta tolong satu hal?”
Galih mengangkat alis. “Apa?”
Lauren menatapnya sejenak. “Jangan sebut-sebut soal ini ke siapa pun di kampus. Aku cuma nggak mau bikin orang ribut. Aku cukup jaga nama baik.”
Galih tersenyum miring. “Lo anak dosen atau anak pejabat?”
Lauren tertawa kecil. “Nggak. Anak orang biasa. Tapi aku kuliah dari beasiswa, dan banyak mata yang suka ngawasin. Satu kesalahan bisa jadi bumerang.”
Galih mendengarkan dengan seksama. Biasanya ia bosan mendengar cerita hidup orang. Tapi kali ini... ia tertarik.
“Apa lo selalu seserius ini?” tanya Galih, setengah menggoda.
Lauren tersenyum tipis. “Nggak juga. Tapi hidup nggak selalu bisa dijalani santai kalau lo nggak punya privilege, kan?”
Ucapan itu menampar Galih.
Ia terdiam. Tidak tahu harus membalas apa.
---
Malamnya…
Di kamar, Galih membuka laptop. Ia hendak menonton film, tapi pikirannya kacau. Ia membuka akun bank—transfer dari Lauren Handoko sudah masuk. Dia benar-benar menepati janjinya.
Bukan hanya soal uang. Tapi kejujuran, tanggung jawab, dan keteguhan dalam wajah muda itu... membuat Galih merasa kecil.
Selama ini, dia selalu mengira dunia bisa dibeli. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia bertemu seseorang yang membuatnya ingin dikenal, bukan dipuja.
Dan di saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupnya, Galih merasa… kosong.
Malam itu, Galih berada di salah satu kamar suite hotel bintang lima di tengah kota. Di dalam ruangan remang-remang yang beraroma parfum mahal dan anggur merah, Galih berbaring di ranjang, membiarkan jemari lentik Tante Liana menyisir rambutnya.
Tante Liana, wanita matang dengan kecantikan yang masih terjaga, tertawa kecil sambil membelai pipi Galih.
"Masih sama kayak dulu… kamu selalu tahu caranya memanjakan wanita," bisiknya menggoda.
Galih tersenyum samar, lalu mencium bahu wanita itu seolah-olah semuanya masih seperti dulu. Tapi dalam hati… ada ruang kosong yang entah sejak kapan mulai tumbuh.
Biasanya, malam seperti ini adalah surganya. Tubuh, uang, dan kekuasaan bercampur jadi candu. Tapi malam ini? Semuanya terasa seperti rutinitas mekanis. Tidak ada degup. Tidak ada gairah. Hanya sisa-sisa peran yang ia mainkan dengan sempurna.
"Sayang… kamu diam aja. Lelah, ya?" tanya Tante Liana sambil memainkan rambutnya.
"Enggak, cuma ngantuk aja. Tadi banyak urusan," jawab Galih cepat. Ia tersenyum paksa, mencoba menyembunyikan kehampaan yang mulai ia sendiri tak pahami.
Tante Liana tidak curiga. Ia memeluk Galih lebih erat. “Kamu tetap lelaki terbaik yang pernah Tante kenal.”
---
Pagi Harinya
Sinar matahari menyusup masuk lewat tirai tipis. Galih masih meringkuk di ranjang, rambutnya berantakan. Matanya berat, tapi samar-samar ia mendengar langkah kaki dan suara parfum mahal yang akrab.
Tante Liana sudah berdandan rapi. Mengenakan dress putih elegan, high heels, dan kalung mutiara yang menyempurnakan penampilannya sebagai istri seorang penguasa.
Ia mendekati Galih yang masih setengah sadar di ranjang, lalu mengecup keningnya pelan.
“Kamu udah bangun, sayang?” bisiknya lembut. “Aku pulang dulu, ya. Uangnya udah Tante transfer.”
Galih membuka mata malas dan meraih ponselnya. Di layar tertera notifikasi masuk:
**Transfer: Rp100.000.000,- dari Liana H.**
“Hmm… makasih, Tan,” gumamnya pelan, lalu menarik selimut lagi dan kembali tidur.
