NovelToon NovelToon

Gadis Jalanan Pewaris Mahkota

Di Usir

Pagi itu, mentari belum sepenuhnya merayap naik, sinarnya masih malu-malu mengintip di balik tirai jendela kamar Lisa.

Keheningan subuh yang syahdu tiba-tiba terusik oleh sebuah sentuhan dingin dan menjijikkan yang merayap di pergelangan kakinya. Lisa, yang masih terbalut mimpi indah tentang taman bunga yang bermekaran, mengerjapkan matanya perlahan.

Awalnya, ia mengira itu hanyalah sentuhan tak sengaja dari selimut yang melorot. Namun, sensasi itu semakin jelas, sebuah genggaman yang terasa asing dan mengancam.

Jantung Lisa berdegup kencang seperti genderang perang saat matanya menangkap sosok yang membungkuk di samping tempat tidurnya.

Dalam remang-remang cahaya subuh, ia mengenali wajah Bagas, ayah tirinya. Wajah yang selama ini berusaha ia hormati, kini tampak begitu mengerikan dengan tatapan mata yang penuh nafsu.

"Apa yang kau lakukan, Ayah?" bisik Lisa tercekat, suaranya bergetar menahan ketakutan yang membuncah.

Bagas menyeringai, mempererat cengkeramannya di kaki Lisa.

Bau alkohol samar-samar tercium dari napasnya yang panas.

"Sstt... ibumu sedang tidur nyenyak. Jangan ganggu dia. Lebih baik kau temani Ayah sekarang." Ucapan Bagas terdengar serak dan menjijikkan, membuat bulu kuduk Lisa berdiri.

Refleks, Lisa menarik kakinya sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan kasar itu.

"Tidak! Lepaskan aku!" teriaknya tertahan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Ia meronta, mencoba menggeliat menjauh dari sosok yang kini menjelma menjadi mimpi buruknya.

Bagas semakin beringas. Tangannya yang lain berusaha meraih tubuh Lisa, membuatnya semakin panik.

"Diamlah! Jangan membuat keributan! Kau pikir aku tidak tahu selama ini kau memperhatikanku?" bisiknya penuh ancaman.

Ketakutan Lisa mencapai puncaknya. Ia tidak punya pilihan lain.

Dengan sekuat tenaga yang tersisa, ia memekikkan sebuah teriakan yang memecah keheningan subuh.

"TIDAAAAK!"

Teriakan Lisa yang melengking memecah keheningan rumah. Maryam, ibu Lisa, yang terlelap di kamar sebelah, tersentak bangun.

Matanya yang masih sayu langsung menangkap suara teriakan putrinya yang penuh ketakutan.

Jantungnya berdebar tak karuan. Ada firasat buruk yang menyeruak di benaknya.

Beberapa jam yang lalu, ia dan Bagas baru saja berbagi keintiman. Kehangatan pelukan suaminya masih terasa samar di benaknya.

Bagaimana mungkin Bagas berada di kamar Lisa sekarang? Pikiran itu bagai petir yang menyambar di siang bolong.

Dengan langkah tergesa-gesa, Maryam berlari menuju kamar Lisa.

Pintu kamar putrinya sedikit terbuka, dan pemandangan yang menyambutnya membuatnya membeku di tempat. Ia melihat Bagas berdiri di samping tempat tidur Lisa, wajahnya tampak merah padam, sementara Lisa terduduk di ranjang dengan tubuh gemetar dan air mata membanjiri pipinya.

"Bagas! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Maryam dengan suara bergetar, antara bingung dan marah.

Bagas menoleh dengan wajah terkejut. Ia berusaha menyunggingkan senyum palsu.

"Eh, Maryam? Aku... aku hanya memeriksa Lisa. Dia tadi malam terlihat tidak enak badan," ucap Bagas panik bercampur gugup.

Alasan yang dibuat-buat itu terdengar begitu tidak masuk akal di telinga Maryam.

Namun, sebelum ia sempat mencerna lebih jauh, Lisa yang melihat ibunya berdiri di ambang pintu, langsung berhambur memeluknya, menangis terisak-isak.

"Ibu... Ibu... dia... dia mau..." Lisa tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tubuhnya bergetar hebat, dan kata-kata itu tercekat di tenggorokannya.

