Di antara batas kehidupan dan kematian, tersembunyi sebuah dunia yang hanya dikenal dalam bisikan dan legenda. Dunia ini bukanlah surga yang menjanjikan kedamaian, juga bukan neraka yang dipenuhi siksaan. Ia adalah persimpangan, tempat di mana jiwa-jiwa berkumpul sebelum mencapai takdir terakhir mereka. Sebuah dunia yang disebut Netherworld Spirit Realm.
Dikatakan bahwa sejak awal mula penciptaan, Netherworld bukanlah dunia yang terpisah. Dahulu kala, ia hanyalah bayangan dari dunia fana, tempat roh-roh yang telah meninggalkan tubuh mereka melayang tanpa arah. Namun, ketika keseimbangan antara hidup dan mati terganggu, alam semesta menciptakan batasan baru—sebuah ranah yang berdiri di antara dua dunia.
Di Netherworld, waktu tidak berjalan seperti di dunia manusia. Siang dan malam tidak berganti, melainkan terjalin dalam satu harmoni abadi. Langitnya dipenuhi kabut ungu pekat yang berkilauan dengan bintang-bintang yang tidak pernah padam, sementara aurora hitam melayang seperti tarian bayangan yang terus bergerak. Di kejauhan, gunung-gunung terapung dengan pilar-pilar kristal bercahaya biru, seakan menyangga langit itu sendiri.
Namun, tidak semua yang datang ke Netherworld bisa bertahan. Roh-roh yang lemah akan segera menghilang, terserap oleh lautan tak berdasar yang disebut Oblivion Sea—tempat di mana segala sesuatu kembali menjadi ketiadaan. Hanya mereka yang memiliki tekad kuat atau kekuatan luar biasa yang dapat terus eksis di dunia ini.
Dahulu kala, Netherworld diperintah oleh makhluk-makhluk yang dikenal sebagai Arbiter of Souls, para penjaga keseimbangan yang memutuskan takdir jiwa-jiwa yang datang. Namun, legenda mengatakan bahwa suatu hari, para Arbiter menghilang tanpa jejak, meninggalkan dunia ini tanpa penguasa. Sejak saat itu, Netherworld menjadi tempat di mana hukum rimba berlaku—yang kuat bertahan, yang lemah menghilang.
Di tengah semua itu, ada satu ramalan kuno yang telah diwariskan selama ribuan tahun. Disebutkan bahwa suatu hari, seseorang akan muncul dengan kekuatan yang cukup besar untuk menguasai Netherworld dan mengembalikan keseimbangan yang telah lama hilang. Namun, apakah itu berarti kehancuran atau kelahiran kembali dunia ini, tidak ada yang tahu.
Di antara tanah kelam dan langit yang tak berujung, di salah satu puncak bukit tertinggi Netherworld, seorang gadis kecil duduk dengan tenang, memandangi cakrawala.
Rambutnya panjang berwarna hitam, berkilauan di bawah sinar bintang yang tidak pernah redup. Hembusan angin malam membuat helaian rambutnya berkibar lembut di bahunya. Matanya yang biru cerah menatap langit dengan ekspresi hampa, seolah pikirannya tidak berada di sana.
Tangannya yang mungil tergeletak di pangkuannya, namun sesaat, sebuah bayangan lain muncul—tangan yang lebih besar, lebih kuat, miliknya di masa lalu. Pandangan matanya sedikit berubah, dan dalam sekejap, jemarinya mengepal erat.
"Phantom Realm..." gumamnya dalam hati.
Sudah tujuh tahun ia berlatih tanpa henti, mencoba menembus batas kekuatan yang tersegel dalam dirinya. Namun, meskipun ia bisa merasakan kekuatan itu berdenyut di dalam tubuhnya, seakan ada dinding tak kasat mata yang terus menahan langkahnya.
Ia bukanlah gadis kecil biasa. Sejak terlahir di Netherworld, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa asing—seolah ia tidak seharusnya ada di sini. Di balik ingatan samar tentang kehidupannya saat ini, bayangan masa lalu masih melekat dalam benaknya.