Tante Liana tersenyum tipis, lalu keluar dari kamar hotel dengan langkah anggun. Dunia tempat ia dan Galih bertemu—dunia rahasia, penuh kemewahan dan kebohongan—tinggal sementara di balik pintu yang tertutup.
---
Di Rumah Keluarga Handoko
Rumah besar bergaya klasik Eropa berdiri megah di kawasan elit kota. Di ruang makan yang luas dan hangat, Lauren duduk sambil menyuap bubur ke dalam mulutnya. Di seberangnya, duduk seorang pria paruh baya dengan jas santai dia adalah
Gunawan Handoko, ayahnya,Adalah seorang pengusaha terkaya di kota ini.
Pagi itu tampak normal. Lauren sedang membaca file kuliah di tablet, dan Pak Gunawan sedang menyeruput kopi sambil membaca koran bisnis.
Tak lama, suara hak tinggi terdengar mendekat.
“Pagi, sayang,” sapa Tante Liana ceria, lalu mencium pipi suaminya dan kepala Lauren.
“Dari mana, Mah?” tanya Lauren sambil memandangi ibunya yang masih sangat rapi dan wangi, seolah tidak baru bangun tidur.
“Dari arisan sosialita. Mamamu kan cuma bisa seneng-seneng seminggu sekali,” jawab Tante Liana cepat sambil duduk.
Pak Gunawan tertawa kecil. “Udah, biarin aja. Mamamu itu butuh hiburan juga.”
Lauren tersenyum, meski hatinya tetap merasa ada sesuatu yang... ganjil. Karena tidak ingin memikirkan hal-hal buruk Lauren memutuskan untuk barangkat ke kampus saja.
Pagi itu, Galih juga tiba di kampus dengan wajah kusut dan langkah berat. Ia bahkan tidak sempat menyisir rambutnya. Kantuk masih menggantung di pelupuk matanya hasil dari malam panjang yang ia habiskan bersama Tante Liana di hotel mewah.
Sebenarnya, ia malas masuk kelas. Tapi kali ini, dia tak punya pilihan. Dosen mata kuliah Ekonomi Makro sudah memberikan peringatan keras. Kalau Galih absen sekali lagi, ia harus mengulang semester depan.
"Gila. Udah capek-capek dibayarin tante-tante, masa gue kuliah ngulang? Nggak lucu." Gerutu Galih.
Galih menunduk sambil berjalan cepat menyusuri lorong kampus. Tangannya menyelip di saku jaket jeans, dan kepalanya menunduk karena lelah. Ia tak menyadari langkahnya makin cepat.
Bruk!
Tubuh Galih menabrak seseorang. Buku-buku berjatuhan. Galih terhuyung ke belakang, dan orang yang ditabraknya terduduk di lantai.
“Hah! Maaf—maaf banget gue nggak lihat—”
Galih langsung jongkok dan membantu memungut buku-buku yang berserakan.
Namun begitu ia melihat wajah orang itu, ia terdiam.
Lauren.
Gadis yang menabrak mobilnya tempo hari.
“Loh… kamu?” ucap Galih terkejut.
Lauren juga tampak kaget, tapi cepat menguasai ekspresinya. Ia menyambar buku terakhir dari tangan Galih dan berdiri pelan.
“Eh… ternyata kita satu kampus ya?” kata Galih dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Lauren hanya mengangguk. “Aku juga nggak nyangka.”
Galih memperhatikan wajah gadis itu. Tetap sama seperti waktu pertama bertemu—anggun, sederhana, tapi memikat.
“Eh, boleh kenalan lebih jauh, nggak?” ucap Galih cepat, separuh nekat. “Kayaknya kita belum sempat ngobrol waktu itu.”
Namun Lauren mengangkat tangannya pelan, seperti memberi sinyal untuk menjaga jarak.
“Maaf… aku buru-buru. Ada kelas.”
Suaranya datar, sopan, tapi tegas. Ia melangkah pergi tanpa menoleh.
Galih berdiri mematung. Tatapannya masih mengikuti langkah Lauren hingga gadis itu menghilang di balik tikungan lorong.