Maryam menatap putrinya dengan tatapan kosong. Ia melihat air mata dan ketakutan yang terpancar dari wajah Lisa.

Namun, entah mengapa, ia tidak bisa mempercayai apa yang tersirat di balik tangisan itu. Ia lebih memilih untuk mempercayai suaminya, lelaki yang baru beberapa tahun ini mengisi hari-harinya, lelaki yang telah memberinya kehangatan dan rasa aman setelah kesepian panjang sepeninggal ayah Lisa.

Sebuah pikiran buruk tiba-tiba melintas di benak Maryam.

Mungkinkah Lisa hanya mencari perhatian?

Mungkinkah putrinya itu cemburu padanya dan Bagas? Pikiran-pikiran irasional itu dengan cepat meracuni benaknya.

Tanpa diduga, Maryam melepaskan pelukan Lisa dengan kasar.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lisa, membuat gadis itu tersentak dan terdiam.

"Dasar anak tidak tahu diri!" bentak Maryam dengan mata berkilat marah.

"Berani-beraninya kau menuduh ayah tirimu yang tidak-tidak! Dia sudah baik padamu selama ini! Kau hanya ingin merusak kebahagiaan ibumu, kan?"

Lisa ternganga, merasakan pipinya perih bukan hanya karena tamparan fisik, tetapi juga karena kata-kata ibunya yang begitu menyakitkan.

Air matanya semakin deras mengalir. Ia tidak percaya ibunya lebih memilih mempercayai Bagas daripada dirinya, putrinya sendiri.

"Ibu... aku tidak bohong... dia..." Lisa mencoba membela diri, namun suaranya tercekat oleh rasa sakit dan pengkhianatan.

"Cukup!" potong Maryam dengan nada tinggi.

"Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi! Kau sudah keterlaluan! Pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali lagi!"

Kata-kata itu bagai belati yang menghujam jantung Lisa. Ia menatap ibunya dengan mata penuh luka dan kebingungan.

"Ibu mohon maafkan aku, jangan usir aku dari sini! Aku harus kemana?" Lisa berteriak histeris.

Bagaimana bisa ibunya yang selama ini ia sayangi, ibunya yang selalu melindunginya, kini tega mengusirnya seperti seorang pesakitan?

Maryam menarik tangan Lisa dengan kasar, menyeretnya keluar dari kamar.

Bagas hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan kejadian itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, namun dengan cepat tergantikan oleh raut muka datar.

Lisa meronta lemah, air matanya terus mengalir tanpa bisa ia tahan. "Ibu... jangan begini... aku tidak punya siapa-siapa lagi..."

Namun, Maryam tidak bergeming. Ia terus menyeret Lisa hingga ke depan pintu rumah.

Tanpa belas kasihan, ia mendorong tubuh Lisa keluar dan menutup pintu dengan keras, meninggalkan Lisa berdiri terpaku di depan rumah dengan hanya pakaian tidur yang melekat di tubuhnya.

Lisa menatap pintu yang tertutup rapat itu dengan hati hancur berkeping-keping.

Ia tidak percaya ibunya tega mengusirnya tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan, tanpa memberinya sedikit pun pembelaan.

Rasa sakit fisik akibat tamparan ibunya tidak sebanding dengan rasa sakit hati dan pengkhianatan yang kini ia rasakan.

Ia berdiri di sana beberapa saat, tubuhnya menggigil bukan hanya karena dinginnya udara pagi, tetapi juga karena ketakutan dan keputusasaan yang mencengkeramnya.

"Aku harus kemana?" desah Lisa sambil menyeka air mata. Ia tak punya uang sepeser pun, hanya selembar kain yang melekat di tubuhnya. Rumah itu, peninggalan ayah kandungnya, kini tak lagi jadi tempat berlindung untuknya.

"Ayah, bagaimana ini? Tolong aku!" isaknya.

☘️☘️

Tangisan tanpa suara terus mengalir, membasahi pipinya yang terasa kebas.

Setiap embusan angin dingin yang menerpa kulitnya terasa seperti tamparan Maryam yang terulang.

Piyama tipis yang melekat di tubuhnya tak mampu menahan gigil yang datang bukan hanya dari udara pagi, tetapi juga dari ketakutan yang mencengkeram jiwanya.