Ia masih ingat—cahaya obor yang berkedip di dalam ruangan batu, udara lembab yang dipenuhi aroma dupa, dan nyanyian suci yang menggema di sekelilingnya. Tubuhnya terikat di atas altar dingin, sementara para pendeta berlutut dengan kepala tertunduk, melantunkan doa-doa yang tidak pernah ia mengerti.
Pengorbanan.
Kata itu berbisik di kepalanya, seperti belati yang menusuk ke dalam pikirannya. Ia masih bisa merasakan bagaimana jubah putihnya berlumuran darah, bagaimana cahaya terakhir yang ia lihat sebelum kematiannya adalah bayangan pedang yang terangkat tinggi di atas kepalanya.
Tidak.
Gadis itu menggeleng cepat, menepis kenangan itu dari benaknya. Ia tidak ingin mengingatnya. Bukan sekarang, bukan di tempat ini.
Namun, tiba-tiba, ia teringat sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih penting daripada masa lalunya.
"Ayah."
Matanya membelalak, dan tanpa pikir panjang, ia segera bangkit dari tempatnya dan berlari menuruni bukit. Langkahnya ringan, tetapi hatinya dipenuhi kecemasan.
Di balik kabut tipis yang menyelimuti desa Qinghe, rumahnya berdiri di ujung jalan berbatu yang sempit. Tidak besar, juga tidak terawat, namun tetap menjadi satu-satunya tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah. Dinding kayunya sudah mulai lapuk, atapnya miring di beberapa bagian, dan cahaya redup dari lentera tua menggantung di ambang pintu.
Begitu ia mendorong pintu kayu itu, suara derit pelan terdengar, mengiringi pemandangan yang sudah biasa ia lihat setiap malam.
Seorang pria duduk di kursi kayu tua di tengah ruangan, sikapnya tegak meskipun kepalanya tertunduk. Tubuhnya masih kokoh dengan otot-otot yang jelas terbentuk, tanda bahwa ia pernah menjadi seseorang yang kuat. Namun, rambut panjangnya yang berantakan dan pakaian yang lusuh membuatnya terlihat kacau. Sebuah botol kaca kosong tergeletak di lantai di samping kakinya.
Gadis itu menelan ludah, lalu melangkah perlahan mendekati pria itu.
"Maaf, Ayah… Aku terlambat pulang," ucapnya pelan.
Suara napas pria itu terdengar berat, tetapi ia tidak langsung merespons. Gadis itu hanya bisa berdiri di sana, menunggu reaksi yang akan datang—reaksi yang tidak pernah bisa ia prediksi.
Pria itu hanya mengangguk dengan geraman kecil, nyaris tidak memperhatikannya. Gadis itu sudah terbiasa dengan sikap ayahnya yang dingin. Tanpa banyak bicara, ia segera berjalan ke meja kayu di sudut ruangan, meraih gelas kosong, lalu berlari ke arah tungku yang tertutup. Tangannya yang kecil dengan cekatan membuka penutupnya, mengambil arak tersimpan di dalamnya, lalu menuangkan cairan bening itu ke dalam gelas besar.
Aroma menyengat menusuk hidungnya, tapi ia tidak menunjukkan reaksi. Setelah mengisi gelas itu hingga cukup penuh, ia segera menutup kembali tungku dan membawa minuman itu ke pria yang masih duduk diam di tempatnya.
Ayahnya meraihnya tanpa berkata-kata, hanya menatap cairan dalam gelas itu dengan mata kosong sebelum meneguknya dalam sekali seruput.
Sementara itu, gadis itu kembali ke dapur, mengambil panci kecil yang masih hangat di atas api. Ia menuangkan bubur yang telah ia siapkan sebelumnya ke dalam mangkuk kayu, mengaduknya perlahan agar tidak terlalu panas sebelum membawanya ke meja makan. Namun sebelum ia sempat menghidangkannya, suara berat dan serak menggema di dalam ruangan.
“Bagaimana latihanmu di sekolah?”
