Hujan deras mengguyur kota Semarang saat seorang gadis dengan celemek yang masih menempel ditubuhnya itu berlari menyusuri lorong rumah sakit, napasnya memburu dan jantungnya berdebar hebat. Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang ICU. Di balik kaca bening, ia melihat sosok Ayah terbaring tak sadarkan diri, dengan alat bantu pernapasan dan berbagai kabel medis yang menempel di tubuh renta itu.
"Terjadi pendarahan otak yang menyebabkan koma, diperlukan CT Scan atau MRI dan kemungkinan operasi, silahkan segera mengurus administrasi untuk dilakukan penanganan selanjutnya." kata dokter singkat, sebelum pergi memeriksa pasien lain.
Liliana Montclaire berdiri terpaku, menatap wajah ayahnya yang tampak lelah. Dunia seakan runtuh dalam sekejap. Ia masih sulit percaya bahwa hanya dalam hitungan jam, hidupnya berubah drastis. Satu satunya keluarga yang dimiliki saat ini hanyalah ayah, tetapi saat ini ia terpaksa sendirian melihat keadaan ayahnya yang entah masih akan ada hari esok atau tidak untuk bisa bertemu lagi.
Perlahan langkah kakinya membawa dekat dengan sang ayah, helaan napas terdengar berat, menyimpulkan bahwa dirinya pasrah. Tangannya melepas celemek dalam sekali tarikan. Dengan lembut menyentuh kulit tangan yang kian keriput, beliau tak lagi muda.
"Ayah," panggilnya pelan dengan suara bergetar menahan tangis.
Tak lama setelah itu, seorang pria paruh baya datang menghampirinya. Pria itu bernama Hendra — sahabat sekaligus mantan rekan bisnis ayahnya. Wajahnya tampak serius, dan ia membawa map cokelat tebal.
"Lili, ada sesuatu yang harus kamu ketahui," katanya pelan. "Utang ayahmu... belum selesai. Bahkan bertambah."
Liliana menggenggam surat tagihan di tangannya, tangannya gemetar. Jumlahnya fantastis. Lebih dari lima miliar. Dan itu harus dibayar dalam satu bulan.
Liliana menahan napas. "Tapi... bukankah semuanya sudah dibayar tahun lalu?"
Pak Hendra menggeleng. "Tidak semuanya. Beberapa aset sudah dijual, tapi ternyata ada satu pinjaman besar yang jatuh tempo bulan ini. Satu-satunya aset yang tersisa hanya rumah tempat kalian tinggal, dan nilainya tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utang yang jatuh tempo. Jika dalam satu bulan ke depan utang ini tidak diselesaikan, rumah itu akan disita. Dan lebih dari itu, kamu sebagai ahli waris bisa dikenakan tuntutan hukum untuk menanggung sisa kewajiban ayahmu."
Liliana merasa lututnya lemas. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Bahkan rumah peninggalan neneknya yang saat ini ia tinggali itu harus dijual. Pekerjaannya yang hanya seorang pekerja dibagian dapur restoran itu tidak cukup untuknya bisa menutup seluruh utang dalam satu bulan.
Pak Hendra menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Beberapa waktu lalu, sebelum ayahmu jatuh sakit, beliau sempat berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan utang-utang itu. Salah satu yang ia temui adalah Lucien Dravenhart — CEO Zetther Holdings yang cukup berpengaruh. Awalnya ayahmu berniat untuk bernegosiasi soal penjadwalan ulang pembayaran, tapi... pihak Lucien justru menawarkan sesuatu yang lain."
Ia menatap Liliana, ragu untuk melanjutkan.
"Itu bukan tawaran biasa, dan ayahmu langsung menolaknya. Katanya, itu terlalu tidak masuk akal... terlalu personal. Aku kurang tahu apa penawaran itu, yang jelas ayahmu membawa pulang dari pertemuan itu hanyalah selembar kartu nama tetapi ia membuangnya."
"Aku mengambil kembali, kupikir jika masih dibutuhkan suatu saat," ucapnya seraya menyerahkan kartu nama tersebut.
Liliana menerima kartu nama dari tangan Pak Hendra—berwarna hitam pekat, dengan tulisan timbul berwarna perak: Lucien Dravenhart. Tidak ada alamat. Tidak ada jabatan. Hanya nama dan nomor, seolah itu sudah cukup untuk menunjukkan siapa dia.