"Sombong amat… tapi kenapa gue malah makin penasaran?"
Galih mengusap wajahnya yang masih terasa berat karena kantuk. Namun hatinya terasa berbunga-bunga, Rasa yang telah lama tidak ia rasakan. Semangat dalam dirinya tiba-tiba menyala. Dia seolah siap mengikuti perkuliahan dengan senyuman.
Galih berjalan menuju ruang kelasnya dengan langkah ringan dan penuh dengan rasa riang. Seperti seorang anak kecil yang baru saja diberi sebuah jajanan.
Kantin siang itu tak terlalu ramai. Suara sendok garpu beradu dengan piring, dan obrolan mahasiswa terdengar riuh di sudut-sudut ruangan.
Di salah satu meja pojok, duduk seorang gadis bergaun sederhana. Lauren.
Dia makan pelan sambil sesekali mencoret-coret buku tebal yang terbuka di depannya. Wajahnya tenang, fokus, seolah dunia luar tak punya kuasa mengganggunya.
Lalu datanglah Galih.
Dengan nampan berisi nasi, ayam panggang, dan minuman soda, ia langsung duduk tepat di hadapan Lauren tanpa banyak basa-basi.
“Halo,” sapanya sambil tersenyum. “Boleh kan aku duduk di sini?”
Lauren menatap Galih sejenak. Ekspresinya datar.
“Ya, kenapa tidak? Siapa pun boleh duduk di situ. Ini fasilitas umum,” jawabnya dingin.
Lalu, tanpa memberi ruang basa-basi, Lauren kembali menunduk ke bukunya.
Galih sedikit kikuk, tapi mencoba tetap santai. Ia membuka bungkus makanannya, lalu mulai berbicara.
“Kamu serius banget ya kalau belajar,” ucapnya sambil melirik buku yang dibaca Lauren.
Lauren hanya menoleh sekilas. “Hmm.”
“Kamu jurusan apa sih?” tanya Galih lagi.
“Manajemen,” jawab Lauren pendek, tanpa mengangkat wajahnya.
“Wah, sama dong. Tapi kayaknya kita beda kelas ya?”
“Bisa jadi.”
Galih tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Kamu selalu secuek ini ke semua orang, atau cuma ke aku?”
Lauren menghela napas pelan, menutup bukunya setengah hati. “Aku cuma nggak suka diganggu saat makan dan belajar.”
Kata-kata itu seperti tamparan halus. Tapi Galih tetap mencoba tersenyum.
Namun saat Lauren menghabiskan suapan terakhirnya, ia langsung menutup bukunya, berdiri, dan mengambil nampannya.
Tanpa sepatah kata pun, ia pergi.
Meninggalkan Galih yang masih duduk terpaku di kursinya. Tatapannya mengikuti langkah Lauren yang semakin menjauh.
Perlahan, rahangnya mengeras. Ia menghela napas, lalu **menggebrak meja pelan**, membuat suara cukup keras untuk menarik perhatian beberapa mahasiswa lain di dekatnya.
Beberapa orang menoleh. Galih langsung sadar dan mengangkat tangan kecil.
“Maaf. Sorry. Nggak sengaja,” ucapnya cepat sambil tertawa kaku.
Setelah suasana kembali tenang, Galih duduk sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Dia menatap kosong ke arah meja kosong di hadapannya.
"Baru kali ini… gue diginiin sama cewek," gumamnya kesal.
"Biasanya, semua yang gue deketin, jatuh. Ini? Kayak nabrak tembok es, Dingin sama keras kepala banget."
Tapi entah kenapa, alih-alih membuatnya menyerah, penolakan Lauren justru membakar rasa penasaran dalam dirinya.
“Lo main keras, ya, Ren?”
“Oke. Kita lihat, sekeras apa lo bisa nolak gue.”
Galih tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia—tapi senyum dari seseorang yang menemukan tantangan… yang belum tentu dia siap hadapi.
Ponsel Galih berdering saat ia baru saja meninggalkan kantin. Nama penelepon tak dikenalnya, hanya tertulis: "RS Jiwa Mentari".
Galih mengerutkan dahi.
“Hallo?”