Lisa menggosok-gosokkan kedua lengannya, berharap sedikit kehangatan bisa menghalau rasa dingin yang merayapi hingga ke tulang sumsumnya.

Pikirannya kalut, bercampur aduk antara amarah, kesedihan, dan kebingungan.

Bagaimana bisa ibunya, sosok yang seharusnya menjadi pelindung, tega mengusirnya begitu saja? Kata-kata pedas Maryam masih terngiang-ngiang di telinganya,

"Dasar anak tidak tahu diri! Pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali lagi!" Seolah-olah dialah yang bersalah, seolah-olah semua penderitaan ini adalah ulahnya.

Air mata yang terus mengalir membasahi pipinya terasa dingin, asin, dan pahit. Ia mencoba menghentikannya, mengusap kasar dengan punggung tangannya, tapi percuma. Sumbernya bukan di mata, melainkan di hati yang hancur berkeping-keping.

Perlahan, dengan langkah gontai, Lisa mulai menjauhi rumah yang dulunya adalah tempat berlindungnya.

Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang masih terasa perih. Ia berjalan tanpa tujuan, tanpa tahu ke mana kakinya akan membawanya.

Yang ia tahu pasti, ia telah kehilangan segalanya kehangatan keluarga, rasa aman, dan yang paling menyakitkan, kepercayaan dari ibunya sendiri.

Ia terus berjalan, menyusuri trotoar yang basah oleh embun. Kakinya terasa ngilu, sendal jepit yang ia kenakan tak mampu melindungi dari dinginnya aspal. Ia melihat sekeliling, jalanan masih sepi hanya ada beberapa motor yang melintas, melaju cepat tanpa memedulikan seorang gadis kecil yang tersesat di pagi buta.

Rasa lapar mulai merayap, perutnya keroncongan, namun ia tak punya uang sepeser pun.

Ia terus berjalan, melewati deretan rumah-rumah yang masih gelap, toko-toko yang belum buka, hingga tiba di sebuah pertigaan yang cukup ramai.

Di sana, sebuah pos keamanan kecil tampak menyala. Lisa sempat berpikir untuk meminta pertolongan, tapi ketakutan dan rasa malu membekapnya.

Bagaimana ia harus menjelaskan semuanya? Siapa yang akan percaya pada ceritanya? Kisah pelecehan yang dilakukan oleh ayah tiri dan disusul oleh pengusiran oleh ibu kandungnya sendiri? Bisakah ia menceritakan trauma itu tanpa air mata yang tak henti-hentinya mengalir?

Semakin cepat ia berjalan, semakin ia merasakan kekosongan yang mendalam. Kota kecil yang selama ini menjadi dunianya, kini terasa asing dan menakutkan.

Setiap sudut jalan, setiap rumah yang dilewati, tak ada satupun yang menawarkan harapan. Bau masakan pagi mulai tercium samar-samar dari rumah-rumah yang mulai beraktivitas. Aroma gurih nasi goreng, kopi, dan teh hangat menusuk hidungnya, memicu rasa lapar yang luar biasa. Perutnya bergemuruh, meronta minta diisi.

Tapi ia tak punya apa-apa. Tidak ada uang, tidak ada ponsel, tidak ada tas. Hanya piyama dan luka hati yang menganga.

Lisa hanya ingin menghilang, ingin rasa sakit ini berhenti. Namun, di tengah keputusasaan yang mendalam itu, ada secercah naluri bertahan hidup yang samar-samar berbisik di benaknya. Ia harus bertahan. Tapi bagaimana?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Kegelapan Jalanan dan Cahaya Tak Terduga

Sudah seminggu sejak ibunya mengusir Lisa dari rumah, dan sejak itu pula, hidupnya berubah drastis. Ia bukan lagi Lisa yang dulu, yang setiap malam pulang ke kasur empuknya.

Kini, ia seperti gadis jalanan, terpaksa tidur di emperan toko atau di bawah jembatan, berbagi tikar dengan para gelandangan lain yang senasib.

Dinginnya malam menusuk tulang, perutnya sering keroncongan, dan rasa takut selalu menghantuinya.

Setiap pagi, dengan sisa tenaga yang ada, Lisa berusaha mencari pekerjaan. Ia mendatangi satu per satu toko, warung, hingga kantor kecil. Namun, tak ada yang mau menerima dirinya.