Liliana mengerutkan kening. Ia memang sering mendengar nama itu di berita bisnis. Lucien, pemilik grup perusahaan yang tengah naik daun. Pria berdarah campuran Indonesia— Amerika ini dikenal ambisius dan tak pernah bermain setengah-setengah.
"Baiklah om, akan aku pikir pikir kembali, terima kasih sudah membantu ayah sejauh ini," ucap Liliana lalu membungkukkan badannya tanda ia hormat dan berterima kasih.
"Tidak apa apa Lili, kamu sudah om anggap sebagai anak om juga. Ayahmu juga sudah om anggap saudara kandung om sendiri, tidak perlu berterima kasih, jika ada yang bisa om bantu pasti om bantu kamu," jelas Hendra yang merasa iba melihat kondisi Liliana.
Gadis itu tumbuh hanya bersama ayahnya, dan kini ayahnya harus terbaring entah seberapa lama dia akan bangun. Membebankan sisa sisa hutang yang masih banyak itu pada dirinya, begitu malangnya Liliana.
Criett..
Pintu ICU terbuka, petugas administrasi datang dan menatapnya dengan wajah datar, mungkin memang fitur wajahnya terlihat seperti itu.
"Permisi kak, keluarga atas nama James Montclaire bisa untuk ke tempat administrasi, terima kasih," ucapnya dengan ramah kemudian membalikkan tubuh dan pergi.
Ah~ administrasi ayah. Liliana dengan tubuh lemas yang perutnya belum terisi apapun itu berjalan keluar dari ruang ICU, entah apa yang bisa dia lakukan sekarang.
Setibanya Liliana ditempat administrasi, salah satu petugas menyodorkan tagihan yang jumlahnya membuat jantungnya hampir berhenti saat itu juga—ironis.
Tepat saat itu juga Hendra menghampiri Liliana, ia tahu jika gadis itu bisa saja kesulitan disaat saat seperti ini.
Dengan mata yang sudah berkaca kaca, Liliana berucap, "Om, ayah dulu pernah buat asuransi kan, Lili masih ingat mungkin bisa ngebantu."
"Sayangnya ayahmu tidak bisa lagi membayar premi, dia sudah tidak memiliki asuransi," ungkap Hendra.
Tangannya gemetar saat menerima lembar tagihan itu. "Tapi… saya benar-benar tidak punya uang sebanyak ini."
"Apakah bisa hanya membayar uang muka?"
Dengan suara pelan namun tegas petugas berkata, "Untuk perawatan ICU, kami butuh uang muka minimal lima belas juta rupiah. Setelah itu baru bisa kami lanjutkan proses rawat inap."
Sejenak, pikirannya kosong. Lima belas juta dari mana ia dapat uang sebanyak itu, pikirannya semakin kacau. Kalaupun hari ini dia pergi menemui Lucien, itu hanya menyelesaikan hutang dan bukan persoalan rumah sakit. Tabungan miliknya saja hanya tujuh juta.
Liliana membutuhkan waktu untuk berpikir ia berkata pada petugas, "Sebentar ya kak, saya siapkan nominal uangnya."
Ia pergi ke kursi panjang yang tersedia tidak jauh, diikuti oleh Hendra yang menatapnya penuh rasa bersalah. Pria tua itu juga tidak bisa membantu sepenuhnya sementara hidupnya juga sama sulitnya saat ini.
"Lili, Mau om kasih pinjam 1 juta dulu? mungkin bisa meringankan kamu?"
"Tapi om masih ada tante sama anak om, mereka gimana?" tanya Lili yang juga mengkhawatirkan keadaan keluarga Hendra.
"Om masih ada tabungan lain buat mereka, om kira tante juga akan menyuruh om buat lakuin hal yang sama ketika di tahu kamu sedang kesulitan," jelas Hendra seraya mengusap surai gelap Liliana dengan lembut.
"Lili janji akan balikin om, makasih banget om," ucapnya diikuti dengan air mata yang mulai mengalir yang segera ia hapus.
Dengan tangan gemetar dan penuh keraguan, ia mencari nama seseorang di pencarian data panggilan. Sebelum akhirnya menunggu dering ponsel itu berubah menjadi suara seseorang.
"Sorry, gua gak tau harus minta tolong ke siapa, gua harus ketemu sama lo sekarang."
Helaan napas berat kembali terdengar usai panggilan itu berakhir.