“Apakah ini dengan Galih, putra dari Pak Budi Santosa?”
“Iya, saya sendiri. Ada apa, Bu?”
“Maaf mengganggu. Kami dari Rumah Sakit Jiwa Mentari. Ayah Anda sedang tidak stabil dan terus memanggil nama Anda. Kami pikir sebaiknya Anda datang segara kesini”
Galih tercekat. Hatinya seperti dicekik rasa bersalah. Sudah berbulan-bulan ia tak menjenguk sang ayah.
Tanpa pikir panjang, ia segera bergegas keluar dari kampus, memacu mobil mewahnya, dan meluncur ke rumah sakit.
---
Setibanya di sana, Galih langsung menuju ruang isolasi. Di balik kaca buram itu, ia melihat sosok lelaki tua kurus, rambut beruban, duduk di lantai dan memeluk lutut.
"Galih… Galih… Jangan tinggalin Ayah… Dimana Galih anakku… Galih… Galih…!"
Galih mematung. Suara itu menusuk hatinya lebih dalam dari pisau mana pun.
Perawat membuka pintu pelan. “Silakan, tapi jangan terlalu dekat. Beliau sensitif.”
Tanpa menunggu aba-aba, Galih masuk dan perlahan mendekat.
“Yah… Ini Galih, Yah. Galih ada disini, Galih ngga mungkin ninggalin Ayah.”
Pak Budi menoleh. Matanya kosong, tapi saat melihat Galih, ekspresinya berubah. Ia bangkit dengan susah payah, lalu langsung memeluk Galih erat—erat sekali, seakan takut Galih akan menghilang seperti mimpi.
“Galih… anak Ayah… kamu jangan tinggalin Ayah…”
Suara itu lirih dan patah. Galih balas memeluk ayahnya, menggigit bibir menahan air mata.
"Maafin Galih, Yah… Galih sibuk… Galih cuma pengen cari uang buat Ayah...Biar Ayah bisa sembuh dan sama-sama Galih lagi..."
Pelukan itu berlangsung lama. Waktu seakan berhenti di ruangan itu.
---
Beberapa jam kemudian, Galih duduk sendiri di taman belakang rumah sakit. Matanya menatap kosong ke kolam kecil yang tenang.
Semua kenangan menyerbu kembali.
Ibunya.
Seorang wanita cantik yang dulu selalu menyisir rambutnya sebelum tidur. Yang selalu membawakannya bekal sekolah.
Lalu suatu hari… pergi begitu saja. Meninggalkan rumah bersama lelaki lain. Meninggalkan ayahnya. Meninggalkan dirinya.
Dan sejak hari itu, dunia kecil Galih runtuh. Ayahnya, Pak Budi, perlahan kehilangan warasnya. Tak sanggup menghadapi kenyataan. Tak bisa menerima dikhianati oleh wanita yang paling ia cintai.
Galih masih ingat malam-malam ketika ia menangis sendirian, lapar, ketakutan, dan hanya bisa melihat ayahnya tertawa sendiri sambil berbicara dengan bayangan.
Hingga akhirnya, seorang tetangga membawa Pak Budi ke rumah sakit jiwa.
Sejak itu, Galih hidup sendiri.
Tanpa keluarga. Tanpa cinta.
Dan hidup mengajarkannya satu hal: bahwa cinta adalah kebohongan. Bahwa wanita hanya akan meninggalkan saat mereka menemukan yang lebih baik.
---
Karena itulah Galih tumbuh dingin. Sinis. Dan kuat.
Ia rela menjadi Sugar Baby tante-tante kaya demi satu tujuan yaitu uang.
Uang untuk bertahan. Uang untuk biaya rumah sakit ayahnya. Uang agar ia tidak jadi lelaki gila seperti ayahnya… dan tidak jadi lemah seperti dirinya yang dulu.
Namun akhir-akhir ini, entah kenapa… wajah Lauren mulai membayang. Dan Galih membencinya.
Bukan karena Lauren menolaknya. Tapi karena Lauren mulai membuatnya bertanya-tanya
"Apa cinta benar-benar hanya sebuah omong kosong…?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!