Penampilan lusuh, mata sembab, dan bau badan yang samar-samar tercium membuat orang-orang memandangnya dengan sebelah mata.

"Maaf, kami tidak butuh karyawan," atau

"Cari saja di tempat lain," adalah kalimat yang paling sering ia dengar.

Harapan untuk hidup normal perlahan-lahan pupus, berganti dengan keputusasaan yang semakin pekat. Lisa merasa sendirian di tengah kota yang hiruk pikuk ini, tanpa arah dan tanpa tujuan.

Lisa teringat saat malam pertama ia tidur di bawah jembatan, Ia meringkuk ketakutan, mendekap lututnya erat-erat seolah ingin menghilang dari dunia.

Dinginnya malam menusuk hingga ke tulang, diperparah oleh embusan angin yang membawa bau anyir genangan air dan asap knalpot.

Suara bising kendaraan di atas jembatan tak henti-hentinya menderu, seolah mengolok-olok ketenangannya yang hancur.

Setiap ban yang melindas aspal terdengar seperti langkah kaki raksasa yang semakin mendekat, membuat bulu kuduknya berdiri.

Lisa memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Tiba-tiba, sebuah bayangan menghampirinya, disusul aroma tanah basah dan sedikit tembakau. Lisa tersentak, matanya langsung terbuka.

Di hadapannya, berdiri seorang pria tua dengan rambut acak-acakan yang sebagian besar sudah memutih, dan jenggot panjang yang tampak tak terurus.

Wajahnya dipenuhi kerutan, namun sepasang matanya memancarkan kelelahan sekaligus ketenangan. Lisa mundur sedikit, jantungnya berdegup kencang.

Pria tua itu berjongkok perlahan, tidak terlalu dekat.

"Anak muda, jangan takut," katanya dengan suara serak, seolah pita suaranya sudah lama tak digunakan.

"Di sini aman. Kita semua di sini sama-sama mencari tempat berteduh." Tangannya yang kurus terulur, menggenggam sepotong singkong rebus yang sudah dingin dan mengeras.

"Ini, mungkin bisa sedikit mengisi perutmu."

Lisa menatap singkong itu, lalu beralih ke wajah pria tua tersebut. Ada kebaikan yang tulus di sana, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.

Perutnya bergejolak hebat, rasa lapar sudah mencapai puncaknya. Meskipun awalnya ragu, rasa lapar mengalahkan ketakutannya.

Perlahan, ia mengulurkan tangan dan mengambil singkong itu.

"Terima kasih," bisiknya hampir tak terdengar, suaranya tercekat.

Pria tua itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke mata namun cukup menenangkan.

Pria tua itu, yang kemudian ia tahu dipanggil Pak Raden oleh gelandangan lain, tidak banyak bicara setelah itu.

Ia hanya duduk diam beberapa meter dari Lisa, bersandar pada pilar jembatan, matanya menerawang jauh ke kegelapan.

Kehadirannya yang tenang, tanpa tuntutan, tanpa pertanyaan, secara perlahan menenangkan Lisa. Singkong itu memang dingin dan hambar, tapi kehangatan dari uluran tangan Pak Raden jauh lebih berarti.

Di malam pertamanya yang mengerikan di jalanan, Lisa menemukan bahwa bahkan di antara keterasingan, masih ada secercah kemanusiaan yang mampu meredakan badai di dalam hatinya. Ia tidak sendirian sepenuhnya.

 .

Setelah malam itu, di mana kebaikan Pak Raden menjadi sedikit penghiburan, Lisa terus berjalan.

Pagi harinya, ia meninggalkan kolong jembatan, rasa malu dan putus asa masih menempel erat. Ia tak tahu harus ke mana, hanya melangkah, menyusuri trotoar yang ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan kehidupannya sendiri.

Hari-hari berikutnya adalah perjuangan tanpa henti. Lisa mencoba meminta-minta, namun tak banyak yang peduli.

Beberapa kali ia mencoba mencari sisa makanan di tempat sampah, menahan mual demi mengisi perut kosongnya. Ia tidur berpindah-pindah, dari emperan toko yang gelap gulita hingga bangku taman yang dingin dan basah karena embun malam.