.
.
.
Terimakasih buat yang sudah membaca :)
Maaf jika ada kesalahan penulisan atau alur yang tidak sesuai, dan silahkan jika ada saran dan kritik yang membangun
Jika suka enjoy to reading tapi kalau tidak suka boleh diskip ceritanya...
Langit perlahan menelan cahaya tapi tidak sedikit pun menyurutkan padatnya jalanan kota yang masih dipenuhi oleh roda besi berbagai rupa. Hingar bingar yang tercipta tidak lagi menjadi perhatian berarti. Dibalik salah satu kaca hitam mobil yang berjajar disana—seorang pria tenggelam dalam dunianya sendiri, headphone yang melekat dikepalanya, memisahkannya dari riuh dunia luar.
Layar tablet itu mampu mencuri perhatian seluruh dunianya, menyingkirkan apa pun yang tak relevan. Di balik cahaya biru yang memantul di wajahnya, diagram-diagram rumit berkelebat, mengusik pikirannya tanpa ampun. Perlahan, alis tebalnya menukik tajam, seolah pikirannya sedang bergulat dalam sunyi.
"Aehara corp telah terhitung bangkrut sejak enam tahun yang lalu, perjanjian yang telah disepakati saat itu dalam enam tahun akhir dari hutang. Apakah sudah ada informasi mengenai Aehara corp?" tanya pria dengan suara bariton khas pria usia 29 tahun.
Pahatan sempurna disetiap inci wajahnya seolah dibuat dengan penuh ketelitian dan tanpa cela. Lucien Dravenhart, ukiran nama yang terbentuk rapi disisi kanan jas hitam miliknya.
"Aku mendapat informasi jika baru-baru ini Montclaire jatuh sakit, mengenai hutang masih belum ada hal terbaru dari pihak mereka, kecuali terakhir kali Montclaire yang membayar setara harga satu unit apartemen," jelas Grack, sosok pria yang berusia lebih muda dari Lucien tapi memiliki jiwa layaknya seorang sekretaris.
"Sakit ya," gumam Lucien. Tangan dingin itu menutup tablet yang semula menjadi fokus utamanya.
Mata yang terkesan tajam itu menatap sisi tubuh Grack, "Batas waktu?"
"Satu bulan lagi."
Usai mendengar jawaban Grack, Lucien yang kerap orang terdekatnya menyapa Lux itu mengalihkan pandangan ke jalanan. Dengan segala kerumitan dikepalanya yang tak kunjung tuntas.
"Grack! Where is Lux? Dia bahkan mematikan ponsel, sangat menyulitkanku," seru seorang wanita tua dari balik layar head unit android yang terpasang di dashboard mobil.
Ketenangan Lux menjadi buyar hanya karena suara yang tercipta disana, neneknya. "Grack?"
Dengan tatapan seolah ingin membunuh Grack saat itu juga, dia berucap, "Why, eyang?"
"Come here! Mamamu dan aku tentunya ingin bertemu, kita berkumpul hari ini," ajaknya dengan tone suara yang energik. Sudah begitu jelas bukan karakteristik wanita tua itu.
"It's late," balas Lucien, mewakilkan dirinya yang tidak menginginkan perkumpulan antar keluarga. Hanya dipenuhi dengan orang orang yang ingin menonjolkan bagian dari pencapaian mereka, entah kekayaan, kecerdasan, dan yang pasti kekuasaan.
"Grack, bawa Lux kesini atau Lux kamu harus terima bahwa istri Grack harus menerima semua," ancam wanita itu dengan gampangnya.
Jelas Lux akan pergi ketempat itu, rasa empati yang tersisa dalam dirinya membuat ancaman itu menjadikan hal yang paling dia benci. Sungguh licik, mereka tidak memiliki ikatan apapun juga harus menanggung yang bukan tanggung jawabnya. Walaupun hanya sebuah ancaman tak serius, itu bukan hal yang pantas dilontarkan.
"End call." Panggilan itu terputus atas perintah ucapan Lux, kecanggihan teknologi saat ini yang semakin mempermudah banyak hal tapi juga mempersulit hal lain dalam satu waktu.
"Kita pergi."
Dalam dua puluh menit mobil itu sudah hampir memasuki kawasan mansion keluarga Dravenhart. Sampai dimana sebuah gerbang besar yang menjulang setinggi tiga meter dari bawah permukaan tanah masih tertutup, tak butuh waktu beberapa menit untuk gerbang itu terbuka sendirinya.
