NovelToon NovelToon

Yang Tidak Pernah Menyentuh Ku

bab 1. Rumah Tanpa Suara

Ini sudah bulan kedua dari pernikahan kami. Dia-lelaki itu, tidak pernah menyentuhku, dia hanya pulang untuk tidur, lalu pergi lagi entah kemana. Tidak pernah bertanya apakah aku sudah makan, tidak pernah menanyakan kabar, bahkan menatap ku saja nyaris tidak pernah.

Aku yakin bila rumah ini dapat berbicara ia pasti sudah menangis melihat betapa sunyi kehidupan didalamnya, rumah ini menjadi saksi bisu dari pernikahan kami yang tanpa suara. Tanpa ucapan selamat pagi, tanpa obrolan larut malam, bahkan terkadang dia sengaja menghindar dari ku.

Aku tidak tau kenapa atau ada apa dengannya, dia bukan orang yang kejam aku tau itu,diam diam aku memperhatikan dia yang selalu bertanya ke mbak yuni tentang apa saja keperluanku yang sudah habis atau apakah mbak yuni tau apa ada sesuatu yang aku inginkan, sehingga dia dapat membelikannya dan memenuhi semua kebutuhanku dirumah ini,semuanya ia penuhi kecuali satu hal. Cinta dan hasrat.

......................

Pagi itu meja makan penuh dengan masakanku, sengaja aku bangun lebih dahulu dari dirinya supaya aku bisa memasak sarapan untuknya. Semua masakanku utuh, tak ia sentuh, dia sibuk mengancingkan lengan baju nya bersikap seakan tidak ada makanan di atas meja dan tidak ada aku dihadapannya.

"Selamat pagi" sapaku pelan, mencoba tersenyum dan menuangkan air ke gelasnya.

Ia tidak menjawab, hanya memasukkan handphone dan dompet ke dalam saku, dilihatnya jam di tangan kirinya lalu dia melangkah, mengabaikan sapaan ku. bukan sapaan ku yang dia abaikan lebih tepatnya aku.

Setiap pagi, setiap hari dia akan selalu seperti ini dan aku akan selalu menjadi bayangan, hingga suatu hari.

Aku ingat sekali malam itu hujan, listrik di rumah mati, ada sambaran kilat dan petir yang saling sahut menyahut. Aku sendirian dirumah, duduk diatas kasur mencoba menelponnya. Tidak lama suara pintu terbuka, ia masuk melangkahkan kakinya yang jenjang ke dalam rumah, melepas jas dan melemparkannya ke atas sofa. Aku segera berlari keluar menghampirinya.

"Aku takut" suaraku getar, tanganku berusaha meraih tangannya. Hendak tersentuh olehku tapi dengan cepat ia menarik tangannya dan menatap ku dengan dingin diiringi suara petir dan kilat, dia menghindar. Berjalan menjauh. Seoalah aku bukan siapa siapa.

Aku pikir, jika aku sedikit sabar dan berusaha membuatku ada dihidupnya,segalanya akan membaik. Tapi ternyata, diamnya bukan berarti dia bingung.Sikap dinginnya bukan berarti dia ragu. Tapi karena dia memang tidak menganggap aku ada dirumah ini.

"Jika dari awal pernikahan ini tidak berarti bagimu. Kenapa kamu menyetujui perjodohan kita!" Seruku, suaraku pecah, tanganku mengepal disisi tubuh.

Dia menoleh perlahan dengan wajah tenang, matanya terlihat lelah, bukan!, bukan lelah tapi matanya kosong,sedih aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya yang terlihat menyakitkan, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat yang ia pikul dari tatapan itu.

"Aku tidak pernah menyetujui ataupun menolak perjodohan ini nadira" Suara beratnya, terdengar lelah.

"Kamu hidup di rumahku, makan di meja makanku, tidur di kamarku, bahkan aku memberikanmu uang dan kebebasan, apalagi yang kau inginkan" Seakan akan putus asa dia mengatakan itu dihadapanku dengan tenang. Ucapannya menjadi tamparan bagiku.

Lelaki ini, Aku tidak bisa mengatakan ia jahat, karena dia tidak pernah membentakku, melukaiku dan dia benar semua yang aku perlukan selalu ia cukupi, tapi hati ku dan diriku terluka di rumah ini. Sakit, entah dimana rasa sakit itu, sepertinya rasa sakit itu menguasai seluruh tubuhku,batinku,jiwaku.