Tangan gadis itu sedikit terhenti. Ia menoleh, mendapati ayahnya masih duduk di tempat yang sama, tetapi kali ini matanya menatapnya—tatapan yang tidak bisa ia pahami.
“Sudah sejauh mana perkembanganmu?”
“Sudah sejauh mana perkembanganmu?”
Suara itu terdengar datar, tetapi bagi gadis itu, pertanyaan itu lebih dari sekadar basa-basi. Sejenak, ia terdiam, menatap kembali bubur dalam mangkuknya sebelum menghela napas pelan.
“… Tidak banyak perubahan.”
Jawabannya jujur, tetapi pahit. Ia masih ingat bagaimana seluruh murid lain di sekolah perlahan mulai menunjukkan perkembangan mereka, sementara dirinya tetap stagnan. Segel yang mengunci kekuatannya masih belum sepenuhnya terbuka, meskipun ia telah berusaha selama bertahun-tahun.
Sang ayah terdiam sejenak sebelum kembali meneguk arak dalam gelasnya. Gadis itu hanya bisa menggenggam erat mangkuk kayu di tangannya, menunggu respons yang akan diberikan pria itu.
Ayahnya meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar di atas meja, suara denting kayu terdengar nyaring di tengah keheningan. Napasnya yang berat bercampur dengan aroma arak yang menyengat.
“Sia-sia.”
Satu kata itu meluncur dari bibirnya dengan dingin, membuat gadis itu menegang.
“Latihanmu, usahamu, semua itu tidak ada gunanya.” Ayahnya menatapnya, matanya yang redup seperti menyimpan sesuatu yang tak dapat diungkapkan. “Takdirmu bukan untuk menjadi seseorang yang hebat. Kau hanyalah seorang anak yang lahir untuk melayani. Menyiapkan makanan, menuangkan arak, memastikan aku tidak kelaparan. Itu saja yang bisa kau lakukan.”
Kata-kata itu tajam, lebih tajam dari belati mana pun. Yin Lian hanya bisa diam, menundukkan kepalanya sementara jari-jarinya mencengkeram mangkuk kayu dengan erat.
Ia ingin membantah.
Ia ingin berkata bahwa dirinya bukan hanya sekadar seorang anak yang hidup untuk melayani, bahwa ia juga memiliki impian, bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang lebih besar dari apa yang dipikirkan ayahnya. Namun, seperti biasa, ia tetap diam.
Namun, sebelum ayahnya bisa berbicara lebih banyak, suara ketukan terdengar dari pintu kayu yang sudah usang.
Tok. Tok. Tok.
Langit di luar mulai sedikit lebih cerah, menandakan bahwa fajar sudah mendekat. Suara lembut seorang pria terdengar dari balik pintu, memecah ketegangan di dalam rumah.
“Xiao Lian.”
Panggilan itu tenang, tetapi cukup untuk membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah pintu, sedikit ragu, tetapi juga merasa lega.
Ayahnya hanya mendengus pelan, kembali meraih gelasnya, seolah tidak peduli siapa pun yang datang. Yin Lian menghela napas, menenangkan dirinya sejenak sebelum melangkah menuju pintu dan membukanya perlahan.
Di balik pintu, berdiri seseorang yang telah menunggunya.
Yin Lian membuka pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Bunyi deritannya terdengar pelan, menggema dalam keheningan pagi, dan di depannya berdiri seorang lelaki tua dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya dipenuhi kerutan usia, tetapi matanya memancarkan kehangatan dan kebijaksanaan yang tidak pudar seiring waktu. Ia tersenyum lembut begitu melihat Yin Lian.
"Pagi yang indah, Xiao Lian," sapanya lembut. Suaranya dalam, sedikit serak, tetapi membawa ketenangan seperti desir angin di pegunungan. "Aku datang ke sini untuk menjemputmu ke sekolah.”
Gadis itu menatap lelaki tua tersebut. Ini bukan pertama kalinya kakek Wu Cheng datang menjemputnya. Lelaki tua itu sudah bertahun-tahun melatih anak-anak di desa dalam seni bela diri dan pengendalian energi, memastikan mereka memiliki keterampilan bertahan hidup di dunia yang keras.