Halaman yang luas berlantai batu paras di sepanjang arah menuju mansion. Pohon pohon besar yang menutup hampir sebagian area mansion tidak mengurangi suasana redup, walaupun beberapa lentera sudah ditanam disetiap sisi jalan dengan tiang tiang lampu bergaya Victoria klasik.
Dari kejauhan, berdiri megah sebuah mansion dengan fasad rumah yang menampilkan arsitektur era Victoria klasik, dengan dikelilingi taman rapi membentuk cincin dan air mancur bertingkat 3 yang terbentuk dari bahan marmer dibagian tengah.
Mobil Lux terparkir tepat didepan pintu tinggi besar yang bisa diperkirakan tiga kali lipat dari tubuh Lux.
"Grack, untuk Aehara corp coba kamu cari tahu perkembangan mereka, jika dalam waktu seminggu sebelum jatuh tempo mereka masih tidak ada tindakan kita lakukan pergerakan," ucapnya sebelum pergi meninggalkan mobil.
Terlihat jelas pintu masuk besar, dari kayu mahoni yang dipernis mengilap, dihiasi dengan ornamen ukiran rumit di bagian atas kusen pintu, dan terdapat lampu gantung modern yang berbentuk logam besar.
Saat Lux baru saja menapakkan kaki didepan pintu, saat itu pula pintu terbuka seolah menyambutnya dengan anggun.
Interior dalam mansion tak kalah mewah—langit-langit tinggi, lampu gantung kristal yang bergoyang pelan di aula utama, dan tangga kayu melingkar yang melambai menuju lantai atas.
"My lovely Lux! Come here sayang," sambut sang nenek dengan penampilan glamour dan cetar yang selalu menjadi ciri khas wanita kepala 6 itu.
Lux berjalan dengan tubuh tegap dan gagahnya, salah satu alisnya naik seolah mempertanyakan hal yang dia lihat saat ini. Bagaimana tidak, seluruh keluarga besarnya berkumpul di meja makan saat ini, harapan yang dia pikir hanya nenek dan mamanya.
"Long time no see, brother, my Luxie!" salah seorang pria dengan penampilan urakannya yang duduk disamping kursi kosong tempat seharusnya Lux berada.
"Yeah nice too meet you, Jacob." Pria itu saudara sepupu Lux, anak dari adik mama Lux. Keberadaannya cukup dinilai memperburuk keluarga Dravenhart, tetapi bukan menjadi masalah besar baginya, ia hidup bebas tanpa adanya media yang mengetahui jika dia bagian dari Dravenhart.
"But don't call me Luxie again," bisik Lucien pada Jacob.
"So what? Luppie?"
"Hey, you wanna die?" Lux tertawa usai memberikan pukulan kecil pada bahu Jacob, mereka sudah tumbuh bersama sejak kecil, dan kepribadian Jacob yang bebas tidak menciptakan persaingan antara keduanya.
"Hai Lucien, remember me?" Seseorang yang lain duduk disebrang Lux, bentuk matanya lebih tajam, rahangnya begitu tegas.
"Of course Emric Bagus Dravenhart, aku ingat," jawab Lux dengan santai.
"And i know your girlfriend, Seraphina right?" sambung Lux seraya mengalihkan pandangannya pada gadis disamping Emric, dia seorang model papan atas, yang wajahnya sudah wara wiri di berbagai majalah dan banner iklan.
Perempuan dengan lesung pipi disisi kanan itu tersenyum dan mengangguk.
Suasana menjadi sedikit lebih sunyi setelah percakapan singkat yang terjadi antara keduanya, beberapa dari mereka mengerti jika ada persaingan tak terlihat yang terbentuk dari mereka.
"Baiklah, kita sudah berkumpul di sini. Dan Lux... yang harus aku paksa datang," ucapnya sambil berhenti sejenak, menatap ke arah Lux dengan tatapan sendu.
"Karena Emric akan segera melangsungkan pernikahannya. Itulah alasan dia membawa Seraphina untuk bergabung bersama kita malam ini," lanjutnya.
"Memang seharusnya, kan? Dia juga udah tua," celetuk seorang gadis yang duduk tepat di samping Jacob. Dia adalah Kim, adik kandung Jacob. Tidak sebebas kakaknya, tapi cukup berani untuk bicara blak-blakan.