Setiap hari adalah pertarungan melawan lapar, dingin, dan tatapan jijik dari orang-orang yang melintas. Rasa putus asa semakin menjadi-jadi, hampir merenggut semangatnya untuk bertahan. Ia merasa dirinya benar-benar sudah seperti gadis jalanan, tanpa harapan dan tanpa masa depan.

Singkatnya, setelah satu minggu terlempar dari rumah, Lisa kini adalah potret nyata dari keterpurukan.

Pakaiannya lusuh, rambutnya kusam, dan matanya cekung, dipenuhi bayangan trauma dan kelelahan. Ia telah merasakan kerasnya hidup di jalanan, bertemu dengan berbagai macam orang, dan menghadapi kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu ramah.

Minggu pertama ini adalah pelajaran pahit tentang bagaimana bertahan hidup ketika semua yang ia miliki telah direnggut.

☘️☘️

Senja mulai menyelimuti kota, memudar menjadi warna ungu kelabu. Lisa, yang baru saja gagal lagi mendapatkan pekerjaan di sebuah warung makan, melangkah gontai menyusuri gang sempit yang remang-remang.

Ia memilih jalan itu karena lebih sepi, berharap bisa mencapai emperan toko langganannya sebelum benar-benar gelap. Namun, harapannya pupus.

Dari balik tumpukan sampah, muncullah tiga bayangan laki-laki. Mereka terlihat lebih tua, dengan tatapan mata yang tajam dan seringai meremehkan.

"Hei, sendirian saja, manis?" salah satu dari mereka menyapa, suaranya kasar dan menusuk. Jantung Lisa langsung berdetak kencang, memukul-mukul dadanya seperti genderang perang.

Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya. Ia tahu jenis tatapan itu, jenis suara itu. Ketakutan yang luar biasa langsung menyergapnya, melumpuhkan kakinya untuk sesaat.

Dua lainnya mulai mendekat, mengurung Lisa dari sisi kiri dan kanan. Aroma rokok dan alkohol menyeruak, membuat Lisa ingin muntah.

"Mau ke mana buru-buru? Ikut kami saja, kita bisa bersenang-senang," kata yang lain, tangannya terulur mencoba meraih lengannya.

Lisa merasakan napasnya tertahan. Otaknya berteriak untuk lari, tapi tubuhnya terpaku. Matanya melirik sekeliling, mencari celah, mencari bantuan. Tidak ada siapa-siapa. Gang itu benar-benar kosong, hanya mereka berempat.

"Jangan sentuh aku!" teriak Lisa, suaranya tercekat dan bergetar hebat.

Rasa jijik dan panik membuncah. Dengan sekuat tenaga, ia mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.

Saat salah satu berandalan itu mencoba merengkuhnya, Lisa refleks menunduk, lalu dengan gerakan cepat yang tak terduga, ia menendang keras ke arah selangkangan pria di depannya. Pria itu mengaduh kesakitan, pegangannya terlepas.

Itu adalah celah yang ia butuhkan. Tanpa berpikir dua kali, Lisa memutar tubuhnya dan berlari secepat yang ia bisa. Ia tidak peduli arah, tidak peduli apa yang ada di depannya.

Kakinya melaju kencang, jantungnya berpacu gila-gilaan, dan napasnya memburu. Suara makian dan langkah kaki di belakangnya menjadi pemicu adrenalin yang membuatnya terus berlari tanpa henti.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sang Penyelamat Arogan

Di tengah hiruk pikuk pusat kota yang tak pernah tidur, apalagi di akhir pekan, dua pria terlihat serius berbincang di depan sebuah restoran street food yang ramai. Salah satunya adalah Javier Maxim, CEO Maxim Group, yang berkali-kali mengusap wajahnya kasar.

Ia tengah dilanda kepanikan luar biasa. Besok adalah batas waktu penyerahan surat pernikahan. Jika Javier tidak bisa menunjukkan bukti pernikahannya, seluruh harta warisan mendiang ayahnya akan jatuh ke tangan adik tirinya.

Surat wasiat itu jelas menyatakan, Javier harus menikah terlebih dahulu untuk bisa mengklaim seluruh warisan ayahnya. Waktu terus berdetak, dan ia belum menemukan solusi.