Air mataku mengalir saat melihat ia berjalan menaiki anakkan tangga.Lagi lagi meninggalkan aku sendiri, Selalu begitu.

"Aku hanya ingin kau melihatku...Sedikit saja" lirih aku menunduk, membendung semua air mata.

ia berhenti dari langkahnya, dalam kegelapan dia tidak menoleh ke arah ku.

"Teruslah berharap"

Singkat ucapan dari mulutnya menusuk hatiku yang memang sudah retak dari awal pernikahan.

Bab 2. Malam Itu,Tanpa Senyum

Malam itu hujan turun, tidak deras hanya menempel pada kaca jendela rumahku, ibuku dari tadi mondar mandir memastikan semua kue kecil yang ia sajikan tersusun dengan rapi dan ruang tamu terlihat bersih. Kedua adik ku dari pagi hingga sore menolong ibu menyiapkan semuanya.

Ibuku adalah seorang single mother sejak aku berumur 13 tahun, ayah meninggal karena sakit yang ia derita. Dia meninggalkan ibu,aku dan kedua adikku yang masih kecil. Tapi sedikitpun aku tidak pernah melihat ibu menyerah, dia selalu berusaha menyekolahkanku dan membiayai kami semua itu ia lakukan seorang diri. Saat mendengar bahwa ibu ingin aku berjodoh dengan anak dari sahabat lamanya,jelas aku tidak banyak bertanya, bukan karena aku ingin. Tapi aku tau ibuku akan bertambah usia dan menua, tubuhnya tidak akan selalu tegar seperti ini, belum lagi adik adikku yang masih bersekolah di tingkat menengah, jika dengan adanya perjodohan ini akan meringankan sedikit beban ibuku, maka aku akan melakukannya.

Pikirku saat itu.

Aku berdiri di dekat jendela kamarku yang langsung menghadap ke halaman rumah kami, aku melihat dari celah celah tirai.Mobil hitam berhenti dan seorang supir turun dari balik pintu mobil, membuka pintu belakang. Jantungku berdetak pelan namun terasa sangat berat.

Lalu dia turun.

Dewa dirgantara.

namanya sering disebut beberapa minggu sebelumnya, saat tante melisa dan om daus terus datang ke rumah untuk membicarakan rencana perjodohan.

Tak banyak yang aku tau tentang Dewa. Hal biasa seperti dia berumur 30 tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara, bagiku Dirgantara terdengar seperti keluarga yang disiplin,kuat dan kaya, entah kenapa mereka menginjakkan kaki di rumah sederhana milik kami ini. Selanjutnya yang ku tau, selepas SMA Dewa dikirim keluar negeri oleh kedua orang tuanya untuk berkuliah, Dia kembali tahun lalu karena ibunya meminta Dewa untuk bekerja di perusahaan keluarga.

Tante melisa mengatakan bahwa Dewa adalah lelaki yang bertanggung jawab,lembut dan sangat sopan kepada orang tua, Dewa adalah anak yang selalu mendahulukan orang lain, apalagi orang tuanya. Om Daus juga mengatakan bahwa selama bersama Dewa aku akan baik baik saja begitupun sebaliknya.

Tapi saat aku menatapnya malam itu, aku tidak melihat satupun yang di sebutkan oleh orang orang tentangnya, yang terlihat hanya satu hal -Matanya kosong. Sendu seperti cuaca malam ini.

Dewa berjalan masuk bersama kedua orang tuanya. Ibu nya sangat ramah, menyapa ibuku dan mereka berpelukan begitupun dengan ayahnya, menanyakan hal hal klise untuk mencairkan suasana. Mereka benar benar pasangan yang serasi, seperti bunga di bawah sinar matahari pagi. Keluarga yang hangat. Tapi Dewa, tetap diam. Dia duduk di sofa seberang,menatap lantai, tangannya memainkan kuku ibu jari. Wajahnya tidak menolak, tidak juga menyambut. Datar. Seperti tamu yang datang karena terpaksa bukan karena ingin.

Aku datang membawa teh dan kue, saat itu untuk pertama kalinya aku berdiri di hadapannya. Aku berusaha tersenyum, dia menatapku sekilas-hanya satu detik- lalu kembali menunduk.

Dan aku tau sesuatu.... Dia tidak benar benar melihatku.

Aku duduk di sebelah ibuku, di seberang Dewa. Aku memperhatikan pakaiannya yang rapi, selama perbincangan antar keluarga dewa hanya menunduk dan diam, sesekali dia meminum teh buatanku, namun sepertinya itu formalitas saja, karena air teh didalam cangkir tidak berkurang. Ibuku menawarkan kue buatan kami kepada nya, dia menolak mengatakan dia tidak terlalu suka makanan manis.