Suasana sempat kaku, namun tawa kecil dari Jacob membuat ketegangan mereda.
"Kim…," ujar Jacob sambil menggeleng pelan, separuh geli, separuh bangga.
"Apa? Aku cuma bilang yang jujur," jawab Kim ringan, menyender santai di kursinya lalu menyuapkan steik ke dalam mulutnya.
Langit masih setia mengumpulkan awan hitam, derai hujan disertai petir tak kunjung usai sejak sore tadi, payung yang seharusnya menjaga tubuh mungil Liliana dari air hujan tidak sepenuhnya membantu. Hujan kian deras, tetapi gadis itu masih mengantri makanan dipinggir jalan.
Tidak peduli hampir semua bajunya basah, pikirannya terlalu kalut untuk hal hal yang tidak berguna.
Menunggu selama hampir sepuluh menit Liliana mendapatkan makanan itu, genggaman erat diberikan pada sekantong plastik tersebut. Langkah kaki itu dipercepat seiring makin kerasnya suara petir yang terdengar murka diatas sana.
Bajunya basah, dingin mulai menusuk kulit kulit perlahan. Dia berjalan cepat menuju ruangan tempat ayahnya berbaring. Sepi, pendeskripsian yang tepat saat kakinya memasuki ruangan itu. Hanya bunyi bunyi alat medis dan suara beberapa orang yang berlalu lalang, selebihnya hanya perasaan aneh.
"Ayah, haruskah aku menemui pria itu?" tanya dengan lembut sembari menyentuh punggung tangan ayahnya, masih dengan harapan jika tangan itu akan bergerak lagi nantinya.
"Apa yang akan terjadi jika aku berusaha membayar utang itu? apa aku akan seperti ayah saat ini, terbaring layaknya orang mati tapi ayah tidak mati," sambungnya.
Rasa sesak mulai memenuhi dadanya, gadis itu menunduk, "Lili harus apa?"
Suaranya bergetar hingga tangisnya pecah saat itu juga. Ia sendirian, tidak ada yang akan membantu kecuali dirinya sendiri. Detik jam yang bersuara semakin keras, alat medis yang berbunyi semakin menakutkan, ruangan ruangan putih yang tidak ada kebahagiaan disana.
Liliana merogoh saku di roknya mengambil sesuatu disana—kartu nama Lucien.
Beralih pada ponsel, dia mulai mengetik satu persatu nomer yang tertera, pada menu panggilan. Ada sedikit keraguan yang menghentikan jemarinya, beberapa saat terdiam lalu ia menghela napas pelan untuk menetralkan perasaannya yang campur aduk.
Dalam beberapa detik masih belum ada sahutan dari pihak Lucien, sebelum di detik detik dering ponsel berakhir sebuah suara bariton yang memecah lamunan Lilian dalam sesaat.
"Selamat malam, apakah saya berbicara dengan tuan Lucien?"
"Iya selamat malam, dengan siapa saya bicara?"
Liliana menelan ludah susah payah, mendengar suara bariton yang begitu tegas dan dingin membuat ia perlahan gugup untuk menyampaikan maksudnya. Namun tidak ada hal lain selain harus menghadapi semua ini.
"Baik—perkenalkan saya Liliana Montclaire. Saya berbicara atas nama ayah saya, sebelumnya saya sangat berterima kasih atas kesempatan berbicara dengan anda tuan Lucien, saya ingin membahas hal mengenai utang ayah saya dan penawaran yang pernah anda tawarkan pada ayah saya," jelas Liliana dengan penuh keberanian yang sudah ia tekankan.
"Nona Liliana, baiklah. Malam ini anda bisa menemui saya di Le Céleste lantai 49 — Hôtel Lumière Luxury, pusat kota."
Panggilan berakhir secara sepihak oleh Lucien, raut wajah Liliana sedikit kusut seraya memandangi ponsel miliknya, ia sedikit tidak suka dengan respon Lucien yang terkesan tidak sopan. Tapi, bukan hal penting untuk dirinya pikiran, kecuali saat ini juga ia harus pergi bersiap siap.
Jam semakin berputar waktu semakin berjalan, bahkan saat ini sudah hampir larut malam, Liliana harus segera.
"Ayah, Lili pergi dulu ya, nanti Lili minta om Hendra nemenin ayah."