Namun, sebelum Yin Lian sempat menjawab, suara berat dari dalam rumah memecah keheningan.
"Hah? Menjemput? Untuk apa?!"
Suara itu berasal dari seorang pria yang duduk di kursi kayu di sudut ruangan. Cahaya samar dari lampu minyak menyorot wajahnya yang kasar dan lelah, menunjukkan mata merah yang dipenuhi keletihan dan mabuk. Tangannya yang besar menggenggam erat gelas berisi arak, sebelum meneguknya sekali lagi.
"Kakek tua, kau pikir kau bisa membawa anakku pergi sesukamu?" dengusnya dengan nada tajam. "Dia ada di rumah ini bukan untuk bermain-main di akademi. Dia punya kewajiban untuk tinggal di sini dan melayaniku."
Yin Lian menggigit bibirnya, menundukkan kepala, sementara tangan kecilnya mengepal di sisi tubuhnya. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk dadanya, tetapi bukan hal baru baginya. Ia sudah terbiasa mendengarnya sejak lama.
Kakek Wu Cheng mengamati pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tidak menunjukkan kejengkelan, tidak pula kemarahan. Yang ada hanyalah senyum tipis penuh kesabaran.
"Kau tahu, tidak ada yang bisa melarang anak ini mengejar apa yang dia inginkan," ujarnya pelan, tetapi tegas. "Hanya karena kau sedang tidak dalam kondisi baik, bukan berarti kau bisa menghancurkan masa depannya."
Pria itu mendengus, memalingkan wajah. Tangannya yang kokoh mengetuk gelas di tangannya dengan jari-jari kasar, sementara rahangnya mengatup rapat. Seolah kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap kasarnya.
Yin Lian tetap diam. Ia tahu ayahnya tidak akan berubah dalam semalam. Ia tahu, di balik tatapan lelah itu, ada sesuatu yang tidak pernah bisa ia pahami sepenuhnya.
Kakek Wu Cheng menoleh ke arah Yin Lian, lalu menepuk kepalanya dengan lembut.
"Jangan khawatir," katanya, suaranya penuh ketenangan. "Aku akan mengantarmu pulang setelah pelatihan selesai. Kau bisa pergi tanpa beban."
Yin Lian menunduk sedikit, berpikir sejenak. Bagian dalam dirinya ingin menolak, ingin tetap di rumah untuk memastikan ayahnya tidak terlalu mabuk dan tetap makan sesuatu. Namun, sebelum ia bisa membuka mulut, tatapan tajam pria itu menghentikan keraguannya.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Dengan gerakan malas, ia mengayunkan tangannya.
"Pergilah," gumamnya. "Tapi setelah selesai, kau harus pulang. Aku ingin makan malamku disiapkan, dan arakku tidak boleh habis."
Yin Lian menatap pria itu dalam diam, lalu perlahan tersenyum kecil dan mengangguk.
"Baik, Ayah."
Kakek Wu Cheng tersenyum puas, lalu meraih tangan Yin Lian dengan lembut, membimbingnya keluar dari rumah. Gadis itu melirik ke dalam sekali lagi.
Di sana, pria itu masih duduk di kursinya, bayangannya terpantul samar oleh cahaya pagi yang masuk melalui celah-celah jendela. Rambutnya berantakan, tangannya menggenggam gelas berisi arak dengan erat.
Senyum di wajah Yin Lian perlahan memudar saat pintu kayu tertutup di belakangnya, memisahkan mereka dalam dua dunia yang berbeda.
Langit pagi mulai cerah, sinar matahari menembus celah pepohonan di sekolah, tempat anak-anak desa Qinghe berkumpul untuk latihan. Beberapa dari mereka bersemangat, bercakap-cakap riang satu sama lain, sementara yang lain hanya berdiri dengan penuh harapan, menunggu instruksi dari Kakek Wu Cheng.