"Bos hanya perlu meminta wanita yang mendekati bos untuk menjadi istri bos." ucap assisten nya Bastian.

"Tidak, mereka terlalu merepotkan, belum apa-apa sudah seperti perangko. Apalagi kalau sudah menikah, aku hanya perlu wanita yang tidak akan mengurusi hidupku."

Javier menggeram, "Tidak, mereka terlalu merepotkan! Belum apa-apa sudah seperti perangko," ia menyeka keringat di dahinya.

"Apalagi kalau sudah menikah, aku hanya perlu wanita yang tidak akan mengurusi hidupku. Wanita yang tidak punya waktu untuk drama, yang sibuk dengan kehidupannya sendiri." Ia menatap Bastian dengan tatapan frustrasi.

"Apa ada wanita seperti itu di dunia ini?"

Bastian mengangguk-angguk, "Ada, Bos. Banyak, malah. Tapi biasanya mereka tidak tertarik dengan... eh, hal-hal seperti ini." Ia melirik arloji, "Waktu kita mepet, Bos. Bagaimana kalau kita mencari di tempat yang tidak biasa?"

"Maksudmu?" Javier mengerutkan kening.

"Panti asuhan atau semacamnya, Bos. Biasanya ada wanita yang membutuhkan bantuan finansial, tapi mereka punya prinsip. Mungkin kita bisa menemukan seseorang yang mau bekerja sama tanpa embel-embel cinta atau drama." Bastian mencoba memberikan solusi, meskipun ia sendiri tidak yakin Javier akan setuju.

"Kita bisa tawarkan sejumlah uang dan perjanjian pra-nikah yang menguntungkan kedua belah pihak."

Javier terdiam, memikirkan ide gila itu. Sebuah pernikahan kontrak? Itu bukan yang ia inginkan, tapi demi warisan ayahnya, ia akan melakukan apa saja.

"Baiklah," desahnya,

"Cari seseorang yang memenuhi kriteriaku. Seseorang yang tidak akan pernah ikut campur dalam hidupku setelah semua ini selesai."

Bastian mengangguk cepat, mengeluarkan ponselnya. "Siap, Bos. Saya akan hubungi beberapa kenalan. Pasti ada jalan."

☘️☘️

Lisa terus berlari sekuat tenaga yang ia bisa. Kakinya melaju sekuat mungkin, melesat menembus kegelapan lorong.

Deru napasnya memburu, bersaing dengan detak jantungnya yang bergemuruh.

"Mau lari ke mana, manis?!" teriak salah satu pemuda di belakangnya, tawa mengejek mereka terdengar semakin dekat.

Lisa tak peduli. Ia hanya ingin menjauh, keluar dari mimpi buruk ini. Ia meliuk di antara tumpukan sampah, melompati genangan air, dan tak henti-hentinya memohon dalam hati agar ada keajaiban.

Tiba-tiba, saat ia membelok di tikungan lorong yang gelap, sebuah sorot lampu mobil menyilaukan matanya.

Sebuah mobil mewah, hitam mengkilap, berhenti mendadak di depannya.

Pintu penumpang terbuka, dan seorang pria berjas rapi, dengan raut wajah tegas, menatapnya. Itu adalah Javier Maxim.

Javier, yang baru saja selesai menelepon Jerry dan memutuskan untuk memeriksa beberapa lokasi di pusat kota secara langsung, tidak menyangka akan menemukan pemandangan ini. Ia melihat seorang gadis muda berlari ketakutan, dikejar oleh sekelompok pemuda yang tampak beringas.

Naluri protektifnya, yang jarang sekali muncul, langsung terusik.

"Masuk!" perintah Javier, suaranya lantang namun tenang.

Lisa terdiam sesaat, antara takut dan bingung. Namun, suara langkah kaki para pengejar semakin dekat, memaksanya membuat keputusan cepat. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu mobil dan melompat masuk.

Seketika, pintu mobil tertutup. Javier menginjak gas, membuat mobil melesat pergi meninggalkan lorong gelap itu.

Para pemuda yang mengejar Lisa mengumpat kesal, menendang udara kosong karena mangsanya lolos.

Di dalam mobil, Lisa terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap Javier, matanya masih dipenuhi ketakutan dan kebingungan.