"Dewa, bagaimana menurutmu Nadira?" Tanya ibuku, Mencoba membuka pembicaraan, karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Dewa mengangkat wajahnya, menatapku sekali lagi, kali ini sedikit lebih lama tapi tetap tanpa ekspresi.

"Jika ini yang diinginkan keluarga, saya siap" jawabnya singkat.

Bukan "aku ingin" tapi "saya siap"

aku menunduk mengerutkan alisku, Perjodohan kami bukan karena kami saling memilih, tapi karena kedua keluarga saling sepakat.

Dan aku terlalu naif saat itu, berpikir bahwa cinta bisa tumbuh dari kebersamaan. Aku percaya bahwa seiring berjalannya waktu kami bisa menerima satu sama lain dan pada akhirnya Dewa bisa mencintaiku lalu kami menciptakan keluarga kecil yang bahagia, seperti apa yang aku cita citakan sedari dulu.

Setelah semua percakapan yang berlangsung malam itu, mereka pamit pulang. Aku dan ibuku berdiri didepan rumah, mengantar mereka seperti tamu terhormat yang membawa masa depan.

Dewa berjalan paling akhir. Tubuh tingginya tegak dan tenang, melangkah menuju ke mobil. Sebelum masuk kedalam mobil aku berharap -meski kecil- dia akan menoleh. Sekedar melihat kebelakang berpamitan atau mengakui keberadaanku. Tetapi tidak. Dia melangkah lurus, membuka pintu, masuk dan menutupnya tanpa suara.

......................

Sejak malam itu,tidak ada kabar darinya padahal kami sudah bertukar nomor telepon. Tidak ada satupun pesan masuk darinya dan tidak ada satupun panggilan terdengar.

Yang justru sering menghubungiku adalah tante Melisa,ibunya. Dengan suaranya yang lembut dan penuh perhatian tante Melisa memastikan semua kebutuhan dan keperluanku tercukupi.Kadang dia juga mengajakku duduk di sebuah kafe kecil didekat rumah-kafe yang hanya menjual roti dan kue kecil, tapi ini tidak terasa seperti kafe kecil, saat bersama tante Melisa ini terasa seperti rumah. Nyaman dan hangat.

Tante Melisa menunjukkan kepadaku contoh dekorasi, bunga bunga pilihan, bahkan gaun yang akan aku kenakan nanti. Sesekali tante Melisa menanyakan pendapatku dan yang mana yang aku suka.

"Nadira, nanti fitting bajunya di rumah kamu saja, sudah tente urus, mereka bawakan beberapa gaun, kamu pilih aja yang kamu suka" Ucap tante Melisa.

"Iya tante"

Bab 3.Menikahi lekaki Asing

Setiap malam sebelum tidur aku selalu memikirkan tentang pernikahan kami, setiap hari semakin dekat, aku selalu gelisah memikirkan semuanya, perasaan tak tenang, aku memikirkan apa yang harus aku ucapkan setelah pernikahan, terkadang aku berpikir apa aku harus menghubungi Dewa terlebih dahulu agar setidaknya, kami sedikit dekat. Tapi lagi lagi jangankan menelepon nya, menyebut namanya saja rasanya hatiku tercekam rasa dingin dan takut.

Aku mengkhawatirkan semua hal, aku tidak tau apakah Dewa juga memikirkan hal yang sama, yang aku tau pada akhirnya aku akan menikahi orang asing yang bahkan tidak peduli aku masih hidup atau tidak.

Lalu hari itu datang. Hari dimana aku akan resmi menjadi istri dari seseorang yang tidak aku kenal, tapi apa bedanya dengan Dewa? Dia akan menikahi seorang wanita yang entah bagaimana pendidikannya, bagaimana masa kecilnya, wanita asing yang tiba tiba datang ke ruang tamu menyajikan teh dihadapannya. Pada saat itu ada empat kata lucu di benakku " Dua Orang Asing Menikah".

Aku berdiri disisi ruangan, menunggu MUA menyelesaikan riasan di wajah ku, riasan simpel dan membuat aku terlihat dewasa,mengenakan gaun putih dengan detail renda yang dikerjakan oleh tangan. Aku melihat diriku di cermin, cantik sekali. Menyedihkan.