Yin Lian berdiri di sisi belakang, memperhatikan suasana di sekelilingnya. Ia tidak terlalu akrab dengan anak-anak lain, jadi ia memilih untuk tetap diam. Matanya mengikuti sosok Kakek Wu Cheng yang berjalan menjauh, seolah ingin memastikan lelaki tua itu tidak meninggalkannya begitu saja.
Setelah beberapa saat, Kakek Wu Cheng kembali ke tengah taman dan bertepuk tangan pelan untuk menarik perhatian semua anak.
"Baiklah, anak-anak! Semuanya berkumpul di tengah," katanya dengan suara tenang, namun tegas.
Tanpa banyak protes, semua anak mulai bergerak, membentuk lingkaran di sekitar Kakek Wu Cheng. Yin Lian melangkah dengan tenang, mengambil posisi di belakang, tidak ingin menarik perhatian.
Namun, baru saja mereka semua berkumpul, sesuatu melesat ke arah mereka dengan kecepatan tinggi.
DUP!
Angin berhembus kencang saat seseorang mendarat dengan ringan di hadapan mereka. Debu sedikit berhamburan, membuat beberapa anak mundur selangkah karena terkejut.
Mata Yin Lian langsung melirik tajam ke arah sosok itu.
Seorang pria dengan jubah biru tua bersulam emas berdiri tegap di depan mereka. Selempang perak melintang di bahunya, mencerminkan statusnya yang tinggi. Wajahnya dingin dan tajam, auranya memancarkan wibawa yang tidak bisa disangkal.
Kakek Wu Cheng melangkah maju dan menoleh ke arah anak-anak yang kini terdiam.
"Anak-anak, ini adalah Master Liang Zhen, seorang Spirit Grandmaster level 27 dari Akademi Azure."
Begitu mendengar namanya, gumaman kagum segera terdengar di antara anak-anak. Liang Zhen hanya menatap mereka sekilas, ekspresinya tetap datar.
"Tidak perlu berlama-lama. Aku tidak punya banyak waktu," katanya dengan nada tegas, memotong pembicaraan Kakek Wu Cheng. "Masih ada desa lain yang harus kukunjungi hari ini. Kita langsung mulai."
Kakek Wu Cheng tersenyum kecil, tidak tersinggung dengan sikap pria itu. Ia lalu menoleh kepada anak-anak.
"Hari ini adalah Upacara Pembangkitan Spirit. Dalam upacara ini, anak-anak yang telah berusia enam tahun akan diuji oleh seorang Spirit Grandmaster untuk membangkitkan Martial Soul mereka dan melihat apakah mereka memiliki Kekuatan Roh Bawaan (Innate Soul Power)."
Para anak-anak mulai menegang, mata mereka berbinar penuh harapan.
"Jika kalian memiliki Martial Soul yang kuat dan Kekuatan Roh yang cukup, kalian bisa menjadi Spirit Master dan memulai perjalanan kultivasi kalian. Ini adalah kesempatan langka yang bisa mengubah hidup kalian."
Mata anak-anak membelalak kagum, napas mereka sedikit tertahan.
"Benarkah?!" salah satu anak berseru dengan antusias.
"Jika aku memiliki Spirit Master, apakah aku bisa menjadi seorang Grandmaster seperti dia?" tanya anak lainnya.
Liang Zhen hanya menghela napas pendek, lalu tanpa menjawab pertanyaan itu, ia mengangkat satu tangannya. Seberkas cahaya biru keunguan muncul di sekelilingnya, membentuk gelombang energi yang berputar di udara.
Dengan satu gerakan, ia mengarahkannya ke salah satu bangunan tua di sudut sekolah.
Braak!
Pintu kayu besar itu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan ruang gelap di dalamnya. Liang Zhen tidak berkata apa-apa, hanya melangkah masuk dengan tenang. Sebelum menghilang ke dalam bayangan, ia mengangkat tangan dan memberi isyarat agar anak-anak mengikutinya.
Tanpa pikir panjang, anak-anak mulai berlari masuk dengan penuh semangat. Sebagian masih ragu, tetapi dorongan ingin tahu mereka terlalu besar untuk diabaikan.