Gadis itupun lagi lagi tidak sempat memakan makanan yang sudah di belinya tadi, ia buru buru pergi.
...~• suddenly become a bride •~...
Suara gaduh yang tercipta itu timbul dari dalam kamar dengan lemari sudah terbuka, banyak pakaian terkapar berantakan diatas kasur juga lantai. Liliana mencari dress yang setidaknya cukup cocok untuk dia pakai ke tempat yang terbilang fancy itu. Jika bukan karena permintaan Lucien, Liliana memilih bertemu di warung penjual mie ayam mungkin.
And got it
Sebuah midi dress berwarna powder blue memberi kesan lembut dan elegan secara bersamaan, dengan aksen pita putih dibagian kedua bahu terlihat lucu tapi tetap formal. Dilemparnya pakaian itu, Liliana beralih menatap wajah dan rambutnya agar terlihat lebih rapi.
Dia tidak akan semengusahakan ini jika pria itu meminta bertemu ditempat biasa, ia hanya menghargai pertemuan mereka. Berpenampilan menarik dan rapi itu sangat diperlukan apalagi tempat itu cukup mewah.
Selang beberapa menit, Liliana menyelesaikan polesan make up terakhirnya, tidak terlalu tebal tapi sudah mempercantik wajahnya. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul tinggi di puncak kepala—top knot bun yang tampak sederhana namun anggun. Beberapa helai rambut sengaja dibiarkan terlepas, membingkai wajahnya yang tegas namun lembut.
Dan yang terakhir Liliana memakai heels berwarna nude yang tidak terlalu berlebihan, Perfect.
Lilian segera keluar dari rumahnya, ia pun terpaksa memesan kendaraan online untuk membawanya, tidak mungkin ia memaksakan diri dengan menaiki motor disaat suasana hujan sudah reda ini. Liliana hanya berusaha menghindari masalah meskipun harus mengeluarkan uang.
Dalam setengah jam ia pun sampai ditempat tujuan, Hotel yang menjulang kokoh terlihat hampir menyentuh langit, sangat indah.
Ini pertama kalinya Liliana menginjakkan kaki di hotel paling mewah dikota ini, meskipun kegugupan mulai menghantuinya dirinya Liliana tetap menunjukkan bahwa dirinya percaya diri, dia hanya perlu pelan-pelan, hati-hati dan belajar.
Pelayan berseragam membukakan pintu untuknya. Lobi hotel menyambutnya dengan lantai marmer mengilap, lampu gantung kristal yang menjuntai megah.
Ia menarik napas perlahan, sebelum melangkah ke resepsionis—tempat awal pertemuannya dengan pria yang selama ini hanya dikenal lewat nama: Tuan Lucien.
Petugas resepsionis memeriksa daftar, lalu tersenyum dan berkata, "Silakan naik ke lantai 49, Nona Montclaire. Tuan Lucien telah menunggu Anda di meja pribadi."
Dengan anggukan kecil, Liliana berjalan menuju lift pribadi yang dijaga dua staf hotel. Pintu logam terbuka tanpa suara. Begitu ia melangkah masuk, pantulan dirinya tampak dalam dinding cermin.
Lift bergerak naik perlahan, sunyi, hanya diiringi dentingan musik klasik samar. Di detik-detik itu, ia merasakan dadanya mulai berdebar lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu—malam ini bukan sekadar makan malam.
Ketika pintu terbuka di lantai 49, seorang pelayan langsung menyambutnya. "Silakan ikut saya, Nona."
Lorong menuju restoran Le Céleste begitu tenang, dihiasi panel kayu gelap dan lampu dinding bergaya vintage, dan piano klasik mengalun lembut dari kejauhan.
Di ujung ruangan, di meja paling privat yang hanya diterangi cahaya lilin, duduk seorang pria dengan setelan hitam pekat dan sikap tenang yang nyaris dingin. Tatapannya langsung tertuju padanya.
Lucien Dravenhart.
Liliana menegakkan bahu, menahan napas sejenak, lalu melangkah mantap ke arahnya.
Langkah Liliana terdengar halus di atas karpet tebal. Saat ia mendekat, Lucien berdiri dari kursinya, tinggi dan tenang, lalu sedikit mengangguk sebagai bentuk penyambutan.
"Selamat malam," ucap Lucien, suaranya dalam dan tenang, nyaris tanpa ekspresi. "Nona Montclaire, saya berterima kasih Anda bersedia datang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!