Suara pintu terbuka, Dewa masuk dengan jas hitamnya yang pas di tubuh tinggi nya, rambut yang disisir rapi kebelakang dan wangi lembut dari parfum yang ia kenakan. Dia berjalan ke arah ku, tidak pelan namun tidak juga cepat, seperti menghampiri sesuatu yang biasa aja.

Dewa terlihat sangat sempurna, aku tidak pernah menyangkal komentar orang lain tentang sosok Dewa, dia seperti kesempurnaan, terlihat sangat lembut, tenang dan dewasa. Dia sosok pria sesungguhnya, tapi lagi lagi aku menunduk, Apalah gunanya memiliki raga sedemikian rupa tapi hatinya tak tersentuh sedikitpun oleh ku.

Setelah itu pernikahan berlangsung, ada banyak tamu, kerabat dari keluarga Dirgantara dan beberapa tamu lainnya dari keluarga ku. Selama mengucapkan janji suci, Dewa tanpa ekspresi, datar dan apa yang ia ucapkan tegas tanpa pengulangan, sehingga terasa sangat singkat dan tidak berkesan apa apa.

Aku mendengar beberapa tamu mengatakan kami pasangan yang serasi, berdiri besebelahan, Dewa yang terlihat gagah dengan jas nya sedangkan aku tersenyum sambil mengenggam bouquet bunga, tidak ada percakapan diantara kami hingga pestanya selesai.

Namun satu hal yang menarik perhatianku, saat dewa berdiri bersama teman temannya sambil memegang gelas wine, Dewa tertawa dan tersenyum penuh ekspresi, dia berbicara dengan lugas tanpa ragu, tanpa membatasi diri didepan beberapa temannya, sesekali mereka saling rangkul dan tertawa.

Bisakah aku memiliki Dewa yang seperti itu? yang ceria, penuh ekspresi bahkan teman temannya terlihat nyaman berada disana bersama Dewa. Aku iri.

......................

Setelah pernikahan hari itu juga kami pulang ke rumah Dewa yang berada di kota sebelah jaraknya cukup jauh dari tempat orang tua kami tinggal, perlu waktu setidaknya dua jam memakai mobil untuk kerumah Dewa. Didalam mobil pun kami tidak bersuara, Dewa sibuk memainkan handphone nya, bahkan supir pun merasa kurang nyaman karena suasa canggung ini.

Sesampainya di rumah Dewa tak mempersilahkan aku masuk atau membukakan pintu untuk ku, dia melangkah sembari membuka dasi nya dan melemparnya bersama dengan jas ke atas sofa, aku berjalan mengikutinya dari belakang. Saat itu kami berjalan ke sebuah kamar besar, sangat besar untuk sebuah kamar. Aku berdiri didepan pintu, Dewa membuka bajunya,membuka lemari dan melemparkan beberapa baju ganti miliknya ke atas kasur.

"Istirahatlah di kamar ini, aku tidak akan menganggumu" ucap Dewa sambil membawa beberapa helai pakaian, melewati ku begitu saja dan berjalan ke kamar diseberang sana.

Hatiku hancur seketika.

Dewa kembali keluar dari ruangan itu menuju entah kemana, lalu tak lama seorang wanita yang berumur sekitar 45 tahun datang menghampiriku membawa box yang cukup besar.

"non, ini semua baju dan keperluan mandi sudah disiapkan oleh nyonya, kalau butuh apa apa panggil saja saya di dapur ya non" ujarnya.

Ia menuntunku masuk ke kamar dan mengeluarkan baju di dalam box, memasukkannya kedalam lemari.

"Nona panggil saja saya mbak yuni, Saya awalnya kerja di rumah Nyonya, tapi semenjak tuan muda pindah ke sini saya ditugaskan mengurus rumah disini, sesekali saya kembali ke kota, setiap hari minggu saya tidak ada di rumah ya non" ucap mbak yuni membantu ku melepas gaun.

"iya mbak terimakasih sebelumnya" aku menelan ludah ku

"Mbak, Dewa tidur di kamar itu ya?" tanyaku menahan intonasi suara agar terlihat tenang dihadapan mbak yuni. Padahal aku sangat ingin memeluknya dan menangis saat ini.

"iya, katanya tuan muda kelelahan dan ingin sendiri dulu" Perkataan mbak yuni terasa janggal di dadaku.

"sendiri mbak? kita kan sudah menikah? apa maksudnya ingin sendiri" tanyaku kali ini menatap mbak yuni berharap ia akan memberikan semua jawaban atas semua sikap dan kejanggalan yang ada di sini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!