Yin Lian masih berdiri di tempatnya. Tatapannya tetap fokus pada pria itu. Ada sesuatu dari sosok Liang Zhen yang terasa... aneh. Ia tidak tahu apakah itu firasat buruk atau sekadar perasaan tak nyaman.
Setelah menarik napas perlahan, ia akhirnya melangkah masuk bersama yang lainnya.
Begitu semua anak berada di dalam, pintu besar itu tertutup dengan sendirinya, meninggalkan Kakek Wu Cheng di luar yang tetap berdiri, menunggu hasil dari upacara penting ini.
Di dalam ruangan yang remang-remang, suasana terasa tegang. Dinding kayu tua membungkus ruangan itu, hanya diterangi beberapa lentera kecil di sudutnya. Udara terasa sedikit lembap, mungkin karena bangunan ini jarang digunakan.
Di tengah ruangan, anak-anak berdiri dalam kelompok, dengan Yin Lian berada di tengah-tengah mereka. Liang Zhen, sang Spirit Grandmaster, berdiri tegak di depan, menatap mereka dengan mata tajam.
"Semua berbaris," perintahnya dengan nada datar.
Anak-anak segera bergerak, membentuk barisan panjang. Namun, saat Yin Lian hendak mengambil tempatnya di tengah, sebuah dorongan tiba-tiba membuatnya kehilangan keseimbangan.
DOR!
Yin Lian sedikit tersentak ke depan, nyaris terjatuh. Ia segera menoleh dan menemukan seorang anak laki-laki bertubuh kekar yang berdiri dengan tangan terlipat di dada. Senyum ejek menghiasi wajahnya.
"Kau tidak pantas berdiri di tengah," ejek anak itu.
Beberapa anak lain hanya diam, enggan ikut campur. Yin Lian menghela napas pelan. Ia tidak ingin mencari masalah, terutama di tempat ini. Tanpa mengatakan apa pun, ia melangkah ke barisan paling kanan dan berdiri di urutan terakhir.
Liang Zhen melirik sekilas tetapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunggu semua anak menyelesaikan barisan mereka sebelum mulai berbicara.
"Dengarkan baik-baik," katanya, suaranya tegas. "Upacara ini bertujuan untuk membangkitkan Martial Soul kalian dan mengetahui apakah kalian memiliki Innate Soul Power. Hanya mereka yang memiliki kekuatan roh bawaan yang cukup yang bisa memulai jalan sebagai seorang Spirit Master."
Ia menatap anak-anak satu per satu, memastikan mereka mendengarkan dengan baik.
"Aku akan menggunakan Spirit Awakening Scroll untuk membangkitkan Martial Soul kalian. Saat Martial Soul kalian muncul, kalian harus merasakan apakah ada kekuatan roh di dalam tubuh kalian. Jika tidak ada, maka kalian tidak akan bisa menjadi Spirit Master."
Salah satu anak mengangkat tangan ragu-ragu.
"Apa semua orang memiliki Innate Soul Power?" tanyanya dengan nada cemas.
Liang Zhen menggeleng. "Tidak. Beberapa orang mungkin memiliki Martial Soul, tetapi tanpa Innate Soul Power, mereka tidak akan bisa berkembang menjadi Spirit Master."
Mendengar hal itu, beberapa anak terlihat gugup. Namun, Liang Zhen tidak memberi mereka waktu untuk berpikir lebih lama.
Dengan satu gerakan tangannya, ia mengeluarkan sebuah gulungan emas dari dalam jubahnya. Gulungan itu memancarkan cahaya redup, tetapi aura yang dipancarkannya begitu kuat hingga beberapa anak bisa merasakannya.
Lalu, dengan gerakan tangan lainnya, sebuah cahaya biru keunguan menyelimuti tubuhnya. Perlahan, dari balik punggungnya, muncul sosok transparan berwujud seekor serigala besar dengan mata tajam dan bulu yang bersinar samar.
Spirit Beast miliknya telah muncul.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!