Pria ini… ia tidak tahu siapa dia, tapi pria ini baru saja menyelamatkannya. Setidaknya Lisa bersyukur akan kedatangan pria ini di waktu yang pas. Jika tidak entah apa yang akan terjadi kepadanya.

Javier melirik Lisa sejenak. Rambut gadis itu acak-acakan, pakaiannya lusuh dan kotor, dan wajahnya pucat pasi. Ada goresan di pipinya.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya datar, tanpa emosi yang berarti, namun ada sedikit nada khawatir dalam intonasinya.

Lisa terpana dengan sosok Javier, Ia tinggi, dengan perawakan tegap yang memancarkan aura dingin dan dominan. Jaket kulit hitam yang ia kenakan terlihat mahal dan pas di badannya, kontras dengan celana jeans gelap dan sepatu boots yang senada.

Rambutnya hitam legam, ditata sedikit berantakan namun tetap terlihat rapi, membingkai wajahnya yang tegas. Rahang kokoh, hidung mancung, dan bibir tipis yang sedikit terkatup rapat memberikan kesan misterius.

Namun, yang paling menarik perhatian Lisa adalah sepasang matanya. Gelap, tajam, dan seolah menyimpan banyak rahasia, mata itu menatap Lisa dengan intens, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik ketakutan gadis itu.

Lisa merasa seperti tikus kecil di hadapan kucing besar, namun anehnya, ia tidak merasa terancam sama sekali oleh Javier. Malah, ada rasa aman yang tiba-tiba menyelimutinya.

"Nona?" tanya Javier sekali lagi, lebih tegas.

Lisa hanya bisa mengangguk, terlalu syok untuk bicara. Ia merasa lega dan aman untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir.

.

Di dalam mobil yang melaju tenang, Lisa berusaha menstabilkan napasnya. Gemetar tubuhnya berangsur reda, digantikan oleh kelelahan yang mendalam. Ia melirik Javier lagi, yang kini fokus mengemudi.

Lampu-lampunya yang terang memantulkan bayangan jalan di wajah tegas pria itu. Lisa tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, meskipun suaranya masih sedikit serak.

"Terima kasih," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

"Terima kasih sudah menolongku."

Javier hanya mengangguk kecil, pandangannya tetap lurus ke depan. Mobilnya terasa nyaman, seolah diisolasi dari kebisingan dan kekacauan dunia luar yang baru saja Lisa alami.

Ada aroma samar kulit dan parfum maskulin yang menenangkan di dalam mobil itu, jauh berbeda dengan bau jalanan yang selama ini ia hirup.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lisa masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia lolos. Ia aman.

Tapi di mana ia sekarang? Dan siapa pria di sampingnya ini? Ada banyak pertanyaan di benaknya, namun ia terlalu takut untuk mengatakannya.

"Kau tidak punya tempat tinggal, kan?" tanya Javier tiba-tiba, memecah kesunyian. Nadanya masih datar, namun ada kepekaan yang tersembunyi.

Lisa tersentak. Bagaimana pria ini tahu? Ia hanya bisa menunduk, malu dengan keadaannya.

"Aku... aku tidak tahu harus ke mana," jawabnya lirih, jujur.

Javier menghela napas pendek. "Kau bisa ikut denganku untuk sementara," ujarnya, tanpa menatap Lisa.

"Setidaknya sampai kau menemukan tempat yang aman."

Tawaran itu bagaikan mimpi di siang bolong. Lisa mengangkat kepalanya, menatap Javier dengan mata melebar. Ikut dengannya? Ke mana? Meskipun ada keraguan dan ketidakpercayaan, rasa putus asa dan kelelahan mengalahkan segalanya.

Ia tidak punya pilihan lain. Di samping itu, entah mengapa, ada sesuatu dalam diri Javier yang membuatnya merasa bisa sedikit mempercayai pria misterius ini.

Apa yang akan Lisa katakan atau lakukan menanggapi tawaran Javier?

Ia memandang ke luar jendela, melihat jalanan pusat kota yang terang benderang melesat di samping mereka.

Kehidupan baru, atau setidaknya kelegaan sementara, baru saja dimulai.

Apa yang akan terjadi selanjutnya antara Javier dan Lisa? Akankah pertemuan tak terduga ini mengubah rencana Javier untuk mencari istri kontrak?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!